Share

Bab 8

Setelah selesai, wanita itu meminumkan airnya kepada Suci. Sisanya dia percikkan. Setelah itu, semuanya hening. Tidak terjadi apa pun. Suci yang lemah, kian bertambah lemah. Orang-orang yang menungguinya pun semakin resah.

"Insya Allah dengan pertolongan Allah, anak ini akan lahir. Tiada Tuhan yang dapat disembah dan tiada sebaik-baiknya menolong kecuali Allah." Dea menutup rangkaian doanya sambil memegang perut Suci.

Tiba-tiba saja entah bagaimana, suci yang sudah terkulai kembali menegakkan kepalanya. Dia berkata, "Tolong, Suci mau ngeden, Buk."

Dea langsung pergi ke ke ujung ranjang, dia menunggu di bawah. Bidan yang tadi keluar, tiba-tiba masuk kembali. Mereka ikut membantu Dea.

Lalu, dengan tiga kali, dorongan bayi tersebut terlahir ke dunia.

Semua orang yang ada di sana serempak mengucapkan alhamdulillah tatkala mendengar suara tangisan bayi. Mereka terharu, wajah-wajah yang tadinya gusar kini telah lega.

Sang bayi diambil oleh dukun beranak yang ikut bersama bidan tersebut, sedangkan Suci diurus oleh sang bidan. Dea sudah selesai melakukan tugasnya, wanita itu pun mencuci tangan dan keluar.

Zuhal menyambut istrinya, dan orang-orang yang tadi menunggu bersama Zuhal menyalami Dea. Saat itu dia merasakan kebahagiaan yang mereka pancarkan dan perasaan itu kian besar saat dia menyadari bahwa kebahagiaan yang terlihat di wajah mereka adalah karena dirinya. Dia berhasil menyelamatkan satu nyawa ibu dan bayi yang tak berdosa.

Dea duduk di kursi sofa, didampingi sang suami. Beberapa wanita muda mempersilakan Dea untuk minum dan makan panganan yang sudah tersaji. Perempuan-perempuan yang Dea taksir masih berusia sekolah itu mengantre untuk menyalami Dea.

"Sudah-sudah, biarkan Buk Dea minum dulu," kata Makcik memotong. "Silakan diminum, Nak," kata Makcik. Wajah perempuan itu tampak bahagia, air mata bahagia mengalir dari netranya.

Zuhal yang tadi sempat tercengang, kini takjub dibuat oleh sang istri. Dia ingin bertanya banyak hal pada Dea, tetapi urung dilakukan. Nanti saja pas di rumah, pikir Zuhal.

Dea dan Zuhal duduk di sofa, sementara itu warga sudah ramai memadati rumah Suci. Mereka berkumpul di luar, membicarakan apa yang Dea lakukan barusan. Pertanyaan-pertanyaan meluncur dari mulut mulut polos mereka. Semuanya heran terhadap keajaiban yang baru saja Dea lakukan. Seolah-olah kejadian itu makin menambah keabsahan kalau tangan Dea memanglah berat (besar ilmunya).

"Tadi padahal sudah mau dibawa ke rumah sakit, mau dibelah perutnya, tapi sama Dea dibacakan ke air putih, dipercikin langsung keluar tuh anak," kata seorang warga. Mereka kini tak malu-malu lagi membicarakan Dea di depan orangnya langsung.

Dea yang dibicarakan hanya bisa menunduk malu. Dia tidak tau harus merasakan apa saat ini, bangga, malu, biasa-biasa saja atau bagaimana?

"Kita pulang saja, Bang. Sudah siang, matahari juga sudah tinggi. Sebentar lagi Ayu sama Sita pasti minta makan. Neneknya repot ntar," kata Dea pada Zuhal.

Mereka berpamitan pada Makcik. Namun, orang tua itu mencegahnya.

"Tunggu, Nak. Sebentar," kata Makcik.

Dea dan Zuhal yang berdiri terpaksa duduk kembali. Tak lama setelah itu, Makcik muncul dari kamar dan membawa sebuah amplop.

"Cuma ini yang bisa kami berikan, Nak," kata wanita itu sembari mengangsurkan amplop.

Dea sentak menolaknya. "Terima kasih, Makcik, tapi Dea ikhlas. Yang penting Suci dan anaknya sehat," kata Dea.

Dia benar-benar ikhlas, semua itu pun berkat pertolongan dari allah. Jika tidak, tidak ada yang akan terjadi jika bukan izin dari Allah.

Tak lama setelah itu, mereka berpamitan. Warga masih berkumpul di rumah Suci, beberapa menyalami Dea sebelum dia berlalu. Kabut telah pergi, membawa cahaya mentari kembali menyinari Desa Kunti.

Cahaya merah yang tadinya datang bersama kabut, mendadak hilang begitu Dea datang. Kilau sinar putih melingkupi rumah ibu yang akan melahirkan itu. Bersamaan dengan hilangnya kabut, suara lengkingan kembali terdengar.

"Bang, Abang dengar suara orang berteriak?" tanya Dea.

Zuhal yang tidak mendengar apa pun hanya menggeleng. "Jangan macam-macam, Dek. Kita mau melewati tugin keramat, nih."

Dea memandang ke depan, ada tugin (tanah yang meninggi karena dibuat sarang oleh rayap) di samping kanan jalan setapak itu, tepat di seberang parit.

"Apaan memangnya, Bang? Sarang rayap aja kan?" tanya Dea.

"Lah, Adek memangnya gak tau? Tugin ini tempat tinggal jin, jangan ngomong macam-macam kalau pas mau lewatin ini?"

Sontak Dea tertawa. "Abang dengar dari mana?"

"Dari kecil abang sudah dikasi tau Ibuk. Teman-teman abang juga. Masak Adek gak tahu?" Zuhal heran karena biasanya anak-anak kampung tahu apa itu tugin dan kisah horor di baliknya.

"Dea itu besar di kampung santri dan di pondok pesantren, tahayul begituan gak ada di sana, Bang," kata Dea.

Zuhal tertawa. "Nah, begini baru istri abang," katanya. "Tahayul begitu memang ga boleh dipercayai, tapi keberadaan jin dan setan wajib kita percayai karena mempercayai hal gaib itu sebagian dari rukun iman. Perihal mereka mendatangkan bahaya buat kita, itu enyahkan aja jauh-jauh," kata Zuhal.

"Oh, jadi Abang teh ngetes?" tanya Dea.

Zuhal tertawa. Dea juga tertawa. Mereka berlalu dan mengabaikan suara pekikan yang terdengar tadi.

Desa Kunti kembali tenang, tetapi sesuatu yang menghuni lereng bukit tampak kacau. Seorang wanita yang buruk rupa, kini tampak berdarah-darah. Dia memohon ampun pada sosok berbaju merah yang melayang-layang di depannya.

"Maafkan hamba, Nyai. Mohon berikan pertolongan Nyai," katanya dengan wajah memelas.

Sosok yang dia panggil Nyai itu tertawa melengking. Tawanya yang menyeramkan membuat binatang liar tunggang langgang. Wanita yang menghiba itu bersujud, takut akan murka sosok berbaju merah tersebut.

Tubuh wanita itu gemetaran, giginya bergemeletuk. Dingin yang menggigit membuat dia ingin mati membeku rasanya.

"Maafkan saya, Nyai. Tolong berikan kesempatan. Akan saya carikan ibu dan bayi lain untuk makanan, Nyai."

"Jika kau gagal, maka tubuhmu yang akan kumakan," kata sosok itu.

Wanita tersebut menggigil. Dia mengangguk. Namun, perlahan-lahan suasana di sekitar tempat itu mulai menghangat, pertanda siluman tersebut sudah pergi.

Wanita itu bangun, dia memegangi perutnya yang terluka. "Sialan perempuan itu, akan kubuat perhitungan dengannya!" katanya dengan wajah marah.

***

Tak lama setelah Dea dan Zuhal sampai di rumah, Tarman rupanya baru sampai juga. Pemuda itu tampak terengah-engah.

"Dari mana, Man?" sambar Zuhal.

Tarman terkejut melihat iparnya. "Anu ... itu!"

"Zuhal, Dea sudah pulang? Ayu minta makan itu, dikasi makan dulu," kata Pak Roslan.

Ayu menghampiri ibunya dan merengek-rengek meminta makan. "Iya, sabar ya, Nak. Hayuk kita makan, ajak nenek sekalian," kata Dea pada Ayu.

Tarman langsung masuk dan naik ke atas. Zuhal memperhatikan adik iparnya tersebut, ada yang aneh menurut Zuhal.

Tadi Tarman keluar dengan baju abu-abu, tetapi sekarang dia memakai baju hitam. Dari manakah pemuda itu?

Zuhal menyimpan kecurigaan dalam hatinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status