Share

Bab 7

Dea menatap suaminya sebentar kemudian kepada ibu dan bapak mertua nya. Zuhal mengangguk dan memberi isyarat kepada Dea untuk membantu Makcik.

"Baik Makcik, Dea akan mengecek terlebih dahulu, tapi dia nggak janji bisa bantu. Dea hanya orang biasa, bukan dukun beranak atau bidan," kata Dea.

"Iya ... Tolong sekali ini saja, Dea." Makcik memohon.

"Bang titip anak-anak, kompor sudah Dea matikan," ujar Dia kemudian bergegas memakai sandal.

Zuhal yang merasa tidak enak membiarkan istrinya pergi sendiri, kemudian memberikan bayi kepada orang tuanya.

"Zuhal mau menemani Dea, tolong jaga anak-anak ya Pak Buk?"

Tak lama setelah itu, zuhal pun menyusul Dea dan Makcik yang telah terlebih dahulu pergi. Kabut tebal mengiringi perjalanan mereka.

"Duh kenapa tiba-tiba ada kabut pagi-pagi gini. Tadi pas pulang dari pasar cerah terang benderang kok," kata Dea kepada Makcik.

"Sudahlah Dea, ayo kita cepat. Kabut gini biasa terjadi kalau misalnya ada yang mau melahirkan."

"Hah? Masa sih, Makcik?" tanya Dea tak percaya.

"Iya, makanya desa ini disebut Desa Kunti, dulu pas awal-awal desa ini terbentuk, sebelum itu kan banyak anunya (Makcik mau menyebut kuntilanak sebenarnya, tapi dia samarkan). Setiap orang yang mau melahirkan, desa ini selalu kena kabut. Makanya dulu orang melahirkan lebih memilih di luar desa ini atau kudu dijaga sama orang-orang kampung. Tapi anak sekarang tidak ada manut sama pantangan orang tua makanya melahirkannya pada susah-susah semua. Orang kampung juga udah kagak percaya takhayul. Makanya jaga sih jaga, tapi ilmunya cetek. Jaga kosong ibarat kata gitu," papar Makcik.

Dea hanya manggut-manggut.

"Sudah, ayo kita bergegas," kata Makcik.

Dea membaca doa yang dia bisa di dalam hati, Zuhal juga menemani mereka berdua. Tak sampai hati dia melepaskan istrinya pergi sendirian, apalagi sejak tadi Zuhal merasa tidak enak.

Tak lama kemudian, ketiganya sudah sampai di rumah yang bersangkutan. Baru saja menjejakkan kaki di pelataran rumah, terdengar suara perempuan berteriak kesakitan.

Makcik buru-buru membuka pintu, dan segera merangsek masuk. Saat itu, di ruang tamu ada beberapa orang yang mungkin keluarga dari Suci. Dea tidak mengenal siapa mereka, hanya Zuhal saja yang mengenal beberapa pria yang berkumpul di situ. Zuhal duduk bersama orang-orang yang terlihat gusar itu.

Makcik memegang tangan Dea dan menyuruhnya masuk. "Cepat, Nak. Cepat."

Saat dia memasuki ruangan, beberapa orang tampak sedang berdebat.

"Kalau Bapak tidak mau membawa istrinya ke rumah sakit sekarang, kemungkinan istrinya tidak tertolong ini. Istrinya sudah lemah ini, tidak bisa melahirkan, janinnya tersangkut," kata seorang wanita yang berpakaian putih. Kelihatannya dia bidan.

"Kami sudah melakukan pemotongan di parineum istri Bapak, tapi bayinya tidak mau keluar. Bagaimana ini? Ini harus ditindak di rumah sakit entah dicaesar atau divakum," sambungnya.

"Nggak bakalan keburu juga Bu. Rumah sakit jaraknya jauh! Dengan kondisi istri yang begini, bagaimana?" tanya laki-laki tersebut yang mungkin suami dari Suci.

"Tapi kalau kita biarkan dua-duanya bisa nggak tertolong Pak masalahnya di mana Pak sebenarnya?"

Bidan tersebut tampak emosi. Bagaimana tidak emosi, mungkin bidan itu sudah lama di situ. Dea tahu susahnya memanggil tenaga kesehatan ke kampung ini, mendatangkan bidan saja sudah berjam-jam dari fasilitas kesehatan terdekat. Mungkin bidan ini sudah di rumah ini sejak kemarin. Lelah, emosi, putus asa tergambar di wajah cantik bidan muda itu.

"Ini Dea sudah datang. Mungkin dia bisa membantu," kata Makcik sambil mendorong Dea untuk mendekat ke ranjang pesakitan.

"Saya tidak bertanggung jawab, ya Pak, jika terjadi sesuatu dan lain hal. Memang persalinan ini kami yang mengatasinya, tetapi keluarga tidak kooperatif terhadap tenaga kesehatan. Jadi kami mundur," kata wanita berpakaian putih itu.

Dia keluar diikuti seseorang di belakangnya. Mereka berdua keluar dari kamar setelah membuang sarung tangan plastik yang mereka pakai tadi.

Dea melihat kepada Suci, wanita itu berkeringat. Dia tampak lelah sekali, tetapi sang bayi tidak mau keluar. Kepala bayi itu tersangkut di jalan lahir. Bidan itu berkata benar, mereka telah melakukan prosedur pemotongan perineum tapi bayinya tidak mau keluar. Biasanya jika di rumah sakit terjadi hal seperti ini, akan dilakukan tindakan sesar. Suci tampak lelah, napasnya pelan sekali dan wanita itu terkulai.

Dea memegang tangan suci. Sebenarnya dia tidak tahu mau melakukan apa. Yang dia lakukan kepada Maya adalah spontan. Kalau begini, langkah apa yang harus diambil selanjutnya?

"Ini harus dibawa ke rumah sakit Makcik. Bidannya benar, Suci sudah lemah bayinya tidak mau keluar. Lebih baik disesar saja di rumah sakit," kata Dea memberi nasehat kepada keluarga Suci.

"Tapi kami nggak punya uang Dea. Sesar itu mahal, bisa puluhan juta. Sedangkan sekarang, jangankan sejuta, seratus ribu aja gak ada," jawab seseorang yang sejak tadi menangis. Dia duduk di bangku dekat kepala Suci, dialah ibunya.

Dea tidak menduga akan mendapat jawaban seperti ini, mungkin saja mereka sejak tadi menahan untuk tidak membawa ke rumah sakit karena memang tidak memiliki uang untuk mendaftarkan prosedur operasi sesar.

"Suci tidak punya kartu jaminan kesehatan?" tanya Dea.

"Tidak, di kampung nih mana ada begituan," kata Makcik. "Lagian kalau ke rumah sakit yang jarak tempuh 5 jam dengan jalan yang naik turun berlubang dan berlumpur, ga bisa, Dea. Bisa meninggal di tengah jalan dia," sambung Makcik.

"Ya Allah jadi gimana nih," ujar Dea gusar.

Sementara itu Suci kian melemah, napasnya tinggal satu-satu. Ibu Suci yang melihat anaknya seperti itu, hanya bisa menangis.

"Suaminya petani biasa, bapaknya sudah nggak ada. Dia juga ndak punya saudara yang bisa dimintai tolong. Kami sekeluarga hanya bisa minta tolong pada kau, Dea. Kasihanilah dia, anaknya yang pertama masih kecil," ujar Makcik. Matanya berembun.

Dea gugup, tetapi sesuatu harus dilakukan. Dea tidak menyerah, dia yakin Allah akan membantunya.

"Tolong ambilkan air putih," kata Dea.

Seseorang keluar dari kamar dan tak lama setelah itu dia kembali dengan air putih di tangannya. Dea mengambil gelas itu, lalu mulai membacakan sesuatu. Dia tidak tahu harus membaca apa, dia juga tidak tahu harus apa dan bagaimana setelah ini. Namun dorongan dari dalam hatinya menyuruh Dea melakukan hal itu. Dia membaca alfatihah, ayat kursi, dan 3 qul. Lalu menutupnya dengan doa minta dijauhkan dari marabahaya dan setan setan yang menggoda manusia. Dea melakukan itu seolah-olah dia telah terbiasa mengamalkannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status