Dea menatap suaminya sebentar kemudian kepada ibu dan bapak mertua nya. Zuhal mengangguk dan memberi isyarat kepada Dea untuk membantu Makcik.
"Baik Makcik, Dea akan mengecek terlebih dahulu, tapi dia nggak janji bisa bantu. Dea hanya orang biasa, bukan dukun beranak atau bidan," kata Dea."Iya ... Tolong sekali ini saja, Dea." Makcik memohon."Bang titip anak-anak, kompor sudah Dea matikan," ujar Dia kemudian bergegas memakai sandal.Zuhal yang merasa tidak enak membiarkan istrinya pergi sendiri, kemudian memberikan bayi kepada orang tuanya."Zuhal mau menemani Dea, tolong jaga anak-anak ya Pak Buk?"Tak lama setelah itu, zuhal pun menyusul Dea dan Makcik yang telah terlebih dahulu pergi. Kabut tebal mengiringi perjalanan mereka."Duh kenapa tiba-tiba ada kabut pagi-pagi gini. Tadi pas pulang dari pasar cerah terang benderang kok," kata Dea kepada Makcik."Sudahlah Dea, ayo kita cepat. Kabut gini biasa terjadi kalau misalnya ada yang mau melahirkan.""Hah? Masa sih, Makcik?" tanya Dea tak percaya."Iya, makanya desa ini disebut Desa Kunti, dulu pas awal-awal desa ini terbentuk, sebelum itu kan banyak anunya (Makcik mau menyebut kuntilanak sebenarnya, tapi dia samarkan). Setiap orang yang mau melahirkan, desa ini selalu kena kabut. Makanya dulu orang melahirkan lebih memilih di luar desa ini atau kudu dijaga sama orang-orang kampung. Tapi anak sekarang tidak ada manut sama pantangan orang tua makanya melahirkannya pada susah-susah semua. Orang kampung juga udah kagak percaya takhayul. Makanya jaga sih jaga, tapi ilmunya cetek. Jaga kosong ibarat kata gitu," papar Makcik.Dea hanya manggut-manggut."Sudah, ayo kita bergegas," kata Makcik.Dea membaca doa yang dia bisa di dalam hati, Zuhal juga menemani mereka berdua. Tak sampai hati dia melepaskan istrinya pergi sendirian, apalagi sejak tadi Zuhal merasa tidak enak.Tak lama kemudian, ketiganya sudah sampai di rumah yang bersangkutan. Baru saja menjejakkan kaki di pelataran rumah, terdengar suara perempuan berteriak kesakitan.Makcik buru-buru membuka pintu, dan segera merangsek masuk. Saat itu, di ruang tamu ada beberapa orang yang mungkin keluarga dari Suci. Dea tidak mengenal siapa mereka, hanya Zuhal saja yang mengenal beberapa pria yang berkumpul di situ. Zuhal duduk bersama orang-orang yang terlihat gusar itu.Makcik memegang tangan Dea dan menyuruhnya masuk. "Cepat, Nak. Cepat."Saat dia memasuki ruangan, beberapa orang tampak sedang berdebat."Kalau Bapak tidak mau membawa istrinya ke rumah sakit sekarang, kemungkinan istrinya tidak tertolong ini. Istrinya sudah lemah ini, tidak bisa melahirkan, janinnya tersangkut," kata seorang wanita yang berpakaian putih. Kelihatannya dia bidan."Kami sudah melakukan pemotongan di parineum istri Bapak, tapi bayinya tidak mau keluar. Bagaimana ini? Ini harus ditindak di rumah sakit entah dicaesar atau divakum," sambungnya."Nggak bakalan keburu juga Bu. Rumah sakit jaraknya jauh! Dengan kondisi istri yang begini, bagaimana?" tanya laki-laki tersebut yang mungkin suami dari Suci."Tapi kalau kita biarkan dua-duanya bisa nggak tertolong Pak masalahnya di mana Pak sebenarnya?"Bidan tersebut tampak emosi. Bagaimana tidak emosi, mungkin bidan itu sudah lama di situ. Dea tahu susahnya memanggil tenaga kesehatan ke kampung ini, mendatangkan bidan saja sudah berjam-jam dari fasilitas kesehatan terdekat. Mungkin bidan ini sudah di rumah ini sejak kemarin. Lelah, emosi, putus asa tergambar di wajah cantik bidan muda itu."Ini Dea sudah datang. Mungkin dia bisa membantu," kata Makcik sambil mendorong Dea untuk mendekat ke ranjang pesakitan."Saya tidak bertanggung jawab, ya Pak, jika terjadi sesuatu dan lain hal. Memang persalinan ini kami yang mengatasinya, tetapi keluarga tidak kooperatif terhadap tenaga kesehatan. Jadi kami mundur," kata wanita berpakaian putih itu.Dia keluar diikuti seseorang di belakangnya. Mereka berdua keluar dari kamar setelah membuang sarung tangan plastik yang mereka pakai tadi.Dea melihat kepada Suci, wanita itu berkeringat. Dia tampak lelah sekali, tetapi sang bayi tidak mau keluar. Kepala bayi itu tersangkut di jalan lahir. Bidan itu berkata benar, mereka telah melakukan prosedur pemotongan perineum tapi bayinya tidak mau keluar. Biasanya jika di rumah sakit terjadi hal seperti ini, akan dilakukan tindakan sesar. Suci tampak lelah, napasnya pelan sekali dan wanita itu terkulai.Dea memegang tangan suci. Sebenarnya dia tidak tahu mau melakukan apa. Yang dia lakukan kepada Maya adalah spontan. Kalau begini, langkah apa yang harus diambil selanjutnya?"Ini harus dibawa ke rumah sakit Makcik. Bidannya benar, Suci sudah lemah bayinya tidak mau keluar. Lebih baik disesar saja di rumah sakit," kata Dea memberi nasehat kepada keluarga Suci."Tapi kami nggak punya uang Dea. Sesar itu mahal, bisa puluhan juta. Sedangkan sekarang, jangankan sejuta, seratus ribu aja gak ada," jawab seseorang yang sejak tadi menangis. Dia duduk di bangku dekat kepala Suci, dialah ibunya.Dea tidak menduga akan mendapat jawaban seperti ini, mungkin saja mereka sejak tadi menahan untuk tidak membawa ke rumah sakit karena memang tidak memiliki uang untuk mendaftarkan prosedur operasi sesar."Suci tidak punya kartu jaminan kesehatan?" tanya Dea."Tidak, di kampung nih mana ada begituan," kata Makcik. "Lagian kalau ke rumah sakit yang jarak tempuh 5 jam dengan jalan yang naik turun berlubang dan berlumpur, ga bisa, Dea. Bisa meninggal di tengah jalan dia," sambung Makcik."Ya Allah jadi gimana nih," ujar Dea gusar.Sementara itu Suci kian melemah, napasnya tinggal satu-satu. Ibu Suci yang melihat anaknya seperti itu, hanya bisa menangis."Suaminya petani biasa, bapaknya sudah nggak ada. Dia juga ndak punya saudara yang bisa dimintai tolong. Kami sekeluarga hanya bisa minta tolong pada kau, Dea. Kasihanilah dia, anaknya yang pertama masih kecil," ujar Makcik. Matanya berembun.Dea gugup, tetapi sesuatu harus dilakukan. Dea tidak menyerah, dia yakin Allah akan membantunya."Tolong ambilkan air putih," kata Dea.Seseorang keluar dari kamar dan tak lama setelah itu dia kembali dengan air putih di tangannya. Dea mengambil gelas itu, lalu mulai membacakan sesuatu. Dia tidak tahu harus membaca apa, dia juga tidak tahu harus apa dan bagaimana setelah ini. Namun dorongan dari dalam hatinya menyuruh Dea melakukan hal itu. Dia membaca alfatihah, ayat kursi, dan 3 qul. Lalu menutupnya dengan doa minta dijauhkan dari marabahaya dan setan setan yang menggoda manusia. Dea melakukan itu seolah-olah dia telah terbiasa mengamalkannya."Bunuh anak ini, Nak. Dia akan mengacaukan segalanya di masa depan. Seperti saya, mungkin Farizi pun akan kembali ke desa ini suatu saat dan membangkitkan iblis itu. Bunuh dia, Nak." Nek Saidah memohon sembari menggenggam tangan Dea. "Jangan lakukan kesalahan seperti kakek buyutmu. Dia menolak membunuh saya padahal dia tahu saya akan jadi malapetaka," katanya kemudian.Dea terdiam dan menatap wanita tua itu. Dari raut wajahnya, dia begitu memerlukan pertolongan. Wajah pucat dan keriput itu begitu memprihatinkan. Dea kasihan padanya. Namun sesaat dia tersadar kalau semua ini tidak benar."Bayi yang suci dan tidak berdosa ini bukanlah penyebab kutukan itu kembali." Suara seseorang berbisik di telinga Dea. "Jangan tertipu bujuk rayu setan!"Dea mengambil Farizi dan menggendongnya. "Mungkin saya harus kembali ke ruang tamu, Mbah. Saya sudah selesai," kata Dea.Wanita itu ingin berlalu, tetapi Nek Saidah menggenggam pergelangan tangan Dea. Wajahnya ber
Dea menarik pegangan kursi roda nenek Saidah dan mendorong perempuan tua itu menuju kamar Farizi. Rumah kuno ini sangat luas. Sebelum menuju kamar keponakannya, Dea melewati lorong dengan banyak kamar di dalamnya. Padahal mereka hanya beberapa orang, tetapi kenapa banyak sekali kamar?Wanita itu juga melewati dapur, ada Dewi dan Uni yang sedang bekerja di dapur. Saat Dea dan nenek Saidah melewati mereka, kedua perempuan itu hanya menatap dengan tatapan kosong."Mereka berdua tidak menikah, makanya masih tinggal dengan saya," kata Nek Saidah kepada Dea."Maaf, Mbah, Pak Sopian dan Pak Bejo juga?" tanya Dea ingin tahu."Iya," kata Saidah.Keduanya melewati dapur dan menuju kamar Farizi. Sesaat kemudian sampailah mereka di sana. Farizi sedang tertidur di kasur ketika Dea sampai. Anak itu tampak begitu pulas dan tenang.Dea duduk di kasur dekat Farizi dan memandangi bayi tersebut."Kasian dia, ibu bapaknya sudah berpulang."
Hari itu adalah hari yang sangat mengejutkan dan mengubah hidup banyak orang, termasuk Dea dan keluarganya.Setelah tidak sadarkan diri selama satu minggu di rumah sakit sejak operasi karena tusukan pisau itu, Dea akhirnya bisa kembali ke rumahnya.Tentu saja Zuhal dan para warga kampung tidak tinggal diam. Mereka sudah melaporkan Tarman jauh-jauh hari ke polisi, tetapi semuanya terlambat. Lelaki itu ditemukan gantung diri di kamarnya sehari setelah menusuk Dea.Polisi tentu saja menanyai keluarga tersangka, tetapi tidak mendapatkan apa pun. Tarman sendiri tidak meninggalkan surat, catatan, dan rekaman apa pun tentang kenapa dia menusuk Dea. Polisi tidak tau dan tidak bisa menyimpulkan apakah itu dilandasi oleh dendam kesumat atau sebagainya. Keluarga Tarman juga tidak memberikan penjelasan yang kongkrit. Jadi, kasus itu ditutup begitu saja karena tersangka bunuh diri.Sementara itu, setelah pulang, Dea dijaga betul oleh Zuhal dan keluarganya. Mer
Dea mendekat, diikuti sang pemuda. Banyak warga berkumpul di sana, tetapi tidak ada satu pun yang bergerak untuk memadamkan apinya.Dea panik melihat itu, dia begitu gusar sehingga menyuruh pemuda yang mengaku sebagai qorin kakek buyutnya itu untuk membantu."Siapa tahu ada warga di dalam," kata Dea.Pemuda itu tak menggubris Dea, dia memandangi wanita itu dengan tatapan yang tidak bisa Dea artikan. Wanita tersebut lantas tidak menyerah, dia memberitahu warga desa yang ada di sana untuk menolong. Namun, teriakannya bagaikan suara tak kasat mata Begi mereka. Tidak ada satu pun yang bergerak ketika Dea berteriak."Percuma, mereka tidak akan mendengar suaramu," kata pemuda itu.Dea diam, lantas menyadari kalau saat ini yang dia lihat adalah semu semata. Wanita itu akhirnya menyerah dan memilih menyaksikan kebakaran tersebut bersama yang lainnya.Saat itu Dea melihat seorang pemuda yang begitu mirip dengan orang yang mengaku qorin ka
Dea mencoba meraih portal itu, dia mengulurkan tangan dan ingin menjangkaunya. Detik berikutnya, kaki Dea mengambang dan perlahan-lahan tubuhnya terangkat.Dea tersenyum, perasaannya bahagia sekali. Aura teduh dan menenangkan yang datangnya dari portal itu membuat Dea ingin segera memasukinya. Namun mendadak, sebuah tangan terasa menggenggam pergelangan kaki Dea.Otomatis Dea melihat siapa yang mengusik dirinya. Ternyata seorang pemuda tampan berpakaian serba putih tengah tersenyum padanya.***Dea berjalan keluar dari gedung yang menurut Dea tampak seperti rumah sakit itu didampingi oleh pemuda yang tadi menahannya memasuki portal.Sejak tadi keduanya hanya diam. Dea tidak bertanya apa pun, pemuda itu juga tidak mengatakan sebarang kalimat. Dea pun berpikir kenapa pemuda itu menariknya? Apakah Dea mengenalinya? Orang-orang tidak melihat keberadaan Dea, tetapi kenapa pemuda itu bisa melihat dan menyentuhnya?"Bukan waktumu untuk
Marini dan Pak Roslan pergi ke sawah, sedangkan Sita dan Ayu di rumah Aini. Zuhal pergi entah ke mana setelah zoom meeting tadi pagi. Hari ini wanita itu memasak jantung pisang lodeh dengan sambal terasi dan ikan goreng. Tak lupa dia membuat kue untuk makan keluarganya. Saking seringnya memakan makanan buatan Dea, Zuhal dan anak-anaknya sangat sehat. Marini yang walaupun masih kurang suka terhadap menantunya pun tidak memungkiri kalau masakan Dea sangat enak. Perempuan itu jadi suka makan ketika sang menantu tinggal di sini. Sementara Dea, seperti kebanyakan ibu rumah tangga biasa, sangat senang kalau anggota keluarganya menghabiskan semua makanan yang dia buat. Wanita itu seolah tak kehabisan akal mengolah hasil kebun yang selalu dia dapatkan dari warga desa. Kebetulan para warga yang bersawah dan berkebun sering lewat di depan rumah Pak Roslan, karena jalan ke kebun ya lewat situ saja. Warga desa sering memberi hasil kebun buah Dea. Mereka sangat mengagumi Dea
Dea berpikir ada benarnya juga. Namun larangan dari suami Ningsih ditambah gunjingan serta pandangan tuduhan dari warga membuat dia tak berani maju. Zuhal menghampiri istrinya dan mencoba menahan Dea. Bisa jadi masalah jika Dea tidak mengindahkan. Sebagai gantinya, Zuhal meminta Pak RT untuk bermufakat dengan pejabat desa setempat agar membujuk keluarga Ningsih. Keluarga Ningsih dan Prayitno juga terpecah menjadi dua. Ada yang setuju membiarkan Dea menolong, ada yang tidak."Kubur aja, anaknya sudah meninggal. Mungkin itu cuma kebetulan!" seru salah seorang ibu-ibu."Gimana kebetulan, Cu? Coba Cu lihat sendiri, janinnya masih gerak! Lihat!" kata Intan sembari menunjuk ke jenazah Ningsih. "Kalian semua nggak mikirin itu permintaan tolong dari sang bayi! Nggak mikir kalian?" pekik gadis itu. Semua yang ada di sana terdiam. Dea kagum melihat Intan yang masih muda tetapi sangat pemberani. Sejak tadi hanya gadis itu yang memihaknya. Dea pun tidak bisa bicara b
Wajah Dea memucat, jantungnya seolah berhenti Dea terkejut saat Mbah dengan kasar menepis tangannya."Mbah, kenapa?" tanya Dea.Mbak Menik menangis, air mata berjatuhan di wajah keriputnya. "Kalau kamu ndak menyarankan ke rumah sakit, pasti Ningsih masih ada sekarang," kata perempuan itu sembari menunjuk muka Dea.Dea gemetaran, sendinya seketika lunglai. Wanita itu tidak menyangka Mbah Menik akan menyalahkan dirinya. Apakah dia memang benar-benar bersalah atas kematian Ningsih? Apa kesalahannya sesungguhnya? Batin Dea. Wanita beranak dua itu bingung ingin merespon masalah ini ini dengan cara apa."Maafkan Dea, Mbah. Sa-saya pikir kalau di rumah sakit, Ningsih akan bisa melahirkan. Lagian Dea bukan dukun bera .....""Pikar, piker! Katanya jenengan itu bisa bantu orang susah beranak. Ngapain ke rumah sakit kalau jenengan bisa. Jangan-jangan ilmu jenengan cuma bualan aja!" maki Mbah Menik.Dea gemetaran, air matanya mulai menggenan
Mbah yang sudah sepuh itu akhirnya mengangguk melihat ketulusan dalam hati Dea. Kemudian dia berkata, "Sing dicoba ya, Nak?"Dea mengangguk. Wanita itu lalu menyuruh pemuda yang tadi untuk mengangkat Ningsih. Dibantu Zuhal, mereka membawa Ningsih ke mobil menggunakan tandu. Sebelum pergi, Dea menyuruh Ningsih meminum air yang telah diberikan. Tak lupa botol itu pun dia bekalkan untuk Ningsih. Di dalam mobil sudah ada anak Pak RT, Mbah Menik, dan juga pemuda tadi. Mereka berangkat begitu semuanya selesai. Rumah gubuk itu terlihat sepi rumah seiring dengan kepergian semua penghuninya. Dea menutup pintu rumah dan bersiap untuk pulang. Pak RT sudah mendahului tadi, katanya mau mengabari RT setempat tentang kepergian warganya ke rumah sakit. Sekaligus mengurus surat keterangan tidak mampu yang diminta oleh Mbah tadi. Dea dan Zuhal pun naik ke motor untuk berangkat pulang. Di perjalanan, mereka mengobrol sedikit."Adek mau bicara sama siapa