"Aku tidak tahu, Lun. Ini semua karena aku membutuhkan biaya untuk operasi ibuku," ucap Uuna dan mulai menceritakan seluruh kejadian yang membuatnya hamil.
Luna percaya seluruh cerita dari sahabatnya adalah kebenaran karena Luna tahu, Uuna gadis baik yang tidak dekat dengan siapapun selama ini selain dirinya dan mantan kekasih Uuna tentunya.
"Jika seperti itu, kamu dan bibi tinggal saja di apartemenku agar tidak ada yang menggunjingmu, Uuna." pinta Luna pada sahabatnya.
Bibi mengeluarkan sebotol minuman lemon agar mual di perut Uuna berkurang dan keponakannya bisa makan roti dengan lahap.
"Luna benar, Uuna. Di apartemen kebanyakan pemiliknya tidak pernah usil dengan urusan orang lain. Yah, walaupun yang kamu lakukan tetep tidak baik di mata hukum dan agama. Tapi demi kenyamanan, kita harus tinggal di sana, paling tidak sampai kamu melahirkan. Bibi akan bekerja dengan giat agar keponakan dan cucu bibi tidak kekurangan." ucap bibi mulai membuka bungkusan roti yang diberikan susu coklat dan menyerahkannya pada Uuna.
"Tapi bayi ini bukan bayiku, Bi ... aku harus memulangkannya. Aku takut mereka akan mencari kita." Uuna meneguk cairan kuning yang sangat asam itu.
"Tapi yang mereka tahu kamu tidak hamil, bukan? Apa kamu siap untuk kehilang bayimu, Uuna? tanya Luna dengan menatap sahabatnya lekat, "Kamu jangan takut, ada aku, kan. Tantenya." Senyum mengembang terbit di bibir Luna. "Kita akan membesarkannya bersama," ucap Luna lagi.
Melihat senyum itu, Uuna pun ikut tersenyum dan merasa sangat beruntung karena memiliki sahabat dan bibi yang luar biasa. Akhirnya Uuna mengiyakan tawaran dari sahabat.
"Baiklah Luna, aku setuju dengan usulmu dan Bibi." Ujar langsung merangkul keduanya dalam dekapan.
Sore harinya mereka tiba di apartemen milik Luna. Apartemen milik Luna memang tidak begitu besar, tapi lumayan nyaman untuk ditinggali oleh dua orang.
Dua bulan sudah Una dan bibinya tinggal di apartemen itu. Uuna sendiri memutuskan untuk menunda sidang skripsinya dan fokus pada kandungan dan pekerjaannya saat ini.
Uuna mengurus semua keuangan di toko roti. Sementara bibi Ai mengurus bagian gudang dan mengecek stok bahan makanan walau terkadang ia juga membantu menjadi pengawas dan waiter.
Bibi Ai terlihat begitu bersemangat mengurus toko roti milik Luna, sesekali ia pun menunjukkan kebolehannya membuat beberapa kue yang ia tahu dari mendiang almarhum ibunya Uuna.
Kehamilan Uuna kini memasuki bulan keempat. Morning sickness yang dialami oleh Uuna sudah mulai berkurang, hanya mencium bau tertentu saja yang membuatnya mual. Selebihnya ia baik-baik saja dan bisa melakukan semua aktivitas.
Namun, berbanding terbalik dengan Darren, mual yang dialaminya semakin menggila. Kini mengingat dan memandang wajah Uuna di foto saja tidak cukup. Darren membutuhkan lebih dari itu.
Terkadang Darren butuh menggali ingatan akan gadis itu yang semakin hari seolah semakin menghilang lebih dalam lagi. Pandangan mata gadis itu yang dilihatnya dalam ingatan sedikit meredup sehingga membuat Darren frustasi karena tidak bisa masuk ke dasar paling dalam yang dimiliki netra Uuna.
**
Siang itu toko begitu ramai dan banyak sekali orderan di tambah lagi ada sebuah perusahaan besar yang memesan 200 boks snacks yang berisi roti dan pastry untuk rapat yang akan diadakan di sebuah hotel.
Uuna tiba di hotel IH sudah sangat terlambat dari waktu yang ditentukan. Sementara rapat sudah dimulai dua puluh menit yang lalu.
Dengan sedikit tergesa-gesa Uuna memasuki hotel dan memanggil Concierge agar membantunya membawakan semua bok kedalam ruang meeting.
"Di lantai berapa ruang meeting untuk Tuna Ibrahim Hayes?" tanya Uuna pada resepsionis.
"Di lantai tiga. Nanti akan ada orang disana yang membantu Anda untuk membawakan semua kotak kue itu ke dalam," jelas resepsionis pada Uuna.
Uuna tersenyum kearah resepsionis itu. "Aku langsung ke atas, ya?" tanyanya sambil berlenggang pergi.
Sesampainya di lantai tiga di mana Uuna harus mengantarkan kue, koridor itu begitu sepi. Tidak ada siapapun seperti yang dikatakan oleh resepsionis yang berkata akan ada pelayanan hotel disini.
"Dimana mereka, kita sudah sangat telat," ucap Uuna pada staf di toko kuenya dengan menggigit kukunya panik.
"Saya juga tidak tahu, Kak. Coba saya masuk kedalam dulu, siapa tahu ada yang bisa kita tanyai. Kak di sini saja, jangan kemana-mana." ucap Concierge langsung meninggalkan Uuna disana dengan pegawainya.
Uuna menunggu cukup lama di koridor itu hingga akhirnya ia mendengar ada seseorang yang membuka pintu tak jauh dari ia berdiri.
"Masuklah, Kak. Semua sudah menunggu makanan ini." ucap Concierge langsung mendorong meja troli yang penuh dengan kotak kue kedalam disusul oleh Uuna dan pegawainya.
Uuna yang merasa memang dia sudah begitu telat, ia langsung masuk dan membagikan kotak kue pada para tamu undangan.
Sementara seseorang didalam sana begitu fokus mendengarkan salah satu perwakilan dari undangan yang sedang menjelaskan persentasenya sehingga tidak menyadari ada seorang wanita di ruangan itu sedang membagikan kotak kue.
Uuna meletakkan satu persatu kotak kue di hadapan para tamu undangan yang hadir disana yang hampir semuanya laki-laki. Uuna yang sudah sangat kelelahan sempat menghentikan aktivitasnya dan menghirup napas dalam-dalam sebelum ia memulai kembali pekerjaannya.
Namun, karena Uuna kurang hati-hati, tanganya menyenggol gelas dan menyiram berkas salah satu tamu undangan.
"Apa yang kamu lakukan!" pekik pria itu dengan suara yang sangat keras.
"Maaf Pak, saya lalai," ucap Uuna hanya menunduk.
Salah satu penjaga yang baru menyadari ada seorang wanita langsung bangun dan menghampiri Uuna.
"Apa yang kamu lakukan disini? Di mana pegawai yang berjaga di depan?" tanya pria berjas itu sangat panik.
"Saya tidak tahu Pak, tadi staf hotel yang menyuruh saya langsung masuk dan membagikan kotak kue ...," ucap Uuna dengan suara sangat lirih.
Seseorang yang begitu fokus pada presentasi merasa sangat terganggu dengan keributan yang berbeda di belakang tubuhnya.
Pria itu memalingkan wajahnya, detik berikutnya ia begitu tercengang atas apa yang dilihatnya.
Gadis itu yang bernama Uuna Mikhayla putri. Gadis yang dicarinya selama berbulan-bulan kini ada di hadapannya dengan perut yang sedikit membuncit.
'Uuna Mikhayla!'
"Lepaskan, Dia!" ucap pria itu dengan sorot mata tajam yang ia arahkan ke arah Uuna. Hanya ke Uuna.
"Tapi, Tuan di——"
"Bawa Dia ke ruanganku, dan suruh gadis satunya untuk menunggu di lobby," ucapnya dengan menatap lekat wajah Uuna yang terlihat pucat.
Darren begitu tidak berdaya, ia hanya dapat melihat semuanya dari jauh. Seharusnya ia ada sana, memeluk wanita itu dan membuatnya tentang, bukan malah disini dan hanya melihat semua kesakitannya."Cepat suruh dokter itu berhenti! Apa dia tuli!""Tenanglah, Tuan! Jika lukanya tidak ditutup itu akan infeksi!" tangkas Dokter Faisal. Ia semakin kuat menahan bahu Darren.Dokter itu dan dua pengawal lainnya sedang menahan bahu dan tubuh Darren agar tidak mendekati Uuna dan menghentikan pengobatannya. Mereka sampai kewalahan dibuatnya."Tapi Uuna kesakitan! Ayolah, meminta dokter itu menyingkir!" pinta Darren semakin frustasi. Darren hampir hilang kendali hingga mambuat pengawal dan dokter itu kewalahan.Darren ingin mendekat, tapi tidak bisa. Darren pasti akan muntah jika mendekati dokter wanita itu dan pastinya akan terlihat tidak cool di mata Uuna. Jelas Darren tidak mau itu. Ia ingin membuat Uuna terkesan dengan penampilan dan sikapnya yang gentle."Tidak bisa, itu sedikit lagi, Tuan. Co
"Kamu bisa teriak kalau mau, jangan ditahan!" Ujar pria itu berusaha kembali menenangkan Uuna. Dia tahu ini terasa sangat pedih."Ta-tapi itu perih! Biar aku sendiri!" Uuna menarik paksa kapas ditangan Darren. Tapi, pria itu menolaknya dengan tegas."No, sedikit lagi, oke!" desak Darren, dan Uuna pun mau tidak mau mengangguk.Tangan Darren, kembali terangkat dan mengarah ke arah pelipisnya dengan wajahnya yang semakin dekat dengan Uuna. Pria itu memonyongkan bibirnya, meniup dengan sangat hati-hati. Perlakuan lembut pria itu membuat pertahanan Uuna runtuh, bahkan pria ini tidak sekalipun membentak atau membalas serangan tangannya. 'Kenapa dia seperti ini? Sebenarnya apa maunya?' Uuna terus meringis menahan rasa perih yang seperti membakar kulitnya. Entah apa yang dioleskan oleh pria ini. Uuna ingin menangis, tapi apa alasannya? Pria ini sudah berjanji akan menjaga keluarganya, bukan? Tidak mungkin Uuna menangis hanya karena rasa perih. Dia tidak selemah itu!Darren semakin kuat meni
Dengan tangan dan kaki yang penuh berlumuran darah, Aisyah berlari kencang mengejar mobil Daren yang sudah jauh membawa tubuh Uuna pergi. Wanita itu terus berlari mengerahkan seluruh tenaganya, memanggil nama keponakannya berulang kali."Uuna, tunggu Bibi, Uuna! Uuna…!" Wanita itu terus berlari kencang mengabaikan suara klakson yang terus memekakkan telinga agar ia minggir dan menjauh dari tengah jalanan.Akan tetapi, Aisyah tidak peduli, wanita itu terus berlari dan berlari meninggalkan jejak kakinya yang penuh dengan darah."Uuna!" Kakinya terseok-seok hingga tidak mampu lagi menopang tubuhnya, ia terkulai dan tersungkur dengan wajah yang menyentuh aspal. "Uuna!"Luna yang baru saja bebas dari cengkraman kedua algojo Darren Hayes langsung mengendarai motor matic milik salah satu pegawainya. Motor itu melaju sekencang mengejar mobil berlogo kuda loncat yang membawa tubuh Uuna. Ia ingin berhenti untuk menyematkan Aisyah, akan tetapi saa
Suara bariton itu membuat semua orang menoleh ke arah sumber suara dengan tatapan penuh tanya. Siapa pangeran yang datang dengan kuda besi berwarna merah itu? Apa benar dia adalah ayah dari bayi yang dikandung oleh wanita ini? Bagaimana wanita ini mengabaikan pria setampan itu dan lebih memilih bekerja keras dan membanting adonan roti setiap hari?! Dan ada banyak lagi pertanyaan di benak penonton dan pengunjung yang datang. Tapi sayangnya, mereka semua hanya bungkam dengan mulut ternganga. Tidak ada satupun dari mereka berani menyuarakan isi pikiran mereka. Entah mengapa, pria itu langsung mendominasi keadaan. Pria itu memiliki aura penguasa yang tidak bisa diabaikan. Semua orang yang sedang bergelut dengan Luna pun tiba-tiba menghentikan serangan mereka. Luna tengah-tengah dengan tangan menjambak rambut keriting dan mencakar wajah wanita bergaun kuning, berusaha mengendalikan amarahnya. Jelas pria di hadapannya ini tengah
Beberapa hari kemudian."Kamu tenang aja, Uuna. Mungkin pemilik Hotel itu hanya menggertak kamu atas kelalaian yang kita lakukan, sekarang kamu lebih baik fokus sama bayi kamu aja, deh!" pinta Luna sambil mengaduk jusnya.Luna begitu mengkhawatirkan sahabatnya, dia bahkan tidak bisa fokus mengurus tokonya sendiri. Setiap hari hanya memastikan keadaan sahabatnya ini baik-baik saja. Luna bahkan memilih untuk tinggal di apartemen bersama dengan Una dan Bi Ai.Uuna hanya menatap makanannya nanar. Dirinya tidak bisa berpikir jernih dalam tiga hari ini. Jika terjadi sesuatu pada toko sahabatnya, entah apa yang bisa dia lakukan."Terkadang buaya bersikap cukup tenang sebelum dia mencapai mangsanya," ungkap Uuna.Faktanya, tidak akan ada orang yang akan menyia-nyiakan kesempatan yang sangat bagus, apalagi jika menyangkut soal ganti rugi. Ini perusahaan besar yang memiliki banyak keterkaitan dengan perusahaan-perusahaan lainnya yang juga tidak ingin d
Tubuh Uuna terkulai lemas dalam dekapan Hanun. Kembali mengingat jumlah denda sebesar dua puluh milyar kembali membuat Uuna tidak sadarkan diri. Hampir seluruh pengunjung toko menoleh ke arah sumber keributan. Sebagian bahkan ada yang berlari ke arah dimana Uuna duduk dan ikut panik melihat pemilik toko yang sering mereka lihat tidak sadarkan diri. "Ada apa ini?" "Kenapa dia pingsan? "Bagaimana keadaannya?" "Kenapa?" Dan ada banyak lagi pertanyaan dari para pengunjung toko. Bi Ai langsung mengambil alih tubuh Uuna dan memeluknya erat. Wanita setengah baya dengan kacamata kotak itu terlihat sangat cemas dengan linangan air matanya. Jika terjadi sesuatu pada keponakannya, ia lebih baik memilih mati! Untuk apa hidup jika tidak memiliki tujuan yang berarti, itulah yang ada di dalam benak Bi Ai. "Uuna, sebenarnya ada apa? Kenapa sampai seperti ini?" tanya bi Ai sambil terus mengusap wajah Uuna. Luna berlari kencang k