Una menitipkan rumahnya kepada salah satu tetangga yang sudah begitu baik kepada dirinya dan almarhum ibunya. Uuna meminta agar rumah itu dikontrakan atau ditempati oleh tetangganya agar rumah mendiang orang tuanya bisa terawat dengan baik.
Sesampainya di kota, Una dan bibinya tiba di kost tempat Uuna selama ini tinggal. Pagi itu hari masih terlalu pagi bahkan matahari seolah enggan untuk memperlihatkan sinarnya. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 05:20. Sepertinya cuaca mendung yang menjadi penyebab utama matahari enggan untuk memancarkan sinar seterang mungkin.
Kamar kost Uuna tidak begitu luas, tapi cukup untuk ditinggali oleh dua orang jika digunakan hanya untuk tidur saja. Pagi itu setelah membersihkan dan membereskan barang-barangnya Una dan bibi terlelap begitu nyenyak karena kelelahan. Bahkan tubuh Uuna begitu lemah walaupun hanya digerakkan saja.
Bibi Ai yang terbangun lebih dulu merasa kasihan melihat wajah Uuna yang kelelahan bahkan terlihat pucat. Ia pun bergegas membersihkan diri dan memutuskan untuk keluar mencari makanan.
Sementara di sebuah rumah sakit besar seorang dokter SpOG tengah terbaring koma akibat kecelakaan yang dialaminya dua Minggu lalu.
Keluarga dokter Nadia memutuskan untuk membawa Nadia keluar negeri guna mendapatkan perawatan medis yang lebih canggih. Bukan berarti di rumah sakit itu fasilitasnya tidak lengkap, hanya saja keluarga Ibrahim Hayes menunggu kesembuhannya yang akan memberitahukan informasi mengenai siapa gadis yang tengah mengandung anak dari cucunya Ibrahim Hayes.
Nadia yang menutup rapat informasi mengenai identitas Uuna membuat semua orang kesulitan mencari tahu siapa wanita yang tengah mengandung anak dari Darren Hayes.
Pagi itu Nadia di terbangkan langsung mengunakan pesawat pribadi milik Ibrahim Hayes menuju negeri singa meninggalkan semua misteri yang ia bawa pergi dalam mimpi indahnya.
Di jam yang sama tepanya di apartemen milik Darren Hayes. Seorang pria tengah memandangi sebuah foto seorang gadis yang menabraknya di rumah sakit.
Lagi-lagi Darren harus menunggu informasi mengenai gadis itu. Sepuluh hari yang lalu anak buahnya hanya dapat memberikan beberapa foto yang diambil dari rekaman CCTV.
Darren yang kini sudah tahu nama dari gadis pelayan kantin yang sering ditugaskan untuk mengantarkan makanan pada staf di rumah sakit itu bernama Uuna Mikhayla putri, mahasiswa angkatan semester akhir dan hanya itu yang dia dapat.
Darren memang tahu alamat kost dan kampus dimana gadis itu tinggal. Tapi berkali-kali orang suruhannya mengecek kesana selalu saja pulang dengan tangan kosong. Gadis yang kini diketahui namanya oleh Darren seperti hilang ditelan bumi. Gadis itu seperti tidak ada di manapun.
"Kenapa hanya dengan memandang wajahmu membuat hati dan pikiranku menjadi tenang ... siapa kamu sebetulnya?" Darren terus memandangi foto itu, bahkan sesekali ia mendaratkan bibirnya disana dengan senyum indahnya.
**
Pagi itu tempat kost di mana Uuna tinggal diketuk dengan begitu keras. Uuna yang tengah tertidur sampai terlonjak kaget. Dengan menguap lebar ia pun bangun dari mimpi indahnya. Uuna mengedarkan pandangannya kesana kemiri mencari sosok bibinya yang ternyata tidak ada dikamar.
Uuna kembali mendengar gedoran di pintu. Ia pun memutuskan untuk membukakan pintu. Tanpa melihat siapa yang datang, Uuna langsung membuka pintu kamarnya lebar-lebar. Mata Uuna begitu berbinar ketika tahu yang datang adalah sahabatnya Luna.
"Ya ampun, kebangetan banget! Kamu tidur atau pingsan, sihh Uuna?" hardik Luna ketika melihat wajah sahabatnya yang masih membentuk lekukan garis bantal di wajahnya hanya terbengong di depan pintu.
"Aku ngantuk, Lun. Kamarku sangat kotor." keluh Uuna membalikkan tubuhnya dan masuk kembali kedalam kamar.
Uuna mendudukkan tubuhnya di lantai dekat dengan kasur yang dia tiduri.
Luna mengikuti sahabatnya dari belakang dan mendudukkan tubuhnya tak jauh dari Uuna duduk. "Sorry, habisnya aku dari tadi ketuk pintu kamar kamu tapi tidak ada sahutan dari dalam. Aku pikir kamu kenapa-kenapa," Luna memasang wajah sendunya dan meletakkan banyak kantong makanan.
"Na, aku turut berduka cita ya ... aku yakin kamu bisa melewati semua itu." ucap Luna yang kini merengkuh tubuh Uuna. "Kamu pasti lapar, belum makan, kan?" tanya Luna sudah mulai membuka makanan yang ia bawa.
Uuna yang tidak menyadari pergerakan sahabatnya membuka bungkusan makanan mau tidak mau aroma bawang yang menyengat dan bau nasi kembali ia hirup dan memenuhi rongga paru-parunya.
Rasa mual kembali dirasakan oleh Uuna, ia pun langsung bergegas ke dalam kamar mandi dan memuntahkan apapun yang ada di perutnya.
Huek! Huek! Huek! Uuna memuntahkan cairan yang berbau menyengat.
Luna yang merasa heran dengan Uuna yang muntah-muntah bahkan terdengar sangat mengerikan di telinganya. Luna pun langsung bangun dan menghampiri sahabatnya, ia membantu Uuna dengan memijat tengkuk agar sahabatnya bisa mengeluarkan apapun yang membuatnya merasa tidak nyaman.
Mendapatkan pijatan di tengkuknya Uuna kembali mengeluarkan isi perutnya. Huek! Huek! Huek!
"Kamu masuk angin ya, Na? Kenapa bisa parah kayagini, sih?" tanya Luna cemas.
Setelah Uuna mengeluarkan semua cairan yang ada di dalam perutnya, ia pun membasuh wajah dan membersihkan mulutnya.
Uuna menatap wajah Luna lekat, ada sedikit keraguan disana. Namun, detik berikutnya Uuna berfikir jika bukan sahabatnya siapa lagi yang akan membantunya kelak.
"Aku hamil, Lun. Usia kehamilanku memasuki delapan Minggu ...." ucap Uuna lirih dengan memandang lekat wajah sahabatnya, mencari tahu reaksi apa yang akan diberikan oleh Luna.
Air mata jatuh begitu saja dan membasahi pipi Luna. "Siap pria brengsek itu, Uuna." Luna merengkuh tubuh Uuna dan terisak dalam dekapan sahabatnya.
Uuna terbawa suasana sahabatnya, ia pun akhirnya ikut menangis meratapi penderitaannya. Tangisan mereka pecah didalam kamar mandi yang kecil itu.
"Siapa pria itu Uuna, bilang sama aku. Hiks … kamu gak ngelakuin ini dengan sengaja, kan?" tanya Luna dengan tersedu-sedu.
"Hikss … nggak Lun, nggak … aku memang sengaja menghamili diriku, hikss … aku pikir aku gak hamil. Soalnya waktu itu hasil tesnya negatif … hikss aku buru-buru pulang Lun … karena ibu udah sakit parah … aku gak tau kalau aku ternyata hamil," jelas Uuna di sela Isak tangisnya.
"Apa sihh maksud kamu?!" Luna masih belum paham dengan apa maksud dari ucapan sahabatnya.
Bibi yang baru datang dari supermarket terdekat yang ia temui merasa heran mendengar tangisan yang begitu memilukan. Bi Ai melihat banyak bingkisan di lantai, ia pun menyadari penyebab Uuna berada didalam kamar mandi dengan sahabatnya dan meningis di sana.
Dengan cepat bibi merapikan makanan dan menutupnya rapat-rapat, mengamankan makan itu agar tidak terhirup oleh Uuna.
"Keluarlah Uuna, dan berhenti menangis, itu tidak baik untuk kandunganmu!" ucap Bi Ai tak jauh dari pintu kamar mandi.
Darren begitu tidak berdaya, ia hanya dapat melihat semuanya dari jauh. Seharusnya ia ada sana, memeluk wanita itu dan membuatnya tentang, bukan malah disini dan hanya melihat semua kesakitannya."Cepat suruh dokter itu berhenti! Apa dia tuli!""Tenanglah, Tuan! Jika lukanya tidak ditutup itu akan infeksi!" tangkas Dokter Faisal. Ia semakin kuat menahan bahu Darren.Dokter itu dan dua pengawal lainnya sedang menahan bahu dan tubuh Darren agar tidak mendekati Uuna dan menghentikan pengobatannya. Mereka sampai kewalahan dibuatnya."Tapi Uuna kesakitan! Ayolah, meminta dokter itu menyingkir!" pinta Darren semakin frustasi. Darren hampir hilang kendali hingga mambuat pengawal dan dokter itu kewalahan.Darren ingin mendekat, tapi tidak bisa. Darren pasti akan muntah jika mendekati dokter wanita itu dan pastinya akan terlihat tidak cool di mata Uuna. Jelas Darren tidak mau itu. Ia ingin membuat Uuna terkesan dengan penampilan dan sikapnya yang gentle."Tidak bisa, itu sedikit lagi, Tuan. Co
"Kamu bisa teriak kalau mau, jangan ditahan!" Ujar pria itu berusaha kembali menenangkan Uuna. Dia tahu ini terasa sangat pedih."Ta-tapi itu perih! Biar aku sendiri!" Uuna menarik paksa kapas ditangan Darren. Tapi, pria itu menolaknya dengan tegas."No, sedikit lagi, oke!" desak Darren, dan Uuna pun mau tidak mau mengangguk.Tangan Darren, kembali terangkat dan mengarah ke arah pelipisnya dengan wajahnya yang semakin dekat dengan Uuna. Pria itu memonyongkan bibirnya, meniup dengan sangat hati-hati. Perlakuan lembut pria itu membuat pertahanan Uuna runtuh, bahkan pria ini tidak sekalipun membentak atau membalas serangan tangannya. 'Kenapa dia seperti ini? Sebenarnya apa maunya?' Uuna terus meringis menahan rasa perih yang seperti membakar kulitnya. Entah apa yang dioleskan oleh pria ini. Uuna ingin menangis, tapi apa alasannya? Pria ini sudah berjanji akan menjaga keluarganya, bukan? Tidak mungkin Uuna menangis hanya karena rasa perih. Dia tidak selemah itu!Darren semakin kuat meni
Dengan tangan dan kaki yang penuh berlumuran darah, Aisyah berlari kencang mengejar mobil Daren yang sudah jauh membawa tubuh Uuna pergi. Wanita itu terus berlari mengerahkan seluruh tenaganya, memanggil nama keponakannya berulang kali."Uuna, tunggu Bibi, Uuna! Uuna…!" Wanita itu terus berlari kencang mengabaikan suara klakson yang terus memekakkan telinga agar ia minggir dan menjauh dari tengah jalanan.Akan tetapi, Aisyah tidak peduli, wanita itu terus berlari dan berlari meninggalkan jejak kakinya yang penuh dengan darah."Uuna!" Kakinya terseok-seok hingga tidak mampu lagi menopang tubuhnya, ia terkulai dan tersungkur dengan wajah yang menyentuh aspal. "Uuna!"Luna yang baru saja bebas dari cengkraman kedua algojo Darren Hayes langsung mengendarai motor matic milik salah satu pegawainya. Motor itu melaju sekencang mengejar mobil berlogo kuda loncat yang membawa tubuh Uuna. Ia ingin berhenti untuk menyematkan Aisyah, akan tetapi saa
Suara bariton itu membuat semua orang menoleh ke arah sumber suara dengan tatapan penuh tanya. Siapa pangeran yang datang dengan kuda besi berwarna merah itu? Apa benar dia adalah ayah dari bayi yang dikandung oleh wanita ini? Bagaimana wanita ini mengabaikan pria setampan itu dan lebih memilih bekerja keras dan membanting adonan roti setiap hari?! Dan ada banyak lagi pertanyaan di benak penonton dan pengunjung yang datang. Tapi sayangnya, mereka semua hanya bungkam dengan mulut ternganga. Tidak ada satupun dari mereka berani menyuarakan isi pikiran mereka. Entah mengapa, pria itu langsung mendominasi keadaan. Pria itu memiliki aura penguasa yang tidak bisa diabaikan. Semua orang yang sedang bergelut dengan Luna pun tiba-tiba menghentikan serangan mereka. Luna tengah-tengah dengan tangan menjambak rambut keriting dan mencakar wajah wanita bergaun kuning, berusaha mengendalikan amarahnya. Jelas pria di hadapannya ini tengah
Beberapa hari kemudian."Kamu tenang aja, Uuna. Mungkin pemilik Hotel itu hanya menggertak kamu atas kelalaian yang kita lakukan, sekarang kamu lebih baik fokus sama bayi kamu aja, deh!" pinta Luna sambil mengaduk jusnya.Luna begitu mengkhawatirkan sahabatnya, dia bahkan tidak bisa fokus mengurus tokonya sendiri. Setiap hari hanya memastikan keadaan sahabatnya ini baik-baik saja. Luna bahkan memilih untuk tinggal di apartemen bersama dengan Una dan Bi Ai.Uuna hanya menatap makanannya nanar. Dirinya tidak bisa berpikir jernih dalam tiga hari ini. Jika terjadi sesuatu pada toko sahabatnya, entah apa yang bisa dia lakukan."Terkadang buaya bersikap cukup tenang sebelum dia mencapai mangsanya," ungkap Uuna.Faktanya, tidak akan ada orang yang akan menyia-nyiakan kesempatan yang sangat bagus, apalagi jika menyangkut soal ganti rugi. Ini perusahaan besar yang memiliki banyak keterkaitan dengan perusahaan-perusahaan lainnya yang juga tidak ingin d
Tubuh Uuna terkulai lemas dalam dekapan Hanun. Kembali mengingat jumlah denda sebesar dua puluh milyar kembali membuat Uuna tidak sadarkan diri. Hampir seluruh pengunjung toko menoleh ke arah sumber keributan. Sebagian bahkan ada yang berlari ke arah dimana Uuna duduk dan ikut panik melihat pemilik toko yang sering mereka lihat tidak sadarkan diri. "Ada apa ini?" "Kenapa dia pingsan? "Bagaimana keadaannya?" "Kenapa?" Dan ada banyak lagi pertanyaan dari para pengunjung toko. Bi Ai langsung mengambil alih tubuh Uuna dan memeluknya erat. Wanita setengah baya dengan kacamata kotak itu terlihat sangat cemas dengan linangan air matanya. Jika terjadi sesuatu pada keponakannya, ia lebih baik memilih mati! Untuk apa hidup jika tidak memiliki tujuan yang berarti, itulah yang ada di dalam benak Bi Ai. "Uuna, sebenarnya ada apa? Kenapa sampai seperti ini?" tanya bi Ai sambil terus mengusap wajah Uuna. Luna berlari kencang k