Home / Pendekar / Janji Setia / Sang Kapten 2

Share

Sang Kapten 2

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2023-05-02 20:05:48

Tidak hanya mata-mata. Beberapa pengacau juga sudah dikirim untuk mengacaukan Syam dari dalam. Anak-anak di bawah umur menjadi sasaran. Mereka akan disiksa, dan dilakukan sebuah ritual lalu dikembalikan pada orang tua mereka dalam keadaan tergantung. Xia He tertawa membayangkan anak-anak muslim itu menangis sebelum disiksa.

“Apa? Kalau kau main-main, aku tembak kepalamu dengan rudal dari sini.” Kapten itu mengangkat panggilan pada dering kelima. Ia mendengar keterangan dari mata-matanya yang tinggal di antara kokoh dan kelamnya bebukitan di Syam.

“Siapa? Humaira dan Fahmi?” ulang Xia He. “Oh, jadi mereka suami istri dan polisi yang bertanggung jawab dengan kasus penculikan anak. Fahmi itu tampan tidak?” tanya kapten bertangan dingin tersebut.

Lalu supir menyodorkan ponsel miliknya. Foto Fahmi dan Maira terpampang nyata. Maira menggunakan cadar hingga hanya mata yang terlihat. Tidak dengan Fahmi yang terekspose wajahnya.

“Aku suka lelaki ini. Gagah sekali, dan tampan. Apa mereka sudah punya anak?” tanya Xia He lagi. Dia mendengarkan dengan baik.

“Baiklah kalau begitu. Aku ingin bertemu dengan ayahnya. Suatu hari nanti, tak lama lagi aku akan mendatangi Syam. Bawa Fahmi ke tempat rahasia kita. Siapa tahu dia bisa diajak bermain basah-basahan denganku, ha ha ha.” Gelak tawa menjijikkan dari bibir merah terang Xia He.

“Kalau tidak mau dengan cara baik-baik. Culik saja dia. Bunuh anak istrinya kalau kau mampu. Kalau menimbulkan kecurigaan tunda dulu. Setelah mendapatkan Fahmi akan aku urus Maira sendiri. Kau paham sampai di sini?” ujar Xia He pada mata-mata kirimannya.

Kemudian panggilan ditutup oleh sang kapten. Tak sabar sebenarnya Xia He ingin bergegas ke Syam. Ia ingin melihat dengan mata kepala sendiri. Konon, katanya dari berita yang ia dengar, tentara dan polisi di sana sangat terlatih.

“Aku penasaran lebih hebat aku atau kalian?” Xia He gigit jari melihat foto Fahmi di ponsel supirnya.

“Nona Muda, ini foto terbaru penjaga perbatasan yang memiliki prosedur cukup ketat dalam mengawasi setiap pendatang.” Supir sekaligus bawahan Xia He memberikan tabletnya pada sang kapten.

“Dalam mengawasi setiap pendatang? Buktinya mata-mataku berhasil membuat kekacauan. Artinya kehebatan mereka tak lebih hanya isapan jempol semata. Siapa dia?” Xia He melihat foto penanggung jawab penjaga perbatasan.

“Dari informasi mata-mata, namanya Dayyan. Dia masih adik kandung polisi wanita bernama Maira, Nona. Dia tidak pernah pandang bulu dalam menghukum. Baik laki-laki atau perempuan jika bersalah akan dijatuhi hukuman mati.”

“Oh, begitu, cukup tampan dan kekar juga. Aku jadi penasaran, kalau kita duel satu lawan satu siapa yang akan menang, Dayyan. Tapi di atas ranjang, ha ha ha. Nama yang indah sesuai dengan orangnya.” Xia He mengembalikan tablet itu.

“Dia punya seorang istri dari keterangan mata-mata kita, istri Dayyan mengidap penyakit kanker rahim stadium dua dan sedang dalam pengobatan.”

“Wanita malang, ck!” Xia He memejamkan mata. Berpura-pura empati.

“Juga dua orang anak. Yang paling besar laki-laki, hampir berusia delapan tahun, dan satunya perempuan berusia tiga tahun. Setelah itu istrinya tidak bisa hamil lagi, Nona.”

“Ha ha ha, bagaimana kalau aku saja yang menggantikan posisi istri Dayyan? Oh, iya, tentunya setelah aku menyelesaikan urusan dengan Fahmi. Benar kata orang, lelaki muslim ini good looking juga. Mereka sangat tampan daripada kau!” Xia He memukul kepala bawahannya sangat kuat. Alasan ia belum menikah karena bosan melihat etnis lelaki di negaranya yang itu-itu saja.

“Nona muda. Tadi baru saja ada panggilan dari penjara pemberontak. Mereka menangkap sepasang suami istri yang diam-diam berlatih dan mengumpulkan senjata mereka di rumah.”

“Lalu kau tunggu apa lagi, sialan. Cepat pergi ke sana. Aku butuh mainan baru.” Xia He membuang puntung rokoknya di jalanan yang mengarah pada jembatan. Mobil itu melaju membelah kota yang selalu sibuk dan tak pernah mati dari beraktifitas.

Xia He membuka gaun merah seksinya di dalam mobil dan lekas berganti baju seragam tentara. Ia tak malu sama sekali dengan lawan jenis. Siapa yang berani dengannya? Sudah jelas dia selalu berani menantang duel siapa pun yang bermulut tajam. Beberapa di antaranya mati setelah lehernya diputar sampai menderita patah tulang.

“Tikus-tikus pemberontak itu tidak akan pernah leluasa mengacaukan negaraku yang adi daya dan super power. Balrus saja sampai mengemis bantuan kita. Kecoak seperti kalian akan aku injak sampai gepeng dan mati.” Sang kapten yang bengis menyanggul rambutnya.

Sang kapten aplikasikan lipstick merah terang dan rapikan dandanan agar tetap terlihat cantik dan menawan. Fisik yang sangat sempurna, tetapi tidak dengan hati. Wanita bengis itu tidak punya rasa kasihan dalam dirinya. Apalagi yang namanya perasaan. Bagi Xia He hal demikian hanya buang-buang waktu saja.

Satu setengah jam kemudian mobil itu sampai di dekat pulau yang terpencil. Dengan menggunakan kapal pengangkut barang dua orang tentara itu sampai di sebuah pulau yang dibangun sebuah penjara dan tempat siksaan khsusus untuk kaum muslimin di sana yang kedapatan memberontak.

Ada beberapa kuburan tanpa nisan. Para korban itu mati atas perintah Xia He, kebanyakan lelaki. Yang perempuan akan dikirim ke rumah kakak lelakinya. Kakak lelaki Xia He dikenal memiliki kelainan dalam hubungan seksual. Dan entah bagaimana nasib para perempuan yang dikirim. Kapten itu tak pernah mau tahu.

Dan kini ia duduk di kursi agungnya. Menanti dua tawanan datang menghadap. Sepasang suami istri, Fu Kai dan Wei Nuwa.

Bersambung …

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janji Setia    Suka dan Duka

    Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i

  • Janji Setia    Penculikan

    “Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T

  • Janji Setia    Perkara Street Food

    “Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai

  • Janji Setia    Percobaan

    “Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia

  • Janji Setia    Tahu Bulat

    Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni

  • Janji Setia    Dompet dan Celana

    Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a

  • Janji Setia    Temperamental

    Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan

  • Janji Setia    Lempar Bunga

    “Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius

  • Janji Setia    Jimat Vampir

    Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status