Share

Sang Kapten 2

Tidak hanya mata-mata. Beberapa pengacau juga sudah dikirim untuk mengacaukan Syam dari dalam. Anak-anak di bawah umur menjadi sasaran. Mereka akan disiksa, dan dilakukan sebuah ritual lalu dikembalikan pada orang tua mereka dalam keadaan tergantung. Xia He tertawa membayangkan anak-anak muslim itu menangis sebelum disiksa.

“Apa? Kalau kau main-main, aku tembak kepalamu dengan rudal dari sini.” Kapten itu mengangkat panggilan pada dering kelima. Ia mendengar keterangan dari mata-matanya yang tinggal di antara kokoh dan kelamnya bebukitan di Syam.

“Siapa? Humaira dan Fahmi?” ulang Xia He. “Oh, jadi mereka suami istri dan polisi yang bertanggung jawab dengan kasus penculikan anak. Fahmi itu tampan tidak?” tanya kapten bertangan dingin tersebut.

Lalu supir menyodorkan ponsel miliknya. Foto Fahmi dan Maira terpampang nyata. Maira menggunakan cadar hingga hanya mata yang terlihat. Tidak dengan Fahmi yang terekspose wajahnya.

“Aku suka lelaki ini. Gagah sekali, dan tampan. Apa mereka sudah punya anak?” tanya Xia He lagi. Dia mendengarkan dengan baik.

“Baiklah kalau begitu. Aku ingin bertemu dengan ayahnya. Suatu hari nanti, tak lama lagi aku akan mendatangi Syam. Bawa Fahmi ke tempat rahasia kita. Siapa tahu dia bisa diajak bermain basah-basahan denganku, ha ha ha.” Gelak tawa menjijikkan dari bibir merah terang Xia He.

“Kalau tidak mau dengan cara baik-baik. Culik saja dia. Bunuh anak istrinya kalau kau mampu. Kalau menimbulkan kecurigaan tunda dulu. Setelah mendapatkan Fahmi akan aku urus Maira sendiri. Kau paham sampai di sini?” ujar Xia He pada mata-mata kirimannya.

Kemudian panggilan ditutup oleh sang kapten. Tak sabar sebenarnya Xia He ingin bergegas ke Syam. Ia ingin melihat dengan mata kepala sendiri. Konon, katanya dari berita yang ia dengar, tentara dan polisi di sana sangat terlatih.

“Aku penasaran lebih hebat aku atau kalian?” Xia He gigit jari melihat foto Fahmi di ponsel supirnya.

“Nona Muda, ini foto terbaru penjaga perbatasan yang memiliki prosedur cukup ketat dalam mengawasi setiap pendatang.” Supir sekaligus bawahan Xia He memberikan tabletnya pada sang kapten.

“Dalam mengawasi setiap pendatang? Buktinya mata-mataku berhasil membuat kekacauan. Artinya kehebatan mereka tak lebih hanya isapan jempol semata. Siapa dia?” Xia He melihat foto penanggung jawab penjaga perbatasan.

“Dari informasi mata-mata, namanya Dayyan. Dia masih adik kandung polisi wanita bernama Maira, Nona. Dia tidak pernah pandang bulu dalam menghukum. Baik laki-laki atau perempuan jika bersalah akan dijatuhi hukuman mati.”

“Oh, begitu, cukup tampan dan kekar juga. Aku jadi penasaran, kalau kita duel satu lawan satu siapa yang akan menang, Dayyan. Tapi di atas ranjang, ha ha ha. Nama yang indah sesuai dengan orangnya.” Xia He mengembalikan tablet itu.

“Dia punya seorang istri dari keterangan mata-mata kita, istri Dayyan mengidap penyakit kanker rahim stadium dua dan sedang dalam pengobatan.”

“Wanita malang, ck!” Xia He memejamkan mata. Berpura-pura empati.

“Juga dua orang anak. Yang paling besar laki-laki, hampir berusia delapan tahun, dan satunya perempuan berusia tiga tahun. Setelah itu istrinya tidak bisa hamil lagi, Nona.”

“Ha ha ha, bagaimana kalau aku saja yang menggantikan posisi istri Dayyan? Oh, iya, tentunya setelah aku menyelesaikan urusan dengan Fahmi. Benar kata orang, lelaki muslim ini good looking juga. Mereka sangat tampan daripada kau!” Xia He memukul kepala bawahannya sangat kuat. Alasan ia belum menikah karena bosan melihat etnis lelaki di negaranya yang itu-itu saja.

“Nona muda. Tadi baru saja ada panggilan dari penjara pemberontak. Mereka menangkap sepasang suami istri yang diam-diam berlatih dan mengumpulkan senjata mereka di rumah.”

“Lalu kau tunggu apa lagi, sialan. Cepat pergi ke sana. Aku butuh mainan baru.” Xia He membuang puntung rokoknya di jalanan yang mengarah pada jembatan. Mobil itu melaju membelah kota yang selalu sibuk dan tak pernah mati dari beraktifitas.

Xia He membuka gaun merah seksinya di dalam mobil dan lekas berganti baju seragam tentara. Ia tak malu sama sekali dengan lawan jenis. Siapa yang berani dengannya? Sudah jelas dia selalu berani menantang duel siapa pun yang bermulut tajam. Beberapa di antaranya mati setelah lehernya diputar sampai menderita patah tulang.

“Tikus-tikus pemberontak itu tidak akan pernah leluasa mengacaukan negaraku yang adi daya dan super power. Balrus saja sampai mengemis bantuan kita. Kecoak seperti kalian akan aku injak sampai gepeng dan mati.” Sang kapten yang bengis menyanggul rambutnya.

Sang kapten aplikasikan lipstick merah terang dan rapikan dandanan agar tetap terlihat cantik dan menawan. Fisik yang sangat sempurna, tetapi tidak dengan hati. Wanita bengis itu tidak punya rasa kasihan dalam dirinya. Apalagi yang namanya perasaan. Bagi Xia He hal demikian hanya buang-buang waktu saja.

Satu setengah jam kemudian mobil itu sampai di dekat pulau yang terpencil. Dengan menggunakan kapal pengangkut barang dua orang tentara itu sampai di sebuah pulau yang dibangun sebuah penjara dan tempat siksaan khsusus untuk kaum muslimin di sana yang kedapatan memberontak.

Ada beberapa kuburan tanpa nisan. Para korban itu mati atas perintah Xia He, kebanyakan lelaki. Yang perempuan akan dikirim ke rumah kakak lelakinya. Kakak lelaki Xia He dikenal memiliki kelainan dalam hubungan seksual. Dan entah bagaimana nasib para perempuan yang dikirim. Kapten itu tak pernah mau tahu.

Dan kini ia duduk di kursi agungnya. Menanti dua tawanan datang menghadap. Sepasang suami istri, Fu Kai dan Wei Nuwa.

Bersambung …

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status