Tidak hanya mata-mata. Beberapa pengacau juga sudah dikirim untuk mengacaukan Syam dari dalam. Anak-anak di bawah umur menjadi sasaran. Mereka akan disiksa, dan dilakukan sebuah ritual lalu dikembalikan pada orang tua mereka dalam keadaan tergantung. Xia He tertawa membayangkan anak-anak muslim itu menangis sebelum disiksa.
“Apa? Kalau kau main-main, aku tembak kepalamu dengan rudal dari sini.” Kapten itu mengangkat panggilan pada dering kelima. Ia mendengar keterangan dari mata-matanya yang tinggal di antara kokoh dan kelamnya bebukitan di Syam.“Siapa? Humaira dan Fahmi?” ulang Xia He. “Oh, jadi mereka suami istri dan polisi yang bertanggung jawab dengan kasus penculikan anak. Fahmi itu tampan tidak?” tanya kapten bertangan dingin tersebut.Lalu supir menyodorkan ponsel miliknya. Foto Fahmi dan Maira terpampang nyata. Maira menggunakan cadar hingga hanya mata yang terlihat. Tidak dengan Fahmi yang terekspose wajahnya.“Aku suka lelaki ini. Gagah sekali, dan tampan. Apa mereka sudah punya anak?” tanya Xia He lagi. Dia mendengarkan dengan baik.“Baiklah kalau begitu. Aku ingin bertemu dengan ayahnya. Suatu hari nanti, tak lama lagi aku akan mendatangi Syam. Bawa Fahmi ke tempat rahasia kita. Siapa tahu dia bisa diajak bermain basah-basahan denganku, ha ha ha.” Gelak tawa menjijikkan dari bibir merah terang Xia He.“Kalau tidak mau dengan cara baik-baik. Culik saja dia. Bunuh anak istrinya kalau kau mampu. Kalau menimbulkan kecurigaan tunda dulu. Setelah mendapatkan Fahmi akan aku urus Maira sendiri. Kau paham sampai di sini?” ujar Xia He pada mata-mata kirimannya.Kemudian panggilan ditutup oleh sang kapten. Tak sabar sebenarnya Xia He ingin bergegas ke Syam. Ia ingin melihat dengan mata kepala sendiri. Konon, katanya dari berita yang ia dengar, tentara dan polisi di sana sangat terlatih.“Aku penasaran lebih hebat aku atau kalian?” Xia He gigit jari melihat foto Fahmi di ponsel supirnya.“Nona Muda, ini foto terbaru penjaga perbatasan yang memiliki prosedur cukup ketat dalam mengawasi setiap pendatang.” Supir sekaligus bawahan Xia He memberikan tabletnya pada sang kapten.“Dalam mengawasi setiap pendatang? Buktinya mata-mataku berhasil membuat kekacauan. Artinya kehebatan mereka tak lebih hanya isapan jempol semata. Siapa dia?” Xia He melihat foto penanggung jawab penjaga perbatasan.“Dari informasi mata-mata, namanya Dayyan. Dia masih adik kandung polisi wanita bernama Maira, Nona. Dia tidak pernah pandang bulu dalam menghukum. Baik laki-laki atau perempuan jika bersalah akan dijatuhi hukuman mati.”“Oh, begitu, cukup tampan dan kekar juga. Aku jadi penasaran, kalau kita duel satu lawan satu siapa yang akan menang, Dayyan. Tapi di atas ranjang, ha ha ha. Nama yang indah sesuai dengan orangnya.” Xia He mengembalikan tablet itu.“Dia punya seorang istri dari keterangan mata-mata kita, istri Dayyan mengidap penyakit kanker rahim stadium dua dan sedang dalam pengobatan.”“Wanita malang, ck!” Xia He memejamkan mata. Berpura-pura empati.“Juga dua orang anak. Yang paling besar laki-laki, hampir berusia delapan tahun, dan satunya perempuan berusia tiga tahun. Setelah itu istrinya tidak bisa hamil lagi, Nona.”“Ha ha ha, bagaimana kalau aku saja yang menggantikan posisi istri Dayyan? Oh, iya, tentunya setelah aku menyelesaikan urusan dengan Fahmi. Benar kata orang, lelaki muslim ini good looking juga. Mereka sangat tampan daripada kau!” Xia He memukul kepala bawahannya sangat kuat. Alasan ia belum menikah karena bosan melihat etnis lelaki di negaranya yang itu-itu saja.“Nona muda. Tadi baru saja ada panggilan dari penjara pemberontak. Mereka menangkap sepasang suami istri yang diam-diam berlatih dan mengumpulkan senjata mereka di rumah.”“Lalu kau tunggu apa lagi, sialan. Cepat pergi ke sana. Aku butuh mainan baru.” Xia He membuang puntung rokoknya di jalanan yang mengarah pada jembatan. Mobil itu melaju membelah kota yang selalu sibuk dan tak pernah mati dari beraktifitas.Xia He membuka gaun merah seksinya di dalam mobil dan lekas berganti baju seragam tentara. Ia tak malu sama sekali dengan lawan jenis. Siapa yang berani dengannya? Sudah jelas dia selalu berani menantang duel siapa pun yang bermulut tajam. Beberapa di antaranya mati setelah lehernya diputar sampai menderita patah tulang.“Tikus-tikus pemberontak itu tidak akan pernah leluasa mengacaukan negaraku yang adi daya dan super power. Balrus saja sampai mengemis bantuan kita. Kecoak seperti kalian akan aku injak sampai gepeng dan mati.” Sang kapten yang bengis menyanggul rambutnya.Sang kapten aplikasikan lipstick merah terang dan rapikan dandanan agar tetap terlihat cantik dan menawan. Fisik yang sangat sempurna, tetapi tidak dengan hati. Wanita bengis itu tidak punya rasa kasihan dalam dirinya. Apalagi yang namanya perasaan. Bagi Xia He hal demikian hanya buang-buang waktu saja.Satu setengah jam kemudian mobil itu sampai di dekat pulau yang terpencil. Dengan menggunakan kapal pengangkut barang dua orang tentara itu sampai di sebuah pulau yang dibangun sebuah penjara dan tempat siksaan khsusus untuk kaum muslimin di sana yang kedapatan memberontak.Ada beberapa kuburan tanpa nisan. Para korban itu mati atas perintah Xia He, kebanyakan lelaki. Yang perempuan akan dikirim ke rumah kakak lelakinya. Kakak lelaki Xia He dikenal memiliki kelainan dalam hubungan seksual. Dan entah bagaimana nasib para perempuan yang dikirim. Kapten itu tak pernah mau tahu.Dan kini ia duduk di kursi agungnya. Menanti dua tawanan datang menghadap. Sepasang suami istri, Fu Kai dan Wei Nuwa.Bersambung …Wei Nuwa dan Fu Kai duduk bersebelahan di dinding penjara yang dingin. Mereka sedang menanti proses dari penjaga lebih lanjut. Entah apa, mereka berdua tidak ada yang tahu. Penjara itu memiliki banyak ruangan, tapi semuanya kosong. Lebih lagi suasana terasa seram. Seperti jeruji besi dengan banyak hantu di dalamnya. “Ini bukan penjara, tapi kuburan,” ujar Nuwa. Matanya seperti melihat ada jerami yang bergerak sendiri tanpa ada yang mengusik. Wanita dengan mata sekelam malam itu tidak takut dengan yang katanya hantu. Sebab hantu tidak lebih jahat dari manusia. “Konon, dulu waktu aku masih kecil. Tempat ini siksaannya luar biasa. Nuwa, kau bisa lihat sendiri bukan, ada bercak darah yang menempel di dinding. Mungkin itu berasal dari orang-orang yang kena siksaan.” “Aku melihatnya, dari tadi aku menghitung, dan sepertinya kita tidak berdua saja di sini, Kai.” Wanita Suku Mui itu menatap darah yang telah mengering di lantai penjara. “Mungkin mereka mati dengan tidak tenang. Tidak dikaf
“Oooh, jadi kisah cinta mereka berdua diawali dengan rasa kasihan hingga berujung pada kebersamaan di tempat kerja. Lalu mulai benih-benih cinta tumbuh. Cerita macam apa ini, dongeng sekali,” ujar Xia He. Nuwa dan Kai saling memandang satu sama lain. “Wei Nuwa. Wanita muslim Suku Mui, menikah sejak umur 15 tahun. Gatal sekali kau jadi perempuan. Buru-buru menikah untuk apa?” tanya Xia He pada tawanan di depanya. “Aku menikah di umur berapa, bukan urusanmu!” jawab Nuwa ketus. Sebuah cambuk hampir dilayangkan ke punggungnya. Namun, Xia He mencegahnya. “Jangan terlalu kasar, nanti juga mereka berdua akan mati. Lalu Fu Kai, tercatat sejak umur 10 tahun sudah menjadi orang hebat karena menguasai dasar-dasar wing chun. Oh, sok hebat sekali kau jadi orang. Di usia sangat muda sudah menggantikan gurunya mengajar, dan sudah dipanggil Guru Kai. Cuih!” Jijik Xia He membaca resume identitas Kai. Kecolongan pemerintah Xin Hua ada seseorang yang sangat kuat di antara segelintir Suku Mui. “Memin
Kai mengamuk ketika Nuwa disentuh tangannya oleh beberapa tentara lelaki. Guru wing chun itu menghajar orang yang berani mengganggu miliknya. Hingga tiga di antara mereka kembali meregang nyawa saking kuatnya hantaman lelaki berusia nyaris 30 tahun itu. Jika saja kepala Nuwa tidak ditodong pistol, Kai pasti sudah menghabisi sepuluh tentara bawahan Xia He atau mungkin bisa saja menaklukkan penjara tersebut. Namun, sekuat-kuatnya lelaki tetap saja ia lemah ketika wanita tercintanya mendapat ancaman. Walau istrinya sama sekali tidak meneteskan air mata. Kai tetap saja tidak tega. “Kai, aku tidak apa-apa. Lanjutkan saja bunuh mereka semua. Hidup pun kita akan terasa mati kalau sampai dipisahkan,” ucap Nuwa sambil menerima andai kematian datang padanya. Dari pada hidup berpencar-pencar dan ia dijadikan penghangat ranjang saja. Bagi wanita yang sudah lama yatim piatu, kehilangan suami tercinta maka benar-benar seperti ia tak punya sayap untuk terbang lagi. Bertemu dengan lelaki lain? We
“Kau, akan diampuni oleh nona muda kami, kalau kau mau berlutut menyembah kaki salah satu di antara kami.” Wakil Xia He bergerak menghadap wajah Kai yang memerah menahan amarah. “Cuih!” jawab Kai sambil meludah tepat di wajah lelaki itu. “Tambahkan lagi cambuknya sampai lima puluh kali.” Perintah keji itu terus saja dilontarkan. Wakil Xia He merupakan orang yang paling bertanggung jawab mengantar perempuan muslim ke rumah kakak lelaki kapten mereka. Apa yang terjadi di sana, sudah pasti kehormatan wanita muslimah terkoyak sedemikian rupa. Berkali-kali sumpah serapah dan laknat telah dimuntahkan ke wajahnya. Hanya tinggal menunggu waktu kapan sumpah itu akan terlaksana. “Masih tidak mau berlutut? Setelah kau menggadaikan imanmu, kau akan diberikan fasilitas hidup yang lengkap. Lupakan soal kau menyakiti kapten kami. Kami bisa maafkan asalkan kau berkontribusi sesuai dengan kemampuanmu. Ilmu beladirimu itu terlalu kuat untuk diwarisi seorang diri saja. Kalau kau melatih 1000 tentara
Nuwa terpaku di dalam penjara. Sudah sehari semalam berlalu dan ia tak pernah tahu bagaimana kabar suaminya. Rasa lapar dalam perut yang semakin menjadi tak ia hiraukan. Baginya, bertemu Kai adalah hal yang paling penting saat ini. “Apa akan berakhir seperti ini kebersamaan kita, Kai? Rasanya lima tahun itu terlalu singkat bagiku,” gumam Nuwa sambil menggigit kuku tangannya. Hal yang ia lakukan ketika ketakutan. Takut kehilangan pasangan hidupnya. Dia sudah tidak punya keluarga yang lain lagi. Hingga akhirnya Nuwa tertidur karena tak tahan lagi dengan kantuk dan dingin angin di dalam penjara. Wanita itu tidak sendirian. Ia ditemani oleh yang tak kasat mata. Dia datang karena tahu hidup Nuwa dalam ancaman. Siapa tahu dia bisa menolong Nuwa lari dari sana. Untuk menolong Kai sosok itu tidak mampu. Sebab orang-orang yang masih hidup di dalam sana jauh lebih keji bahkan daripada iblis sekalipun. Baru beberapa menit terpejam, tubuh Nuwa sudah disiram air dingin hingga basah seluruh baj
Dalam kesendirian itu Nuwa mengasah paku berkarat tersebut di jeruji besi sampai mengilat dan ujungnya tajam. Sampai kapan pun tubuh suci Nuwa tidak boleh disentuh oleh tentara Xin Hua. Jika tidak, sia-sia saja pengorbanan Kai padanya. “Aku tidak akan pernah melupakanmu, Kai. Meski kau bilang setelah tujuh tahun aku tidak akan ingat dengan suaramu, wajahmu, juga kenangan tentang kita. Maka lebih baik aku mati sebelum tujuh tahun itu benar-benar datang dalam hidupku.” Nuwa terus mengasah paku sampai ujungnya benar-benar tipis seperti pisau yang tajam. Dua orang tentara lelaki datang dan membuka selnya. Nuwa menurut saja tanpa melakukan perlawanan. Ia dibawa ke dalam mobil jeep dan di dalam sana ada seorang tentara perempuan yang rambutnya pendek serta tiga orang tentara lelaki sebagai penjaganya. Mereka berbincang dalam bahasa yang dimengerti oleh janda Kai itu. Selagi mereka berbicara satu sama lain. Nuwa memotong borgol plastik yang mengikatnya. “Aku bukanlah perempuan bodoh seper
Nuwa menunggu kedatangan kapal kecil yang tak lama lagi. Sekuat tenaga wanita itu berusaha tak terisak walau air matanya terus jatuh tanpa ia minta. Kejadian tewasnya Kai belum lama berlalu, bahkan belum 24 jam. Kapal kecil itu telah bersandar dan diturunkan barang-barangnya. Para penjaga di tepi pulau melihat dan memeriksa terlebih dahulu. Ada bahan makanan yang dikirimkan termasuk baju baru untuk mereka. Buah-buah seperti anggur, apel, juga jeruk turut serta dikirim. Terhitung ada kurang lebih enam buah kotak kayu yang datang. “Aku lapar sekali,” ucap Nuwa ketika melihat buah-buahan segar itu. Ia sampai menelan ludah karena terlalu ingin. “Hei, kau, apa yang kau lakukan di sini?” Seseorang menepuk pundak Nuwa, wanita itu mencoba tenang agar penyamarannya tidak diketahui. “Aku ingin kembali ke tempat kapten, dia memintaku. Kalau tidak percaya barusan saja di menelponku.” Janda Kai itu menunjukkan ponsel milik tentara yang ia rampas. “Oh, begitu. Tunggu saja kapal akan segera ber
Ketika Fahmi diculik. “Kapten Xia He telah memberikan perintah agar menculik Fahmi dan memenjarakannya di tempat kita,” ucap salah seorang mata-mata perempuan. Ia yang sudah beberapa bulan tinggal di Negeri Syam tanpa ada yang tahu siapa dia. Tentu tidak ada yang tahu. Mata-mata Xia He 80% adalah perempuan yang tidak ada yang tidak cantik. “Menculik Fahmi?” ulang Sohwa, pimpinan mata-mata yang ditunjuk kaptennya langsung. “Benar.” “Menculik Fahmi!” Sohwa menghela napas sejenak. “Akan lebih baik kalau kita menculik Humaira saja. Kalau Maira hilang, Fahmi akan kehilangan fokus, dan kita bisa berbuat kekacauan lebih besar. Tapi menculik Fahmi, Maira tidak terlalu kehilangan kendali karena dia masih punya tiga anak untuk diperhatikan.” Sohwa membaca perintah yang diberikan dari kaptennya. “Kita tidak punya pililhan lain. Itu perintah kapten.” “Aku tahu. Pancing Fahmi ke bukit malam ini juga. Akan kita jalani perintah kapten. Kau tahu apa yang harus kau lakukan?” Sohwa memandang baw