Bagian 5
Sang Kapten“Bawa perempuan ini menghadap Kapten Xia He. Pasti kakak lelakinya puas kalau menikmati tubuh perempuan secantik dia,” ucap pemungut pajak di sebelah telinga Kai langsung.Terbawa emosi dan sebelum tangan mereka diborgol, Kai melayangkan satu buah tinju yang langsung mengarah ke tenggorokan pemungut pajak tersebut. Hasilnya tentara itu kejang-kejang dan matanya terbuka lalu diam di atas tanah. Sebagian penduduk keluar di pagi buta karena ada keributan.“Bunuh dia!” perindah dari tentara lainnya.Sebuah belati hampir dilayangkan mengenai punggung Kai. Namun, Nuwa bergerak cepat, belati itu ia genggam dan tusuk kembali ke perut tentara tersebut. Dua kematian yang jelas sekali akan mendapatkan balasan.“Kalau berani kalian lawan tangan kosong dengan kami. Kalau kalian pengecut, tembak langsung kami sampai mati!” Kai menantang 20 puluh tentara bawahan yang tersisa.“Mungkin umur kita memang hanya sampai di sini, Kai. Kita akan pergi bersama anak kita ke alam lain.” Nuwa memegang tangan suaminya. Bersama mereka saling melindungi satu sama lain.“Maju sepuluh orang. Siapa yang bisa membuat perempuan ini terlepas semua bajunya aku berikan kenaikan pangkat.” Salah satu tentara yang memimpin menjawab tantangan Kai untuk bertarung dengan tangan kosong.Sebelum pertarungan dimulai, sepasang suami istri itu masih sempat memberikan hormat pada lawan. Menyebut nama diri sendiri dan ilmu yang mereka pelajari. Yang lebih tidak disangka lagi yaitu Nuwa. Dalam keadaan hamil muda ia masih bisa gesit membela dirinya sendiri.Yang satu bela diri dengan kekuatan yang mematikan, yang satu lagi dengan kecepatan dan gerakan yang tidak terduga. Hingga sepuluh lawan dua itu, bisa dimenangkan oleh jumlah yang lebih sedikit. Jangankan sehelai benang Nuwa tertarik dari raganya. Bahkan satu buah konde kayu sederhana saja tidak ada yang bisa menjangkaunya.Sepuluh tentara itu menderita patah tulang, memar, dan luka dalam yang luar biasa. Dan akhirnya mereka beranggapan bahwa diam-diam Suku Mui dianggap melatih diri dan mempersiapkan pemberontakan. Perbuatan yang dianggap dosa besar oleh pemerintahan Xin Hua.“Maju lagi kalau berani.” Nuwa menarik napas sambil setetes keringat jatuh dari dagu.“Kau bergerak satu langkah lagi, orang tua ini akan mati di depanmu.” Curang, satu kata yang layak diucapkan. Salah satu tentara menarik baju orang yang sudah sangat tua dan kepalanya ditodongkan senapan laras pendek.“Pengecut. Cuih!” Nuwa meludahi tentara itu.“Tangkap mereka dan jebloskan ke penjara.” Sesuai perintah tentara itu sisa tentara yang masih sadar menodongkan senjata api ke arah Kai serta Nuwa.Keduanya terdesak dan akhirnya dua tangan yang telah bergandengan bersama selama lima tahun itu, kini diikat oleh borgol plastik. Keduanya digiring ke dalam truk dan diperlakukan seperti teroris. Nuwa dan Kai dari dalam mobil memperhatikan rumah mungil dan reot mereka dihancurkan oleh para tentara. Namun, tidak dengan boneka kayu, pedang kayu dan alat-alat latihan lainnya yang disita dan akan dijadikan barang bukti.Dua jam lebih perjalanan menuju satu tempat yang cukup sepi dan terlihat menyeramkan. Ada beberapa gundukan tanah tanpa nisan kayu. Nuwa dan Kai melihat dan saling menatap satu sama lain. Keduanya saling menggenggam tangan dan merasa tak lama lagi akan menyusul yang telah meninggal. Sudah lumrah di Xin Hua bahwa yang dituduh pemberontak akan berakhir di tiang gantungan.Sampai di penjara yang pengap dan gelap. Keduanya dilemparkan dalam jeruji besi yang terpisah tetapi masih bersisian. Borgol mereka digunting dan di dalam ruangan itu hanya ada Kai dan Nuwa, ditemani nyamuk, kecoa, tikus, dan jerami padi yang kering. Tidak ada tikar apalagi kasur.Namanya tawanan, hidup dan mati tergantung pada keinginan penanggung jawab penjara. Dalam hal ini dipimpin oleh seorang kapten perempuan yang terkenal bengis dan keji. Kapten Xia He, perempuan bertangan dingin dan kekuatannya turun temurun diperoleh dari darah nenek moyang seorang jenderal perang di zaman dahulu.Perempuan itu parasnya tidak kalah cantik dengan Nuwa. Kulit putih, hidung mancung dan bentuk tubuh proporsional. Malam itu ia menggunakan gaun merah ketat sampai di atas lutut. Xia He sedang menghadiri pesta bersama pejabat pemerintahan yang lain. Ia memperoleh banyak hadiah sebab mampu menangkap satu demi satu teroris yang diduga akan melakukan tindak pemberontakan.Xia He masuk ke dalam mobil yang dibawa oleh seorang supir. Ia menghidupkan rokok dan mengembuskan asap di dalam sana. Wanita itu tidak menikah, sebab ia tak butuh hal-hal seperti itu. Xia He hanya perlu hidup dalam limpahan harta. Soal hasrat yang kerap kali muncul, urusan gampang baginya. Tidak hanya lelaki yang bisa menyewa perempuan panggilan. Wanita pun bisa berlaku demikian juga.Ponsel Xia He berdering. Ia perhatikan saja tanpa ingin mengangkatnya. Wanita itu sedang menikmati pemandangan di kotanya yang semakin lama semakin maju. Negaranya kini sedang bersekutu dengan Balrus. Balrus meminta bantuan terang-terangan karena tidak mampu menghadapi perlawanan Negeri Syam yang jumlah tentaranya semakin kuat.Diam-diam Xin Hua sudah mengirim beberapa mata-matanya ke sana. Mata-mata yang terlatih, pilih tanding, kuat, dan cerdas. Kebanyakan perempuan. Karena sampai kapan pun perempuan mampu merayu laki-laki.Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i
“Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T
“Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai
“Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia
Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni
Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a
Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan
“Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius
Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun