Beranda / Pendekar / Janji Setia / Interogasi 1

Share

Interogasi 1

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-03 10:54:30

Wei Nuwa dan Fu Kai duduk bersebelahan di dinding penjara yang dingin. Mereka sedang menanti proses dari penjaga lebih lanjut. Entah apa, mereka berdua tidak ada yang tahu. Penjara itu memiliki banyak ruangan, tapi semuanya kosong. Lebih lagi suasana terasa seram. Seperti jeruji besi dengan banyak hantu di dalamnya.

“Ini bukan penjara, tapi kuburan,” ujar Nuwa. Matanya seperti melihat ada jerami yang bergerak sendiri tanpa ada yang mengusik. Wanita dengan mata sekelam malam itu tidak takut dengan yang katanya hantu. Sebab hantu tidak lebih jahat dari manusia.

“Konon, dulu waktu aku masih kecil. Tempat ini siksaannya luar biasa. Nuwa, kau bisa lihat sendiri bukan, ada bercak darah yang menempel di dinding. Mungkin itu berasal dari orang-orang yang kena siksaan.”

“Aku melihatnya, dari tadi aku menghitung, dan sepertinya kita tidak berdua saja di sini, Kai.” Wanita Suku Mui itu menatap darah yang telah mengering di lantai penjara.

“Mungkin mereka mati dengan tidak tenang. Tidak dikafankan, sholatkan, dan tidak dikuburkan dengan cara yang layak.”

“Apa hal itu akan menimpa kita berdua, Kai? Kita sudah di dalam penjara. Sudah pasti tuduhan pemberontak tak lama akan disematkan pada kita. Lalu kita akan mati.” Nuwa menarik napas panjang. Sepertinya, keinginan wanita Suku Mui itu untuk menimang anak Kai tidak akan kesampaian.

“Aku tidak tahu, Nuwa.” Kemudian Kai beringsut dari tempatnya duduk. Ia keluarkan tangannya dari sela jeruji besi dan lekas saja Nuwa menyambut. Lumayan mengurangi sedikit dingin di penjara.

“Mungkin memang takdir kalau suku kita akan punah, perlahan-lahan.” Wanita berusia 20 tahun itu menghela napas panjang.

“Takdir tidak ada yang tahu walau satu detik kemudian, Nuwa. Aku justru berpikir, andaikata bisa, kau saja yang pergi dari sini, dan biarkan aku yang menggantikan siksaanmu.”

“Kenapa kau berpikir begitu. Kalau kau disiksa, aku juga akan mengalami hal yang sama, Kai. Lagi pula rumah kita sudah hancur, aku harus pulang ke mana kalau sendirian. Tidak mungkin aku terlunta-lunta di jalan. Bisa jadi gelandangan dan ditangkap lagi nanti.”

“Nuwa, maukah kau berjanji satu hal padaku,” ucap Kai sambil menggenggam erat tangan istrinya.

“Tidak mau. Aku mengenalmu sejak masih kecil, aku tahu kau akan mengucapkan kata apa.”

“Berjanjilah kau akan melanjutkan hidupmu walau tanpa aku. Hiduplah berbahagia, kalau aku pergi duluan, kau akan punya anak seperti yang kau inginkan dari dulu.” Berat hati Kai mengatakan hal demikian pada wanita yang sangat ia sayangi.

“Aku berjanji akan hidup bahagia dan punya anak yang lucu, tapi hanya denganmu. Dengan lelaki lain, maaf aku tidak bisa. Itu, kan, maksudmu tadi.” Nuwa menahan air matanya yang hampir jatuh. Tidak semua janji bisa ia iyakan, walau berasal dari bibir suaminya.

“Jangan terlalu keras dengan diri sendiri, Nuwa. Andai kau bebas dari sini, kau juga berhak bahagia. Apalagi andai aku mati lebih dulu.”

“Kai, tidak baik berandai-andai. Kalau pun kita dipisahkan oleh kematian. Maka kematian juga yang akan mempersatukan kita. Kau pikir mudah bagiku untuk melupakan kenangan kita. Bukan hanya dimulai dari kita menikah. Tapi dari umurku tujuh tahun. Saat itu aku masih ingusan dan sudah mulai memperhatikanmu.” Senyum Nuwa terukir indah, begitu juga dengan Kai.

Mereka beruntung karena sebagai pasangan yang saling mencintai bisa disatukan dalam pernikahan. Tidak semua orang di dunia ini menikah atas dasar cinta. Dayyan salah satunya, ia menikahi Feme karena belas kasihan. Wanita itu lemah, mudah sakit, dan tidak ada yang terlalu bisa diandalkan untuk menjaganya.

“Aku hanya meminta itu saja, Nuwa. Hiduplah dengan baik, kalau aku sudah tiada dan kau bertemu dengan lelaki baik. Lambat laun juga kau akan melupakan wajah dan suaraku. Percaya atau tidak guru mengajarkan padaku, kalau kita sudah berpisah dengan orang terkasih, dalam waktu tujuh tahun kita akan melupakan suaranya, melupakan wajahnya, dan pelan-pelan memori yang ada di kepala akan terisi dengan kebahagiaan bersama orang lain.”

“Kalau begitu lebih baik aku menyendiri sampai mati. Titik! Kalau kau ingin memaksaku. Ayo, kita duel satu lawan satu. Kali ini aku tidak akan mudah kau kalahkan, Kai.” Nuwa menggenggam erat tangan suaminya, lebih mirip melampiaskan amarah. Kai hanya menahan sakitnya saja.

Beberapa menit sepasang suami istri itu hening dalam diam. Mereka tidak peduli dengan suara-suara aneh di dalam penjara. Juga tidak peduli dengan suara perut yang berbunyi karena kelaparan. Namun, suara penjaga yang datang membuat mereka mau tak mau untuk peduli.

Pintu penjara dibuka, keduanya diseret keluar dengan kasar, lalu dipasangkan borgol di tangan masing-masing. Jangan lupakan rantai besi di kaki agar tidak bisa lari. Ingin lari juga ke mana? Pulau itu bak kuburan yang terisolasi.

Tak lama setelah itu keduanya dibawa ke tanah lapang tempat para tersangka di eksekusi. Ada tiang gantungan di sana, serta tetesan darah. Sinar matahari mulai terik terasa dan di sebuah kursi duduk seorang perempuan cantik menggunakan sepatu tentara serta mantel bulu yang jelas harganya mahal.

Kapten Xia He sedang membaca resume tentang identitas dua tawanan di depannya. Sepasang suami istri yang dipaksa berlutut setelah ditendang berkali-kali. Sambil membaca resume, tidak lupa Xia He juga membaca tentang identitas Fahmi serta Maira lebih lengkap lagi.

“Anak tentara rupanya, pantas pemberani,” tunjuk Xia He pada resume data Humaira di tablet miliknya. Anak dari dokter kandungan bernama Gulaisha Amira serta tentara senior bernama Muhammad Ali.

Bersambung ...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Janji Setia    Suka dan Duka

    Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i

  • Janji Setia    Penculikan

    “Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T

  • Janji Setia    Perkara Street Food

    “Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai

  • Janji Setia    Percobaan

    “Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia

  • Janji Setia    Tahu Bulat

    Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni

  • Janji Setia    Dompet dan Celana

    Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a

  • Janji Setia    Temperamental

    Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan

  • Janji Setia    Lempar Bunga

    “Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius

  • Janji Setia    Jimat Vampir

    Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status