“Oooh, jadi kisah cinta mereka berdua diawali dengan rasa kasihan hingga berujung pada kebersamaan di tempat kerja. Lalu mulai benih-benih cinta tumbuh. Cerita macam apa ini, dongeng sekali,” ujar Xia He. Nuwa dan Kai saling memandang satu sama lain. “Wei Nuwa. Wanita muslim Suku Mui, menikah sejak umur 15 tahun. Gatal sekali kau jadi perempuan. Buru-buru menikah untuk apa?” tanya Xia He pada tawanan di depanya. “Aku menikah di umur berapa, bukan urusanmu!” jawab Nuwa ketus. Sebuah cambuk hampir dilayangkan ke punggungnya. Namun, Xia He mencegahnya. “Jangan terlalu kasar, nanti juga mereka berdua akan mati. Lalu Fu Kai, tercatat sejak umur 10 tahun sudah menjadi orang hebat karena menguasai dasar-dasar wing chun. Oh, sok hebat sekali kau jadi orang. Di usia sangat muda sudah menggantikan gurunya mengajar, dan sudah dipanggil Guru Kai. Cuih!” Jijik Xia He membaca resume identitas Kai. Kecolongan pemerintah Xin Hua ada seseorang yang sangat kuat di antara segelintir Suku Mui. “Memin
Kai mengamuk ketika Nuwa disentuh tangannya oleh beberapa tentara lelaki. Guru wing chun itu menghajar orang yang berani mengganggu miliknya. Hingga tiga di antara mereka kembali meregang nyawa saking kuatnya hantaman lelaki berusia nyaris 30 tahun itu. Jika saja kepala Nuwa tidak ditodong pistol, Kai pasti sudah menghabisi sepuluh tentara bawahan Xia He atau mungkin bisa saja menaklukkan penjara tersebut. Namun, sekuat-kuatnya lelaki tetap saja ia lemah ketika wanita tercintanya mendapat ancaman. Walau istrinya sama sekali tidak meneteskan air mata. Kai tetap saja tidak tega. “Kai, aku tidak apa-apa. Lanjutkan saja bunuh mereka semua. Hidup pun kita akan terasa mati kalau sampai dipisahkan,” ucap Nuwa sambil menerima andai kematian datang padanya. Dari pada hidup berpencar-pencar dan ia dijadikan penghangat ranjang saja. Bagi wanita yang sudah lama yatim piatu, kehilangan suami tercinta maka benar-benar seperti ia tak punya sayap untuk terbang lagi. Bertemu dengan lelaki lain? We
“Kau, akan diampuni oleh nona muda kami, kalau kau mau berlutut menyembah kaki salah satu di antara kami.” Wakil Xia He bergerak menghadap wajah Kai yang memerah menahan amarah. “Cuih!” jawab Kai sambil meludah tepat di wajah lelaki itu. “Tambahkan lagi cambuknya sampai lima puluh kali.” Perintah keji itu terus saja dilontarkan. Wakil Xia He merupakan orang yang paling bertanggung jawab mengantar perempuan muslim ke rumah kakak lelaki kapten mereka. Apa yang terjadi di sana, sudah pasti kehormatan wanita muslimah terkoyak sedemikian rupa. Berkali-kali sumpah serapah dan laknat telah dimuntahkan ke wajahnya. Hanya tinggal menunggu waktu kapan sumpah itu akan terlaksana. “Masih tidak mau berlutut? Setelah kau menggadaikan imanmu, kau akan diberikan fasilitas hidup yang lengkap. Lupakan soal kau menyakiti kapten kami. Kami bisa maafkan asalkan kau berkontribusi sesuai dengan kemampuanmu. Ilmu beladirimu itu terlalu kuat untuk diwarisi seorang diri saja. Kalau kau melatih 1000 tentara
Nuwa terpaku di dalam penjara. Sudah sehari semalam berlalu dan ia tak pernah tahu bagaimana kabar suaminya. Rasa lapar dalam perut yang semakin menjadi tak ia hiraukan. Baginya, bertemu Kai adalah hal yang paling penting saat ini. “Apa akan berakhir seperti ini kebersamaan kita, Kai? Rasanya lima tahun itu terlalu singkat bagiku,” gumam Nuwa sambil menggigit kuku tangannya. Hal yang ia lakukan ketika ketakutan. Takut kehilangan pasangan hidupnya. Dia sudah tidak punya keluarga yang lain lagi. Hingga akhirnya Nuwa tertidur karena tak tahan lagi dengan kantuk dan dingin angin di dalam penjara. Wanita itu tidak sendirian. Ia ditemani oleh yang tak kasat mata. Dia datang karena tahu hidup Nuwa dalam ancaman. Siapa tahu dia bisa menolong Nuwa lari dari sana. Untuk menolong Kai sosok itu tidak mampu. Sebab orang-orang yang masih hidup di dalam sana jauh lebih keji bahkan daripada iblis sekalipun. Baru beberapa menit terpejam, tubuh Nuwa sudah disiram air dingin hingga basah seluruh baj
Dalam kesendirian itu Nuwa mengasah paku berkarat tersebut di jeruji besi sampai mengilat dan ujungnya tajam. Sampai kapan pun tubuh suci Nuwa tidak boleh disentuh oleh tentara Xin Hua. Jika tidak, sia-sia saja pengorbanan Kai padanya. “Aku tidak akan pernah melupakanmu, Kai. Meski kau bilang setelah tujuh tahun aku tidak akan ingat dengan suaramu, wajahmu, juga kenangan tentang kita. Maka lebih baik aku mati sebelum tujuh tahun itu benar-benar datang dalam hidupku.” Nuwa terus mengasah paku sampai ujungnya benar-benar tipis seperti pisau yang tajam. Dua orang tentara lelaki datang dan membuka selnya. Nuwa menurut saja tanpa melakukan perlawanan. Ia dibawa ke dalam mobil jeep dan di dalam sana ada seorang tentara perempuan yang rambutnya pendek serta tiga orang tentara lelaki sebagai penjaganya. Mereka berbincang dalam bahasa yang dimengerti oleh janda Kai itu. Selagi mereka berbicara satu sama lain. Nuwa memotong borgol plastik yang mengikatnya. “Aku bukanlah perempuan bodoh seper
Nuwa menunggu kedatangan kapal kecil yang tak lama lagi. Sekuat tenaga wanita itu berusaha tak terisak walau air matanya terus jatuh tanpa ia minta. Kejadian tewasnya Kai belum lama berlalu, bahkan belum 24 jam. Kapal kecil itu telah bersandar dan diturunkan barang-barangnya. Para penjaga di tepi pulau melihat dan memeriksa terlebih dahulu. Ada bahan makanan yang dikirimkan termasuk baju baru untuk mereka. Buah-buah seperti anggur, apel, juga jeruk turut serta dikirim. Terhitung ada kurang lebih enam buah kotak kayu yang datang. “Aku lapar sekali,” ucap Nuwa ketika melihat buah-buahan segar itu. Ia sampai menelan ludah karena terlalu ingin. “Hei, kau, apa yang kau lakukan di sini?” Seseorang menepuk pundak Nuwa, wanita itu mencoba tenang agar penyamarannya tidak diketahui. “Aku ingin kembali ke tempat kapten, dia memintaku. Kalau tidak percaya barusan saja di menelponku.” Janda Kai itu menunjukkan ponsel milik tentara yang ia rampas. “Oh, begitu. Tunggu saja kapal akan segera ber
Ketika Fahmi diculik. “Kapten Xia He telah memberikan perintah agar menculik Fahmi dan memenjarakannya di tempat kita,” ucap salah seorang mata-mata perempuan. Ia yang sudah beberapa bulan tinggal di Negeri Syam tanpa ada yang tahu siapa dia. Tentu tidak ada yang tahu. Mata-mata Xia He 80% adalah perempuan yang tidak ada yang tidak cantik. “Menculik Fahmi?” ulang Sohwa, pimpinan mata-mata yang ditunjuk kaptennya langsung. “Benar.” “Menculik Fahmi!” Sohwa menghela napas sejenak. “Akan lebih baik kalau kita menculik Humaira saja. Kalau Maira hilang, Fahmi akan kehilangan fokus, dan kita bisa berbuat kekacauan lebih besar. Tapi menculik Fahmi, Maira tidak terlalu kehilangan kendali karena dia masih punya tiga anak untuk diperhatikan.” Sohwa membaca perintah yang diberikan dari kaptennya. “Kita tidak punya pililhan lain. Itu perintah kapten.” “Aku tahu. Pancing Fahmi ke bukit malam ini juga. Akan kita jalani perintah kapten. Kau tahu apa yang harus kau lakukan?” Sohwa memandang baw
Bagian 10 Bukan Mata-mata Maira membantu Dayyan mencari di mana keberadaan suaminya. Sebenarnya wanita bermata biru itu tak kuat menghadapi situasi semacam sekarang. Namun, demi ketiga anaknya ia harus tegar pula. Bisa jadi awal mula dari hilangnya Fahmi merupakan jalan untuk terungkapnya komplotan mana yang membuat kegaduhan di Negeri Syam. Hari ini demi fokus pada pencarian, Maira menitipnya anak ketiganya bersama Naima. Ibu dari tiga orang putra itu benar-benar teliti mencari di mana suaminya. Berbekal dengan kemampuan sebagai polisi belasan tahun. Ditambah ponsel Fahmi yang tergeletak di dekat jeepnya. Namun, rasanya polisi wanita senior itu seperti menemukan jalan buntu. Ia duduk sejenak melepas lelah di musim panas yang teramat terik. Maira menyeka keringat dan meminum air meniral. “Bertahanlah, Sayang, aku pasti akan menemukanmu. Walau harus menghabiskan seluruh harta yang kita miliki,” ujar Maira di bawah terik matahari. “Maira,” Wanita bermata biru itu dipanggil oleh Sul