Share

Interogasi 1

Wei Nuwa dan Fu Kai duduk bersebelahan di dinding penjara yang dingin. Mereka sedang menanti proses dari penjaga lebih lanjut. Entah apa, mereka berdua tidak ada yang tahu. Penjara itu memiliki banyak ruangan, tapi semuanya kosong. Lebih lagi suasana terasa seram. Seperti jeruji besi dengan banyak hantu di dalamnya.

“Ini bukan penjara, tapi kuburan,” ujar Nuwa. Matanya seperti melihat ada jerami yang bergerak sendiri tanpa ada yang mengusik. Wanita dengan mata sekelam malam itu tidak takut dengan yang katanya hantu. Sebab hantu tidak lebih jahat dari manusia.

“Konon, dulu waktu aku masih kecil. Tempat ini siksaannya luar biasa. Nuwa, kau bisa lihat sendiri bukan, ada bercak darah yang menempel di dinding. Mungkin itu berasal dari orang-orang yang kena siksaan.”

“Aku melihatnya, dari tadi aku menghitung, dan sepertinya kita tidak berdua saja di sini, Kai.” Wanita Suku Mui itu menatap darah yang telah mengering di lantai penjara.

“Mungkin mereka mati dengan tidak tenang. Tidak dikafankan, sholatkan, dan tidak dikuburkan dengan cara yang layak.”

“Apa hal itu akan menimpa kita berdua, Kai? Kita sudah di dalam penjara. Sudah pasti tuduhan pemberontak tak lama akan disematkan pada kita. Lalu kita akan mati.” Nuwa menarik napas panjang. Sepertinya, keinginan wanita Suku Mui itu untuk menimang anak Kai tidak akan kesampaian.

“Aku tidak tahu, Nuwa.” Kemudian Kai beringsut dari tempatnya duduk. Ia keluarkan tangannya dari sela jeruji besi dan lekas saja Nuwa menyambut. Lumayan mengurangi sedikit dingin di penjara.

“Mungkin memang takdir kalau suku kita akan punah, perlahan-lahan.” Wanita berusia 20 tahun itu menghela napas panjang.

“Takdir tidak ada yang tahu walau satu detik kemudian, Nuwa. Aku justru berpikir, andaikata bisa, kau saja yang pergi dari sini, dan biarkan aku yang menggantikan siksaanmu.”

“Kenapa kau berpikir begitu. Kalau kau disiksa, aku juga akan mengalami hal yang sama, Kai. Lagi pula rumah kita sudah hancur, aku harus pulang ke mana kalau sendirian. Tidak mungkin aku terlunta-lunta di jalan. Bisa jadi gelandangan dan ditangkap lagi nanti.”

“Nuwa, maukah kau berjanji satu hal padaku,” ucap Kai sambil menggenggam erat tangan istrinya.

“Tidak mau. Aku mengenalmu sejak masih kecil, aku tahu kau akan mengucapkan kata apa.”

“Berjanjilah kau akan melanjutkan hidupmu walau tanpa aku. Hiduplah berbahagia, kalau aku pergi duluan, kau akan punya anak seperti yang kau inginkan dari dulu.” Berat hati Kai mengatakan hal demikian pada wanita yang sangat ia sayangi.

“Aku berjanji akan hidup bahagia dan punya anak yang lucu, tapi hanya denganmu. Dengan lelaki lain, maaf aku tidak bisa. Itu, kan, maksudmu tadi.” Nuwa menahan air matanya yang hampir jatuh. Tidak semua janji bisa ia iyakan, walau berasal dari bibir suaminya.

“Jangan terlalu keras dengan diri sendiri, Nuwa. Andai kau bebas dari sini, kau juga berhak bahagia. Apalagi andai aku mati lebih dulu.”

“Kai, tidak baik berandai-andai. Kalau pun kita dipisahkan oleh kematian. Maka kematian juga yang akan mempersatukan kita. Kau pikir mudah bagiku untuk melupakan kenangan kita. Bukan hanya dimulai dari kita menikah. Tapi dari umurku tujuh tahun. Saat itu aku masih ingusan dan sudah mulai memperhatikanmu.” Senyum Nuwa terukir indah, begitu juga dengan Kai.

Mereka beruntung karena sebagai pasangan yang saling mencintai bisa disatukan dalam pernikahan. Tidak semua orang di dunia ini menikah atas dasar cinta. Dayyan salah satunya, ia menikahi Feme karena belas kasihan. Wanita itu lemah, mudah sakit, dan tidak ada yang terlalu bisa diandalkan untuk menjaganya.

“Aku hanya meminta itu saja, Nuwa. Hiduplah dengan baik, kalau aku sudah tiada dan kau bertemu dengan lelaki baik. Lambat laun juga kau akan melupakan wajah dan suaraku. Percaya atau tidak guru mengajarkan padaku, kalau kita sudah berpisah dengan orang terkasih, dalam waktu tujuh tahun kita akan melupakan suaranya, melupakan wajahnya, dan pelan-pelan memori yang ada di kepala akan terisi dengan kebahagiaan bersama orang lain.”

“Kalau begitu lebih baik aku menyendiri sampai mati. Titik! Kalau kau ingin memaksaku. Ayo, kita duel satu lawan satu. Kali ini aku tidak akan mudah kau kalahkan, Kai.” Nuwa menggenggam erat tangan suaminya, lebih mirip melampiaskan amarah. Kai hanya menahan sakitnya saja.

Beberapa menit sepasang suami istri itu hening dalam diam. Mereka tidak peduli dengan suara-suara aneh di dalam penjara. Juga tidak peduli dengan suara perut yang berbunyi karena kelaparan. Namun, suara penjaga yang datang membuat mereka mau tak mau untuk peduli.

Pintu penjara dibuka, keduanya diseret keluar dengan kasar, lalu dipasangkan borgol di tangan masing-masing. Jangan lupakan rantai besi di kaki agar tidak bisa lari. Ingin lari juga ke mana? Pulau itu bak kuburan yang terisolasi.

Tak lama setelah itu keduanya dibawa ke tanah lapang tempat para tersangka di eksekusi. Ada tiang gantungan di sana, serta tetesan darah. Sinar matahari mulai terik terasa dan di sebuah kursi duduk seorang perempuan cantik menggunakan sepatu tentara serta mantel bulu yang jelas harganya mahal.

Kapten Xia He sedang membaca resume tentang identitas dua tawanan di depannya. Sepasang suami istri yang dipaksa berlutut setelah ditendang berkali-kali. Sambil membaca resume, tidak lupa Xia He juga membaca tentang identitas Fahmi serta Maira lebih lengkap lagi.

“Anak tentara rupanya, pantas pemberani,” tunjuk Xia He pada resume data Humaira di tablet miliknya. Anak dari dokter kandungan bernama Gulaisha Amira serta tentara senior bernama Muhammad Ali.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status