Share

CP 10. Pertarungan Pemimpin

Sesaat Andaka dan anak buahnya mulai mundur, dari arah pepohonan muncul beberapa orang misterius yang segera datang mengepung pasukan Janti. Seorang lelaki kekar dengan bekas luka di pelipis mata berjalan ke arah Demang Yasa. Dia tertawa, dan tawanya sangat berat mengerikan.

"Kakak! Kau datang juga akhirnya. Sekarang si tua bangka ini bisa kita habisi bersama." Cicit Andaka.

"Hahaha... Memalukan sekali kau Andaka, hanya melawan satu orang tua saja sudah kewalahan. Sekarang menyingkirlah! Biar aku yang menghadapinya."

"Baik kak." Andaka segera menyingkir, wajahnya memerah.

"Muncul juga sang kepala ular. Namamu Jalada kan? Sekarang rasakan seranganku ini!" Teriak Demang Yasa.

Tanpa pikir panjang Demang Yasa langsung menyerang Jalada, sang pemimpin perampok Tanduk Api. Pedangnya mengarah tepat ke perut Jalada, siap menyobek kulit dan dagingnya.

Dengan segenap tenaga Jalada berusaha menghindari serangan itu. Lantas dikeluarkannya sebuah golok dari sarungnya. Dikeluarkannya jurus jurus mematikan untuk menghentikan laju serangan sang demang.

Sang demang dengan sigap menangkis jurus yang dikeluarkan Jalada. Dia pun mengeluarkan jurus lain untuk melawannya.

"Hah, jurusmu tak mampu untuk melawanku!" Teriak Jalada kepada sang demang.

"Sombong sekali kau Jalada! Terima ini, jurus pedang pembelah bukit!"

Pedang sang demang diangkat ke atas. Dari ujung pedang berkilatan cahaya terpantu cahaya rembulan. Sesaat kemudian pedang itu diayunkan ke arah Jalada.

Seakan hendak membelah sang pimpinan perampok, pedang itu meluncur tak tertahankan. Kilatan cahaya dari pedang seakan membutakan mata. Terdengar suara agak bising dari ayunan pedang.

Jalada yang sudah siap menghadapi serangan itu tersenyum sinis.

"Jurus golok sutra!" Teriaknya.

Dari goloknya seperti muncul sulur sulur benang yang menyelimuti tangannya. Tangan kanan yang menggenggam goloknya seperti dibungkus sebuah benang putih yang mengikat dengan gagang golok.

Dengan kekokohan golok dan tangan yang disatukan oleh semacam benang, Jalada menahan serangan pedang Demang Yasa. Serangan Demang Yasa tersebut pun ditahan seketika itu pula.

Sadar kalau serangannya mampu dihentikan oleh Jalada, sang demang segera melompat mundur. Dia mulai menyusun strategi lagi.

'Hmm... Aku sudah berada pada tahap keenam, tahap pengerasan kulit. Kekuatanku seharusnya mampu melawan sepuluh hingga belasan orang sekaligus. Apa mungkin dia juga berada di tahap ini?' Batin sang demang.

Di lain pihak, Jalada juga berpikiran sama. Dia kaget dengan tingkat tenaga dalam sang demang. Pikirnya dengan kekutannya dia akan mampu menaklukkan sang demang.

Sambil menyusun strategi, sang demang kembali menyerang Jalada. Kini dia menyerang dengan lebih kuat. Beberapa kali dia mengeluarkan sebuah serangan yang membabi buta.

Jalada pun tidak mau tinggal diam. Serangan dan pertahanannya yang beringas segera dikeluarkan kembali. Debu dan dedaunan kering yang berjatuhan di tanah pun terkena imbasnya, sampah sampah itu beterbangan kesana kemari atas dahsyatnya tenaga dalam mereka berdua.

Para prajurit dan perampok tanduk api yang berada di sekitar keduanya kini mulai menyingkir. Mereka memberi ruang untuk keduanya bertarung segenap tenaga. Bukan karena mereka menghormati pertarungan itu, namun mereka takut dengan kemampuan serangan keduanya. Mereka takut terkena imbas serangan yang membabi buta tersebut. Mereka sadar ilmu tenaga dalam mereka masih kurang dibandingkan keduanya.

Pertarungan dan kemampuan mereka seimbang. Tidak ada yang mampu melukai masing masing dari mereka. Demang Yasa dengan kemampuan berpedangnya yang mumpuni tidak mampu menguasai jalannya pertarungan. Serangan Jalada bagai ombak di tepi pantai, terkadang kuat dan agresif, kadang pula tenang dan hanya bertahan.

Sementara itu para perampok Tanduk Api lain mulai mampu bertahan. Mereka yang sebelumnya kalah jumlah, dengan datangnya bala bantuan kini berhasil menyeimbangkan tempo pertempuran. Walaupun satu orang perampok tewas, namun dia juga berhasil menyeret satu atau dua orang dari pihak Janti ke liang kubur.

Malam semakin larut, tanah semakin memerah karena darah. Puluhan nyawa berjatuhan, puluhan luka pun menghias di sekujur tubuh orang orang yang bertarung.

Di sudut lain pusat kademangan, enam sosok berlari menembus malam. Di belakang mereka, dua jasad tergeletak bersimbah darah.


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status