Awan tebal menyelimuti mentari pagi saat Janu keluar dari rumah Mbah Kunti. Dengan berbekal parang, sebuah kain, dan seutas tali dari rotan, dia siap berangkat ke hutan. Seperti biasa, setiap pagi dia mencari kayu bakar, buah buahan, rempah, dan tanaman obat di hutan.
Di depan rumah, dia sudah ditunggu oleh salah satu kawannya untuk pergi ke hutan bersama. Anak itu bertubuh pendek, dan berusia sekitar delapan tahun. Dengan raut muka yang berseri seri dan pipi yang bulat penuh, membuatnya terlihat menggemaskan.
"Kak Janu, hari ini kita mau cari kayu dimana?" Tanya anak itu malu malu.
"Kemarin kita sudah ke Sungai Jambon, sekarang kita coba ke timur, ke Bukit Siloyo. Disana kan banyak pohon mangga tumbuh, siapa tahu sudah ada yang berbuah." Saran Janu.
Belum lima langkah mereka berjalan, Janu berhenti sejenak. Sambil menatap anak itu, Janu bertanya, "Tunggu sebentar Wulung! Tarok, Basma, dan yang lain kok tidak kelihatan? Kemana mereka?"
"Eh, anu kak, emm... Mereka katanya mau membantu bapaknya di sawah." Jawab Wulung pelan.
"Huft, ya sudah. Kita berdua saja yang cari kayu bakar. Nanti siang kalau mereka sudah selesai pekerjaannya, gantian nanti aku suruh masak."
"Emm." Wulung mengangguk pelan. Sambil berjalan, dia mengikuti Janu dibelakangnya.
Wulung adalah salah satu anak yang juga ikut bekerja di rumah Demang Yasa. Anak itu sangat penurut dan sedikit pemalu. Dia juga seorang yatim piatu sama seperti Janu. Kedua orang tuanya meninggal setahun yang lalu diserang binatang buas saat berdagang ke wilayah Masin. Karena hal itulah Wulung yang ditinggal sendiri menjadi sangat akrab dengan Janu.
Di tempat lain, Demang Yasa tengah berdiri diam di depan gerbang desa. Di sebelahnya, Ki Nambi yang sudah sangat tua tengah berjalan mondar mandir dengan wajah tidak sabaran. Sedari gelap hingga cahaya mentari menembus mendung, mereka sudah ada di tempat itu.
Lama mereka menunggu sesuatu, akhirnya muncul dua orang penunggang kuda datang dari arah wilayah Gunung Rahastra. Melihat sang demang sudah menunggu di depan gerbang, mereka pun berhenti dan turun dari kudanya.
"Lapor tuan demang! Kami baru saja kembali dari Kademangan Gunung Rahastra. Semalam kami mendapat informasi kalau kemarin sore Demang Purwakanta sudah bertarung dan kalah dari Jalada."
"Terus?"
"Dari cerita warga yang melarikan diri, sesaat setelah Demang Purwakanta kalah, para prajurit yang hendak membalas dendam mulai menyerang. Namun disini Jalada dan kawanannya dengan mudah mengalahkan mereka semua. Sebagian besar dari para prajurit pun tewas. Dari sini kekacauan terjadi, dan banyak warga yang melarikan diri." Lapor sang penunggang kuda.
'Hmm, kekuatan Jalada semakin meningkat. Apa mungkin karena gulungan kitab itu ya?' Batin Demang Yasa.
"Bagaimana dengan warga yang melarikan diri? Apa kalian telah menyuruh mereka untuk berlindung kemari?" Tanya Ki Nambi.
"Semalaman kami telah mengarahkan warga yang selamat untuk bersembunyi di pedesaan sekitar wilayah Janti."
Belum sempat keempatnya selesai membicarakan informasi yang didapat, terdengar suara derap kuda menggema dari ujung jalan. Terlihat serombongan penunggang kuda menuju ke arah mereka. Kali ini jumlah rombongan itu cukup besar.
"Demang Yasa! Hahaha... Kebetulan sekali kau sudah ada disini. Ayo kita bertarung!" Teriak seorang lelaki kekar penunggang kuda. Sambil berteriak dia mengerahkan semua penunggang kuda lainnya untuk mempercepat laju kudanya.
"Kalian berdua! Cepat masuk ke dalam desa. Peringatkan seluruh warga untuk lari dari sini! Perintahkan pula semua prajurit untuk segera datang kemari!" Perintah Demang Yasa kepada dua orang mata matanya.
"Ki Nambi, tolong lindungi warga desa untuk melarikan diri. Biar yang disini jadi urusanku."
Tanpa kata, ketiga bawahannya itu segera masuk ke dalam desa. Tak lama kemudian terdengar suara kentongan tanda bahaya menggema.
Setelah memerintahkan ketiga bawahannya, sang demang membalikkan badan menghadap para perampok. Dengan gagah berani, dia seorang diri menghadapi mereka. Tatapannya tajam, seakan hendak menghadapi mangsa, namun dengan cepat pula dibalas oleh Jalada dengan tatapan sinis. Sesaat mereka berhadapan, beberapa anak buah Jalada mengitari keduanya, membentuk sebuah arena pertarungan. Sisanya, terus memacu kuda mereka masuk ke dalam desa.
"Demang Yasa, mari kita buktikan siapa sekarang yang lebih kuat diantara kita."
Para pendekar sakti mandraguna bertempur dengan si raksasa Kurupa. Mereka melakukan pertempuran dengan berbagai serangan yang luar biasa kuat dan dalam jangkauan yang luas. Beberapa hari mereka bertempur, menyebabkan wilayah itu menjadi hancur. Badai angin, gempa bumi, gunung meletus, bahkan sungai pun meluap menyebabkan banjir bandang ke segala penjuru. Tanah di hutan Trangil sudah tidak berbentuk, rusak dan gersang, tidak ada tanda kehidupan di atasnya.Selama lima hari bertempur, Kurupa mulai terdesak. Dia yang hanya seorang diri akhirnya tidak mampu mengimbangi kekuatan para pendekar yang bersatu. Kurupa kemudian melarikan diri dengan menghilang dibalik udara hampa. Para pendekar tidak mampu melacak keberadaannya, aura dan jejaknya semua hilang seketika."Aaarrgghh! Kurang ajar si Kurupa itu! Kita tidak boleh membiarkannya lolos begitu saja, kuta harus mencarinya sampai ketemu!" Ki Ekadanta marah mengetahui Kurupa hilang di depan mata."Kalian semua tidak us
"Hei, babi dari Pinus Angin! Hadapi aku kalau kau sanggup!" Tantang si wanita penghadang."Huh! Nyi Kupita, suamimu sudah mati di tangan kami! Kini saatnya giliranmu ikut suamimu ke alam kematian!""Heh! Kejar aku kalau kau sanggup!"Nyi Kupita bergerak bagai angin, dia berlalu menghindari keramaian, diikuti oleh Suli yang mengejarnya. Mereka berdua bergerak menembus kobaran api, menuju ke suatu tempat yang lain.Di sebuah bukit sang wanita berhenti, punggungnya membelakangi Suli."Kena kau sekarang! Beraninya kau mengacaukan rencanaku yang sudah aku buat selama bertahun tahun." Ucap wanita itu.Suli berhenti, dia waspada. Apa maksud dari ucapan Nyi Kupita itu."Apa kau tahu siapa aku?" Tanya Nyi Kupita. Suaranya perlahan mulai berubah agak berat."Apa kau tahu? Ha?!""Aku adalah Gendri Kupita! Penguasa gunung dan lembah! Kau tak akan sanggup melawanku! Hahaha..." Wanita itu berteriak dan tertawa terbahak bahak. Dia kemu
Beberapa waktu para panglima Mataram dan pendekar dari berbagai perguruan melanjutkan pembicaraan. Mereka membahas teknis pergerakan mereka. Suli dan para murid Perguruan Pinus Angin bergerak dari arah barat. Mereka mengepung ke timur dan langsung menuju ke sumber ritual berlangsung.Selesai pembahasan, mereka pun segera bertindak. Selesai persiapan, Suli menuju ke bagian barat hutan Trangil, lantas bersembunyi di balik pepohonan.Tidak lama, sebuah asap hitam membubung tinggi dari berbagai arah. Api menggelora tinggi melebihi pohon, membakar sisi sisi hutan. Api itu menjalar dari satu pohon ke pohon yang lain, menutup bagian luar hutan, terus merasuk semakin jauh ke dalam.Para prajurit dan pendekar yang bersembunyi di luar hutan juga mulai merangsek masuk dari celah kobaran api. Mereka bergerak sesuai rencana, menutup seluruh pergerakan para penganut ilmu hitam.Melihat api yang berkobar sangat besar dari segala arah, para penganut ilmu hitam tetap tena
Beberapa hari setelah penyerangan ke sarang perampok Tanduk Api, Janu dan kawan kawan berpisah dengan Suli. Mereka kembali ke Perguruan Pinus Angin, sementara Suli masih melanjutkan tugasnya. Sebelumnya, para tawanan sudah dikembalikan ke desa masing masing oleh para prajurit Lasem."Kalau kalian mendapat tugas semacam ini lagi, butuh dua kali lagi agar nilainya bisa ditukar dengan ramuan mantra ilusi. Aku jamin ramuan itu akan sangat berguna bagi kalian." Saran Suli saat mereka hendak balik ke perguruan."Ramuan mantra ilusi? Apa itu kak?" Tanya Malya penasaran."Itu adalah semacam ramuan mujarab untuk melancarkan kemampuan berpikir kita. Ramuan itu sangat penting apabila kalian menginginkan sebuah pencerahan. Tapi ingat! Ramuan itu hanya boleh diminum sekali saja.""Hmm, baik kak! Sekarang kami balik dulu, selamat tinggal kak Suli! Sampia jumpa nanti di perguruan."Tujuh orang lelaki dan dua perempuan berjalan kembali menuju ke perguruan. Mereka
"Kak Suli! Semua kawanan perampok sudah kami tumbangkan. Jalada, Andaka, dan Kijan sudah tewas semua, sisa Nyi Kupita yang berhasil melarikan diri ke hutan." Lapor Wulung."Coba kalian periksa sekali lagi, siapa tahu masih ada yang bersembunyi di dalam pondok tau di pinggir bukit.""Baik kak!"Wulung lantas mengajak beberapa murid lain untuk berkeliling. Sementara itu Malya berdiri terpaku menatap Janu yang tengah bermeditasi menyembuhkan diri."Kak, apa dia baik baik saja?" Tanya Malya kepada Suli."Dia baik baik saja, serangan tadi hanya melukai bagian dalam sedikit saja, tidak berpengaruh besar. Dengan ramuan buatanku ini, semua luka dalam akan sembuh seketika, bahkan mungkin bisa memicu peningkatan kekebalan tubuh menjadi lebih baik lagi." Jawab Suli santai."Ramuan macam apa itu kak?" Gumam Malya."Hehehe, kau tidak perlu tahu. Ini rahasia!" Suli tersenyum tipis."Aish! Dasar kakak gendut!" Umpat Malya sedikit kecewa. Dia
Jalada menyerang dengan membabi buta, tidak sadar bahwa senjatanya rusak parah melawan pisau Dwitungga Baruna. Sampai akhirnya goloknya patah, barulah dia mampu dibekuk oleh Janu. Dengan mengorbankan dada kanannya, Janu berhasil menghujamkan pisaunya ke perut Jalada. Ditambah dengan luka yang cukup lebar di leher, membuat lelaki itu pun terjatuh kehilangan nyawa.Para pengikut Jalada kaget melihat pimpinan mereka tewas di tangan Janu. Mereka serasa tidak percaya melihat junjungannya yang selama ini dianggap paling kuat dan brutal bisa sampai meregang nyawa dikalahkan oleh Janu.Kijan, Andaka, dan para wakil perampok yang lain pun juga ikut kaget. Keringat dingin mengucur deras, kini tidak ada lagi yang mampu menahan serangan para murid Perguruan Pinus Angin. Beberapa langsung berlari melarikan diri, sebagian besar masih terdiam di tempat.Melihat Jalada tewas, Nyi Kupita langsung ambil langkah seribu. Dia pergi begitu saja dari hadapan Suli yang tadi sempat mela