Beranda / Pendekar / Janu: Tahap Awal / CP 5. Perdebatan

Share

CP 5. Perdebatan

Penulis: Moa
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-21 17:46:44

Gerobak kuda terus melaju kencang menuruni bukit hingga bertemu dengan sebuah jalan setapak. Jalan itu adalah salah satu jalur utama yang mengarah ke wilayah dalam Kademangan Janti. Disana terdapat pusat pemukiman warga dan pusat pemerintahan Kademangan Janti, sebuah kademangan yang dipimpin okeh seorang demang yang sangat adil bernama Demang Yasa.

Didalam sebuah rumah yang tampak paling besar di Kademangan Janti, tiga orang lelaki tergeletak di atas sebuah tikar bambu. Tubuh mereka penuh luka, baik itu luka tusukan, sayatan, maupun lebam. Dua orang dari mereka sudah tak bernyawa lagi, sementara satunya sudah berada di ujung nafas.

Di sekeliling tiga orang itu, beberapa orang lainnya menunjukkan ekspresi yang berbeda beda. Ada yang menerawang, serius, marah, sedih, cemberut, ada pula yang kelihatan bingung. Walau begitu, orang orang itu memiliki satu pertanyaan yang sama di benak mereka, mengapa gerombolan perampok Tanduk Api berani melakukan aksi penjarahan sampai ke Kademangan Janti.

Seorang lelaki paruh baya yang masih tampak gagah dengan kumis tipis duduk serius di depan ketiga lelaki yabg terbaring itu. Tangannya bersedekap, kepalanya tertunduk, dan raut wajahnya tegang. Tampak sekali bahwa lelaki itu sedang berpikir keras.

Di belakangnya, berdiri seorang wanita paruh baya berwajah lembut, berusaha membuatnya rileks dengan memijit pundaknya. Sementara itu beberapa orang di sekelilingnya diam seribu bahasa, mereka tidak berani mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiran mereka sebelum sang lelaki tersebut berbicara.

Seorang lelaki muda tidak sabaran hendak berbicara sebelum tiba tiba disenggol oleh lelaki tua di sebelahnya. Mata rekannya itu berkedip mengisyaratkan untuk diam dahulu. Beberapa orang lainnya tidak berani membuka mulut, bahkan bernafas pun mereka atur sepelan mungkin agar tak terdengar.

Ketegangan dan keheningan itu pecah saat lelaki yang terbaring di tikar bambu bersusah payah mencoba bersuara.

"Tu-tuan demang, sekali lagi saya minta tolong..." Kalimatnya terbata bata, "Selamat-kanlah desa... kami."

Lelaki itu kemudian menghembuskan nafas terakhirnya setelah bersusah payah berucap. Di sebelahnya sang demang tertunduk dan mengangguk. Sebuah rasa yang amat sakit menghujam dadanya, sebutir air mata mengalir.

"Selama nyawa Demang Yasa ini masih menancap di dada, aku akan menghentikan kejahatan yang telah melukai Kademangan Janti! Itu janjiku." Sambil berucap, sang lelaki paruh baya menatap jasad yang sudah terbujur kaku dihadapannya.

Tampak dari siratan mata sang demang menunjukan tekad yang bulat dan amarah yang tak terbendung. Tangannya mengepal kencang, tak sadar kukunya menancap menembus kukit. Darah segar menyembul dari kulit yang terkoyak.

"Sesepuh sekalian, kalian sudah mendengar sendiri informasi tadi. Kalian juga telah melihat bagaimana tiga buah nyawa terbuang dihadapan kalian. Belum lagi entah berapa nyawa yang kita masih belum tahu. Para gerombolan perampok Tanduk Api yang selama ini terkenal di wilayah Kademangan Gunung Rahastra kini sudah berani menyerang hingga ke Janti. Sekarang saya akan meminta bagaimana pendapat para sesepuh dan mantri sekalian." Ucap Demang Yasa sambil menatap masing masing orang di dalam ruangan.

Lelaki muda yang sedari tadi sudah ingin bicara segera membuka mulut, "Tuan demang, apa yang dilakukan gerombolan Tanduk Api sudah sangat melebihi batas. Di wilayah Gunung Rahastra sendiri kabarnya banyak dukuh dan desa yang bahkan sampai diungsikan karena banyak warga yang tewas. Kalau gerombolan ini sudah berani melakukan kekacauan disini, maka saya takut wilayah Janti ini nantinya akan semakin banyak terjadi pertumpahan darah."

"Oleh sebab itu, saya Joko Seno, siap apabila diutus untuk membasmi gerombolan tersebut." Lanjutnya.

"Jangan gegabah dulu anak muda, sebentar. Tuan demang, maaf kalau saya lancang. Apa tidak lebih baik kalau kita pikirkan dahulu rencana yang lebih matang dan cari informasi lebih dalam tentang seberapa kuat gerombolan ini." Ujar salah satu sesepuh desa.

Seorang lelaki bertubuh kekar menyela, "Apa yang disampaikan Ki Nambi barusan ada benarnya juga, kita tidak boleh gegabah. Namun situasi disini sudah temasuk gawat, dua desa di perbatasan Janti sudah menjadi korban. Sampai kapan lagi kita harus menunggu? Apa harus ada korban jiwa lagi sebelum kita sadar kalau ini sudah melebihi batas?!"

"Darwis, jangan gegabah. Ingat! Demang Dhanacitra dari Gunung Rahastra saja kewalahan mencari dan melawan gerombolan itu! Apalagi disini kita tidak punya banyak informasi tentang kekuatan mereka. Yang kita tau hanya nama dan ciri ciri para pentolan mereka, namun kita buta akan kekuatan mereka."

"Maaf Ki Nambi, saya rasa kekuatan kita tidak kalah hebat dari mereka. Seberapa besar kekuatan sebuah gerombolan perampok dibanding kita yang pernah belajar ilmu tenaga dalam." Sahut Joko Seno kembali.

Ki Nambi ingin kembali berkomentar saat seorang warga tiba tiba berlari masuk ke dalam ruangan. Wajahnya sedikit panik, dan nafasnya tersengal. Dia segera menghadap sang demang.


Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Janu: Tahap Awal   CP 121. Para Pemberontak Takdir

    Para pendekar sakti mandraguna bertempur dengan si raksasa Kurupa. Mereka melakukan pertempuran dengan berbagai serangan yang luar biasa kuat dan dalam jangkauan yang luas. Beberapa hari mereka bertempur, menyebabkan wilayah itu menjadi hancur. Badai angin, gempa bumi, gunung meletus, bahkan sungai pun meluap menyebabkan banjir bandang ke segala penjuru. Tanah di hutan Trangil sudah tidak berbentuk, rusak dan gersang, tidak ada tanda kehidupan di atasnya.Selama lima hari bertempur, Kurupa mulai terdesak. Dia yang hanya seorang diri akhirnya tidak mampu mengimbangi kekuatan para pendekar yang bersatu. Kurupa kemudian melarikan diri dengan menghilang dibalik udara hampa. Para pendekar tidak mampu melacak keberadaannya, aura dan jejaknya semua hilang seketika."Aaarrgghh! Kurang ajar si Kurupa itu! Kita tidak boleh membiarkannya lolos begitu saja, kuta harus mencarinya sampai ketemu!" Ki Ekadanta marah mengetahui Kurupa hilang di depan mata."Kalian semua tidak us

  • Janu: Tahap Awal   CP 120. Kurupa

    "Hei, babi dari Pinus Angin! Hadapi aku kalau kau sanggup!" Tantang si wanita penghadang."Huh! Nyi Kupita, suamimu sudah mati di tangan kami! Kini saatnya giliranmu ikut suamimu ke alam kematian!""Heh! Kejar aku kalau kau sanggup!"Nyi Kupita bergerak bagai angin, dia berlalu menghindari keramaian, diikuti oleh Suli yang mengejarnya. Mereka berdua bergerak menembus kobaran api, menuju ke suatu tempat yang lain.Di sebuah bukit sang wanita berhenti, punggungnya membelakangi Suli."Kena kau sekarang! Beraninya kau mengacaukan rencanaku yang sudah aku buat selama bertahun tahun." Ucap wanita itu.Suli berhenti, dia waspada. Apa maksud dari ucapan Nyi Kupita itu."Apa kau tahu siapa aku?" Tanya Nyi Kupita. Suaranya perlahan mulai berubah agak berat."Apa kau tahu? Ha?!""Aku adalah Gendri Kupita! Penguasa gunung dan lembah! Kau tak akan sanggup melawanku! Hahaha..." Wanita itu berteriak dan tertawa terbahak bahak. Dia kemu

  • Janu: Tahap Awal   CP 119. Target Berkumpul

    Beberapa waktu para panglima Mataram dan pendekar dari berbagai perguruan melanjutkan pembicaraan. Mereka membahas teknis pergerakan mereka. Suli dan para murid Perguruan Pinus Angin bergerak dari arah barat. Mereka mengepung ke timur dan langsung menuju ke sumber ritual berlangsung.Selesai pembahasan, mereka pun segera bertindak. Selesai persiapan, Suli menuju ke bagian barat hutan Trangil, lantas bersembunyi di balik pepohonan.Tidak lama, sebuah asap hitam membubung tinggi dari berbagai arah. Api menggelora tinggi melebihi pohon, membakar sisi sisi hutan. Api itu menjalar dari satu pohon ke pohon yang lain, menutup bagian luar hutan, terus merasuk semakin jauh ke dalam.Para prajurit dan pendekar yang bersembunyi di luar hutan juga mulai merangsek masuk dari celah kobaran api. Mereka bergerak sesuai rencana, menutup seluruh pergerakan para penganut ilmu hitam.Melihat api yang berkobar sangat besar dari segala arah, para penganut ilmu hitam tetap tena

  • Janu: Tahap Awal   CP 118. Penyerapan Belum Usai

    Beberapa hari setelah penyerangan ke sarang perampok Tanduk Api, Janu dan kawan kawan berpisah dengan Suli. Mereka kembali ke Perguruan Pinus Angin, sementara Suli masih melanjutkan tugasnya. Sebelumnya, para tawanan sudah dikembalikan ke desa masing masing oleh para prajurit Lasem."Kalau kalian mendapat tugas semacam ini lagi, butuh dua kali lagi agar nilainya bisa ditukar dengan ramuan mantra ilusi. Aku jamin ramuan itu akan sangat berguna bagi kalian." Saran Suli saat mereka hendak balik ke perguruan."Ramuan mantra ilusi? Apa itu kak?" Tanya Malya penasaran."Itu adalah semacam ramuan mujarab untuk melancarkan kemampuan berpikir kita. Ramuan itu sangat penting apabila kalian menginginkan sebuah pencerahan. Tapi ingat! Ramuan itu hanya boleh diminum sekali saja.""Hmm, baik kak! Sekarang kami balik dulu, selamat tinggal kak Suli! Sampia jumpa nanti di perguruan."Tujuh orang lelaki dan dua perempuan berjalan kembali menuju ke perguruan. Mereka

  • Janu: Tahap Awal   CP 117. Pasca Penyerangan

    "Kak Suli! Semua kawanan perampok sudah kami tumbangkan. Jalada, Andaka, dan Kijan sudah tewas semua, sisa Nyi Kupita yang berhasil melarikan diri ke hutan." Lapor Wulung."Coba kalian periksa sekali lagi, siapa tahu masih ada yang bersembunyi di dalam pondok tau di pinggir bukit.""Baik kak!"Wulung lantas mengajak beberapa murid lain untuk berkeliling. Sementara itu Malya berdiri terpaku menatap Janu yang tengah bermeditasi menyembuhkan diri."Kak, apa dia baik baik saja?" Tanya Malya kepada Suli."Dia baik baik saja, serangan tadi hanya melukai bagian dalam sedikit saja, tidak berpengaruh besar. Dengan ramuan buatanku ini, semua luka dalam akan sembuh seketika, bahkan mungkin bisa memicu peningkatan kekebalan tubuh menjadi lebih baik lagi." Jawab Suli santai."Ramuan macam apa itu kak?" Gumam Malya."Hehehe, kau tidak perlu tahu. Ini rahasia!" Suli tersenyum tipis."Aish! Dasar kakak gendut!" Umpat Malya sedikit kecewa. Dia

  • Janu: Tahap Awal   CP 116. Kehancuran Tanduk Api

    Jalada menyerang dengan membabi buta, tidak sadar bahwa senjatanya rusak parah melawan pisau Dwitungga Baruna. Sampai akhirnya goloknya patah, barulah dia mampu dibekuk oleh Janu. Dengan mengorbankan dada kanannya, Janu berhasil menghujamkan pisaunya ke perut Jalada. Ditambah dengan luka yang cukup lebar di leher, membuat lelaki itu pun terjatuh kehilangan nyawa.Para pengikut Jalada kaget melihat pimpinan mereka tewas di tangan Janu. Mereka serasa tidak percaya melihat junjungannya yang selama ini dianggap paling kuat dan brutal bisa sampai meregang nyawa dikalahkan oleh Janu.Kijan, Andaka, dan para wakil perampok yang lain pun juga ikut kaget. Keringat dingin mengucur deras, kini tidak ada lagi yang mampu menahan serangan para murid Perguruan Pinus Angin. Beberapa langsung berlari melarikan diri, sebagian besar masih terdiam di tempat.Melihat Jalada tewas, Nyi Kupita langsung ambil langkah seribu. Dia pergi begitu saja dari hadapan Suli yang tadi sempat mela

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status