Leo duduk sendirian di ruang tamu rumahnya. Tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin, sementara pikirannya berkelana. Raut wajahnya tampak serius, gelisah, dan penuh pertimbangan.Ia baru saja kembali dari kunjungannya ke kantor cabang perusahaan Bu Mela, dan sejauh ini belum ada satu pun petunjuk berarti. Semua orang yang ditanyainya hanya tahu Bu Mela sebagai wanita cerdas, ambisius, dan pewaris dari mendiang suaminya yang kaya raya. Tidak ada satu pun informasi tentang masa lalunya, apalagi tentang Dinda."Bagaimana ini? Bagaimana caranya aku bisa menemukan informasi yang jelas tentangnya?" gumam Leo.Ia menghela napas panjang. Ia tahu waktunya semakin sempit. Bu Mela semakin agresif, terus mendesaknya untuk menceraikan Dinda dan menikah dengannya. Ancaman-ancaman terus dilontarkan dengan licik dan manipulatif. Dan sekarang Leo merasa harus mengambil risiko yang lebih besar.Leo teringat sesuatu. Dulu saat awal magang, ia sempat melihat foto tua di dalam laci ruang kerja B
Leo berjalan pelan menyusuri lorong kantor pusat yang sudah mulai sepi. Setelah pertemuan tegang pagi tadi dengan Bu Mela, pikirannya tidak bisa tenang. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu, terutama soal Dinda.Ia mulai bertanya ke beberapa staf senior yang sudah lama bekerja di sana."Pak Reza, saya boleh tanya sedikit soal Bu Mela?" Leo membuka percakapan saat bertemu salah satu manajer senior di pantry.Pak Reza mengangkat alisnya, lalu tersenyum kaku. "Tanya apa, Tuan?""Soal masa lalunya. Pernah dengar nggak, siapa dia sebelum menikah sama Pak Haris?"Pak Reza terdiam sebentar, lalu menggeleng pelan. "Nggak banyak yang tahu. Dia muncul tiba-tiba, langsung nikah sama pemilik perusahaan, Pak Haris. Setelah suaminya meninggal, semua harta jatuh ke dia.""Dia punya anak?" tanya Leo, berharap ada celah."Setahu saya sih, nggak ada yang pernah lihat atau dengar dia punya anak. Hidupnya juga sangat tertutup."Leo mengangguk pelan. Keterangan itu membuatnya semakin curiga
Leo mengangguk pelan. "Yah, karena tidak ada lagi yang tahu permasalahan ini selain ibumu.""Ini sudah keterlaluan," suara Dinda bergetar. "Dia menyebarkan fitnah, Mas!"Leo menutup laptopnya. "Dia sedang main api, dan aku tak akan diam saja. Kalau dia pikir aku akan mundur karena ancaman seperti ini, dia salah besar."Dinda memeluk suaminya dari samping. “Kamu yakin bisa melawannya?"Leo memejamkan mata sejenak. “/"Aku tak mau kamu lagi yang jadi korban. Sudah cukup. Sekarang aku yang akan menghadapi dia."**Malam harinya, ponsel Leo kembali berdering. Kali ini bukan pesan biasa, tapi voice note dari nomor yang tak dikenal, tapi Leo tahu, itu suara Bu Mela.“Leo, seharusnya kamu tahu posisimu. Aku bisa membuat reputasimu hancur dalam semalam. Kalau kamu tidak datang dan bicara baik-baik denganku, aku akan sebarkan semuanya, termasuk rekaman CCTV di ruangan itu. Ingat, kamu bukan siapa-siapa di dunia ini tanpaku…"Leo memutar rekaman itu berulang-ulang, sementara wajahnya mulai menge
Pagi itu, suasana rumah masih hening. Matahari baru saja menyinari tirai tipis jendela kamar mereka. Dinda yang sedang duduk di tepi ranjang, menatap ponsel Leo yang berdering. Nama 'Bu Mela' terpampang di layar. Sekilas Dinda hanya menatapnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan, namun akhirnya ia mengangkat panggilan itu."Halo,"ucap Dinda pelan."Dinda?" suara Bu Mela terdengar dari seberang, seolah kaget. "Mana Leo? Kenapa dia belum berangkat?"Dinda menarik napas panjang. "Mas Leo nggak masuk kerja hari ini, Mah," jawabnya singkat, berusaha menahan emosi yang masih menggantung dalam dirinya. Ia tidak ingin memperpanjang pembicaraan, tidak ingin menunjukkan betapa dalam luka yang ditorehkan ibunya sendiri. "Kami butuh waktu berduaan!"Tanpa menunggu respons lebih lanjut, Dinda langsung menutup telepon. Ia menatap layar ponsel sejenak, lalu meletakkannya di meja kecil di samping ranjang. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah karena tekanan emosi.Tak lama, Leo
"Tidak, Pak… Bukan soal itu."Dinda menggeleng."Jangan mungkiri. Sejak pertemuan terakhir kita di rumah itu, kamu berubah. Aku tahu aku salah, tapi-""Pak, aku tidak ingin memperpanjang itu semua. Aku sudah lupakan. Sekarang saya hanya ingin fokus pada keluarga," potong Dinda."Keluarga?" Pak Bram tersenyum sinis. "Kamu yakin bisa hidup tenang dengan Leo?"Dinda terdiam, rahangnya mengeras. Ia tahu Pak Bram tahu sesuatu, dan itu membuatnya tidak nyaman.Pak Bram berjalan perlahan mendekatinya lagi. "Kalau memang karena aku, Dinda… setidaknya katakan dengan jujur. Jangan pergi begitu saja."Dinda berdiri dari duduknya. "Pak, ini keputusanku. Aku akan ajukan surat pengunduran diri hari ini.""Dinda…." Pak Bram memanggil, tapi suara itu kini tak lagi penuh wibawa. Ada luka, ada rasa kehilangan yang terselip di dalamnya.Dinda hanya menunduk, lalu melangkah keluar dari ruangan itu tanpa memberi kesempatan bagi Pak Bram untuk bicara lebih jauh.Saat pintu tertutup, Pak Bram menghempaskan
Leo menahan napas. Suasana ruangan jadi panas."Maaf, Bu. Jujur saja... Aku nggak ingin hubungan seperti itu lagi terjadi," ucapnya."Karena, aku sadar itu salah, Bu. Dan aku ingin memperbaiki semuanya, mulai dari sekarang.""Memperbaiki?" Bu Mela tertawa sinis. "Memperbaiki dengan cara kabur? Dengan membawa Dinda pergi dari rumah?""Itu bukan kabur. Itu langkah untuk menyelamatkan rumah tanggaku dengan Dinda, Bu," balas Leo, ia berusaha tenang.Bu Mela melangkah maju, berdiri di depan Leo. "Kalau begitu, ceraikan Dinda?"Sontak Leo terbelalak. "Apa?""Ceraikan dia, dan nikahi aku. Kita bisa hidup bersama, Leo. Aku sudah tidak peduli lagi apa kata orang. Aku ingin kamu jadi suamiku," ucap Bu Mela dengan nada penuh obsesi.Leo mundur satu langkah. "Bu, sadar nggak apa yang baru saja Ibu bilang? Ini... ini gila!""Aku serius, Leo." Suara Bu Mela bergetar. "Selama ini aku mempertahankan Dinda hanya demi kamu. Aku membiarkan dia tinggal di rumah, aku pura-pura jadi ibu yang baik. Tapi hat