Chapter: AIR MATA KEBAHAGIAAN Pagi itu udara terasa berbeda. Matahari baru saja muncul dari ufuk timur, sinarnya masuk melalui sela-sela tirai kamar. Dinda terbangun dengan napas terengah, tangannya refleks memegang perut yang terasa menegang. "Mas…," suaranya lirih, namun terdengar panik.Leo yang sedang bersiap di meja rias langsung berbalik. "Kenapa, Sayang? Sakit?" tanyanya cemas sambil menghampiri."Kayaknya… ini sudah waktunya," jawab Dinda dengan wajah menahan sakit. Matanya berkaca-kaca.Leo langsung memanggil kedua orang tuanya, Pak Arman dan Bu Ratna, yang langsung sigap membantu. Dalam waktu singkat mereka sudah bersiap menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Leo menggenggam tangan Dinda erat, seakan tidak ingin melepaskannya sedetik pun."Sayang, tarik napas dalam… buang pelan-pelan, ya. Kita sudah dekat," ucap Leo berulang kali, mencoba menenangkan walau hatinya sendiri berdegup tak karuan.Setibanya di rumah sakit, perawat segera membawa Dinda ke ruang bersalin. Leo sempat ingin ikut masuk, tapi do
Last Updated: 2025-08-12
Chapter: Kebahagiaan Baru Satu bulan kemudian, kehidupan Leo dan Dinda terasa semakin membaik. Hari-hari mereka kini dipenuhi senyum dan ketenangan. Perut Dinda semakin membuncit, menandakan usia kandungannya telah memasuki tahap akhir. Setiap gerakan kecil dari janin di dalam rahimnya membuat Dinda tersenyum bahagia.Suatu sore, Leo duduk di sampingnya sambil menatap penuh sayang. “Aku nggak sabar, Sayang… sebentar lagi kita bisa lihat anak kita lahir,” ucapnya lirih, suaranya dipenuhi harapan dan kegembiraan.Dinda membalas tatapan itu dengan senyum hangat. "Aku juga, Mas. Rasanya campur aduk… senang, deg-degan, takut juga. Tapi aku bersyukur, anak kita lahir di keluarga yang penuh kasih."Kebahagiaan mereka semakin lengkap karena hubungan dengan mertua berjalan harmonis. Ibu Leo selalu memperhatikan Dinda, memastikan ia makan cukup, istirahat, dan tidak terlalu lelah. Setiap pagi, aroma masakan hangat buatan sang mertua menyambut mereka di meja makan, menambah suasana rumah yang begitu nyaman.Di tengah keb
Last Updated: 2025-08-12
Chapter: Pak Bram dijebloskan Pagi itu, suasana di halaman depan rumah Pak Bram terasa tegang. Udara pagi yang biasanya segar kini terasa berat, seolah ikut merasakan amarah yang membara di dada Leo. Lelaki itu melangkah cepat, langkah kakinya menghentak lantai teras kayu. Wajahnya kaku, rahang mengeras, matanya menyala dengan tatapan penuh kemarahan.Pak Bram, ayah angkatnya, sedang duduk santai di kursi rotan sambil menyeruput kopi hitam. Begitu melihat Leo datang, alisnya terangkat, seolah terkejut namun tetap berusaha mempertahankan ekspresi tenang."Ada apa pagi-pagi begini, Leo?" tanya Pak Bram, nadanya datar, tapi ada sedikit nada waspada di balik suaranya.Leo tidak langsung menjawab. Dia berdiri di hadapan ayah angkatnya itu, menatap tajam seakan ingin menembus lapisan topeng yang selama ini menutupi wajah pria tua tersebut. "Aku mau tanya, kenapa Bapak tega memfitnah Dinda?!"Pak Bram mengerutkan kening, berpura-pura tidak mengerti. "Fitnah apa? Aku nggak ngerti maksud kamu.""Jangan pura-pura nggak tahu
Last Updated: 2025-08-12
Chapter: Tuduhan PalsuPagi Hari di Kantor Baru. Matahari baru saja meninggi ketika Leo memarkir mobil di halaman gedung megah bertingkat lima. Di bagian depan, papan nama perusahaan itu terpampang jelas, kini sudah resmi atas nama Dinda Prameswari.Leo membuka pintu mobil dan tersenyum. "Ayo, Sayang. Hari ini kamu yang jadi bosnya."Dinda menatap gedung itu dengan mata berkaca-kaca. Rasanya masih seperti mimpi, bahwa tempat yang dulu menjadi sumber ketidakadilan dan rasa sakit hati, kini sepenuhnya miliknya. "Aku… nggak nyangka, Mas. Semua perjuangan kita akhirnya sampai juga di sini."Leo menggenggam tangannya. "Kita sampai di sini bukan karena kebetulan. Kamu berhak, Din. Ini memang milikmu."Mereka melangkah masuk. Begitu pintu lobi terbuka, seluruh karyawan yang sudah diberi pengarahan oleh Pak Arman berdiri rapi di sisi kanan dan kiri, bertepuk tangan menyambut kedatangan pemilik baru mereka. Beberapa karyawan yang dulu mengenal Dinda waktu kecil bahkan menahan air mata, terharu karena gadis yang dulu
Last Updated: 2025-08-11
Chapter: Mengadili Bu MelaRuang sidang penuh sesak. Kursi-kursi di barisan belakang dipenuhi wartawan, beberapa memegang kamera, siap mengabadikan setiap momen. Di kursi pengunjung, Pak Arman dan Bu Ratna duduk tegak, wajah mereka tegas namun tenang. Di depan, Leo menggenggam erat tangan Dinda, memberi kekuatan sebelum sidang dimulai. Dinda terlihat gugup, namun Leo terus memenangkannya. Ketika hakim memasuki ruangan, semua berdiri. "Sidang perkara dugaan pemalsuan dokumen dan perampasan hak ahli waris atas nama terdakwa, Melati Wulandari, dibuka." Bu Mela duduk di kursi terdakwa, mengenakan setelan rapi, tapi wajahnya pucat. Sesekali ia menoleh ke arah Leo dan Dinda dengan tatapan tajam, dia terlihat benar-benar benci. Jaksa penuntut bangkit. "Yang Mulia, kami telah mengumpulkan bukti-bukti bahwa terdakwa, Melati Wulandari, secara sengaja menyembunyikan dan memalsukan dokumen waris yang seharusnya menjadi milik saksi korban, Dinda Prameswari. Tindakan ini dilakukan untuk menguasai aset dan saham perusaha
Last Updated: 2025-08-09
Chapter: Berkas itu Berhasil KembaliLeo dan Dinda masuk ke kamar dengan langkah yang masih terasa berat, seakan-akan mereka baru saja keluar dari mimpi panjang yang belum benar-benar mereka pahami. Leo duduk di tepi ranjang, matanya masih menerawang, memikirkan percakapan barusan dengan kedua orang tua kandungnya."Aku… nggak nyangka, Sayang," ucap Leo pelan, suaranya bergetar. "Mereka… orang tuaku… ternyata selama ini hidup di dunia yang begitu jauh dari kehidupanku. Kaya raya, berpengaruh… tapi aku bahkan nggak tahu mereka ada."Dinda duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat. Ia bisa merasakan betapa campur aduknya perasaan Leo, antara terkejut, bahagia, dan masih ada sedikit rasa asing yang menyelinap."Tapi satu hal yang bikin aku lega," lanjut Leo sambil menatap mata Dinda."Mereka nggak cuma menerimaku… tapi juga mau membantumu. Kita bisa lawan Bu Mela. Kita bisa ambil kembali hakmu, Sayang."Dinda tersenyum tipis, namun matanya berkaca-kaca. "Aku senang kamu akhirnya ketemu keluargamu, Leo. Dan aku… bersy
Last Updated: 2025-08-09
Chapter: Akhir Yang Indah (END)Bulan berikutnya, cuaca cerah seakan menyambut hari yang spesial itu. Langit biru tanpa awan dan hembusan angin lembut membuat suasana semakin tenang."Sayang.., ayo siap-siap," seru Rendi dari ruang depan sambil merapikan kerah kemejanya.Lisna keluar dari kamar dengan bayi mereka yang kini mulai bisa duduk di gendongan kain. "Mau ke mana sih, Mas tumben kamu rapi banget?"Rendi tersenyum penuh misteri. "Pokoknya ikut aja."Lisna mengerutkan dahi, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. "Oke, aku ikut, asal jangan kejutan aneh-aneh.""Tenang, kali ini kejutan manis," ujar Rendi sambil membuka pintu.Perjalanan mereka diiringi canda kecil dan gelak tawa bayi mereka yang sesekali menggumam lucu. Di dalam mobil, suasana hati Rendi terlihat begitu ringan. Ia menggenggam tangan Lisna erat sambil menyetir dengan tangan satunya."Kamu tahu, Sayang…” Rendi membuka suara, matanya menatap ke jalan. "Aku jauh lebih bahagia sekarang."Lisna menoleh. "Iya, aku lihat. Kamu kelihatan lebih tenang a
Last Updated: 2025-08-04
Chapter: HarmonisSatu bulan telah berlalu sejak Rendi kembali bekerja di perusahaan lamanya. Kehidupan rumah tangga mereka perlahan membaik. Setiap pagi Rendi berangkat dengan semangat, dan setiap malam ia pulang dengan senyum di wajahnya. Gaji yang layak, lingkungan kerja yang sehat, dan kepercayaan yang mulai pulih dari Lisna, semuanya membuat hati Rendi lebih tenang.Di rumah, Lisna juga merasa lebih damai. Anak mereka tumbuh sehat, dan kini ia bisa menyaksikan sendiri perubahan besar pada suaminya.Suatu sore, setelah menidurkan anak mereka, Lisna duduk di teras bersama Rendi yang sedang menyeduh kopi."Kamu tahu, Mas?" ucap Lisna sambil menatap langit jingga."Apa, Sayang?" Rendi menyerahkan secangkir kopi padanya."Jujur, aku senang… karena akhirnya aku bisa melihat kamu jadi sosok ayah yang baik buat anak kita."Rendi menoleh, sedikit terkejut. "Maksud kamu?"Lisna tersenyum. "Dulu aku sempat takut. Takut kamu gak bisa berubah. Tapi sekarang… aku lihat sendiri. Kamu rajin, kamu perhatian, kamu
Last Updated: 2025-08-04
Chapter: Teman Lama Untuk MawarNamun momen haru itu terpotong oleh tangisan bayi mereka dari kamar sebelah. Rendi dan Lisna saling berpandangan, lalu segera bangkit dan menuju kamar si kecil.Di kamar yang diterangi lampu tidur redup, bayi mereka menangis kencang. Rendi langsung menggendongnya sementara Lisna menyiapkan botol susu."Sini, Mas. Aku kasih susunya," ucap Lisna.Rendi mengangguk dan menyerahkan bayi mereka ke pelukan Lisna. Ia menatap anak mereka dengan tatapan penuh kasih dan rasa bersalah."Maafin Papa ya, Nak… Papa janji bakal jadi ayah yang baik."Bayi itu perlahan tenang setelah menyusu, membuat suasana rumah kembali damai. Rendi duduk di sisi tempat tidur.Beberapa menit kemudian, suara dering ponsel memecah keheningan.Rendi buru-buru mengambil ponselnya dari meja. Di layar tertera nama yang sangat ia kenal: Pak Dimas – CEO perusahaan tempat Rendi dulu bekerja sebelum dipecat.Lisna menoleh sambil mengangkat alis. "Siapa lagi, Mas?" tanyanya menekan."Pak Dimas," jawab Rendi, masih ragu menekan
Last Updated: 2025-08-04
Chapter: Kejujuran Rendi Setelah melihat anaknya tertidur lelap, Rendi dan Lisna masih berang di tempat tidurnya. Mereka berdua tengah mengobrolkan tentang usaha. Hal itu membuat Lisna merasa heran dan kebingungan dengan perkataan suaminya. "Kenapa kamu pengen buka usahasendiri? Kan kamu udah kerja, Mas," ucap Lisna menatap penuh suaminya. "Setelah aku pikir-pikir, aku memilih untuk berhenti dari kerjaan itu. Aku enggak mau terus-terusan dihantui rasa bersalah," jawab Rendi pelan.Lisna memandang baik-baik suaminya yang berbaring di sebelahnya. Lisna masih kebingungan dengan perkataan Rendi. "Maksudnya gimana sih, Mas? Apa yang membuat kamu ingin berhenti dari kerjaan itu? Bukankah itu cepet dapet hasilnya?" Lisna merasa heran. "Iya, aku tahu kerjaan itu cepet banget dapet uang. Tapi aku enggak mau terus-terusan membohongi kamu, aku enggak mau mengkhianati kamu. Yang aku inginkan saat ini, kita bareng-bareng ngurus anak, aku pengen buka usaha sendiri entah itu buka toko atau usaha apa, yang jelas aku ing
Last Updated: 2025-08-04
Chapter: Pertengkaran Merasa kakinya ditepuk-tepuk akhirnya Rendi terbangun, ia membuka matanya perlahan dan langsung menatap ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya. "Jam berapa sih ini, Sayang?" tanya Rendi dengan nada yang terdengar masih ngantuk. "Udah buruan bangun. Ada yang sudah nungguin kamu tuh," balas Lisna dengan raut wajah yang terlihat marah.Rendi membuka matanya lebar-lebar ketika istrinya menunjukan Handphone-nya dan memperlihatkan isi pesan itu. Sontak Rendi kaget melihat kejadian itu, ia takut kalau istrinya mengetahui profesinya yang seorang gigolo. "Ada bisnis apa kamu sama perempuan itu?" tanya Lisna matanya menatap tajam."Kerja apa kamu sebenarnya? Kamu bilang kalau kamu itu kerja bareng sama paman kamu, terus apa maksudnya dengan perempuan yang nungguin kamu?" Lisna terus mencecar melontarkan pertanyaan yang membuat Rendi tidak bisa berkata banyak. Rendi berusaha untuk membuat istrinya tenang dan tidak memikirkan sesuatu hal yang buruk terhadapnya. "Sayang ... Kamu dengerin d
Last Updated: 2025-08-04
Chapter: Pesan Mencurigakan Rendi merasa sudah sangat kelelahan, namun biar bagaimanapun ia tidak mau mengecewakan perempuan yang sudah datang jauh-jauh untuk mendapatkan kepuasan darinya. Hingga akhirnya Rendi berusaha untuk melayani tiga perempuan lagi dan berupaya untuk bisa memuaskan mereka bertiga.Rendi meminta untuk istirahat sejenak karena nafasnya terasa berat. Tante Dewi yang melihat itu, ia sebenarnya merasa kasihan terhadap keponakannya itu, namun Rendi yang sudah menyatakan diri untuk menjadi seorang gigolo supaya bisa mengangkat kembali ekonomi keluarganya. Dengan begitu, maka tante Dewi tidak bisa berbuat banyak selain menenangkan Rendi dan terus menyemangatinya."Istirahat dulu aja, Ren," ucap Tante Dewi."Iya, Tante... Ini gila, mereka hyper semua," jawab Rendi."Gak apa-apa, Ren... Yang penting kamu dapat uang banyak hari ini," balas tante Dewi.Setelah merasa cukup beristirahat dan menikmati minuman, Rendi kembali melayani satu-persatu dari ketiga perempuan itu. Hari semakin sore, stamina pun
Last Updated: 2025-08-03
Chapter: Bab 196. END....Satu minggu terakhir terasa seperti satu bulan penuh penantian yang menyesakkan dada. Setiap pagi aku bangun dengan harapan kecil bahwa hari itu akan ada kabar dari Bunga. Setiap malam sebelum tidur aku menatap layar ponsel, berharap ada pesan atau panggilan darinya, tapi nihil. Nomornya tetap tidak aktif. Aku terus berjuang menenangkan diriku sendiri, tapi setiap detik yang berlalu justru menambah kecemasan.Raka selalu berusaha menghiburku. Di ruang tamu, di dapur, bahkan saat kami makan atau sedang sekadar duduk di teras, dia tidak pernah berhenti mengatakan hal yang sama:“Tenang. Pak Aditya pasti akan cari tahu sendiri. Percaya saja.”Aku mencoba percaya. Tapi rasa rindu dan khawatir bercampur jadi satu, membuat dada ini berat. Entah apa yang dilakukan Bunga, apa dia baik-baik saja, atau apa dia masih memikirkan aku.Malam ini, aku dan Raka sedang duduk di ruang tamu. Televisi menyala, tapi tidak ada satu pun yang benar-benar kami tonton. Pikiranku tidak berada di sini. Jauh mela
Last Updated: 2025-11-25
Chapter: Bab 195. Mengungkap Kelicikan BobiAku terdiam lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Gue bakal coba ngomong sama Andini besok,” kataku lirih. Raka tersenyum puas. “Good. Itu langkah pertama yang paling penting sekarang.” Aku menatap lampu-lampu kota yang lewat di jendela mobil. Di kepalaku hanya ada satu harapan. "Semoga semua ini benar-benar bisa menyelamatkan aku dan Bunga." *** Pagi ini aku bangun dengan perasaan yang benar-benar kacau. Rasanya perutku seperti dipelintir sejak tadi malam, sejak aku dan Raka pulang dari rumah Pak Aditya dan diusir begitu saja meski sudah membawa bukti nyata tentang kelakuan Bobi. Raka bilang aku harus tetap tenang, bahwa cepat atau lambat Pak Aditya pasti akan mencari tahu sendiri siapa Bobi sebenarnya. Tapi hati aku tetap gelisah. Sampai sekarang ponsel Bunga masih tidak aktif, dan itu membuat pikiranku semakin nggak karuan. Aku sudah rapi sejak jam tujuh pagi. Hari ini aku harus menemui seseorang, tak lain Andini. Yang dulu dijuluki “ratu es”. Yang dulu dingin, tegas,
Last Updated: 2025-11-25
Chapter: Bab 194. Bantuan Andini"Heh! Kalian pikir saya buta? Zaman sekarang orang bisa membuat foto apa saja, dan saya yakin ini cuma editan!" bentak pak Aditya.Aku hanya diam. Raka kembali meyakinkan. "Pak. Sumpah demi apa pun, ini foto asli, pelayan hotel yang memfoto langsung, jika semalam Bobi bersama perempuan lain.""Cukup! Saya tidak mau mendengar omong kosong kalian! Bobi itu lelaki yang pantas untuk Bunga, tidak seperti dia!"Aku langsung menunduk saat pak Aditya menunjuk ke arahku.Raka mencoba mengeluarkan bukti berupa rekaman, dan aku berharap itu bisa meyakinkan pak Aditya. Akan tetapi, lagi-lagi pak Aditya mengelak. "Saya tidak percaya sama kalian! Sekarang pergi! Jangan injakan kaki lagi di sini!"Deg!Hatiku terasa hancur mendengar perkataannya. Raka melihat ke arahku, lalu menarik tanganku. "Ayo, Yon. Kita pergi."Aku hanya bisa diam berjalan menuju mobil dengan langkah gontai. Udara pagi yang seharusnya menenangkan justru terasa seperti menghimpit dadaku. Suara bentakan Pak Aditya masih menggema
Last Updated: 2025-11-24
Chapter: Bab 193. Mengungkap Kebenaran Di Depan Pak Aditya Malam semakin larut. Lampu ruang tamu rumah Raka hanya tinggal satu yang menyala, redup, tapi cukup membuat ruangan tidak terasa kosong. Raka berdiri sambil meregangkan tubuhnya.“Yon, udah. Lo istirahat dulu. Jangan mikir macam-macam lagi. Besok semua kita selesain bareng-bareng,” katanya sambil menepuk bahuku.Aku hanya mengangguk pelan. “Iya, Ka. Makasih.”“Kasur tambahan gue taruh di kamar sebelah. Lo tidur duluan. Gue mau mandi sebentar,” ujarnya sebelum akhirnya melangkah menuju kamarnya.Tinggal aku sendiri di ruang tamu.Aku bersandar di sofa, memeluk bantal kecil, mencoba menenangkan napas yang terasa naik turun tak beraturan. Gelisahku tidak berkurang sedikit pun… bahkan setelah mendengar semua keyakinan Raka. Ada ruang kosong dalam dadaku yang tidak bisa diisi selain oleh satu hal, atau lebih tepatnya, satu orang. "Bunga."Nama itu terus menari dalam pikiranku. Setiap kali aku berpikir tentangnya, dadaku selalu terasa panas sekaligus perih. Rasa takut terus mencengkeramku.
Last Updated: 2025-11-24
Chapter: Bab 192. Menunggu Dalam Cemas Setengah perjalanan pulang, Raka melambatkan mobil karena lampu merah. Di momen itu, dia kembali bicara.“Lo ingat, Yon? Waktu Bunga cerita kalau Bobi pernah bikin dia nggak nyaman? Itu aja udah cukup jadi alasan buat Pak Aditya hati-hati sama dia. Tapi kenyataannya malah kebalik.”Aku mengangguk, meskipun angin dingin malam membuat tengkukku menegang. “Yah, gue ingat. Bunga pernah bilang Bobi terlalu memaksa. Dan gue yakin, kalau ada apa-apa tadi… Bunga pasti takut.”Raka mendengus kesal. “Makanya besok gue yang bicara. Lo kan tipe kalem, kalau ditekan pasti diam. Biarin gue yang ngomong. Biar dia dengar versi kita.”Aku tersenyum tipis, meski hatiku masih terasa gelisah. “Makasih, Ka. Kalau bukan lo, gue mungkin sudah menyerah sejak tadi.”Raka tertawa kecil. “Santai saja. Gue ini kan sahabat yang baik.”Mobil kembali melaju ketika lampu berubah hijau. Suara angin kembali mendominasi.Sesampainya di rumah Raka, suasana malam terasa lebih tenang. Rumahnya diterangi lampu kuning hang
Last Updated: 2025-11-23
Chapter: Bab 191. Bunga Di ManaBegitu kami parkir, Raka langsung menarik napas panjang dan menatapku serius.“Dion, lo ikut gue. Kita tanya dulu ke petugas hotel. Tapi inget, jangan emosi,” ucapnya.Aku mengangguk walau dada masih terasa sesak. Kami turun dari mobil dan berjalan cepat menuju lobi hotel. Ruangan itu wangi, dingin, mewah, kontras sekali dengan kepanikan yang kurasakan di dalam diri.Begitu tiba di meja resepsionis, Raka memberi isyarat agar aku bicara.Aku menelan ludah, memaksa suaraku stabil. “Permisi… saya mau nanya. Ada tamu atas nama Bobi Pranata?”Petugas hotel mengecek daftar. Lalu mengangguk sopan. “Betul, Pak. Ada.”Dadaku langsung berdegup makin keras. “Dia… dia datang sama seorang perempuan?”Petugas itu kembali membuka buku daftar. “Iya, Pak. Tamu tersebut check-in dengan satu orang pendamping perempuan.”Aku tercekat. Aku mencondongkan tubuh, bertanya dengan napas tak beraturan, “Siapa… siapa nama perempuan itu?”Petugas itu melihat lagi daftar registrasi, lalu menjawab tanpa ragu, “Atas
Last Updated: 2025-11-23