Adeline menggeleng dan menyahut, "Mungkin begitu. Tapi, biarkan saja dulu dia merasa bangga sekarang.""Hahaha, melihatnya begitu antusias sekarang, aku merasa agak lucu."Ekspresi Amanda pasti akan sangat menarik ketika dia akhirnya tahu bahwa Anita telah memberikan semua sahamnya kepada Adeline."Sudah malam, ayo kita pulang."Carissa mengangguk. "Oke. Lagian, ada banyak tamu yang sudah pergi. Nggak ada gunanya juga kita tinggal di sini lebih lama lagi."Keduanya meletakkan gelas mereka, lalu berpamitan pada Anita sebelum berjalan menuju pintu masuk hotel.Ketika melihat Adeline pergi tanpa melirik ke arah mereka, Shinta merasa sangat marah. "Delon, lihat putri kita yang luar biasa itu. Dia sama sekali nggak anggap serius kita sebagai orang tuanya. Mana ada putri seperti itu di dunia ini!"Shinta sengaja merendahkan suaranya karena takut orang lain akan mendengar dan menertawakannya. Akan tetapi, kemarahan yang meluap-luap dalam nadanya sama sekali tidak tersembunyi.Delon mengerutka
Setelah menyapa Lesya dan saling bertukar LINE, Amanda pergi menyapa orang lain.Di sisi lain, ketika melihat Shinta memperkenalkan Lesya kepada Amanda, wajah Carissa langsung memerah karena marah. "Apa ibumu gila? Dia jelas-jelas tahu Lesya itu pelakor yang merusak hubunganmu dengan Kaivan, tapi dia malah memperkenalkannya kepada Amanda."Adeline menjawab dengan acuh tak acuh, "Baginya, Lesya itu koneksi yang bisa membuatnya mendekati Kaivan, juga bekerja sama dengan Nusa Tech. Apa yang Lesya lakukan nggak penting baginya.""Meski ingin kenalin koneksi ke Amanda, bukankah dia juga seharusnya pilih-pilih orang? Masa semua sampah diterima tanpa terkecuali?"Saat mengingat bahwa sekarang, wanita jalang seperti Lesya bisa terang-terangan menghadiri pesta bersama Kaivan dan bertemu banyak orang dari kalangan atas, Carissa sangat geram. Bukankah pelakor sepertinya seharusnya dipermalukan habis-habisan?"Selama itu membantu Amanda, dia nggak akan peduli orang itu sampah masyarakat atau buka
Di depan kaca transparan itu, dua sosok yang samar terlihat sedang menempel erat, bagaikan sulur yang saling bertautan dalam kegelapan. Setelah beberapa saat, mereka baru berpisah.Sambil berpakaian, Amanda bertanya, "Kenapa kamu tiba-tiba datang kemari? Nggak ada yang melihatmu, 'kan?""Apa aku begitu nggak pantas dilihat orang?"Suara pria itu terdengar dingin, juga mengandung intimidasi yang menyesakkan. "Tentu saja nggak. Tapi, bukannya kita sudah sepakat untuk pura-pura nggak saling kenal sampai aku dapatkan Keluarga Thomas?""Aku melihatmu ngobrol sama Hardi tadi. Aku nggak suka caranya menatapmu dan pengen banget cungkil matanya."Amanda terkekeh pelan, lalu melingkarkan lengannya di leher pria itu dan berjinjit untuk mengecup bibirnya. "Jangan khawatir. Hidupnya nggak akan panjang lagi."Hardi mengira dirinya adalah pemburu, tetapi tidak menyadari bahwa dirinya sebenarnya adalah mangsa."Emm, kamu itu milikku. Jangan harap kamu bisa melarikan diri dariku seumur hidupmu."Amand
Adeline mengerutkan kening dan menoleh dengan tidak sabar. "Bu Shinta, kalau ada yang mau kamu katakan, langsung katakan saja di sini. Atau yang mau kamu katakan itu sesuatu yang memalukan, makanya kamu butuh cari tempat yang sepi?"Suara Adeline tidak terlalu keras atau pelan, tetapi cukup untuk didengar oleh sekitar empat atau lima orang di sekitar. Dalam sekejap, mata mereka pun tertuju pada Shinta dan Adeline.Rasa malu melintasi wajah Shinta, tetapi dia menahan amarahnya dan memaksakan seulas senyum."Kamu ngomong apa sih? Ada urusan pribadi yang mau kukatakan kepadamu. Gimanapun, ini urusan pribadimu, mana bisa aku bisa mengatakannya di depan begitu banyak orang?"Shinta yang pura-pura bersikap serbasalah membuat Adeline ingin tertawa. Orang yang tidak tahu mungkin akan berpikir Shinta sedang mempertimbangkan perasaannya."Karena itu masalah tentang aku, katakan saja di sini. Nggak ada yang nggak boleh diketahui orang lain."Jika Adeline mengikuti Shinta pergi sekarang, entah apa
"Kalau begitu, mau kujemput nanti? Kalau kemalaman, nggak aman kamu pulang sendiri.""Nggak usah. Carissa akan antar aku pulang setelah pestanya berakhir. Belakangan ini, kamu nggak berhenti lembur untuk melakukan operasi. Istirahatlah yang baik malam ini.""Oke. Kalau begitu, aku nggak ganggu kamu lagi. Selamat bersenang-senang."Setelah menutup telepon, Adeline menyentuh wajahnya yang memerah. Seulas senyum mengembang di bibirnya. Setelah dia berbalik dan pergi, sosok seseorang perlahan-lahan muncul dari balik tirai tebal.Kaivan menatap punggung Adeline dengan mata dipenuhi kesedihan.Dulu, ketika dia pulang terlambat karena lembur di perusahaan, Adeline juga akan selalu dengan lembut memintanya untuk beristirahat seperti ini. Kini, semua kelembutan Adeline telah diberikan kepada pria lain. Namun, tidak peduli betapa tidak relanya dia, dia tak lagi berhak bersaing dengan Petra.Adeline kembali ke sisi Carissa dan mereka berdua menghabiskan waktu bersama untuk beberapa saat. Selama p
Berhubung telah mengincar Adeline, Hardi mungkin akan segera bertindak. Memikirkan hal ini, Amanda menemukan kesempatan dan menghentikan Hardi di depan pintu kamar mandi."Pak Hardi, kulihat kamu baru bicara sama kakakku. Apa kamu suka sama kakakku?"Hardi melirik Amanda dan menjawab dengan wajah tanpa ekspresi. "Amanda, kamu bukan mau peringati aku untuk jangan dekati Adeline, 'kan?"Amanda tertawa dan menjawab, "Pak Hardi, jangan bercanda! Kalau kamu bisa jadi kakak iparku, aku pasti sangat banget.""Memangnya seorang gadis desa layak membuatku menikahinya?" ujar Hardi dengan nada meremehkan. Ekspresinya terlihat arogan. Dia hanya ingin mempermainkan Adeline."Rupanya begitu. Kalau begitu, aku punya cara untuk buat kamu dapatkan kakakku. Tapi, Pak Hardi harus berkorban sedikit.""Mengorbankan apa?"Senyum Amanda menjadi makin penuh arti. "Pak Hardi, aku masih nggak bisa kasih tahu kamu sekarang. Nanti, kita baru cari waktu untuk bicarakan dengan baik."Hardi melirik sekilas belahan d