Hari berikutnya,
'Aku hanya ingin memberi tahumu bahwa aku sudah merasa lebih baik, kau tidak perlu membawakanku makanan lagi.'
Setelah menimbang-nimbang beberapa saat akhirnya Greta mengirimkan pesan tersebut ke nomor Ryan. Dari ekspresi wajah Ryan setiap kali ia mengantarkan makanan, sepertinya ia tidak suka melakukan hal semacam itu untuknya dan Greta tidak ingin terlihat seperti orang yang tidak peka.
Ia mengetukkan jarinya di atas meja, menunggu jawaban Ryan. Ia tidak tahu mengapa ia sangat mengharapkan Ryan mengatakan sesuatu seperti, 'Apa kau yakin? Aku tetap akan datang ke sana untuk memastikan kau baik-baik saja.'
Namun hingga ia menghabiskan kopinya, tidak ada balasan sama sekali dari Ryan. Dia menghela nafas panjang, lalu memukul kepalanya dengan pelan beberapa kali. Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba perasaan aneh dan konyol seperti itu datang padanya.
'Ayolah Greta! Bersihkan kepalamu! Jangan mudah jatuh cinta! Lihat apa yang telah dilakukan Mike padamu! Apakah kau ingin mengulangi pengalaman buruk itu sekali lagi?' Tak tahan dengan perdebatan di kepalanya, Greta berjalan tertatih ke wastafel dan membasuh wajahnya dengan cepat sampai baju yang dikenakannya basah.
Dengan wajah dan baju yang masih basah, ia berjalan lemas mengitari dapurnya yang luas, mencari tisu untuk menyeka wajahnya. Sebelum ia sempat menemukannya, bel pintu berbunyi dengan nyaringnya.
Greta mengerutkan kening, ia sama sekali sedang menunggu seseorang. Penasaran, ia berjalan perlahan menuju pintu dan mengintip melalui lubang kecil di sana.
"Tidak mungkin!" Greta menutup mulutnya dengan wajah terkejut saat melihat seseorang yang berdiri di depan pintu apartemennya. Tanpa ragu, ia membuka pintu, mengikuti insting berburunya hingga ia lupa akan wajah dan pakaiannya yang basah.
Ryan mendelik terkejut, ia menatap Greta cukup lama. "Apa yang kau lakukan? Mengapa kau terlihat sangat basah?" tanyanya dengan kaku. Greta menunduk menatap kausnya dengan wajah memerah malu. "Bukan urusanmu, lagipula apa yang kau lakukan di sini? Bukankah aku sudah mengirimimu pesan?"
Ryan mengeluarkan ponsel dari sakunya, lalu membuka pesan dari Greta dengan kening berkerut.
"Aku baru saja membaca pesanmu," gumamnya sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.
Greta terdiam, ia merasa malu pada dirinya sendiri karena mengira Ryan datang setelah membaca pesannya. "Nah, karena aku sudah di sini, jadi ini makanan untukmu," Ryan mengulurkan kantong kertas hitam dengan tulisan 'The Food Theory' di atasnya.
"Food Theory? Kau beli makanan ini di sana? Kudengar makanan mereka enak? Tapi aku belum pernah mencobanya," oceh Greta tiba-tiba merasa senang, lidahnya sudah mendamba untuk mencoba makanan yang lezat.
Bukannya menjawab, Ryan menatap Greta dari ujung kepala hingga ujung kaki membuat Greta menatapnya dengan kesal.
"Apa yang sedang kau lakukan! Kau benar-benar mesum!" bentak Greta sambil menutupi payudaranya dengan tangannya yang bebas, ia belum sempat memakai bra sejak bangun tidur tadi.
Ryan tidak bereaksi, beberapa saat kemudian ia menghela nafas panjang dan mengangguk. "Kau benar-benar terlihat baik-baik saja, kalau begitu aku akan pergi," katanya lalu berbalik badan dan bersiap untuk pergi, tetapi Greta menahannya.
Ryan menoleh, menatap tangan Greta yang mencengkeram lengannya. Greta yang tidak sadar dengan apa yang dilakukannya langsung melepaskan tangan Ryan dan menggaruk tengkuknya dengan gugup. "Um, tadi ada semut di lenganmu," ujar Greta dengan singkat lalu dengan cepat memasuki apartemen dan menutup pintu dengan rapat.
Ia mengintip ke dalam lubang kecil di pintu, dan melihat Ryan masih berdiri disana dengan wajah agak bingung. Tetapi beberapa detik kemudian ia berbalik dan berjalan pergi dari sana.
Greta duduk di lantai sambil memukuli kepalanya beberapa kali, menyesali perbuatannya tadi. Ia seharusnya tidak memegang tangan Ryan tadi, Ryan akan berpikir buruk tentangnya setelah kejadian itu. Ia memang selalu lemah dalam urusan laki-laki. Ia bisa dengan mudah jatuh cinta dengan seseorang yang merupakan tipe idealnya. Termasuk saat pertama kali ia menjalin hubungan dengan Michael Mayer, anak presiden Amerika yang merupakan mantan tunangannya. Ia sudah memberikan semua cinta yang ia miliki hingga ia percaya saat Mike memintanya untuk menjadi istrinya, tapi ternyata ia memang terlalu bodoh hingga tidak menyadari bahwa ternyata Mike sudah mengkhianatinya sejak awal.
Greta menggelengkan kepalanya beberapa kali, berusaha menghilangkan rasa sakit yang tiba-tiba muncul lagi di dadanya. Dengan satu gerakan cepat, ia berdiri dan berjalan menuju dapur. Ia membuka kantong kertas dari Ryan dan terkejut menemukan tidak hanya sekotak ravioli tetapi juga sekotak Patches bertuliskan 'untuk meredakan nyeri sendi' di bagian depannya.
Greta memejamkan matanya rapat-rapat lalu membukanya lagi, berusaha menghilangkan perasaan aneh di kepalanya. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak jatuh cinta atau menjalin hubungan dengan pria mana pun selama setidaknya tiga tahun ke depan. Ia ingin menantang dirinya sendiri, dan menyingkirkan 'label mudah jatuh cinta' yang selama ini sangat melekat kepadanya.
*****
Sebulan kemudian,
"Lihat! Aku mendapat nilai sangat tinggi untuk tes latihan memasak foie gras! Kalian pasti ketagihan kalau mencobanya!" gerutu Greta sambil melakukan video call dengan keluarganya. Ia sangat senang karena ia baru saja menyelesaikan pendidikan kelas pendeknya setelah belajar selama hampir setahun lebih.
"Apakah kau sudah mendapatkan balasan dari The Food Theory?" tanya Amy setelah Greta selesai berbicara dengan keluarganya. Greta mengangguk riang, "Ya, mereka memintaku datang hari ini untuk wawancara," jawabnya santai.
Amy menepuk pundak Greta dengan ringan, "Kau sebaiknya melakukannya dengan baik agar kita bisa magang bersama! Aku pulang ya! Ada yang harus aku lakukan, bye!"
Greta melambaikan tangannya ke punggung Amy yang perlahan menghilang di balik pintu. Ia menarik napas dalam-dalam, gugup tentang wawancara itu. Ia telah mempersiapkan wawancara itu sejak lama. Ia sangat siap untuk terjun ke bisnis kuliner dan sangat yakin bahwa ia akan berhasil dan membanggakan orang tuanya atas pencapaiannya.
Dengan naik taksi Greta pergi ke The Food Theory yang tak jauh dari apartemennya. Ia berdandan secantik mungkin untuk mendapatkan kesan yang baik dan diterima bekerja di sana.
Setelah membayar taksi, dia memasuki gedung dan menuju ke lantai paling atas. The Food Theory merupakan restoran fine dining yang sangat mewah yang menjual pemandangan dari ketinggian sebagai daya tarik utamanya. Sesampainya di The Food Theory atau lebih sering disebut TFT, Greta disambut oleh seorang Host yang cantik berambut pirang, "Sebelah sini," ujar Host itu seraya mengarahkannya ke sebuah ruangan dengan tulisan VIP di depannya.
"Chef kami akan datang sebentar lagi, kau bisa menunggunya di sini," kata Host dengan papan nama bertuliskan Gabby yang tersemat di dadanya. "Thank you," ucap Greta dengan senyuman di wajahnya. Menit-menit berikurnya ia duduk dengan gelisah, mulutnya bergumam menghafal bahan-bahan menu unggulan di TFT, meski tak tahu apakah akan ditanya atau tidak.
Setelah menunggu selama hampir sepuluh menit, tiba-tiba pintu ruang VIP didorong terbuka dan seseorang dengan sepatu koki hitam memasuki ruangan. Greta terlalu gugup untuk menatap wajahnya, dia hanya menunduk saat melihat sepasang sepatu itu mendekatinya. Hingga tiba-tiba, "Greta?"
Suara yang sangat dikenalnya itu membuatnya mau tidak mau mendongak, suara yang telah ia lupakan selama sebulan belakangan.
"Ryan?! Apa yang kau lakukan di sini?"
*****
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Greta mengulangi pertanyaannya dengan wajah panik."Apa maksudmu? Ini restoranku, tentu saja, aku ada di sini, bukannya pertanyaannya terbalik? Harusnya aku yang menanyakan hal itu kepadamu," jawab Ryan santai. Ia menarik sebuah kursi dan duduk di atasnya.Greta menutup mulut dengan tangannya. "Apa katamu? Restoranmu? Kamu tidak bercanda, kan?" suaranya terdengar lebih keras dari yang ia maksudkan."Jika kamu masih ingin bekerja magang di sini, sebaiknya kamu mulai menurunkan nada suaramu saat berbicara denganku, kamu tau kan kita tidak berada di level yang sama," kata Ryan tegas dan datar.Greta menelan ludah, matanya tertuju pada Jaket chef berwarna hitam dengan tulisan The Food Theory terukir di atasnya. "Ya Tuhan! Harusnya aku sudah sadar dari awal! Kamu memakai jaket ini saat demo masak di kampusku, iya kan?" pekik Greta dengan mata terbelalak."Aku akan menghitung sampai tiga, jika kamu masih tidak bisa mengendalikan nada bicaramu, aku akan menca
"Greta? Kenapa kamu terlihat sangat terkejut? Aku tahu kamu pasti kesal karena dia melukai tulang ekormu, tapi dia sangat tampan sehingga aku tidak bisa berhenti memikirkannya..." Amy bergumam sambil berganti pakaian menjadi seragam dapur. Greta meringis, "Apakah kamu benar-benar menyukainya? Maksudku, apakah kau jatuh cinta padanya?" tanyanya sambil membuka lokernya dan meletakkan semua barangnya di sana. Amy tersenyum malu-malu, lalu dia menganggukkan kepalanya dengan rona merah di pipinya. "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi jantungku berdetak sangat kencang setiap kali dia berada di dekatku!" Greta mengangkat alis, "Setiap kali dia berada di dekatmu? Sudah berapa kali kamu bertemu dengannya?" tanyanya dengan sangat penasaran. "Um..." Amy mengangkat dua jari, meringis. Greta melotot, "Dua kali? Kamu hanya melihat Ryan Lewis dua kali dan kamu tahu jantungmu berdebar setiap kali berada di dekatnya?" serunya, dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ami merengut
Ponsel Greta berdering tepat setelah dia tiba di apartemennya, sebuah dari ibunya. Dia mengklik tombol hijau dan meletakkan telepon dalam mode pengeras suara. "Hai, Bu!" sapa Greta ringan, berusaha keras menyembunyikan kelelahannya. "Greta, kamu sudah pulang?" “Ya, aku baru saja sampai rumah , ibu sedang apa? Apakah ayah bersamamu?” tanya Greta sambil melepas sepatu Chef-nya. Dia meringis saat melihat kemerahan di kedua kakinya. "Aku di sini sayang, bagaimana hari pertamamu?" Itu adalah suara ayahnya. "Hi Ayah! Um, bagus, aku mendapatkan partner kerja yang sangat baik dan restorannya sangat ramai, sama sekali tidak membosankan!” oceh Greta, ia berdiri dan berjalan ke lemari es untuk mengeluarkan sekaleng bir lalu duduk di atas sofa. "Terdengar menyenangkan! Jadi siapa Koki Eksekutifnya? Apakah kami mengenalnya? Maksudku biasanya, aku dan ayahmu mengenali beberapa Koki Michelin Star," gumam Gabriel Spectre, ayah Greta. Greta bisa membayangkan pasti ibunya sedang menganggukkan ke
“Apakah kau marah padaku hanya karena aku mengatakan kepada Chef Ryan bahwa kita berkencan?” Liam mengejek sambil mendekatkan wajahnya kepada Greta yang sibuk menguleni adonan. Greta mengambil napas dalam-dalam, ini adalah kali keempat Liam bertanya hal yang sama."Berapa kali aku harus menjawab bahwa aku sama sekali tidak marah, jika kau bertanya padaku sekali lagi, aku mungkin akan benar-benar marah!" sahut Greta seraya melemparkan cangkang telur ke tangannya dengan marah.“Whoa, lihatlah dirimu! Jadi kau berani bersikap kasar padaku sekarang? Greta, aku seniormu di sini, nilai magangmu tergantung padaku, jadi sebaiknya menjaga sikapmu, atau aku tidak akan ragu-ragu untuk memberi nilai yang buruk untukmu!” oceh Liam, wajahnya terlihat sangat menjengkelkan. Bagaimana mungkin Greta sempat berpikir bahwa Liam adalah teman kerja yang baik? Ia benar-benar tidak bisa membaca karakter orang!Ia menatap Liam untuk waktu yang lama, kemudian mengangguk, "Okay kalau begitu," ia menjawab kemudi
Greta menggigit bibirnya dengan keras, dengan putus asa mencoba untuk mencegah air mata agar tidak jatuh. "Jangan coba-cona menangis, aku tidak akan melembut hanya karena kau seorang wanita, air mata itu tidak akan berguna!" Ryan berteriak dengan lengan terlipat di depan dada. Greta menelan ludah, matanya menatap Ryan dengan tajam, dia bersumpah dalam hatinya bahwa dia tidak akan pernah menumpahkan air mata di depan pria yang arogan itu. Meskipun Greta tidak memalingkan wajahnya ke arah Liam, ia tahu Liam sedang tersenyum puas mengejeknya. “Liam, kau bertanggung jawab atas semua ini, kau tahu itu bukan?” desis Ryan, menatap dingin ke arah Liam. “Ya Chef, saya akan mengambil tanggung jawab penuh atas kejadian hari ini!” sahut Liam, menegakkan punggungnya. Greta merasakan perutnya seperti di pelintir, tiba-tiba ia merasa aneh dengan situasi yang sedang ia hadapi itu, apakah seseorang sengaja melakukan hal itu kepadanya? "Dan kau," Ryan memandang kembali ke arah Greta, "Jika aku menda
“Di mana Liam?” Ryan tiba-tiba muncul di ujung Pastry Section, dia sudah mengenakan jaket Chefnya dan terlihat tampan seperti biasanya. Greta bangkit berdiri, "Dia baru saja mengirim pesan bahwa dia demam dan tidak bisa datang bekerja hari ini," jawab Greta muram.“Apakah kau sudah menyiapkan kue untuk brunch hari ini?” tanya Ryan sambil berjalan mendekat ke arah Greta."Yeah, sedang aku siapkan," jawab Greta sambil membungkuk untuk mengeluarkan tepung dari dalam lemari. Tepat saat itu dari tempatnya berdiri Ryan tidak sengaja melihat deretan Crème Brule berbaris di dalam sana. Dia mengerutkan keningnya, "Apa itu?" tanyanya, menunjuk ke sepuluh Crème Brule yang telah menjadi penyebab masalah tadi malam.“Sepuluh Crème Brule yang hilang tadi malam,” jawab Greta dengan tenang.“Aku tidak mengerti apa yang kau maksud?” Ryan bertanya dengan tidak sadar. “Mengapa kau meletakkan dessert itu di sana? Ah aku mengerti sekarang! Jadi kau meletakkan semua dessert itu di sana lalu kau lupa, iya k
Satu jam kemudian,Greta sedang sibuk mengatur kue di piring pajangan ketika Amy masuk ke dapur dengan wajah muram yang sama sekali berbeda dari yang dia tunjukkan tadi pagi. Tidak ada lagi senyum lebar di wajahnya. Greta bisa saja pura-pura bertanya, tapi dia memilih untuk tidak melakukannya dan menyibukkan diri dengan apa yang sedang dia lakukan.Tidak lama kemudian, dia melihat Amy melepas celemeknya, ia juga mengeluarkan ponselnya dari laci lalu berjalan menuju loker tanpa mengatakan apapun kepada siapapun. "Amy! Kau mau kemana?!" Greta mendengar Terry berteriak pada Amy, tetapi Amy terus berjalan pergi tanpa menjawabnya.Greta menghela nafas panjang, dia tahu Ryan tidak akan memberi kesempatan pada Amy, apa yang dilakukan Amy adalah sesuatu yang sangat kekanak-kanakan dan merupakan kesalahan yang disengaja.“Alex, bisakah kau membawa ini ke meja prasmanan? Aku harus ke toilet sebentar,” kata Greta kepada seorang pelayan yang kebetulan memasuki area dapur. "Oke tidak masalah!" kat
Greta sedang mengaduk kopi hitamnya ketika ponselnya berdering keras, panggilan video dari kakak iparnya, Rachel. Ia menekan tombol hijau lalu menempelkan ponselnya ke pintu kulkas agar ia bisa berbicara sambil membuat roti panggang."Hei, kau belum berangkat kerja?" Rachel bertanya dengan riang."Aku mendapat shift sore, apa yang kau lakukan? Apakah kau sedang bersama Noah?" tanya Greta, Noah adalah kakak Greta, suami Rachel."Tidak, dia ada di kantor, aku sedang istirahat untuk pemotretan, ada sesuatu yang ingin kuberitahukan padamu!" Suara Rachel terdengar begitu bersemangat hingga membuat Greta menghentikan tangannya yang sedang mengoleskan selai kacang di atas roti panggangnya. Ia menatap ke arah kamera dengan wajah ingin tahu, "Ada apa?"Rachel tampak mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya lalu menunjukkannya kepada Greta."Apa itu?" tanya Greta dengan kening berkerut."Kau benar-benar tidak tahu apa ini ?!" Rachel menggeleng tak percaya. Greta hanya meringis sambil menggaruk k