Harvey tidak repot-repot bertanya tentang hasil kencan buta, sedangkan Yandi juga malas menceritakannya dan langsung naik ke lantai atas.Anita berjalan keluar dari dapur dengan memegang semangkuk sup ginseng. Dia mengerutkan kening dan berkata, "Mereka berdua kelihatan serasi, tapi tetap tidak jadian juga. Jeff sebenarnya suka yang gimana? Kalau diberi kriterianya, aku pasti bisa cari yang sesuai, daripada aku selalu cari yang tidak sesuai keinginannya."Harvey menyesap sup ginseng itu dan menyahut dengan tenang, "Jeff tidak bisa disalahkan atas kejadian hari ini. Yang tidak bersedia itu Hattie, bukan Jeff."Anita segera menimpali, "Iya, aku tidak menyalahkan Jeff. Aku hanya mengkhawatirkannya."Harvey berujar, "Aku tahu maksudmu. Tapi, hal-hal seperti ini tidak bisa terburu-buru. Semua tergantung takdir.""Yang kamu bilang benar!" sahut Anita sambil tersenyum. Namun, dia sangat kecewa karena rencananya tidak terwujud. Standar Hattie benar-benar tinggi. Kenapa bahkan Jeff juga tidak m
Berhubung lawannya adalah Tasya, serangan Yandi terasa jauh lebih tenang. Keduanya sangat kooperatif dan saling menyesuaikan. Rally mereka panjang sehingga permainan ini terasa lancar dan menyenangkan.Tasya sudah lama tidak bermain tenis. Berhubung lawannya adalah Yandi, dia tidak berani bermain asal-asalan. Dia menghadapi permainan ini dengan fokus karena tidak ingin diremehkan.Sebaliknya, saat melihat gadis itu melompat dan berlari di hadapannya, perhatian Yandi malah sedikit teralihkan. Tasya terlihat begitu muda dan penuh semangat. Di bawah sinar matahari, wajahnya sangat memukau dan berseri-seri. Melalui rally ini, Yandi juga seolah-olah terpengaruh dan teringat kenangan masa mudanya. Masa mudanya tidaklah bahagia. Dari kenakalan di masa remaja, perjuangan berat di usia muda, hingga keterpurukan setelahnya, dia merasa seperti ada bagian besar dalam hidupnya yang hilang. Bagian yang hilang itu tercermin dalam diri Tasya.Tandy kembali dan duduk di bangku untuk menyaksikan kedua
Hati Hattie langsung terasa dingin!Tasya tersenyum dan berujar, "Kamu suka sama Paman Jeff. Kamu jelas tidak peduli dengan uang, 'kan?"Hattie memaksakan senyum. "Tentu saja, tentu saja!"Setelah duduk beberapa menit, Hattie mengganti sepatunya dan kembali ke lapangan sambil berteriak, "Kak! Kak, jangan main lagi!"Kali ini, Yohan memang dikalahkan dengan cukup telak. Begitu mendengar seruan Hattie, dia segera berhenti. "Ada apa?"Hattie menutupi kepalanya dengan ekspresi kesakitan. "Kepalaku tiba-tiba sakit sekali. Aku ingin pulang.""Pulang?" Yohan melihat ke arah Tasya dan merasa agak enggan untuk pergi. "Kenapa kamu tiba-tiba sakit kepala? Ada klinik di hotel ini. Kamu suruh saja dokter di sana untuk periksa kamu."Hattie mengedipkan mata pada Yohan. "Perutku juga sakit. Seluruh tubuhku terasa tidak enak. Ayo pulang dulu!"Yandi berjalan mendekat dan menyahut, "Berhubung Nona Hattie lagi tidak enak badan, kalian pulang saja dulu!"Hattie tersenyum tipis pada Yandi tanpa kehangatan
Tasya akan minum apa pun yang diberikan Yandi. Tanpa sepatah kata pun, dia membuka tutup botol dan meneguk susunya.Tandy mengangkat alis ke arah Tasya. Dia merasa kakaknya bukan sepenuhnya tidak punya harapan.Yohan dan Hattie berjalan mendekat dengan masih terengah-engah. "Gara-gara cuma bersantai di rumah selama liburan, aku jadi lemas. Aku benar-benar butuh olahraga!"Yohan sengaja menghela napas. "Dulu, aku bisa main tiga jam berturut-turut tanpa kecapekan seperti sekarang!"Tasya mendengar bualannya sambil tersenyum, tetapi tidak berkata apa-apa.Yohan pun terpesona oleh senyuman Tasya. "Kalau Tasya suka main tenis, kita boleh sering janjian main bareng. Biasanya, aku serahkan semua urusan perusahaan kepada asistenku. Jadi, aku punya banyak waktu!"Dia mengeluarkan ponselnya dan melanjutkan, "Ayo kita tukaran nomor WhatsApp dulu. Nanti kita bisa ngobrol pelan-pelan melalui WhatsApp!"Kening Yandi sedikit berkerut dan ekspresinya semakin muram. Baru saja Tasya hendak menolak, Tan
"Oh!" Yohan mengangguk berulang kali, lalu menatap Tasya dan berujar, "Kelihatannya memang tidak mirip. Nona Tasya sangat cantik!"Tasya tersenyum, "Tuan Yohan, maksudmu pamanku tidak tampan?""Tentu saja tidak!" Yohan menjawab cepat, lalu bertanya, "Apa Tasya masih sekolah?"Tasya menjawab, "Aku sudah lulus.""Apa pekerjaanmu sekarang?" Mata Yohan hampir terpaku pada wajah Tasya. "Perusahaanku berkecimpung dalam banyak industri. Kamu bekerja di perusahaan mana? Mungkin aku kenal sama bosmu."Yandi tiba-tiba menyela, "Bukankah kita mau main tenis? Tasya, pemanasan dulu biar tidak tiba-tiba kram waktu olahraga nanti."Tasya pun menyahut "oh", lalu pergi melakukan pemanasan dengan patuh. Hattie berkata dengan lembut, "Tuan Jeff sangat perhatian!"Yandi berkata, "Tasya agak polos. Sebagai senior, aku harus mengawasinya dengan lebih ketat."Mendengar makna ganda dari ucapan Yandi, Yohan tersenyum malu, tetapi masih melirik Tasya sesekali.Ketika Tasya kembali, Hattie menyerahkan raket kep
Tasya yang marah langsung mengangkat kakinya dan menendang bokong Tandy. "Pergi sana!"Tandy segera menghindar dari tendangan itu, lalu mereka berdua menuruni tangga dengan saling mengejar. Hattie tersenyum lembut pada Yandi. "Kedua anak itu sangat imut!"Yandi menatap punggung Tasya, suaranya terdengar agak serak, rendah, dan lembut, "Memang imut."Melihat keimutan Tasya, Yandi merasa seperti mendapatkan kembali sedikit energinya.Setelah turun, Tandy memberi usul, "Aku lihat ada lapangan tenis di sana. Gimana kalau kita main tenis?"Hattie memperhatikan fisik Yandi dan tahu dia berolahraga secara teratur. Dia langsung menunjukkan minat. "Tentu! Aku juga suka olahraga.""Kalau begitu, ayo jalan!"Tasya memanggil bus wisata taman, lalu mereka melaju menuju lapangan tenis. Setelah tiba, karyawan membawakan raket dan alat pelindung diri. Hattie mengambil raket dan berbicara lebih dulu, "Kalau aku satu tim dengan Tuan Jeff, sedangkan Tasya satu tim dengan Tandy, apa itu termasuk meninda