"Tolong, repotkan aku dan datang padaku, kapanpun!" Carmen terdiam mendengar ucapan Raymond. Ada perasaan sedih ketika mendengar penuturan pria ini. Perkataan Raymond begitu dalam dan menembus hati. Namun …- 'Aku tidak mau terperangkap.' batin Carmen, menganggukkan kepala seolah patuh pada perkataan suaminya akan tetapi menolak dalam batin. "Talita penting. Tetapi kau-- belahan jiwaku. Tolong jangan berpikir untuk pergi," ucap Raymond tiba-tiba dengan suara serak dan parau. Carmen menoleh ke belakang, terkesima pada ucapan Raymond. Hatinya bergemuruh hebat, tetapi dia terjebak dalam kebimbangan. Ada banyak pertanyaan dalam kepala Carmen, tetapi dia tidak mampu melupakannya. Siapa Talita dan kenapa dia penting bagi Raymond? "Um." Carmen mengagukkan kepala secara patuh. Lagi-lagi hanya itu yang dapat ia lakukan. Memangnya Carmen ingin kemana? Untuk sekarang, dia tidak punya apa-apa kecuali suaminya. Mungkin sekarang Carmen tak akan pergi, tetapi …. 'Aku harus fokus pad
"Siapa yang mengizinkanmu memanggil istriku dengan panggilan itu?!" dingin Raymond, melayangkan tatapan tajam pada Siran. Dia tidak suka! Panggilan itu miliknya dan khusus untuk istrinya. "Ma-maaf. Aku pikir semua orang boleh memanggil Carmen dengan panggilan Ura," ucap Siran dengan nada pelan dan rendah, pura-pura merasa tak enak dan menyesal. Dalam batin, dia mengumpati Carmen. Apa magic yang Carmen pakai sehingga Raymond yang memiliki pribadi sangat dingin bisa luluh padanya? Bahkan Carmen dihadiahi panggilan lucu dari Raymond. Carmen mendongak pada Raymond, menatap wajah marah suaminya. Dia melirik makanan yang Raymond letakan di sebelahnya kemudian menarik makanan tersebut secara hati-hati. 'Bodo amat kalian mau perang dunia ketiga di sini. Aku lapar aku makan.' dewi batin Carmen, mengayunkan sendok secara hati-hati agar tidak mengganggu Raymond yang sedang memarahi Siran. "Nyonya Ura! Panggil begitu jika kau memang ingin," ucap Raymond dingin, setelah itu menoleh p
Brak' Raymond membanting laptop secara kasar, meluapkan emosi dan panik yang menyatu dalam dirinya pada laptop tersebut. "Tu-Tuan--" Diego berniat menghentikan Raymond, akan tetapi dia cukup takut mendekat pada Raymond. Emosi tuannya tak stabil–mengamuk! "Pak Tua sialan!" marah Raymond, berteriak gusar dan kencang. "Tuan, tenangkan diri anda." Raymond tak mengindahkan perkataan Diego. Dia meraih kunci mobil lalu segera beranjak dari ruang kerja-nya. Pria tua itu menculik istrinya, Raymond tidak akan memaafkan ayahnya jika dia berani bertindak keji pada Carmen. "Jika dia berani melukai istriku, aku bersumpah akan melenyapkannya dengan tanganku sendiri," geram Raymond rendah, berjalan cepat–berakhir berlari karena terlalu khawatir pada Carmen. Carmen sempat menelponnya dan dari suara penculik itu, Raymond tahu jika itu ayahnya. Dia sangat membenci ayahnya dan sekarang jauh lebih membencinya. *** "Apa suamimu tidak memberimu makan?" tanya Lennon Abraham, pemimp
"Kita pulang," ucap Raymond, masih mendekap tubuh istrinya–menatap tajam pada ayahnya. Setelah mengatakan hal itu, Raymond membawa Carmen dari sana. Namun, langkah kakinya berhenti karena ucapan ayahnya. "Tidak kusangka Ayah akan melihatmu jatuh cinta," ucap Lennon dengan nada serak dan datar, memperhatikan Raymond–putranya, yang terlihat begitu perhatian pada Carmen. Satu hal yang membuatnya tak percaya, Raymond takut kehilangan Carmen. Putranya pernah sangat peduli pada perempuan, pernah jatuh cinta juga dan ini bukan pertama kalinya. Siran Aurlesya adalah cinta pertama putranya, seorang perempuan yang pernah tumbuh bersama Raymond. Hubungan keluarga Siran dan mereka, dulunya sangat dekat. Namun karena sebuah insiden, semua menjadi kacau. Siran sudah lama bersama Raymond dan mereka pernah menjadi pasangan kekasih saat mereka kecil. Namun, setelah besar, Siran memilih menikah dengan pria lain. Ketika perempuan itu meninggalkan Raymond dan memilih menikah dengan pria lain, Raym
"Aku mencintaimu," ucap Raymond dengan nada lembut, satu tangannya terangkat untuk menyentuh pipi Carmen–mengusapnya lembut. Carmen mendongak, menatap Raymond dengan tatapan mata yang sulit diartikan. Tak dapat dipungkiri, jantungnya berdebar kencang karena pengakuan cinta Raymond. Hatinya berbunga-bunga dan kupu-kupu terasa seperti sedang beterbangan dalam perut. Namun, mengingat Raymond memiliki wanita di sekitarnya, Carmen menepis perasaan senang tersebut. Dia tidak percaya cinta Raymond, dia tidak percaya! "Ta-tapi … Kak Siran bilang dalam waktu tiga bulan, Mas Kaizer akan mencampakkan ku," ucap Carmen buru-buru, memasang muka murung dan tatapan mata berkaca-kaca. Raymond menggelengkan kepala pelan, menyangkal perkataan Carmen. "Aku tidak mungkin melakukan itu, Ura. Aku menginginkanmu selamanya berada di sisiku." Carmen tak mengatakan apa-apa, dia memilih menundukkan kepala karena tak ingin bersitatap dengan manik gelap suaminya. Sial! Tatapan pria ini sangat dalam, Carme
"Kau sedang jatuh cinta padaku?" tanya Raymond, cukup senang dan percaya diri. Carmen menggelengkan kepala kuat, menatap kaku bercampur muram pada suaminya. "Bukaan, Mas Kaizer. Aku deg degkan dan gemetaran karena aku lapar." Langkah Raymond seketika berhenti, wajah berseri-seri seketika hilang dan berganti dengan raut muka dingin. "Petffffmmm." Diego rasanya ingin tertawa mendengar itu. Namun, sebelum dia melakukannya, Raymond lebih dulu menatapnya–melayangkan tatapan dingin yang mematikan padanya. "Ekhmm." Diego berdehem, berusaha menyingkirkan gejolak tawa yang terasa masih menggelitik perut. Sial! Ini pilihan yang sangat berat. Antara tertawa dan mati! Bukan hanya Diego, para maid yang berbaris rapi untuk menyambut tuan dan nyonyanya, juga mendadak menunduk dalam. Mereka berusaha menahan tawa, beberapa dari mereka mengigit bibir dan ada juga yang mengepalkan tangan. Sebetulnya sah sah saja mereka tertawa, tak ada yang melarang. Hanya saja nyawa taruhannya! Ra
Carmen melompat dari pangkuan Raymond, menatap pria itu dengan tampang muka penuh kecurigaan. "Aku tidak percaya. Ini pasti hanya akal-akalan Mas Kaizer saja," ucap Carmen, memicingkan mata pada Raymond, "Juhi sudah lama meninggal dan keturunannya-- tidak ada yang mengenal." Raymond menaikkan sebelah alis, memperlihatkan smirk tipis di bibir. Dia duduk bossy di sofa, menyandar lalu menatap lurus ke arah perempuan cantik ini. "Aku mengenal cucu kesayangannya." Carmen menatap aneh pada Raymond. Apakah pria ini bisa ia percayai? Tapi-- terakhir kali dia menonton Juhi di TV, saat dia masih kecil, Juhi memang pernah mengaku kalau dia punya seorang cucu yang sangat dekat dengannya. "Kalau kau bosan padaku, aku bisa menikahkan mu dengan cucunya," ucap Raymond begitu santai. Carmen melebarkan mata, reflek menggelengkan kepala dan menatap panik pada suaminya. Raymond kejam sekali! Se-sekalipun Raymond mencampakkannya suatu saat nanti, akan tetapi pria ini tidak berhak mengoper Carmen pa
Carmen mengelus dada karena lega bisa kabur dari Selin dan Raymond. Setelah tenang, Carmen berjalan santai. Akan tetapi dia tetap mengelus dada, masih tak menyangka jika Raymond kencan dengan ibu tirinya sendiri. "Tanda-tanda akhir season," gumam Carmen pelan, "anak jalan dengan ibu tirinya. Ck ck ck …." Carmen geleng-geleng kepala sembari berdecak. Melihat sebuah toko permen, mata Carmen membulat lebar. Senyuman cerah langsung muncul di bibirnya. Dengan riang dan antusias, dia masuk ke toko itu. Sebenarnya Carmen terganggu melihat Selin dan Raymond di sini. Istri mana yang tak sakit hati melihat suaminya jalan dengan perempuan lain? Dan ini masih jam kerja, di mana seharusnya Raymond di kantor tetapi malah ada di mall dengan ibu tirinya. Apakah Raymond memiliki perasaan pada ibu tirinya sehingga dia menyempatkan diri menemani wanita itu jalan-jalan di mall? Namun, daripada larut dalam kesedihan, Carmen memilih tetap mengunakan akal sehat. Ini kesempatannya bisa lepas da
Tita memberanikan diri keluar dari selimut, menatap takut bercampur cemas pada Carmen. Yang Tita takutkan adalah dituduh menggoda Damian. Namun, mendengar Carmen minta maaf padanya, ketakutan Tita perlahan redup. Walau begitu, Tita merasa harus menjelaskan apa yang terjadi pada Carmen. "A-aku tidak menggoda Kak Damian, Tante." Tita berkata dengan nada gemetaran dan terbata-bata. "Iya, Tante percaya pada Tita. Tidak mungkin Tita begitu, karena Tita anak yang baik," jawab Carmen, mengusap rambut Tita untuk menenangkan perempuan itu. Meski Tita sudah berani berbicara, tetapi tubuhnya masih gemetar dan wajahnya masih dibalut oleh rasa panik dan takut. Kasihan sekali! Sungguh! Carmen tidak tega melihatnya. "Pasti Kak Damian yang mamaksamu. Dia menjebak mu, Sayang?" tanya Carmen, mendapat tatapan ragu dari Tita. "A-aku tidak tahu, Tante. Ta-tadi malam, aku dipanggil oleh Kak Damian. Habis Itu, Kak Da-Damian meminta tolong supaya aku mengantarnya ke kamar." 'Anak setan!' batin
Pada akhirnya Diego dan keluarganya pulang. Namun, saat di rumah, dia tak menemukan putrinya di sana. Jadi Diego pergi mencari putrinya, ditemani oleh Sbastian. Mereka berdua mencari-cari Tita hingga ke luar kota, ke tempat Tita kuliah. Yang menjadi masalah, handphone Tita ada pada Sbastian. Jadi mereka tidak bisa melacak di mana Tita. Mereka sama sekali tak kepikiran kalau Tita tertinggal di rumah mewah Raymond. Karena saat di sana, Tita memperlihatkan gelagat tak nyaman. Anak itu sering menggaruk pipi, menghela napas, dan berdecak. "Kemana adek pergi, Sbastian?" tanya Diego cemas, mereka sudah ke kosan lama Tita tetapi putrinya tak ada di sana. Mereka juga sudah tanya-tanya pada teman Tita, dan mereka tak tahu Tita ke mana. Pada akhirnya mereka pulang, akan melanjutkan pencarian besok pagi. Sbastian sebenarnya ingin menemui pria yang waktu itu mengobrol dengan adiknya. Akan tetapi melihat kondisi ayahnya, Sbastian mengurungkan niat. **** "Kenapa Damian belum turun, Ura?" ta
"Sepertinya putra kita suka pada Tita, Mas," ucap Carmen pada Raymond, di mana saat ini mereka sedang berbicara di ruangan kerja Raymond–yang ada di rumah ini. "Humm?" Raymond menaikkan sebelah alis, menatap istrinya dengan ekspresi bertanya-tanya dan bingung, "Damian suka pada Tita? Putri kandung Diego?" ulang Raymond untuk meyakinkan. "Iya." Carmen menganggukkan kepala, "waktu itu aku berbicara pada Damian mengenai perjodohannya. aku bilang kalau Mas berencana menjodohkan Damian pada putra Pak Diego. Dan Damian saat itu setuju, Mas." Raymond hanya diam, mendengar perkataan istrinya sambil mencernanya. "Mas lihat kan Damian juga sangat bersemangat membantuku untuk menyiapkan makan malam bersama keluarga Saman." Raymond menganggukkan kepala. Dia menyaksikan sendiri kalau awalnya Damian baik-baik saja, dan seperti yang istrinya katakan, Damian bahkan ikut membantu mamanya menyiapkan makan malam. Saat itu, Raymond sama sekali tak curiga karena Damian memang sangat suka membantu
Belum memulai dan dia sudah kalah. Sedangkan Tita, dia menganga lebar karena syok mendengar perkataan Jonny tadi. Damian meraih kotak di tangan Tita lalu asal meletakkannya di rak. "Ayo," ucap Damian, menarik Tita supaya pergi dari sana. Tita sendiri masih syok, cukup malu dan masih tak paham kenapa Jonny bisa mengatakan hal seperti tadi. Sekarang Tita jadi semakin takut dengan pria di sebelahnya ini. Jangan cuma mau enaknya saja.' Astaga, ucapan Jonny tadi-- kenapa terasa sangat mengerikan bagi Tita? Yang membuatnya semakin mending adalah Jonny menyuruh Damian menikahinya. Gila! "Kak Damian tidak perlu mengindahkan ucapan temanku tadi. Sepertinya dia sedang ada masalah," ucap Tita gugup. Di mana saat ini dia dan Damian sudah di depan mini market, menunggu Sbastian menjemput. Sebetulnya Tita masih gugup dan canggung karna perkataan Jonny tadi. Tapi, karena jajannya dibayar oleh Damian, Tita memberanikan diri untuk bersuara. "Humm." Damian berdehem singkat. "Sebe
Tita malah duduk di sana–bersebelahan dengan Damian. "Ck, kenapa kau duduk di belakang, Dek? Sini, pindah ke depan," ucap Sbastian, menoleh sambil melayangkan tatapan penuh peringatan pada Tita. Tita menganggukkan kepala lalu pindah ke depan. Mobil berjalan dan Tita tak banyak bicara karena canggung pada Damian. Sebetulnya Tita tipe yang banyak bicara dan berisik, tetapi dia pilih-pilih orang untuk memperlihatkan sifat tersebut. Contohnya pada Damian, sepertinya itu tak cocok karena Damian tipe yang pendiam dan tak banyak bicara. "Loh, kenapa kita ke sini, Kak?" Tita memprotes, mengerutkan kening lalu melayangkan tatapan tajam pada kakaknya. "Daripada kau bekerja di perusahaan orang lain, lebih baik kau bekerja di perusahaan Kak Damian," ucap Sbastian. Dia segera turun kemudian membukakan pintu untuk Damian. Tita buru-buru turun kemudian mengikuti kakaknya. "Kak, tapi aku bukan anak tata boga, manajemen ataupun ekonomi. Aku agribisnis," ucap Tita dengan setengah berbisik
Setelah makan malam bersama, keluarga Diego masih belum pulang. Sekarang mereka berkumpul di ruang tengah untuk membahas pernikahan Damian dan Olive lebih serius. "Sudah kukatakan aku tidak ingin menikah," dingin Damian, melayangkan tatapan kesal bercampur marah pada setiap orang di sana. Dia sangat tak suka dipaksa, terlebih tentang pernikahan. Carmen memperhatikan putranya secara lekat, keningnya mengerut dan matanya sedikit memicing. Sebelumya dia bertanya pada putranya dan Damian sudah bersedia. Lalu kenapa sekarang Damian menolak keras? Bahkan putranya terlihat sangat marah. "Tak apa-apa jika Tuan muda tak mau, dan kuharap kita semua tak memaksa Tuan muda," ucap Diego, tak masalah jika Damian menolak menikah dengan Olive. Tentu! Putri konglomerat saja Damian tolak, apalagi hanya putri angkat dari seorang kepercayaan sepertinya. "Damian tidak bisa menolak. Mau tak mau Damian menikah dengan Olive. Minggu depan kalian akan bertunangan," putus Lennon, memaksa agar Da
Bagaimanapun Olive putri dari pengasuhnya, rasanya tak pantas dijadikan istri untuk Damian yang seorang tuan muda. Namun, Diego kurang enak mengatakan hal itu. Jadi lebih baik Raymond dan Lennon yang mengambil keputusan. "Nanti malam, datanglah ke rumah. Ajak putri mengasuh mu," ucap Lennon tiba-tiba, "tidak penting dari kalangan apa perempuan itu, yang terpenting cucuku terlihat normal," lanjutnya. Raymond tak menanggapi, tetapi dia memijat kepala–tanda semakin pusing dan tertekan. *** "Ayah ingin menjodohkan mu dengan putri Paman Diego loh, Nak," ucap Carmen, di mana saat ini dia sedang memasak dan dia dibantu oleh putranya. Di depannya dan suaminya, Damian adalah anak yang baik, penyayang, dan penurut. Namun, kata orang putranya jahat dan sebelas dua belas dengan Raymond--ayah putranya. Tapi lihatlah! Putranya saja mau membantunya memasak, jadi mana mungkin yang orang-orang katakan tentang putranya itu benar. Sebelas dua belas dengan suaminya yang kadang seperti seta
Tita seketika berhenti minum kopi tersebut, segera mengembalikan cangkir ke tempat semula. "I-iya kah? Tapi orangnya tidak ada." "Kak Damian ke toilet," jawab Sbastian, mendengus sambil menatap tak habis pikir pada adiknya, "ganti sana kopinya. Cepat!" "Ah, Kak, suruh maid saja. Aku malas," ucap Tita, bersamaan dengan Damian yang kembali ke ruangan itu. Damian masih malas pulang ke rumahnya, dan dia memilih bertahan di rumah Sbastian. Damian menoleh sejenak pada Tita. Perempuan ini sudah mengganti pakaian dan … apa dia tidak istirahat? Tidakkah dia kelelahan setelah mengikuti acara wisuda yang panjang? Damian meraih cangkir kopinya lalu berniat meminumnya. "Jangan, Damian. Tita sudah meminumnya," ucap Sbastian cepat, sedikit panik saat Damian akan menyeruput kopi dari bekas cangkir Tita. Bukan apa-apa. Hanya saja Damian sangat anti perempuan, sedangkan gelas itu telah dinodai oleh bibir adiknya yang bandel. Sedangkan Tita, dia segera bangkit dari sofa lalu berlari
Kak Sbastian. Tolongin aku …," pinta Tita, setengah berteriak karena panik Damian mendekat ke arahnya dan malu karena dia lagi-lagi terjatuh. Untungnya tak lama kakaknya datang, di mana Sbastian langsung berlari ke arahnya dan membantunya bangun. "Astaga, Dek, kau kenapa?" ucap Sbastian, sejujurnya syok melihat adiknya berbaring di lantai. Sbastian menoleh ke arah Damian. Meski rasanya Damian tak mungkin macam-macam pada adiknya tetap saja Sbastian menatap curiga pada bos sekaligus sahabatnya tersebut. "Damian, kau tidak macam-macam kan?" Sbastian bertanya sambil memicingkan mata. "Menurutmu, ada kemungkinan aku macam-macam pada anak ingusan itu?" ucap Damian balik, menatap datar ke arah Tita. Perempuan itu terlihat malu, tampang mukanya seperti hamster! Jelek! "Ah, benar juga." Sbastian menganggukkan kepala pelan, kemudian menoleh pada adiknya, "jadi kau kenapa?" "Jatuh," jawab Tita, sudah berhenti menangis. "Aku ingin melepas heels ku, Kak," lanjutnya. Sbastian