Selamat membaca dan semoga suka, MyRe.
"Iya, Kak," ucap Tita pada akhirnya, mengusap wajah yang basah sambil menatap teramat dongkol pada suaminya. Jahat! **** Hari ini Tita sedang sibuk mengisi tanah yang ia campur dengan sekam ke dalam polybag. Awalnya Nindi ingin berkebun dengan cara hidroponik. Akan tetapi Tita berubah pikiran. Dia dan Damian hanya sementara di sini, jadi lebih baik dia berkebun dengan media tanah dan sekam. Karena ini akan lebih mudah saat dia dan Damian pinhanan nanti. Setelah selesai, Tita langsung memindahkan bibit tanaman yang ia beli ke media dalam polybag. Dia juga menyemai benih tanaman bayan di polybag yang tersisa. "Beres." Tita tersenyum manis melihat kebun mininya yang sudah selesai ia tanam dan atur. Sehabis berkebun, Tita mandi dan segera pergi. Hari ini Tita berniat menemui menemui sahabatnya, Lisa. Tita dan Lisa menghabiskan waktu dengan nongkrong di cafe, kemudian mereka berbelanja bersama. Mengingat suaminya suka meminum kopi, Tita membelikan tumbler untuk Damian. Dia ju
Tita duduk kaku di sebuah kursi, menghadap halaman yang luas dan indah. Semua orang sedang menghabiskan waktu di taman, olahraga bersama. Damian pergi dengan ayahnya, entah kemana. Tita ditinggal di tempat ini dan dia hanya bisa duduk kikuk. Dia ingin bergabung dengan aunty dan sepupu suaminya, akan tetapi Tita tak akrab dengan mereka. Terlebih sosok yang ia duga penyihir, ada di sana. Tita jadi takut, dia tak punya penangkal sihir dan suaminya tak di sini. Akhirnya dia hanya duduk diam di sini. "Tita Diandra Abraham?" Mendengar namanya dipanggil, Tita langsung menoleh ke arah seseorang yang memanggil namanya tersebut. Seorang pria! Dia tersenyum pada Tita lalu menarik kursi, duduk di depan Tita. "Kau istri Damian?" tanya pria itu. Tita menganggukkan kepala. "Aku James Abraham, sepupu suamimu," ucap pria itu, memperkenalkan diri dengan sopan dan rahan. Lagi-lagi dia tersenyum manis pada Tita, membuat Tita tak enak dan merasa canggung. "Salam kenal, Kak," ucap Tita, terse
Dia berpura-pura lemah, supaya seseorang itu datang menolongnya. "Shit," umpatan pelan terdengar dari suara bariton yang baru tiba di sana. "Tita," panggil sosok lainnya dengan nada khawatir, berlari cepat untuk menghampiri Tita. Tita yang masih terduduk di lantai menoleh ke arah sosok yang memanggilnya, bibirnya langsung melengkung ke bawah–menunjukkan ekspresi sedih dan ingin menangis. Tangannya terulur ke depan, berharap mendapat dekapan hangat dari sosok yang memanggilnya tadi. Sosok itu berlari cepat ke arah Tita dan Tita sangat menunggu pelukannya. Namun, ketika sudah dekat, tiba-tiba sosok lain berlari jauh lebih cepat ke arah Tita–mendorong Sbastian lalu langsung menarik Tita dalam pelukannya. Tita yang awalnya sedih, reflek cengang dan shock dalam pelukan Damian yang sangat erat. Tita menoleh ke arah kakaknya yang tersungkur akibat didorong oleh Damian, memperhatikan raut muka dongkol dan masam Sbastian. "Kau tidak apa-apa, Darling?" tanya Damian khawatir, melepas peluk
Damian menatap istrinya lekat. Dia mempertimbangkan, akan tetapi pada akhirnya Damian membiarkan Tita pergi. Sedangkan Tita, setelah Damian memperbolehkannya pergi, dia segera keluar dari ruangan Damian.***Tita habis dari minimarket terdekat, di mana setelah mendapatkan jajan yang dia inginkan, Tita kembali ke kantor suaminya. Ketika Tita menuju ruangan suaminya, tiba-tiba saja dia melihat Maya dan Catrina di depan pintu ruangan Damian. Maya langsung melayangkan tatapan tak suka padanya dan Catrina menatap penuh dendam pada Tita. Tita mencoba cuek, berjalan mendekati ruangan Damian dan membuka pintu untuk masuk. Akan tetapi, Maya menahannya dan langsung mendorong Tita agar menjauh dari pintu. "Kamu makin kurang ajar yah!" kesal Maya, membentak Tita yang menurutnya lancang masuk ke ruangan sang Big bos. Sedangkan Catrina, dia menatap Maya dengan penuh selidik. 'Sepertinya Maya tidak tahu kalau Tita istri Damian. Cih, ini kesempatanku.' batin Catrina, tersenyum licik dengan tip
Tita berjalan riang di lorong menuju lift. Saat ini dia sudah di kantor suaminya, ingin mengantar makan siang untuk kakak dan suaminya. Mengenai Catrina, saat perempuan itu dijambak oleh para ibu, Tita diperbolehkan pergi oleh ibu-ibu agar Catrina tak mengganggunya. Entah seperti apa nasib Catrina, Tita tidak tahu dan dia malah senang. "Kamu lagi kamu lagi!" ketus seseorang, menatap Tita dengan raut muka tak suka. Dia adalah Maya, manager di perusahaan ini. Tita tak menggubris, memilih diam dalam lift. Setelah lift terbuka, Tita langsung keluar–tak peduli pada manager tersebut. Namun, sepertinya manager itu tak ingin membiarkan Tita pergi begitu saja. Dia mengejar Tita lalu menghadang Tita. "Heh! Bukannya kamu sudah dipecat oleh Tuan Sbastian? Kenapa kamu masih berani masuk ke kantor ini? Kamu tahu-- Tuan Damian sangat tidak suka jika ada orang asing yang tak berkepentingan sembarangan masuk ke perusahaan ini. Jika Tuan Damian melihatmu, dia bisa menghabisi mu," ucap M
"Kak Damian," panggil Tita pelan. Damian menoleh ke arah Tita, langsung menatap ke arah bawah perempuan itu. Hal tersebut membuat Tita cepat-cepat menutupi area bawah dengan tangan. Atasan Piyama Damian yang ia kenakan hanya menutup hingga paha atas, tapi Tita mengenakan hot pans. Lagipula ini rumah mereka, seharunya tak masalah bukan?! Namun, tetap saja Tita risih dengan tatapan Damian. "Pinggangmu masih sakit?" tanya Damian. "A little," jawab Tita pelan, melirik ke arah Catrina. Perempuan itu tersenyum padanya tetapi Tita tahu kalau itu hanya senyuman palsu. "Kakak ingin aku buatkan sarapan apa?" tanya Tita santai, sama sekali tak terganggu oleh Catrina. "Apapun, Darling," jawab Damian sambil tersenyum lembut pada Tita. Entah kenapa dia senang sekali, hanya karena Tita menanyakan ingin sarapan apa padanya. "Astaga, Tita, kamu belum menyiapkan sarapan yah untuk Damian? Oh iya, kamu saja baru bangun. Ckckck, padahal kamu tahu Damian harus pergi cepat ke kantor. Untu
Damian menatap istrinya yang masih berbaring di atas ranjang, tidur pulas sambil memeluk guling. Melihat Tita mengenakan atasan piyamanya–ia pasang setelah selesai menggagahi perempuan itu, Damian tersenyum manis. Dia mendekat pada istrinya lalu mencium pipi Tita, gemas pada perempuan itu. "Gojo, jangan cium aku! Aku punya sudah suami," gumam Tita, meracau dalam tidur. Itu bersamaan saat Damian menciumnya. Damian berdecak pelan, menatap istrinya dengan ekspresi campur aduk. Dia kesal karena perempuan ini menyebut nama pria lain dalam tidur, tetapi Damian juga tak bisa marah sebab perempuan ini masih ingat punya suami walau itu di alam mimpi sekalipun. Damian menghela napas, memilih mandi dan membiarkan istrinya tetap tidur. Setelah selesai dengan rutinitasnya, Damian mengenakan setelan jas formal untuk ke kantor. "Aduuuh … pinggangku." Damian yang dengan mengenakan arloji kesayangannya, menoleh ke arah Tita. Perempuan itu sudah bangun, memengang pinggangnya sambil menatap
"Tak ada apapun di sini, Darling," ucap Damian, mengembalikan ponsel pada Tita. Sebelumya dia sudah memeriksa akan tetapi tak menemukan apapun di sana. Tita menatap HP-nya dengan kening mengerut, bingung karena pesannya dengan Catrina telah hilang. Bagaimana bisa? "Kok bisa hilang, Kak?" "Sepertinya seseorang telah melakukan sesuatu pada handphonemu," ucap Damian, tiba-tiba meraih kembali handphone istrinya lalu menyerahkan handphonenya pada Tita, "kita bertukar ponsel." Tita meraih Handphone Damian, memegang ponsel tersebut dengan raut muka muram. Dia menggaruk pelipis lalu menatap ragu pada suaminya. "Jika dia menghubungimu lagi, aku bisa melihatnya langsung," ucap Damian, menurunkan tangannya ke pinggang Tita. Dia memeluk pinggang istrinya erat–sesekali meremasnya manja. Tita lagi-lagi menggaruk pelipis, menoleh sejenak pada tangan nakal Damian yang bertengger di pinggangnya kemudian kembali menatap ponsel Damian. Bertukar handphone? Kenapa tidak bertukar kartu SIM
Tita menoleh pada suaminya, menatap Damian dengan ekspresi memperingati. Sebetulnya dia bertanya-tanya, ada apa dengan Damian sehingga pria ini bersikap kasar pada Jonny? Padahal Jonny tak melakukan apa-apa dan hanya diam di atas ranjang rumah sakit. "Jangan ge'er, buket bunga tersebut bukan dari Tita. Ingat baik-baik," peringat Sbastian, menatap tajam pada pemuda yang duduk lemas di atas ranjang rumah sakit tersebut. Dia menekan supaya Jonny tidak kegeeran karena dijenguk oleh Tita. Seingatnya pemuda ini adalah pemuda yang sama dengan pemuda yang memberikan bunga pada Tita–saat adiknya wisuda dulu. "O-oh, iya, Bang. Aku tidak ge'er," jawab Jonny, cengar cengir kaku sambil mengusap tengkuk. Dia tak enak bercampur takut, kedua pria ini terasa mengintimidasinya. 'Kedua orang ini perusak suasa banget sih!' batin Tita, menatap Damian dan Sbastian dengan muka bete. "Memangnya kau sakit apa?" tanya Sbastian, mencoba bersikap ramah supaya adiknya berhenti melototinya. "Aku k