Selama perjalanan pulang, keduanya diam tidak ada yang membuka suara.
Akira menatap jendela mobil, memperlihatkan jalanan yang mulai sepi karena sudah larut malam. Bintang dan bulan yang biasanya nampak, kini tidak terlihat. Lama-kelamaan kaca jendela mobil mulai basah, hujan mulai turun rintik-rintik. "Sebaiknya, kamu menginap di rumah. Karena sudah larut malam, Akira," ujar Samudra memecah keheningan. Akira mengangguk, untung Akira sudah berpesan pada Aji untuk menjaga Ara. Akira lalu mengusap bahunya karena dingin. Gaunnya yang terlalu terbuka membuatnya harus menahan hawa dingin yang menusuk hingga tulang. Sedangkan Samudra yang tau, karena tidak sengaja melirik ke arah Akira yang sedang mengusap-usap lengannya menjadi tidak tega. Dengan gagah, Samudra melepas jasnya ketika lampu merah. Lalu memakaikannya pada Akira, membuat gadis itu sedikit terkejut. "Eh." "Pakai, kamu terlihat kedinginan." Akira tersenyum hangat. "Terima kasih." Hujan deras menemani keheningan keduanya selama perjalanan pulang, lalu tiba-tiba perut Akira yang berbunyi membuat Samudra tergelak, sedangkan Akira bersemu merah karena malu memegang perutnya. Tadi ketika mendatangi pesta teman Samudra, Akira tidak sempat untuk mencicipi hidangan. Karena Akira terus berada di samping Samudra hingga pria itu mengajaknya pulang. "Kita akan mampir ke restoran," celetuk Samudra. "Apa jam segini restoran masih ada yang buka?" tanya Akira. Samudra diam. "Sepertinya tidak. Ini sudah larut sekali, jarang restoran buka dua puluh empat jam.'' "Lebih baik makan di penyetan pinggir jalan," usul Akira. Samudra menggeleng. "Itu tidak meyakinkan apakah bersih atau tidak." Akira terkekeh. "Bersih. Tidak ada yang perlu diragukan lagi. Saya yakin anda pasti suka." "Sam, Akira." Samudra mengingatkan. Akira menghela napasnya. "Baiklah, Sam.'' "Sekarang tunjukan penyetan mana yang kamu tau, dan enak," ujar Samudra. Lalu Akira menunjukkan jalannya. Dulu, bahkan hingga sekarang Akira langganan di situ karena rasanya yang enak apalagi sambalnya sangat lezat. Sesampainya di penyetan yang Akira maksud, keduanya turun. Akira merapatkan jas Samudra menutupi tubuhnya, hujan sudah reda meninggalkan jalanan yang basah. Samudra memarkirkan mobilnya dipinggir jalan. "Apa akan aman memarkirkan mobil di sini?" Akira tersenyum, mengangguk. "Ada tukang parkir yang akan menjaga, Sam." "Oke baiklah," lalu Akira mengajak untuk duduk dilesehan. Awalnya Samudra menolak, lebih memilih untuk duduk di atas tapi Akira meyakinkan dan lebih nikmat jika duduk dibawah. Setelah memesan, keduanya diam. Tidak berniat membuka suara. ***** Akira bingung, masa dirinya harus tidur dengan memakai gaun yang dipakainya. Itu tidak mungkin bukan? Berjalan mondar-mandir Akira menggigit ujung kuku jari jempolnya. Lalu tiba-tiba saja pintu terbuka, disana Samudra berdiri membawa kemeja berwarna putih. "Pakailah ini sementara, besok akan kusuruh pak Joko untuk membeli baju untukmu." Akira berjalan menghampiri Samudra, menerima kemeja yang dibawa lalu mengangguk. "Terima kasih." Memilih tidak menjawab, Samudra langsung melenggang pergi dan Akira langsung mengunci pintu untuk mengganti pakaiannya. Akira baru menyadari jika Samudra hanya meminjaminya kemeja berwarna putih. Kebesaran memang untuknya, dengan lengan yang panjang dan diatas lutut. Ini terlalu pendek, batinnya berteriak. Dengan langkah gontai Akira langsung merebahkan tubuhnya diatas kasur, lalu menarik selimut menutupi pahanya. Baru saja Akira akan memejamkan matanya, suara pintu terketuk membuatnya membuka mata dan segera membuka pintu. Di sisi lain Samudra tiba-tiba saja lapar dan ingin makan. Padahal dirinya dan Akira sudah makan sebelum pulang dari pesta. Dan tanpa rasa bersalah mengingat sudah menunjukkan jam satu malam Samudra mengetuk pintu kamar yang dipakai Akira. Awalnya Samudra pikir Akira sudah tidur karena pintu tak kunjung terbuka. Ketika hendak berbalik, pintu terbuka. Disana Akira berdiri dengan kikuk membuat Samudra mengusap tengkuknya melihat penampilan Akira yang cukup menggoda. Bayangkan saja, Akira dengan kemeja miliknya yang kebesaran mengekspos paha putihnya yang mulus. Apalagi kemejanya berwarna putih membuat Samudra dapat melihat jelas warna bra milik Akira. Ditambah rambut Akira yang tergerai berantakan menambahkan kesan sexy. Astaga! Samudra menelan ludahnya. "Mmm, bisakah buatkan aku mi instan? Aku lapar." Akira menaikkan sebelah alisnya bertanya. "Bukankah anda sudah makan?" "Ya, tapi aku lapar lagi." Akira mengangguk mengerti. "Baiklah, akan saya buatkan." Lalu Akira berjalan mendahului Samudra menuju dapur dengan pria itu yang mengekor. Dengan cekatan, Akira merebus air lalu mengambil mi instan yang berada dalam lemari dan telur di lemari kulkas. Tidak membutuhkan waktu yang lama, Akira sudah siap dengan mi rebusnya. "Ini, sudah jadi," ujar Akira memberikan semangkuk mi rebus pada Samudra yang duduk menunggu di kursi dapur. Samudra tersenyum. "Terima kasih." Akira mengangguk. "Kalo begitu saya akan kembali ke kamar," ujar Akira. Ketika akan berbalik, Samudra mencekal pergelangan tangannya membuat Akira menoleh. "Temani aku," pinta Samudra. Akira mengangguk patuh, lalu menempatkan diri duduk di kursi yang berhadapan dengan Samudra. Setelah Samudra selesai makan, Akira langsung mengambil alih mangkuk yang sudah kosong untuk dicucinya. Akira pikir Samudra sudah kembali ke kamarnya tapi nyatanya tidak. Pria itu malah bersandar pada meja dapur. Lagi-lagi ketika Akira hendak pergi menuju kamarnya, Samudra mencekal pergelangan tangannya ditariknya pelan membuat tubuh Akira bersentuhan pada dada bidang milik Samudra. Akira yang terkejut masih diam. Mencerna apa yang terjadi. Keduanya berhadapan, napasnya beradu. Tangan Samudra langsung berada di tengkuk Akira, mendekatkan wajah gadis itu ke wajahnya. Bibir mereka bersentuhan, awalnya hanya kecupan ringan. Samudra masih memimpin sedangkan Akira masih diam, tidak membalas. Samudra membalikkan tubuh mereka sehingga Akira yang bersandar pada meja dapur. Diangkatnya tubuh Akira perlahan, lalu mendudukkannya di atas meja membuat tubuh mereka sejajar. Samudra melepaskan kecupannya. Menatap manik mata Akira dalam. "Buka mulutmu dan ikuti aku." Seakan tersihir oleh tatapan dan suara Samudra yang lembut Akira membuka mulutnya ketika Samudra mulai menciumnya lagi. Memberikan kesempatan pria itu untuk mengakses mulutnya dengan lidah milik pria itu. Perlahan Akira mulai membalas ciuman Samudra, agak kaku memang mengingat Akira belum terbiasa. Tapi Samudra bersorak dalam hati. Dan Samudra akan membiasakan agar Akira semakin mahir dalam hal berciuman, bahkan bercinta? yang pasti dengannya.Pesawat yang membawa Akira dan Samudra akhirnya mendarat di sebuah pulau tropis yang jauh dari hiruk pikuk kota. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka bepergian tanpa kedua anak mereka. Rasanya aneh sekaligus menyenangkan—seakan kembali ke masa lalu.Samudra menggenggam tangan Akira saat mereka turun dari pesawat.“Jadi, enam tahun kita bersama, dan aku masih tidak percaya kamu tetap cantik seperti pertama kali aku jatuh cinta,” ujar Samudra dengan nada menggoda.Akira terkekeh, menepuk lengannya. “Rayuan gombal seperti itu masih ampuh? Jangan-jangan selama ini cuma itu modalmu bisa dapat aku.”Samudra pura-pura menghela napas berat, lalu merangkul bahunya. “Kalau aku tau cukup dengan gombalan, mungkin aku tidak perlu bersusah payah menabung buat beli cincin lamaran dulu.”Mereka akhirnya sampai ditujuan. Setelah check-in, mereka diantar ke sebuah vila kecil menghadap laut. Suasana begitu damai, suara debur ombak terdengar jelas, dan langit sore memantulkan warna jingga ke
Angin sore berhembus lembut melalui celah jendela yang terbuka sebagian. Tirai tipis bergoyang perlahan, menciptakan bayangan menari di dinding ruang tengah yang tenang. Di dalam rumah yang bersih dan hangat itu, Akira baru saja merapikan meja makan setelah memastikan Benua sudah tidur siang dengan nyaman di kamarnya. Ia mengenakan dress rumah berwarna lembut, rambutnya diikat sederhana. Hari ini, ia merasa sedikit kosong, rindu pada sosok yang sudah seminggu tidak pulang. Siapa lagi jika bukan Samudra.Sejak menikah, Samudra jarang benar-benar jauh. Namun bisnis yang tengah dikembangkan di Seoul memaksanya bolak-balik dalam hitungan minggu. Dan meskipun Akira sudah terbiasa, malam-malam tanpa Samudra selalu terasa sunyi dengan cara yang hanya bisa dirasakan, bukan dijelaskan. Saat Akira hendak menutup jendela, suara pintu depan berderit pelan. Langkah kaki masuk dengan hati-hati.“Sayang?” Suara itu menghentikan napasnya sejenak. Pelan-pelan, Akira berbalik.Di ambang pintu, berdiri
Pusat perbelanjaan tidak terlalu ramai sore ini. Di sebuah toko mainan yang berwarna-warni, Benua mondar-mandir di antara rak-rak, matanya berbinar seperti anak kecil pada umumnya. Tetapi kali ini, binar itu bukan karena ingin memiliki, melainkan ingin memberi.“Kalau Farhan suka robot-robotan, mungkin yang ini bagus,” ujar Benua sambil mengangkat sebuah kotak besar berisi robot transformasi berwarna merah dan biru.Akira mengamati putranya, lalu membantu memegang kotak itu. “Kamu yakin yang ini?”“Iya, Bunda. Pasti Farhan bakal seneng banget. Benua rela deh nggak jajan sebulan.”Akira tertawa kecil. “Nggak perlu sampai segitunya. Ini Ibu yang bayarin. Anggap aja hadiah dari kita berdua.”“Beneran?” Mata Benua membulat. “Makasih, Bundaaa!”Setelah membayar mainan, mereka lanjut ke toko pakaian anak-anak. Benua memilih dengan teliti, membandingkan ukuran dan warna.“Farhan kurus, Bun. Tapi tinggi kayak Benua. Mungkin yang ini pas.” Ia mengangkat sebuah kaus biru langit dengan gambar din
“Sam, berapa lama kamu akan pergi?” Akira menatap Samudra dengan sendu. Lagi-lagi, Samudra akan meninggalkannya dan Benua untuk beberapa hari ke depan karena ada pekerjaan yang mengharuskan Samudra ke sana.Apalagi, tempatnya sudah bukan satu negara dengannya. Karena Samudra lebih sering bolak-balik ke luar negeri untuk bisnisnya. Lalu untuk masalah di dalam negeri, masih Papa mertuanya, Samuel yang mengerjakan.“Seperti biasa, paling lama satu minggu.” Samudra berjalan menghampiri Akira, kedua tangannya terulur untuk mengusap pipi istrinya itu. “Apa kamu dan Benua ingin ikut denganku?”“Tidak, itu tidak perlu,” jawab Akira pelan. Meskipun ingin sekali ikut, tapi dia juga tidak bisa bersikap seenaknya seperti itu. Lagipula di sana Samudra bekerja bukan liburan atau bersenang-senang.“Apa kamu yakin tidak ingin ikut? Kamu tidak akan merindukanku?” tanya Samudra menaikkan sebelah alisnya, kedua tangannya masih berada di pipi Akira.“Jika kamu bertanya apakah aku akan merindukanmu atau t
Akira tidak menyangka jika kehidupan Samudra sama dengannya. Sama-sama ditinggal oleh ibu mereka ketika masih kecil dan alasannya bosan dengan kehidupan yang miskin. Akira masih diam, mendengar cerita Samudra dengan tenang tanpa berniat untuk memotong. "Ternyata om Shamir memiliki penyakit, hingga beberapa tahun yang lalu beliau menginginkan seseorang untuk meneruskan perusahaannya dan Ibu mengusulkan Ayah. Bahkan ketika Ibu mengusulkan Ayah, om Shamir tidak marah padahal beliau tau itu adalah mantan suami Ibu. Om Shamir juga merahasiakan semuanya. Hingga beliau menulis wasiat, jika Samira harus dinikahkan padaku.""Aku sangat terkejut, awalnya aku menolak tapi Ibu bilang setidaknya aku harus menghargai om Shamir semacam balas budi dan dengan bodohnya aku menurutinya. Padahal ketika itu Papa sudah menolak mentah, Papa bilang tidak apa jika aku tidak menerimanya. Kita bisa memulai dari awal, tapi yang aku pikirkan adalah benar kata Ibu, semua tentang balas budi mungkin dengan menerima
Pandangannya bahkan fokus menatap Samudra dari samping yang terlihat begitu menyayangi Benua. Sedangkan Samudra hanya berharap ini awal yang manis untuk kebahagiaan mereka.*****Hujan mengguyur kota Bogor di malam hari membuat hawa dingin begitu menusuk sampai ke tulang-tulang. Sesekali Akira mengusap lengannya yang tertutup oleh kardigan berwarna hitam, sesekali rambutnya yang digerai berkibar karena hembusan angin. Sudah satu minggu semenjak dirinya bertemu dengan Samudra, pria itu tidak pernah menampilkan batang hidungnya lagi. Akira mendesah kecewa ketika dirinya terbangun, dan tidak mendapati Samudra ada di kasur. Karena hanya ada dirinya dan Benua di sini sekarang. Ingatlah Akira jika dia memiliki Samira. Batinnya mengingatkan. Tapi matanya tidak sengaja melihat secarik kertas di atas nakas, dengan cepat Akira mengambilnya.Aku pulang, maaf tidak membangunkanmu. Besok aku akan menemuimu dan Benua lagi.—Samudra.Akira ingat betul, jika Samudra menuliskan di kertas jika besok ak