Akira bersandar pada pintu kamar memegang dadanya, jantungnya berdegup lebih cepat. Ini gila! Batinnya. Bagaimana bisa ia membalas ciuman Samudra?
Tadi begitu Samudra melepas ciuman mereka yang terjadi cukup lama Akira langsung melesat lari menuju kamar. Dan untung Samudra tidak menghalanginya, membiarkan dirinya pergi begitu saja. Lihat! Akira bercermin, penampilannya sekarang sungguh berantakan. Bibirnya yang membengkak, kemeja Samudra yang dipakainya sangat kusut, lalu rambutnya yang berantakan. Bibirnya berkedut, Akira memegangnya. Bahkan ciuman Samudra masih terasa di bibirnya. Ini benar-benar menjijikkan, batinnya. Akira yang polos seketika berubah menjadi Akira yang nakal dan liar. Dan sekarang tidak ada lagi bibir sucinya, karena ciuman pertamanya sudah dicuri Samudra. Dengan langkah lunglai, Akira berjalan menuju kasur lalu merebahkan dirinya. Menatap langit-langit, matanya menerawang. Ia harus membatasi semuanya sekarang, sebelum terlambat. Ia hanya takut jika Samudra selalu melakukannya seperti itu, Akira jatuh terlalu dalam. Ya, Akira hanya takut mencintai atasannya itu. Ia sadar diri, jika memang tidak pantas bersanding dengan Samudra. Ia hanya gadis dari kalangan orang miskin, dan tidak secantik wanita-wanita yang dekat dengan Samudra. Justru membayangkan itu semua membuatnya minder. ***** Samudra tersenyum dalam diam. Penampilan Akira karena ulahnya tadi benar-benar membuat miliknya mengeras. Ingin rasanya Samudra langsung menggendong Akira membawanya ke kamar. Tapi Samudra tidak ingin terburu-buru, ia hanya ingin segera pindah ke apartemen dengan membawa Akira dan memonopoli gadis itu. Agar memudahkan semuanya. Hanya saja Samudra berpikir jika Akira masih polos, apakah dirinya akan merusak gadis itu dengan tingkah bejatnya? Persetan dengan itu, Samudra tidak peduli. Sudah cukup ia menahan semuanya selama ini. Dan kali ini mungkin waktu yang pas. Samudra merebahkan tubuhnya di atas kasur, matanya menatap langit-langit kamarnya menerawang. Kadang ia bertanya-tanya, siapa pria yang sudah baik kepada ayahnya? Karena Samudra ingin berterima kasih padanya, tapi sepertinya terima kasih saja tidak cukup. Lihat? Tanpa tanggung-tanggung pria misterius itu membantu ayahnya hingga menjadi orang kaya yang sukses. Menghembuskan napasnya, Samudra memilih memejamkan matanya. Besok pagi, ia harus menggantikan ayahnya untuk meeting karena pria tua itu berada di Manila. ***** Tak terasa matahari sudah menampakkan dirinya. Padahal Akira hanya tidur lima jam, dan itu sangat membuatnya kesal. Biasanya ia akan tidur tepat waktu dan bangun pukul empat. Membuka matanya perlahan, Akira duduk di pinggiran kasur. Membuat kakinya menggantung. Kemarin Samudra sempat menyuruhnya untuk membangunkan pria itu karena harus ada meeting yang akan diadakan pukul tujuh. Sedangkan sekarang, Akira melirik pada jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Itu berarti Samudra hanya memiliki waktu setengah jam. Akira merutuki dirinya sendiri, dengan langkah lebar Akira langsung berlari menuju kamar Samudra. Tanpa mengetuk Akira langsung menerobos masuk. Akira dapat melihat Samudra masih nyenyak dalam tidurnya dengan selimut yang masih menutupi tubuhnya. "Tuan, bangun," ujar Akira pelan sambil menepuk-nepuk pelan pipi Samudra. Biarlah kalian berpikir Akira lancang, karena ia sendiri tidak peduli. Samudra menggeliat, tangannya malah menarik tubuh Akira mendekat membuat napas mereka beradu. Akira diam, terkejut? Pasti. Berusaha menarik diri tapi Samudra malah mengeratkannya. "Tuan bangun, anda harus mendatangi meeting pagi ini," bisik Akira pas ke telinga Samudra. "Aku akan bangun. Tapi kamu harus memberiku morning kiss, Akira." Samudra yang masih memejamkan matanya. Akira berjengkit, sungguh Samudra mengatakannya dalam keadaan sadar? Akira benar-benar tak habis pikir. "Aku dalam keadaan sadar Akira, cepat lakukan atau aku akan tetap melanjutkan tidurku," ancam Samudra. Akira menggerutu, sebenarnya sih Akira masa bodo jika Samudra mau mendatangi meetingnya atau tidak. Tapi jika ia tidak melakukannya, Samudra pasti akan mengadu pada Samuel–––karena dirinya Samudra tidak mendatangi meeting pentingnya itu. Dan sudah dapat dipastikan Akira akan dipecat. "Harus aku menciummu?" tanya Akira tak yakin. Samudra mengangguk tanpa membuka matanya. Akira menghela napasnya, baiklah ia akan berusaha tidak gugup. "Di bagian mana?" Pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut Akira membuatnya merutuki dirinya sendiri. Dalam hati Samudra tersenyum senang, lalu ia memajukan bibirnya memberi kode jika ia menginginkan ciuman di bibir. Akira membelakkan matanya, tapi yasudah lah toh ia juga sudah pernah melakukannya beberapa kali dengan Samudra. Memejamkan matanya Akira memajukan wajahnya hingga bibir mereka bersentuhan, hanya kecupan. Ketika Akira akan menarik wajahnya menjauh, Samudra justru menahan tengkuknya. Bukan Samudra namanya jika tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan. Menahan tengkuk Akira, Samudra mencoba membuka mulut Akira dan berakhir menggigit bibir bawah milik gadis itu. "Akh," pekik Akira ketika Samudra menggigit bibirnya. Samudra tetap melanjutkannya. "Balaslah, Akira," ujar Samudra di sela-sela ciumannya. Akira yang terlena membalas ciuman Samudra. Dan sekarang posisi Akira yang berada di bawah sedangkan Samudra yang berada di atas. Entah sejak kapan Samudra membaliknya. Tangan Akira mengalun indah pada leher Samudra. Lalu merambat meremas rambut pria itu. Pagi ini Samudra cukup senang. Dalam hati ia tersenyum penuh kemenangan. Ciuman Samudra turun ke leher Akira, memberikan kecupan-kecupan hingga meninggalkan tanda merah. Lalu sedikit bermain membuat tubuh gadis itu membusung ke depan. Akira mendesah tanpa disadari, "Ahhh." Sadar apa yang barusan keluar dari mulutnya kesadaran Akira kembali. Akira memegang kepala Samudra, menyuruh pria itu berhenti––membuat Samudra mendongak. Mata mereka bertemu. "Sam, kamu akan terlambat.'' Samudra mendengus, "Kamu mengganggu Akira!" Akira menghela napasnya, "Segeralah bersiap, aku akan membuat sarapan terlebih dulu,'' balas Akira langsung menyingkir dari kurungan Samudra. "Apa kamu akan keluar dengan seperti itu? Lihat penampilanmu benar-benar kacau Akira." Perkataan Samudra membuat langkahnya berhenti, ia menoleh ke arah belakang. "Lalu aku harus bagaimana? Ini semua juga karenamu," ujar Akira tak terima. Samudra terkekeh, melihat Akira yang marah dan kesal untuk pertama kali membuatnya tergelak. Pasalnya Akira tidak pantas untuk kesal karena wajahnya yang polos. "Kemarilah," titah Samudra. Akira menurut meskipun dalam hati bertanya-tanya. "Aku sudah membelikanmu pakaian ganti, pakailah!" ujar Samudra menunjuk atas nakas. Akira mengangguk, "Terima kasih." "Terima kasih saja tidak cukup," balas Samudra. Akira menaikkan sebelah alisnya bertanya, "Lalu?" Samudra memegang bibirnya. "Harus?" tanya Akira. Samudra mengangguk. Dengan cepat Akira mengecup sekilas bibir Samudra. Karena ia sudah tau Samudra akan mehannya seperti tadi. "cepat gantilah!" titah Samudra. "Iya, aku akan berganti di kamar." Samudra menggeleng tegas, "Di sini.'' "Di depanmu?" Samudra mengangguk. "Tidak mau!" tegas Akira. "Aku tidak akan tertarik padamu, cepatlah!" "Sungguh?" Samudra mengangguk, "Ya. Karena ukuran payudaramu terlalu kecil, jadi aku tidak tertarik." Sedikit sakit hati memang, ketika mendengar Samudra mengatai miliknya kecil. Dan pria itu tidak tertarik. Apakah miliknya sekecil itu hingga Samudra saja tidak tertarik padanya? Batinnya berteriak. "Baiklah jika anda tidak tertarik," ujar Akira dan langsung membuka kancing satu persatu. Kemeja putih yang melekat pada tubuhnya kini sudah tergeletak di bawah. Sekarang, Samudra dapat melihat bahwa gadis di depannya bertelanjang hanya menyisakan bra berwarna hitam yang berwarna senada dengan celana dalamnya, dan Akira memiliki tubuh yang sangat indah. Samudra menelan ludahnya. Akira seakan sengaja memakai baju yang diberinya dengan lambat, apa gadis itu berusaha menggodanya? Batinnya kesal. "Pakailah dengan cepat!" geram Samudra. Akira tersenyum miring, dalam hati ia ingin sekali menyumpah serapahi Samudra dan merutuki dirinya sendiri karena berani bertindak sejauh ini. Mungkin sekarang sandangan gadis polos tidak lagi berlaku padanya. Mungkin liar bisa jadi nama tengahnya.“Sam, berapa lama kamu akan pergi?” Akira menatap Samudra dengan sendu. Lagi-lagi, Samudra akan meninggalkannya dan Benua untuk beberapa hari ke depan karena ada pekerjaan yang mengharuskan Samudra ke sana.Apalagi, tempatnya sudah bukan satu negara dengannya. Karena Samudra lebih sering bolak-balik ke luar negeri untuk bisnisnya. Lalu untuk masalah di dalam negeri, masih Papa mertuanya, Samuel yang mengerjakan.“Seperti biasa, paling lama satu minggu.” Samudra berjalan menghampiri Akira, kedua tangannya terulur untuk mengusap pipi istrinya itu. “Apa kamu dan Benua ingin ikut denganku?”“Tidak, itu tidak perlu,” jawab Akira pelan. Meskipun ingin sekali ikut, tapi dia juga tidak bisa bersikap seenaknya seperti itu. Lagipula di sana Samudra bekerja bukan liburan atau bersenang-senang.“Apa kamu yakin tidak ingin ikut? Kamu tidak akan merindukanku?” tanya Samudra menaikkan sebelah alisnya, kedua tangannya masih berada di pipi Akira.“Jika kamu bertanya apakah aku akan merindukanmu atau t
Akira tidak menyangka jika kehidupan Samudra sama dengannya. Sama-sama ditinggal oleh ibu mereka ketika masih kecil dan alasannya bosan dengan kehidupan yang miskin. Akira masih diam, mendengar cerita Samudra dengan tenang tanpa berniat untuk memotong. "Ternyata om Shamir memiliki penyakit, hingga beberapa tahun yang lalu beliau menginginkan seseorang untuk meneruskan perusahaannya dan Ibu mengusulkan Ayah. Bahkan ketika Ibu mengusulkan Ayah, om Shamir tidak marah padahal beliau tau itu adalah mantan suami Ibu. Om Shamir juga merahasiakan semuanya. Hingga beliau menulis wasiat, jika Samira harus dinikahkan padaku.""Aku sangat terkejut, awalnya aku menolak tapi Ibu bilang setidaknya aku harus menghargai om Shamir semacam balas budi dan dengan bodohnya aku menurutinya. Padahal ketika itu Papa sudah menolak mentah, Papa bilang tidak apa jika aku tidak menerimanya. Kita bisa memulai dari awal, tapi yang aku pikirkan adalah benar kata Ibu, semua tentang balas budi mungkin dengan menerima
Pandangannya bahkan fokus menatap Samudra dari samping yang terlihat begitu menyayangi Benua. Sedangkan Samudra hanya berharap ini awal yang manis untuk kebahagiaan mereka.*****Hujan mengguyur kota Bogor di malam hari membuat hawa dingin begitu menusuk sampai ke tulang-tulang. Sesekali Akira mengusap lengannya yang tertutup oleh kardigan berwarna hitam, sesekali rambutnya yang digerai berkibar karena hembusan angin. Sudah satu minggu semenjak dirinya bertemu dengan Samudra, pria itu tidak pernah menampilkan batang hidungnya lagi. Akira mendesah kecewa ketika dirinya terbangun, dan tidak mendapati Samudra ada di kasur. Karena hanya ada dirinya dan Benua di sini sekarang. Ingatlah Akira jika dia memiliki Samira. Batinnya mengingatkan. Tapi matanya tidak sengaja melihat secarik kertas di atas nakas, dengan cepat Akira mengambilnya.Aku pulang, maaf tidak membangunkanmu. Besok aku akan menemuimu dan Benua lagi.—Samudra.Akira ingat betul, jika Samudra menuliskan di kertas jika besok ak
Samudra tersenyum samar. Bahkan air matanya tak terasa jatuh. Ia menemukannya. Mencengkeram stirnya kuat, Samudra memutuskan untuk mencari penginapan di sekitar sini dengan senyum yang tidak pernah luntur. Bahkan orang yang berada di lobi penginapan disapa oleh Samudra, padahal tidak saling mengenal."Mari Pak, Saya antar," ujar seorang laki-laki dengan seragam berwarna hitam.Samudra menggeleng, tersenyum ramah."Tidak usah, biar aku sendiri yang mencarinya.""Baik Pak, kamar Bapak ada di lantai tiga," ujar laki-laki itu yang diacungi jempol oleh Samudra.Sesampainya di kamar, Samudra langsung saja menaruh ranselnya asal dan melepas kemejanya, karena tubuhnya sudah terasa lengket dan bau. Di bawah guyuran air, Samudra memejamkan mata. Sedikit demi sedikit bebannya terangkat. Hanya saja ia harus menyusun rencananya. Menyiapkan semuanya karena Samudra juga berpikir jika Akira akan menolaknya, mengingat perlakuannya itu pasti wanitanya kecewa. Sangat. Pikiran Samudra beralih pada kejadi
Samudra melangkahkan kakinya menuju ruangannya, sesekali ia membalas sapaan para karyawan yang menyapanya. "Pagi Pak Samudra," sapa Hani—sekertarisnya.Samudra tersenyum, "Pagi juga Hani," balasnya sebelum mendorong pintu ruangannya. Entahlah, hari ini Samudra merasa lebih bersemangat dari sebelumnya. Karena Samudra merasa, ini adalah awal yang indah. Pintu terbuka, di sana Hani berdiri dengan membawa beberapa lembar kertas. "Pak, Saya hanya akan memberi tau agenda Bapak hari ini."Samudra mengangguk, mempersilahkan Hani untuk memulai."Hari ini bapak ada jadwal meeting dengan Pak Johan pukul sembilan, lalu setelahnya tidak ada agenda. Dilanjutkan lusa, bapak akan ke Bogor untuk menemui klien di sana." Terang Hani membuat Samudra mengangguk mengerti."Terima kasih Hani, kamu boleh pergi." Selepas kepergian Hani, Samudra memutuskan untuk bersiap menyiapkan keperluan untuk meetingnya. Mengecek sekali lagi jika semuanya sudah beres dan rapi.Hingga dua jam berlalu, meeting yang dilakukan
Sudah satu tahun sejak wanita itu pergi, Samudra terus mencarinya tanpa lelah apalagi ketika mengetahui Akira hamil dan malah mungkin sudah melahirkan. Jangan tanyakan hubungannya dengan Samira karena sampai sekarang pun masih terjalin baik. Samudra hanya merasa ayahnya menyembunyikan sesuatu padanya. Entahlah Samudra tidak tau. "Apa kamu sudah mendapatkan informasi tentang Akira?" tanya Samira yang duduk di depannya.Sekarang mereka sedang berada di salah satu kafe, menghabiskan waktu istirahat siang bersama. Samudra menghela napasnya lelah, menggeleng. "Belum, seorang suruhanku juga belum menemukannya."Matanya menerawang, membayangkan Akira hamil besar lalu melahirkan anaknya dan mengurus sendiri tanpanya membuat matanya memanas. Samira mengusap bahu Samudra menguatkan. "Tenanglah Sam. Pasti Akira akan ditemukan.""Aku tidak yakin, aku sudah satu tahun mencarinya tapi wanita itu...." Samudra mengacak-acak rambutnya frustasi tidak melanjutkan kalimatnya."Percayalah Sam, pencarianmu