Share

Bab 12

Author: Yerin Anindya
Aku mencari alasan seadanya untuk mengelak. "Lagi pula, mana ada pria yang mau orang lain tahu, baru menikah sebentar sudah cerai. Kedengarannya tidak bagus."

Raynard menanggapi dengan santai. "Ada yang buru-buru menikah, ada juga yang cerai cepat."

Mungkin dia berpikir santai, tetapi tidak semua orang berani dan berpikir seperti dia.

Aku berkata, "Dulu kami hidup dengan damai. Lalu, kami tiba-tiba bercerai, orang tuanya pasti akan menanyakan banyak hal. Karena itu, aku rasa dia tidak akan cerita ke siapa-siapa."

"Damai? Apa dia kasih kamu hidup yang damai?"

Aku pun terdiam.

Tentu saja bukan. Kalau ditelusuri sampai ke akar, semua ketenanganku berasal dari Raynard.

Melihat aku tidak membantah, Raynard menarik selimutku yang melorot ke bahu dan membenarkannya.

"Kalau kedamaian yang kamu sebutkan itu bergantung pada orang lain, hidupmu akan terus dihantui rasa takut kehilangan."

Aku mengangkat kepala dan menatapnya. "Aku cuma wanita biasa. Aku tidak punya ambisi besar. Punya rumah, suami yang sayang padaku, dan pekerjaan yang mapan, itu sudah cukup buatku. Itulah yang aku sebut hidup tenang."

Raynard mencium keningku. "Sekarang kamu sudah tinggalkan dia. Kamu masih bisa hidup damai. Walau kamu tidak punya suami, ada orang yang menyayangimu."

Di tengah kamar yang gelap, kami saling menatap tanpa berbicara. Perasaanku campur aduk dalam sekejap.

Sejak bersama Raynard, beberapa pikirannya menggoyahkan nilai-nilai tradisional yang telah mengakar dalam diriku.

Aku bilang, "Kamu itu orang terkenal, berkuasa, dan bergelimang uang. Hidup lajang buatmu seperti pesta yang tak pernah selesai, bebas melakukan apa pun setiap malam.Tapi aku cuma ingin satu hal, yaitu hidup sederhana bersama orang yang kucintai. Menikah, punya anak, dan membangun rumah kecil yang hangat."

Sudah kuduga. Aku mendengar tawanya yang penuh nada meremehkan.

"Jangan bicarakan hal-hal seperti itu lagi. Aku tidak akan pernah bisa setinggi kamu. Sudah lihat dokumen pamerannya?"

Raynard berkata, "Sudah. Pilih yang paling besar. Nomor 22 Area A."

Ruang pameran nomor 22 itu langsung menarik perhatianku dari awal. Ruangan itu luas dan berada di jalur utama arus pengunjung. Di sebelahnya ada stan milik salah satu konglomerat minyak dari luar negeri.

"Ruangannya memang besar. Tapi biaya sewanya juga lebih tinggi. Mungkin akan melewati anggaran."

Raynard berkata, "Uang bukan masalah. Kita harus dapatkan ruang nomor 22."

"Oke. Besok aku akan bahas dengan temanku dan cari cara buat dapatkan diskon."

Raynard bertanya padaku, "Teman pria atau wanita?"

Aku berkata, "Teman pria."

Dia bertanya padaku, "Apa dia pernah menyukaimu?"

Aku merasa dia mulai membosankan. "Di matamu, hubungan antara pria dan wanita itu harus ada perasaan, ya?"

"Kalau tidak?" Raynard mengelus wajahku. "Siapa yang tidak tergoda sama wanita secantik kamu?"

Raynard tiba-tiba melingkarkan lengannya di pinggangku dan berkata dengan nada memperingatkan, "Silakan bicarakan soal pekerjaan. Tapi kalau ada yang lebih dari itu, jangan salahkan aku kalau aku turun tangan."

"Mana mungkin." Aku membalikkan badan tanpa memedulikannya.

Raynard memelukku dari belakang. Nafasnya yang hangat terembus di kulit leherku.

"Aku tidak bercanda. Aku tidak suka milikku disentuh orang lain."

Aku berkata, "Tidak ada orang yang sentuh. Tenang saja."

Raynard berkata, "Dan juga, biaya ruang pameran itu, urus saja sesuai aturan. Jangan manfaatkan hubungan pertemanan untuk dapat diskon."

Kalimat itu di telingaku terdengar seperti cemburu buta. "Aku tahu."

……

Pagi harinya, saat hendak berangkat kerja, Raynard menyuruhku ikut dengannya.

Di dalam lift aku mengumpulkan keberanian dan berkata, "Pak Raynard, nanti aku naik taksi saja ke kantor. Kalau setiap hari aku pulang pergi sama kamu, takutnya rekan-rekan akan mulai bergosip."

Raynard melirik. "Aku akan pecat orang yang berani bicara di depanku."

Aku berkata, "Tidak ada yang berani bicara di depanmu. Semuanya bicara di belakangmu. Aku tidak masalah, aku cuma pegawai biasa. Tapi kamu pemilik perusahaan. Digosipkan itu tidak enak. Lagi pula, kadang-kadang malam kamu ada acara, aku juga pulang naik taksi."

Lift kebetulan berhenti di basemen.

Kami melangkah berdua. Raynard menyuruhku menunggunya sebentar. Aku yang berdiri di samping mobil melihat dia membuka laci penyimpanan di mobil dan mengambil sesuatu.

Dia menekan tombol di mobil lain yang terparkir di sebelah dan memberikan kuncinya padaku. "Kamu pakai saja mobil ini buat pulang pergi kerja."

Ketika melihat mobil mewah yang berharga miliaran ini, aku merasa tekanan besar memenuhi dadaku.

"Pak Raynard. Kalau mobil ini rusak, aku tidak sanggup ganti."

Dia tertawa santai. "Asuransinya lengkap. Kamu tidak perlu ganti rugi kalau rusak."

"Tapi..."

"Oke. Kalau masih belum berangkat, nanti terlambat. Aku masih ada rapat pagi ini."

Raynard langsung masuk ke mobil dan menyalakan mesin. Mobil melaju pergi begitu saja. Aku menatap lampu belakang yang perlahan menghilang dari pandangan. Aku pun berbalik dan duduk di kursi pengemudi.

Begitu aku menyentuh setir, jantungku langsung berdebar tidak karuan. Dulu, aku sangat hati-hati ketika membawa mobil bekas Lino. Sekarang, ketika aku menyetir mobil mewah yang harganya miliaran, napasku seperti tertahan di tenggorokan.

Untungnya perjalanan ke kantor lancar. Begitu aku memarkir mobil dan turun, aku melihat Lino mengendarai mobil dan parkir di seberangku.

Kami saling bertatapan dari seberang. Hatiku langsung tak karuan. Sementara Lino tampak canggung.

Lino tersenyum samar, kemudian menganggukkan kepala. Aku berpaling tanpa menanggapinya. Aku mengambil tas dan pergi.

Kami bertemu lagi di lift. Kali ini hanya kami berdua. Dia sepertinya memang sengaja menyusul. Saat berbicara, napasnya masih agak tersengal-sengal.

"Ranaya, kamu datang dengan mengendarai mobil Pak Raynard?"

Aku tidak menyangka dia mengejarku hanya untuk menanyakan hal ini.

"Ya."

Lino justru tampak lebih senang dari yang kuduga. "Serius? Ranaya, aku sudah bilang dari dulu kamu pasti bisa. Di sekeliling Pak Raynard banyak sekali wanita, tapi dia tidak biarkan satu wanita pun bawa mobilnya. Kamu harus bisa manfaatkan kesempatan ini baik-baik."

Aku menggertakkan gigiku dan menahan rasa muak yang hampir membuatku muntah, lalu berkata, "Lino, sebelum bertemu kamu, aku tidak tahu orang bisa menjadi begitu menjijikkan. Setelah bertemu kamu, aku bukan cuma tahu. Kamu bahkan berhasil mendefinisikan ulang arti kata tidak tahu malu."

Ekspresi Lino langsung berubah dan berkata dengan memelas, "Ranaya, kenapa kamu harus bicara sekasar itu? Bagaimanapun, kita juga pernah jadi suami istri."

Lino masih saja memasang wajah memelas dan tak berdaya. Namun, aku tidak akan tertipu dengan akting murahannya.

"Kamu masih berani bilang kita pernah jadi suami istri?" Aku menarik napas panjang. "Sekarang aku tahu, sejak awal kamu sudah rencanakan semuanya. Kamu jebak aku dalam pernikahan tanpa cinta dan tanpa keintiman. Lalu, begitu kamu lihat ada peluang untuk naik jabatan, kamu kasih aku ke orang lain."

Aku memalingkan wajah, tetapi kebencian di dadaku hampir meledak. Aku menggertakkan gigi dan berkata, "Kamu menghancurkan seluruh hidupku."

Dia bukannya merasa bersalah, tetapi tersenyum tanpa tahu malu sedikit pun.

"Sekarang kamu benci aku, suatu hari nanti, kamu akan berterima kasih padaku."

"Aku berterima kasih padaku?" Aku membalas dengan suara rendah dan penuh marah. "Terima kasih padaku karena membuatku jadi wanita simpanan?"

Lino tidak bisa menjawab, dia membuka mulutnya tanpa tahu harus berkata apa. "Ka... Kamu. Ah. Kamu juga tidak bisa bicara seperti itu."

"Kalau bukan? Apa hubunganku dan dia?"

Lino sampai di lantai yang dia tuju. Sebelum keluar dari lift, Lino meminta maaf padaku. "Ranaya, jangan marah. Maaf."

Aku melirik Lino dan berkata dengan nada dingin, "Minggir."

PIntu lift pun tertutup. Lino pergi menuju ke bagian HRD untuk melapor. Mungkin dia akan pergi beberapa hari lagi. Jujur saja, aku tidak ingin melihat wajahnya lagi.

Sesampainya di kantor, Raynard dan Kevin sedang rapat. Aku menutup pintu dan menghubungi Shane.

Shane segera mengangkat telepon dengan semangat begitu tahu aku ingin membahas ruang pameran nomor 22. Dia mulai menjelaskan keunggulan lokasi itu.

Sebenarnya, semua itu sudah tertulis jelas di dokumen yang dia kirimkan. Namun, di akhir percakapan, Shane memberi sinyal halus bahwa semua ini karena hubungan kami sebagai teman kuliah. Dia akan bantu bicarakan diskon harga sewa ke atasannya.

Aku tentu saja harus berterima kasih padanya. "Terima kasih, Shane."

Shane berkata, "Ranaya, soal diskon gampang. Kita sudah lama tidak bertemu. Kalau kamu datang ke Kota Pelagosa..." Suaranya agak rendah dan terdengar agar berbeda. "Bagaimana kalau aku ajak kamu jalan-jalan beberapa hari?"

Kalau aku masih tidak mengerti, aku itu bodoh.

Ucapan Raynard sebelumnya langsung terngiang. Aku dipermalukan oleh kata-katanya.
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 50

    Raynard tidak melepaskan mangkuk dan bersikeras. "Selama belum keluar dari rumah sakit, tetap saja pasien."Melihat kemesraan mereka berdua, aku pun membalikkan badan, dan pura-pura membereskan barang.Sebenarnya, tujuan Raynard memamerkan kemesraan di depanku adalah untuk menghilangkan kecurigaan Maura.Aku berdiri di ujung ranjang dan menatap mereka berdua dengan tatapan merestui. Maura sepertinya tidak curiga terhadap reaksi aku yang tampak tulus.Setelah Maura selesai makan malam, Raynard memutuskan untuk menemaninya di rumah sakit. Aku berjalan keluar dari ruang rawat bersama Davin.Di lorong, Davin bertanya padaku, "Tidak marah?"Aku menoleh dan memperlihatkan ekspresi terkejut. "Marah soal apa?"Davin menatapku sambil menilai situasi dan mencoba membaca ekspresiku, tetapi tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. "Aku cuma mau mengingatkanmu, jangan lupa siapa dirimu sebenarnya.""Haha." Aku tertawa getir. "Terima kasih atas peringatanmu. Tapi kamu juga tahu, sejak awal aku mel

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 49

    Perasaan pria terhadap sosok pujaan hatinya memang berbeda. Di mata Raynard sekarang, aku hanyalah seseorang yang bisa dipanggil sesuka hati dan disingkirkan kapan pun dia mau.Setelah merapikan kotak makan, aku bersiap pulang. Tidak ada gunanya menjadi penghalang.Aku memberi tahu Raynard. "Pak Raynard, aku pulang dulu."Raynard masih sempat mengingatkan soal menu makanan, menyuruhku untuk masak sesuai daftar, dan menghindari bahan-bahan yang tidak bisa dimakan Maura.Aku berjalan ke sisi ranjang. Meski Maura memberi kesan akrab seperti seorang teman, aku tak bisa benar-benar memperlakukannya seperti itu. Raynard pasti tidak akan mengizinkannya."Bu Maura, kamu istirahat baik-baik. Aku pergi dulu."Maura perhatian padaku. "Kamu ke sini sendirian? Bagaimana kalau suruh Raynard antar pulang?"Raynard menatap ke arahku. Aku segera berkata, "Tidak perlu. Aku bawa mobil."Begitu aku keluar dari kamar, terdengar suara lembut Raynard dari dalam. "Kamu mau minum tidak?"Aku menutup pintu. Kel

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 48

    "Raynard. Semua ini salahku. Jangan salahkan dia." Maura berkata sambil memalingkan wajah. Matanya bahkan menjadi merah.Raynard memberikan semangkuk bubur kepadaku dan berkata dengan nada kesal, "Masak bubur saja tidak becus. Lain kali, jangan pakai talas." Aku merasa sedih. Bagaimana mungkin aku tahu dia alergi talas.Aku meletakkan bubur dan menyerahkan telur kukus. Raynard meniup telur kukus itu dan menyuapkan ke Maura. Dia juga makan setengah potong labu kukus.Maura hanya bisa makan sedikit. Makan beberapa suap dan sudah tidak bisa makan lagi.Aku bisa melihat bahwa Raynard kesal dan gusar. Dia marah karena Maura makan sedikit dan marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa.Raynard menerima panggilan dari kantor. Maura sempat membujuknya agar Raynard kembali bekerja dan tidak perlu menjaganya. Namun, Raynard bersikeras untuk menemaninya.Perawat memanggil keluarga pasien untuk mengambil obat. Sekarang hanya aku dan Maura di kamar pasien.Dia menoleh dan berkata,

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 47

    Raynard berkata, "Maag Maura kambuh. Sekarang dirawat di rumah sakit. Oh, ya. Kalau Kak Elina datang, tolong suruh dia masak sesuatu yang lunak dan mudah dicerna, terus kirim ke rumah sakit. Dia tidak suka makanan restoran.""Oke. Aku akan kasih tahu Kak Elina begitu dia datang."Tidak lama setelah Raynard pergi, dia menelponku lagi.Raynard bertanya padaku, "Kamu bisa masak?"Aku terdiam. "Bisa."Raynard berkata, "Barusan Kak Elina telepon, kemarin pinggang suaminya makin parah, sekarang dia dirawat di rumah sakit. Jadi, dia harus menjaganya beberapa hari di rumah sakit. Kamu masak makanan yang cocok buat penderita maag, terus antar ke rumah sakit.""Oke."Aku menutup telepon dan mencari informasi mengenai pola makan untuk pasien maag dari internet.Di kulkas ternyata ada talas. Aku keluarkan talas itu dan masak bubur dengan talas. Aku juga mengukus telur dan labu. Lalu, aku memasukkannya ke kotak makan dan langsung berangkat ke rumah sakit.Di tempat parkir aku mengirim pesan WhatsAp

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 46

    Nama aliasnya adalah Melodi Langit terdengar anggun dan memesona. Sementara namaku, Peternak Hoki.Namaku jelas-jelas menarik perhatiannya. Dia menatapku dan tersenyum penuh arti. "Lucu sekali."Aku tersenyum samar sambil melihat tatapan Raynard yang dingin dan menjaga jarak terhadapku. Raynard jelas-jelas tidak ingin aku menganggu mereka.Aku pun tahu diri dan segera pergi. "Pak Raynard, Bu Maura, aku kembali bekerja dulu."Saat menutup pintu, aku mendengar Maura berkata dengan lembut, "Bu Ranaya lucu sekali. Kamu harus lebih lembut padanya."Dengan nada penuh manja, Raynard berkata, "Dia bawahanku, dan kamu memintaku bersikap lembut padanya?""Jangan terlalu galak juga. Kamu tidak tahu bagaimana raut wajahmu barusan, sampai-sampai aku sendiri merasa takut melihatnya."Aku tidak tahu bagaimana Raynard menjawab Maura. Aku tidak bisa mendengar dengan jelas karena pintu sudah tertutup dengan rapat.Maura ternyata lebih ramah dan mudah didekati dari yang kuperkirakan. Waktu meninggalkan k

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 45

    Aku berhasil melunasi utang kali ini. Rumah dan tanah juga tetap aman. Aku juga sudah bilang ke keluargaku kalau aku tidak akan ikut campur urusan Juna. Aku membiarkan dia menanggung sendiri konsekuensinya.Apabila dia masih mau berjudi, tidak peduli dia kehilangan tangan atau nyawa, itu bukan lagi urusanku.Ibu mengiyakan dengan sangat meyakinkan, katanya dia pasti akan membujuknya berhenti berjudi. Namun, dalam hati, aku tahu jelas, seorang penjudi akut tidak akan semudah itu berubah dan kembali ke jalan yang benar.Agar mereka tidak datang ke kantor untuk membuat keributan, aku mengetuk pintu kantor Raynard."Ada apa?" Raynard yang sedang membaca dokumen bertanya kepadaku tanpa mengangkat kepalanya.Tangan yang terkulai di samping tubuh mengepal erat. "Aku harus jujur, Pak Raynard, keluargaku memang agak rumit. Adikku itu tipe orang yang hanya ingat diberi makan, bukan dipukul. Aku khawatir kejadian seperti kemarin bisa terulang lagi. Mereka tidak punya uang, jadi pasti akan datang

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status