Share

Bab 11

Penulis: Yerin Anindya
Menjelang makan malam, Raynard menelepon Elina dan memberi tahu kalau dia harus menjemput seseorang di bandara dan tidak akan pulang untuk makan.

Aku melihat kalender. Malam ini Clarissa datang dari Jayawarsa ke Ranakarta. Sepertinya Raynard memang tidak akan pulang malam ini.

Aku merasa lebih bebas berada sendirian di rumah sebesar ini.

Keluargaku belum tahu soal perceraianku dan Lino. Aku juga belum berniat memberi tahu mereka. Mereka yang berada jauh dari sini pasti akan sangat khawatir. Untuk saat ini, lebih baik menunggu hingga semuanya lebih stabil, baru memberi tahu mereka.

Aku sudah berjanji pada Raynard untuk mengurus urusan Pameran Dirgantara Pelagosa. Aku melirik jam tangan, waktu makan malam seharusnya sudah lewat.

Aku menelepon Shane. Dia pun segera menjawab, meski terdengar suara bising dari ujung telepon.

"Selamat malam, Shane. Maaf mengganggumu."

Shane tertawa pelan lalu berkata, "Apa yang kamu katakan? Kita ini teman lama. Jangan bilang ganggu segala. Ada apa, cerita saja."

Aku sempat ragu sebelum akhirnya berkata, "Maaf, tapi bisakah kita bicarakan soal pekerjaan di luar jam kantor? Kamu ada waktu?"

Shane menjawab dengan santai, "Tidak masalah. Tunggu sebentar, ya."

Keriuhan dari seberang perlahan mereda. Begitu suara pintu tertutup terdengar, suasana langsung sunyi.

"Kamu bilang saja."

Dari sini saja sudah terlihat bagaimana sikap Shane terhadap pekerjaannya. Aku benar-benar mengaguminya untuk itu.

"Sebelumnya, kamu pernah telepon aku soal Pameran Dirgantara Pelagosa, 'kan? Hari ini atasanku menugaskanku untuk mengurus koordinasi dengan pihak penyelenggara. Aku mau tanya, berapa luas ruang pameran yang tersedia dan lokasinya di bagian mana? Seperti yang kamu tahu, perusahaan kami akan membawa cukup banyak model pesawat ke pameran kali ini, jadi kami butuh ruang yang agak khusus. Kami juga berharap bisa menempati lokasi yang strategis."

Shane berkata, "Oke. Begini saja, aku kirim ke kamu dokumen internal mengenai penyewaan ruang pameran. Tenang saja. Ini data buat relasi internal. Tidak ada informasi penting di dalamnya. Di dokumen itu ada detail ukuran dan posisi setiap ruang pameran. Yang sudah disewa ditandai warna merah, kamu bisa lihat sisanya,mau ruangan pameran mana bilang saja."

Dokumen internal seperti ini bukan sesuatu yang bisa diminta begitu saja. Dibeli pun belum tentu bisa.

Aku berterima kasih dengan tulus. "Terima kasih, Shane."

Shane berkata, "Tidak perlu sungkan. Hal lainnya aku tidak bisa bantu. Tapi, kalau urusan di wilayah sendiri, aku masih punya kuasa. Cepat lihat. Kalau kamu sudah tentukan ruangan pamerannya, langsung saja kabari aku. Sekarang lagi rebutan ruang pameran. Kalau terlambat, bisa-bisa terlewatkan."

"Aku tahu. Aku akan segera koordinasi dengan atasanku. Begitu diputuskan, aku akan langsung menghubungimu."

Begitu telepon ditutup, aku langsung membuka file data ruang pameran. Benar saja, beberapa lokasi paling strategis sudah dipesan. Masih ada dua ruangan di lokasi emas yang belum disewa, mungkin karena ukurannya terlalu besar. Namun, ruang pameran bandara selalu penuh setiap tahunnya, jadi aku harus segera ambil keputusan.

Aku tidak menelepon Raynard. Aku mengirimkan pesan WhatsApp.

[Aku sudah dapat data ruang Pameran Dirgantara Pelagosa. Kalau ada waktu, tolong lihat sebentar. Kalau sudah pilih ruangan, aku akan langsung negosiasi dengan mereka.]

Sudah satu jam sejak pesan dikirim, tetapi belum juga ada balasan. Malam ini Raynard mungkin tidak akan melihat pesan karena ada Clarissa yang menemaninya.

Sejak aku tinggal di sini, Raynard selalu bersamaku setiap malam. Sekarang, dia memilih untuk tidur di tempat wanita lain. Entah mengapa, rasanya sangat menjijikkan.

Aku sempat berpikir, apabila dia pulang dan hendak menyentuhku, aku akan langsung menendangnya hingga jatuh dari ranjang.

Aku masuk ke kamar mandi untuk beristirahat. Namun, ketika baru saja masuk, terdengar suara pintu kamar terbuka.

Suara air pancuran menutupi suara pintu. Waktu Raynard mendekat, aku sama sekali tidak sadar. Tiba-tiba sepasang tangan yang kuat memelukku dari belakang. Aku terkejut dan berteriak sambil berusaha melepaskan diri.

Raynard menutup mulutku dan berbisik dengan suara serak, "Ini aku."

Tangannya mulai bergerak tak terkendali, tetapi otakku dipenuhi dengan bayang-bayang Raynard bermesraan dengan Clarissa. Aku merasa sangat jijik hingga perutku merasa mual. Aku menepis tangannya dari mulutku dan berkata, "Apa yang kamu lakukan? Kamu buat aku jantungan saja."

Dia masih berusaha memelukku, tetapi aku menghindar dengan jijik. Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada dan berkata, "Aku sudah selesai mandi. Kamu mandilah."

Dia sepertinya menyadari perubahan sikapku. Tidak lama kemudian, dia menarik tubuhku dan menekanku ke dinding, lalu berkata dengan tatapan dingin, "Tatapanmu penuh dengan penolakan."

Aku tetap tidak mengaku. "Tidak."

Dia mematikan keran, lalu menumpukan kedua tangannya di samping kepalaku. Dia benar-benar mengurungku.

"Aku aku boleh tahu kenapa kamu merasa jijik?"

"Tidak." Aku memalingkan wajah.

Aku tidak tahu seperti apa ekspresinya saat itu, tetapi dari tatapannya begitu tajam dan gelap, seolah-olah dia ingin menelanku hidup-hidup.

Setelah beberapa saat, dia pun tiba-tiba berkata dengan suara rendah dan penuh arti.

"Cemburu?"

"Hah?" Tubuhku menegang. "Siapa yang cemburu?"

Kalau aku tidak cemburu, harusnya aku jawab cemburu apa?

Aku mendengar Raynard tertawa samar. "Kamu pikir aku pergi menemui Clarissa, ya? Dari ujung kepala sampai ujung kaki, mulutmu memang paling susah mengaku. Aku tidak ke tempat dia. Barusan aku menghadiri jamuan makan penting, jadi belum sempat balas pesan."

Aku melirik sebentar. Aku juga bukan orang bodoh. Mana mungkin aku langsung percaya dengan penjelasannya?

Namun, setidaknya dia masih mau memberi penjelasan. Artinya, masih ada ruang untukku di hatinya. Kalau begitu, sebaiknya aku segera bayar utangku padanya. Kalau aku harus pura-pura jadi wanita yang sedang cemburu demi menjaga suasana hatinya, baiklah, aku bisa lakukan.

Selama dia senang, hidupku masih bermakna.

"Benarkah?" Aku melirik wajahnya dan ternyata Raynard memang terhibur. Dia pun tersenyum puas ketika menyalakan keran. Air hangat pun mulai membasahi tubuh kami berdua.

Reynard berkata, "Tolong lepas bajuku."

Aku mulai melepaskan kancing kemejanya satu per satu. Dadanya yang berotot pun perlahan terlihat.

Sepertinya Reynard lebih buru-buru dariku. Begitu kancing terakhir terlepas, dia langsung memelukku lagi dan mulai menciumku dengan penuh gairah.

Ketika kami kembali ke kamar tidur, tubuhku terasa begitu ringan di pelukannya. Mataku agak berat dan nyaris tertidur, tetapi dia tiba-tiba bertanya, "Apa keluargamu tahu kalau kamu sudah bercerai?"

Satu pertanyaan membuat semua rasa kantukku hilang.

Aku membuka mata. "Aku belum kasih tahu mereka."

"Kenapa?"

"Aku mau tunggu sampai semuanya stabil, baru kasih tahu mereka."

Raynard bertanya padaku, "Apa maksudmu dengan stabil?"

Ternyata Raynard takut aku akan merepotkannya.

"Kamu tenang saja. Aku tidak akan merepotkanmu. Setelah aku lunasi semua utangku padamu, hidupku pasti lebih stabil. Setelah aku punya rumah sendiri, aku baru akan bilang ke mereka."

Lingkungan yang gelap membuat suasana makin sunyi.

Raynard terdiam cukup lama hingga aku mengira dia sudah tidur. Namun, ketika aku hendak memejamkan mata, dia pun bertanya, "Kamu mau pindah?"

Aku pun terdiam. Aku hanya menjadi teman tidurnya. Aku tidak mungkin terus menumpang di sini, bukan?

Aku menghela napas tanpa bersuara dan berkata, "Hubungan kita tidak akan selamanya seperti ini. Siapa tahu kamu bosan sama aku suatu hari nanti. Aku juga harus hidup mandiri."

Raynard berkata, "Kamu bisa tinggal sesuka hati di rumah ini. Bebas mau tinggal kapan saja."

Aku pun terdiam. Dia mengatakan itu hanya untuk merayuku. Aku tidak akan percaya begitu saja, apalagi sampai punya nyali untuk terus tinggal di sini.

"Apa Lino tidak akan cerita soal perceraian kalian?"

Aku terdiam sejenak. "Tidak tahu. Harusnya tidak akan cerita. Dia selalu menjaga martabatnya. Lagi pula..."

Aku hampir saja mengatakannya.

Raynard tidak boleh tahu kalau Lino mandul. Kalau Raynard sampai tahu, sepertinya dia akan mengira kalau kami berdua rencana meminjam benih.

Raynard adalah orang yang mudah marah. Kalau Raynard tahu kami memanfaatkan dia, aku dan Lino pasti tidak akan berakhir baik.

"Lagi pula apa?" Dia bertanya padaku.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 50

    Raynard tidak melepaskan mangkuk dan bersikeras. "Selama belum keluar dari rumah sakit, tetap saja pasien."Melihat kemesraan mereka berdua, aku pun membalikkan badan, dan pura-pura membereskan barang.Sebenarnya, tujuan Raynard memamerkan kemesraan di depanku adalah untuk menghilangkan kecurigaan Maura.Aku berdiri di ujung ranjang dan menatap mereka berdua dengan tatapan merestui. Maura sepertinya tidak curiga terhadap reaksi aku yang tampak tulus.Setelah Maura selesai makan malam, Raynard memutuskan untuk menemaninya di rumah sakit. Aku berjalan keluar dari ruang rawat bersama Davin.Di lorong, Davin bertanya padaku, "Tidak marah?"Aku menoleh dan memperlihatkan ekspresi terkejut. "Marah soal apa?"Davin menatapku sambil menilai situasi dan mencoba membaca ekspresiku, tetapi tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. "Aku cuma mau mengingatkanmu, jangan lupa siapa dirimu sebenarnya.""Haha." Aku tertawa getir. "Terima kasih atas peringatanmu. Tapi kamu juga tahu, sejak awal aku mel

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 49

    Perasaan pria terhadap sosok pujaan hatinya memang berbeda. Di mata Raynard sekarang, aku hanyalah seseorang yang bisa dipanggil sesuka hati dan disingkirkan kapan pun dia mau.Setelah merapikan kotak makan, aku bersiap pulang. Tidak ada gunanya menjadi penghalang.Aku memberi tahu Raynard. "Pak Raynard, aku pulang dulu."Raynard masih sempat mengingatkan soal menu makanan, menyuruhku untuk masak sesuai daftar, dan menghindari bahan-bahan yang tidak bisa dimakan Maura.Aku berjalan ke sisi ranjang. Meski Maura memberi kesan akrab seperti seorang teman, aku tak bisa benar-benar memperlakukannya seperti itu. Raynard pasti tidak akan mengizinkannya."Bu Maura, kamu istirahat baik-baik. Aku pergi dulu."Maura perhatian padaku. "Kamu ke sini sendirian? Bagaimana kalau suruh Raynard antar pulang?"Raynard menatap ke arahku. Aku segera berkata, "Tidak perlu. Aku bawa mobil."Begitu aku keluar dari kamar, terdengar suara lembut Raynard dari dalam. "Kamu mau minum tidak?"Aku menutup pintu. Kel

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 48

    "Raynard. Semua ini salahku. Jangan salahkan dia." Maura berkata sambil memalingkan wajah. Matanya bahkan menjadi merah.Raynard memberikan semangkuk bubur kepadaku dan berkata dengan nada kesal, "Masak bubur saja tidak becus. Lain kali, jangan pakai talas." Aku merasa sedih. Bagaimana mungkin aku tahu dia alergi talas.Aku meletakkan bubur dan menyerahkan telur kukus. Raynard meniup telur kukus itu dan menyuapkan ke Maura. Dia juga makan setengah potong labu kukus.Maura hanya bisa makan sedikit. Makan beberapa suap dan sudah tidak bisa makan lagi.Aku bisa melihat bahwa Raynard kesal dan gusar. Dia marah karena Maura makan sedikit dan marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa.Raynard menerima panggilan dari kantor. Maura sempat membujuknya agar Raynard kembali bekerja dan tidak perlu menjaganya. Namun, Raynard bersikeras untuk menemaninya.Perawat memanggil keluarga pasien untuk mengambil obat. Sekarang hanya aku dan Maura di kamar pasien.Dia menoleh dan berkata,

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 47

    Raynard berkata, "Maag Maura kambuh. Sekarang dirawat di rumah sakit. Oh, ya. Kalau Kak Elina datang, tolong suruh dia masak sesuatu yang lunak dan mudah dicerna, terus kirim ke rumah sakit. Dia tidak suka makanan restoran.""Oke. Aku akan kasih tahu Kak Elina begitu dia datang."Tidak lama setelah Raynard pergi, dia menelponku lagi.Raynard bertanya padaku, "Kamu bisa masak?"Aku terdiam. "Bisa."Raynard berkata, "Barusan Kak Elina telepon, kemarin pinggang suaminya makin parah, sekarang dia dirawat di rumah sakit. Jadi, dia harus menjaganya beberapa hari di rumah sakit. Kamu masak makanan yang cocok buat penderita maag, terus antar ke rumah sakit.""Oke."Aku menutup telepon dan mencari informasi mengenai pola makan untuk pasien maag dari internet.Di kulkas ternyata ada talas. Aku keluarkan talas itu dan masak bubur dengan talas. Aku juga mengukus telur dan labu. Lalu, aku memasukkannya ke kotak makan dan langsung berangkat ke rumah sakit.Di tempat parkir aku mengirim pesan WhatsAp

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 46

    Nama aliasnya adalah Melodi Langit terdengar anggun dan memesona. Sementara namaku, Peternak Hoki.Namaku jelas-jelas menarik perhatiannya. Dia menatapku dan tersenyum penuh arti. "Lucu sekali."Aku tersenyum samar sambil melihat tatapan Raynard yang dingin dan menjaga jarak terhadapku. Raynard jelas-jelas tidak ingin aku menganggu mereka.Aku pun tahu diri dan segera pergi. "Pak Raynard, Bu Maura, aku kembali bekerja dulu."Saat menutup pintu, aku mendengar Maura berkata dengan lembut, "Bu Ranaya lucu sekali. Kamu harus lebih lembut padanya."Dengan nada penuh manja, Raynard berkata, "Dia bawahanku, dan kamu memintaku bersikap lembut padanya?""Jangan terlalu galak juga. Kamu tidak tahu bagaimana raut wajahmu barusan, sampai-sampai aku sendiri merasa takut melihatnya."Aku tidak tahu bagaimana Raynard menjawab Maura. Aku tidak bisa mendengar dengan jelas karena pintu sudah tertutup dengan rapat.Maura ternyata lebih ramah dan mudah didekati dari yang kuperkirakan. Waktu meninggalkan k

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 45

    Aku berhasil melunasi utang kali ini. Rumah dan tanah juga tetap aman. Aku juga sudah bilang ke keluargaku kalau aku tidak akan ikut campur urusan Juna. Aku membiarkan dia menanggung sendiri konsekuensinya.Apabila dia masih mau berjudi, tidak peduli dia kehilangan tangan atau nyawa, itu bukan lagi urusanku.Ibu mengiyakan dengan sangat meyakinkan, katanya dia pasti akan membujuknya berhenti berjudi. Namun, dalam hati, aku tahu jelas, seorang penjudi akut tidak akan semudah itu berubah dan kembali ke jalan yang benar.Agar mereka tidak datang ke kantor untuk membuat keributan, aku mengetuk pintu kantor Raynard."Ada apa?" Raynard yang sedang membaca dokumen bertanya kepadaku tanpa mengangkat kepalanya.Tangan yang terkulai di samping tubuh mengepal erat. "Aku harus jujur, Pak Raynard, keluargaku memang agak rumit. Adikku itu tipe orang yang hanya ingat diberi makan, bukan dipukul. Aku khawatir kejadian seperti kemarin bisa terulang lagi. Mereka tidak punya uang, jadi pasti akan datang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status