LOGINJuan dan Giva adalah sahabat karib. Mereka dekat sejak kecil, tumbuh bersama, saling ada untuk satu sama lain. Juan dan Giva bertolak belakang. Juan yang playboy dan suka bergonta-ganti pasangan, sedang Giva orang yang tidak suka sentuhan. Suatu hari, kedua manusia yang bertolak belakang itu memutuskan untuk menikah kontrak demi kepentingan satu sama lain.
View More-- SETAHUN SETELAH PERNIKAHAN--
Waktu bergulir dengan menyenangkan. Hubungan Juan dengan sang istri pun sangat baik. Mereka akhirnya hidup bahagia setelah aral melintang di mana-mana. Giva sudah belajar mengatasi rasa trauma, Juan berubah menjadi budak cinta. Mereka melakukan ini dan itu, menikmati waktu demi waktu. Berjanji mengatasi segalanya berdua. Lalu keajaiban muncul dalam kehidupan mereka setelah hampir satu tahun pernikahan. Kala Giva menyadari bahwa ia melewatkan masa menstruasinya setelah seminggu. Bergegas ia memesan testpack dari aplikasi online, mencobanya dengan degupan jantung menggila ia di dalam toilet kamarnya. Hari yang mengejutkan itu ia lalui sendirian, sebab Juan sedang lembur di kantornya. Setelah mencobanya hampir dengan sepuluh testpack berbeda dan merasa yakin, Giva yang dipenuhi gelenyar gembira itu menyiapkan sebuah kejutan untuk Juan. Berupa testpack-testpack yang dimasukkan di dalam kotak. Ia juga memesan sebuah cake red velvet kesukaan Juan dengan tulisan 'selamat menjadi ayah' sebagai pelengkap. Sehingga setelah semuanya siap, tersisa Giva menunggu waktu datangnya sang suami dengan perasaan excited yang tak bisa dideskripsikan. Tapi, ketika jam di dinding sudah menunjuk dengan pongah pada angka 11, Juan masih tak nampak batang hidungnya. Ponselnya jelas mati ketika Giva berusaha menghubunginya. Hadir rasa khawatir nan gelisah, menggeser kegembiraan beberapa saat lalu. Sebab tak biasanya Juan seperti ini. Sekalipun Giva pulang lebih dahulu dari kantor dan Juan harus menghadapi tumpukkan tugasnya sebagai bagian dari orang-orang atas di Kita Moelya, ia tetap tak pernah pulang lewat dari pukul 9 malam. "Ibu, Juan ada di rumah?" Giva menghubungi langsung ke rumah mertuanya, harapannya laki-laki itu ada di sana. Namun jawaban yang ditunggunya ternyata berbeda dengan kenyataan. "Juan nggak ke sini, sayang. Memangnya dia belum pulang dari kantor?" "Belum, bu." "Biar ibu coba minta ayahmu hubungi pegawainya di kantor. Kamu jangan khawatir ya." Tak melegakan juga ucapan sang mertua. Bagi Giva, hal-hal ganjil selalu terasa mencurigakan. Ia punya banyak kenangan buruk, dan kesemuanya bermula dari hal-hal remeh. Ia takut sekarang kalau-kalau Tuhan masih belum puas memberikannya sebuah ujian. Sudah sepuluh menit berlalu namun pesan dari ibunya hanya berisi kalimat penenang. Menyuruh Giva untuk tidak khawatir sebab ayah Juan sudah meminta orang-orangnya untuk menyebar mencari sang anak bungsu. Tapi ... mana mungkin Giva tak khawatir, kan? Ia jelas mengalami banyak hal belakangan ini selayaknya dalam film-film. Bagaimanapun, ia masih merasa trauma. Lalu sebuah pesan masuk tiba-tiba terasa meruntuhkan dunia milik Giva. Itu hanya sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal yang memberitahukan keberadaan suaminya. Loh? Bukankah Giva harusnya merasa senang karena kini ia tahu keberadaan suaminya? Seharusnya demikian, bila saja pesan itu tak menunjukkan posisi siapa perempuan yang sedang makan malam bersamanya. Mungkin Giva seperti orang gila sekarang. Meraih boleronya secara asal, tak lupa juga ponsel dan berlari menuju pak Dul di samping rumah. Meminta laki-laki berbadan tinggi itu untuk mengantarnya ke sebuah alamat hotel mewah tempat Juan menikmati makan malamnya. "Ngebut ya Pak," pinta Giva. Ia tak ingin kehilangan momen yang menyakitkan itu tanpa penjelasan. Terlebih sebuah penjelasan yang didapatkan langsung di tempat kejadian perkara. Sayangnya, 30 menit perjalanan itu telah membuat si tersangka yang ingin ia cecar tak berada di tempatnya. Sehingga sekalipun Giva celingukan mencari, tak kunjung ia dapati di sana; suaminya. Anehnya, lagi dan lagi, pesan masuk dari nomor tak dikenal itu masuk ke ponselnya. 'Juan masuk ke kamar no. 190 dengan seorang perempuan' Giva seharusnya belajar dari pengalaman soal rasa penasarannya seringkali mencelakakan. Tapi, ia tidak punya pilihan lain. Ia ingin memastikan bahwa suaminya bukanlah Juan Dirangga Moelya yang dulu, ketika ia masih sebagai sahabatnya, menjadi saksi betapa nakal dan brengseknya Juan. Ia ingin menyanggah itu dengan mata kepalanya sendiri. Terlebih, dalam perutnya kini, seseorang sedang tumbuh. Tak butuh waktu lama, Giva yang bergegas dengan kalang kabut itu sudah berada di depan pintu kamar yang dimaksud. Tangannya bergetar, keringatnya memenuhi jari jemari hingga pelipis. Jantungnya berdetak dengan suara talu yang membumbung. Jemarinya yang terkepal itu, mengambang di udara. Ia tak jadi mengetuk, justru jatuh tersimpuh ia di depan sana. Di belakangnya, Pak Dul memburu, mencoba membantu. Namun Giva menggeleng, ia meminta waktu sendirian. Sehingga beringsut laki-laki berkepala botak itu, menjauh, menjaga jarak aman. Giva menangis dengan tubuh gemetar. Ia merasa ketakutan bahkan sebelum benar-benar membuktikan kebenarannya. Di dalam hatinya, riuh suara memintanya untuk percaya pada Juan. Laki-laki yang bahkan hampir mati demi menyelamatkannya. Sahabat hampir seumur hidupnya, sekaligus suami yang ia cintai dengan sepenuhnya. Setelah berhasil menguasai diri, Giva bangkit. Ia mengusap air matanya kasar dengan punggung tangan, membulatkan tekad lantas mengetuk pintu tersebut dengan kuat. Cukup lama, pintu itu bergeming. Suara ketukan jemari Giva yang riuh beradu dengan pintu seperti sengaja tak didengar, seolah mereka yang di dalam, terlalu asik untuk sekedar peduli pada orang gila yang mengetuk pintu mereka di pukul 12 malam. Meski begitu, Giva tak menyerah. Sebab kalaupun ternyata ia salah, ia akan dengan sukarela memberikan kompensasi bagus atas ketenangan mereka yang terganggu. Tapi, itu pukul 12 malam yang lebih lima menit, hari yang telah berganti dengan kecamuk di dalamnya, berdiri seorang perempuan yang sangat familiar dalam balutan baju tidur terbuka berbahan satin halus dengan renda-renda. Matanya mengantuk namun cukup cerah untuk menemani senyumannya. Ia hanya menatap Giva sambil bersedekap, cukup lama diam dan saling memandang. "Apa ada suamiku di dalam sana?" Giva bertanya tepat pada point-nya. Tak punya banyak waktu untuk ia berbasa-basi. Lagi pula, perempuan yang sebelumnya tersenyum dalam foto makan malamnya dengan Juan pun adalah perempuan yang sama. "Ada. Kamu mau lihat langsung?" Giva tentu ingin sekali melakukan apapun yang sering ia lihat ketika para istri sah melabrak pelakor. Sialnya, di kenyataan, Giva bahkan tak punya daya untuk melakukan itu. Yang ia lakukan hanya menghambur masuk dengan tergesa ke dalam kamar hotel untuk membuktikan ucapan perempuan itu dengan kedua matanya langsung. Anjing! Giva ingin meneriakkan umpatan itu dengan keras sekarang, namun ditahannya sekuat tenaga. Juan sang suami yang sudah ia siapkan kejutannya, cake dan kabar bahagia soal janin yang ada di perutnya, iya ... laki-laki itu, ada di sana, di atas ranjang king size dengan hanya mengenakan dalaman bagian bawah. Terpejam matanya, terdengar dengkuran halusnya. Laki-laki itu terlelap dengan tanpa rasa berdosa. Dengan banyak tisu yang terserak di bawah tempat tidur, bekas bungkus kondom dan juga set bra + g-string kepunyaan si perempuan. Pemandangan yang menjijikkan! Giva merasakan air matanya sibuk mendorong-dorong bilik pertahanannya. Namun, enggan ia tumpahkan. Di hadapan perempuan itu, ia tak mau lagi terlihat lemah. Sehingga yang dilakukan Giva justru berbalik meninggalkan Juan yang masih terlelap, menemui perempuan itu yang masih bersandar di depan pintu. "Sebegitu inginnya kamu dengan suamiku?" tanya Giva dengan suara bergetar, dipenuhi sel-sel amarah. "Sampai-sampai kamu ... merendahkan dirimu begini?" Giva menunjuk perempuan itu dengan ekspresi jijik. "Ambil saja kalau kamu memang seingin itu. Aku tidak butuh laki-laki yang mengkhianati istrinya sendiri." Giva melangkah, bersiap meninggalkan tempat itu. Namun saat itu baru dihitung ketiga, ia berbalik lagi. Melepaskan sebuah tamparan dengan sepenuh tenaga yang tersisa. Membuat perempuan itu sampai terhuyung, berteriak kesakitan. Tercetak jelas di sana, di pipinya yang memerah. "Sialan kamu!" Perempuan itu meledak; marah. Seolah menjadi tak punya harga diri belum juga cukup, ia menambahkan nilai tak tahu malu untuk melengkapinya. Namun Giva tak menanggapi. Ia berniat pergi meski sialnya, tangan perempuan itu menarik rambut Giva dan menjambaknya dengan kuat. Tentu saja itu tidak akan berakhir mudah, Giva melakukan hal yang sama dengan si perempuan. Pada rambutnya, pda baju kurang bahannya, pada apapun yang bisa Giva genggam dan jambak. Itu pukul setengah satu malam, ketika keributan itu akhirnya menarik banyak orang keluar dari kamar mereka sebab waktu istirahatnya terganggu. Sehingga kemudian, selain Pak Dul, datang pihak keamanan dan yang berusaha melerai. Dan setelah semua keributan itu, Juan baru membuka mata. Mengucek matanya bingung, melihat sekeliling. Itu ruangan yang asing, dengan banyak mata memandang serta tubuh yang kedinginan. Dan ketika matanya bersirobok dengan Giva yang sudah sembab, pun tubuhnya yang hanya mengenakkan celana dalam, ditambah si perempuan yang terduduk di lantai dengan lingerie yang robek separuh, barulah Juan tahu bahwa ia harus menerima konsekuensi yang berat. ^^^ (Selamat datang di kisah Juan dan Giva. Kisah ini akan dimulai dari sisi pertengahan, ketika rumah tangga yang manis itu akhirnya retak dan hancur. Bab setelah ini, kita akan flashback dari awal dimula kisah keduanya. Sepasang sahabat yang bertolak belakang, namun harus terikat dalam pernikahan hanya demi sebuah kepentingan) SELAMAT MEMBACALalu setelah puas memandang, mereka kembali menyatukan ciuman. Ciuman itu adalah perpaduan dari kecup dan pagut. Seolah belum cukup, sibuk menari-nari di dalam sana, lidah saling membelit. Juan menahan bobot tubuhnya dengan sebelah tangan agar membuat Giva nyaman. Lalu satu tangan lainnya, nakal sekali berlarian ke sana kemari. Awalnya di pipi Giva. Berpindah membelai rambut perempuan itu. Turun sebentar ke leher dan tulang selangka. Sesaat kemudian membelai lengan Giva, turun ke pinggang perempuan itu, menjalar ke pinggul dan meremas lembut sintal kepunyaan perempuan itu lama. Itu semua dilakukan Juan ketika bibirnya masih sibuk menginvasi setiap sudut bibir sang istri. Seperti musafir yang kehausan, Jujur saja, Juan jadi manusia yang sedikit serakah sekarang, tak puas-puas. Bahkan ketika Giva akhirnya memundurkan kepalanya, memutuskan ciuman mereka karena kehabisan napas, Juan masih terus menginginkannya lagi dan lagi. Ciuman itu. Rasa manis itu. "Sebentar," tahan Giva. "
Juan menatap pada bayi kecil cantik itu tanpa jeda. Padahal yang sibuk ditatap justru asik saja terlelap. Mengabaikan pandangan kagum, memuja, bersyukur dan penuh cinta dari sepasang mata yang mulai berkaca-kaca. Dalam gumaman yang pelan -karena takut membuat Daisy bangun- Juan berkali-kali mengucap terima kasih pada sang putri karena telah tumbuh dengan sehat dan kuat. Meski jauh dari dirinya. Sang ayah yang buruk. "Mau dilihatin sampai kapan anaknya, pak?" Giva yang baru selesai mandi mendapati Juan masih duduk di dekat box tidur Daisy. Memandang lekat dengan senyuman terpatri. "Loh ... loh ... kok nangis, pak?" Juan mencebik karena ejekan Giva. "I'm just feeling so grateful to Daisy." "Kenapa?" "Because she grew up cool even though she was far away from me." Juan kembali menatap Daisy. "Terima kasih karena dia mau menjadi anakku, Juan yang nggak ada keren-kerennya ini." Giva yang sedang sibuk mengeringkan rambut terkekeh. Ia meletakkan pengering rambutnya. "Kemana jiwa narsi
Extra Chapter : Giva-Juan's Life After Not Getting Divorced Itu seperti sebuah keajaiban. Tatkala jantungnya kembali berdetak, menyapu bersih kekhawatiran dan duka yang menggelembung. Riuh tangis dan ketakutan berganti helaan napas lega dengan tubuh yang ambruk karena kehilangan daya. Tidak hanya satu manusia berama Givanya Nantika Soekma yang notabene jelas sedang dirongrong penyesalan. Para dokter yang berjibaku dengan lelehan keringat, pun para perawat yang sejatinya tak pernah mengenal secara personal sang pasien, hari itu, mereka semua, merasa sangat lega bersama-sama. Juan tidak jadi pergi. Juan masih bersama mereka. Seperti mendapatkan jackpot karena ia selamat setelah sekarat. "Giva." Gumaman pertama yang terdengar itu, menyadarkan lamunan Giva. Kini, mereka sudah berada di ruang inap biasa sekalipun sebenarnya Juan belum sadar pasca kejadian tadi. Walau begitu, masa kritisnya sudah lewat, progresnya sangat baik. Jadilah Giva dibolehkan untuk menunggu Juan di sisin
"Juan, please ...," lirih Giva, di sudut ruangan, merintih dengan air mata luruh yang riuh. Ia menatap Juan yang sedang mendapatkan pertolongan karena tiba-tiba saja mengalami masa kritis lagi. "Juan ... maaf, karena aku terus keras kepala dan hanya ingin peduli pada diriku sendiri. Juan maaf ... karena nggak pernah memberikan kamu kesempatan. Juan ... aku sayang sama kamu, please, come back to us. Kita semua sayang kamu, aku juga, aku juga sayang kamu. Jangan tinggalin aku, Juan." Kata-kata itu membuat siapapun yang ada di ruangan -termasuk dokter dan perawat- merasa ikut sakit mendengarnya. Melolong memohon pada takdir, seorang Givanya Nantika Soekma, agar berkenan menghentikan mati merenggut suaminya. Ketika ia belum berbaikan. Ketika ia belum mengatakan cinta. Ketika ia belum meminta maaf. "Kata kamu, satu permintaan sebagai ganti permen itu, akan kamu gunakan suatu saat nanti. Jadi bangun, apapun yang kamu minta, aku akan kabulin semuanya, Juan, ayo ... bangun. Ayo kita hid
"Sejak dulu, aku benci melihat bendera kuning di depan rumah-rumah orang. Sebab biasanya, itu tanda bahwa dunia seseorang sedang hancur di sana. Tapi ... aku kadang lupa diri. Bahwasanya, bendera kuning mungkin bukan hanya kepunyaan mereka dan keluarganya, tapi bisa menghampiri aku dan keluargaku kapan saja." -Givanya Nantika Soekma- **** Seseorang mengatakan bahwa regretting the past is like chasing after the wind. Hal itu berarti bahwa segala yang sudah terlewat sangat tidak mungkin diulang sehingga menyesalinya hanya akan menjadi kesia-siaan. Giva sadar itu. Ia dan penyesalannya kini adalah menyatu dengan diri. Dalam pandangan mata yang nanar di balik kaca yang memisahkan itu, hasil dari keras kepalanya ada di sana. Juan terkapar tak berdaya. Ibu Juan bilang bahwa itu bukan salah Giva. Tapi bagi Giva, ada andil dirinya di sana. Giva mengusap air matanya yang luruh. Merutuk dalam hati perihal ia yang sudah berkepala batu. Ketika Juan sudah berulang-ulang menjelaskan tentang k
"Tapi kamu eruh toh lek Juan ki dijebak Alysa?" Giva mengangguk. "Lah kenapa masih belum bisa maafin Juan?" "Seandainya dia ngabarin aku kalau mau ketemu Alysa, seandainya dia nggak matiin ponsel, seandainya dia nggak diam-diam buat ketemu perempuan itu ... nggak akan ada celah bagi Alysa untuk bikin semua kebohongan ini, bu." Ibu Giva menghela napas panjang. Ia tidak bisa menyalahkan rasa sakit putrinya akibat kelalaian dan kebohongan Juan. Namun melihat sang menantu sama hancurnya, ibu Giva jadi sama dilanda sedih juga. Tak perlu diragukan lagi, setelah usahanya untuk menemukan Giva di Belanda dengan kakinya sendiri tanpa bantuan siapapun, rasa cinta Juan tentu dipenuhi kesungguhan. "Jadi Juan setuju untuk berpisah, nduk?" Giva mengangguk. Ia tak sanggup menjawab dengan suaranya. Terlalu menyakitkan untuk melangkah menuju rangan hijau dan mengakhiri pernikahan. Tapi ... rasa sakit di hatinya juga masih terasa basah untuk ia memilih lupa dan melanjutkan pernikahannya. "Rencan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments