Share

Bab 6

Penulis: Yerin Anindya
Sepulang dari Kota Devara, aku tidak menyangka Lino akan menjemputku di bandara.

Aku merasa sangat canggung melihatnya, sementara Lino malah bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa. Dia bahkan menyapa Raynard sambil tersenyum lebar.

"Pak Raynard, terima kasih atas kerja kerasnya. Maaf kalau Ranaya merepotkan."

Ekspresi Raynard tenang, jawabannya dingin. "Tidak."

Setelah itu, dia langsung berjalan menuju mobil van yang berhenti di pinggir jalan.

Aku hanya bisa menatap Lino yang berlari kecil membukakan pintu mobil untuknya, sikapnya menjilat membuatku ingin cepat-cepat pergi dari sana.

Namun, Lino tampaknya sudah terbiasa, bahkan menunduk sambil melindungi atap mobil, mempersilakan Raynard masuk.

"Pak Raynard, silakan."

Bahkan sekretaris di samping mereka memandangnya dengan tatapan menghina. Aku berdiri di tempat, berharap bisa menghilang saat itu juga.

Namun, tatapan dari dalam mobil tak kunjung lepas dariku. Raynard mengangkat tangan, memberi isyarat agar aku mendekat. Aku menegakkan punggung dan berjalan mendekat.

Begitu tiba di dekat pintu, Lino menarikku dengan kuat, membisikkan, "Cepat naik. Pak Raynard sangat sibuk, jangan buang-buang waktunya."

Saat turun dari pesawat, Raynard bilang padaku untuk istirahat dan akan menghubungi lagi besok.

Melihat aku hampir terjatuh karena ditarik, pria di dalam mobil beralis tebal itu pun mengerutkan dahi tak senang. "Bu Ranaya, besok pagi siapkan data agen wilayah Selatan dan antarkan ke kantorku."

"Baik, Pak Raynard." Jawabku pelan, tetapi pipiku terasa panas terbakar.

Lino yang berdiri di belakangku membuka mulutnya, terlihat canggung dan bingung harus berkata apa.

Raynard mengisyaratkan lagi dengan jarinya. Aku menunduk lebih dalam, dan dia mendekat ke telingaku, suaranya rendah tetapi menusuk. "Cowok kayak gini, masih cari alasan untuk bertahan?"

Tubuhku menegang, kehilangan kata-kata.

Raynard duduk tegak kembali dan menyuruh sopir jalan.

Melihat mobil itu melaju pergi, Lino berdiri berjinjit hingga kendaraan benar-benar menghilang dari pandangan, lalu bertanya padaku dengan penasaran.

"Ranaya, barusan Pak Raynard bilang apa ke kamu?"

Aku memandangnya, hati rasanya campur aduk. "Tidak apa-apa, soal pekerjaan saja. Ayo, kita jalan."

"Ranaya, apa Pak Raynard bilang kapan aku diangkat jadi manajer wilayah?"

Aku menggeleng, "Tidak. Dia hanya suruh aku tunggu kabar."

Lino tetap yakin akan ada harapan, selama sudah diberi janji. Dia percaya Raynard tidak akan menarik ucapannya.

"Oh, ya, nanti kalau Pak Raynard cari kamu lagi, ingat untuk sekalian tanya soal aku."

Aku benar-benar kesal, langsung berjalan cepat menuju mobil dan masuk.

Perjalanan dari bandara ke rumah butuh lebih dari satu jam. Aku tertidur tak lama setelah duduk.

Begitu sampai di depan apartemen, Lino membangunkanku dan mengambil koper dari bagasi.

Seorang tetangga yang lewat menyapaku ramah.

"Ranaya, habis dinas luar ya?"

Aku tersenyum tipis dan mengangguk. "Iya, Tante Mia lagi ajak anak main?"

"Iya. Anaknya tidak betah di atas. Mau turun main katanya," kata Mia Larasati sambil terus mengawasi anaknya di taman bermain. "Aduh, jatuh. Sudah ya, aku lihat anak dulu."

"Cepat ke sana, Tante Mia."

Lino datang membawa koper dan melempar pandangan kesal ke arah punggung Mia, lalu berbisik padaku, "Jangan terlalu dekat-dekat dia, hobinya kepo dan pamer anak."

Aku melirik Lino dengan kesal. "Dia cuma mengobrol biasa."

"Sudahlah, ayo naik ke atas." Lino menarikku masuk ke gedung.

Aku terdiam, mengingat semua yang terjadi beberapa hari terakhir. Masa depan terasa suram dan tak menentu. Hubungan kami tidak mungkin kembali seperti dulu. Dan kini, aku hanya bisa pasrah terjebak dalam pernikahan yang penuh sesak dan putus asa.

Bagi Lino dan pernikahan ini, aku adalah orang yang tidak setia. Meskipun awalnya dia yang mendorongku ke jalan ini, tetap saja aku punya pilihan. Namun, aku tidak menolak.

Aku lelah dan ingin istirahat, tetapi Lino terus bertanya ini itu, tidak sekalipun menenangkanku.

Sudah sejak kecil aku diabaikan oleh keluarga. Kini dalam pernikahan, aku kembali menjadi korban.

Bahkan sempat berpikir, mungkin aku memang tidak pantas untuk bahagia.

Entah kenapa, sosok Raynard terlintas di pikiranku. Seolah dia satu-satunya yang bisa aku andalkan.

Aku duduk lelah di sofa. Lino masih saja bertanya panjang lebar. Awalnya aku masih menjawab dengan sabar, sampai akhirnya dia bertanya soal pinjam benih.

"Kenapa urusan sesederhana itu saja tidak bisa kamu selesaikan?"

Kelelahan tergambar jelas di wajahku. Aku menopang kening sambil menghela napas. "Aku benar-benar tidak tahu... jangan tanya aku."

"Kalau tidak tanya kamu, tanya siapa? Kalian berdua tiap hari…"

Ucapannya menusuk seperti pisau. Aku menatapnya tajam. Lino menyadari aku marah dan langsung berlutut, memegang tanganku sambil memohon.

"Sayang, aku tahu kamu sudah banyak berkorban. Ini salahku. Aku yang tidak berguna. Maaf, aku sudah mengecewakanmu."

Dia menangis di pangkuanku, memelukku erat. Aku akhirnya luluh, mengelus punggungnya. "Jangan bilang begitu. Dia selalu waspada. Setiap kali, dia selalu pakai pengaman."

Lino menatapku dengan mata basah, mencium tanganku. "Sayang, semua yang kamu lakukan demi keluarga ini akan selalu aku ingat. Seumur hidup, aku berutang padamu."

Seketika, ucapannya meredakan semua bebanku beberapa hari terakhir.

"Sudah, berdirilah." Aku menariknya bangun.

Lino melihat wajahku pucat, dia bertanya pelan, "Ranaya, kamu capek? Istirahat dulu, biar aku yang masak."

Sikapnya yang hati-hati membuatku tak tega untuk menyalahkannya lebih jauh.

"Klien yang aku temui kali ini memang agak menyebalkan. Aku benar-benar lelah."

Lino mengantarku ke kamar, memanaskan susu, memastikan aku meminumnya, lalu menyelimutiku sebelum keluar.

Akhirnya bisa istirahat dengan tenang. Aku tidak tahu tidur sampai jam berapa, saat Lino membangunkan, langit sudah gelap.

Aku mengerjap pelan. "Sekarang jam berapa?"

Lino menjawab pelan, "Sudah lewat jam tujuh. Ayo makan dulu."

Aku duduk lemas di kursi makan. Di atas meja, ada makanan favoritku.

"Sayang, minum sup dulu."

Di rumah ini, aku tidak perlu mengurus pekerjaan rumah. Karena Lino yang selalu mengurus semua dengan perhatian, aku merasa dimanja dan tidak rela kehilangan itu.

Siapa sih yang tidak mau diperlakukan seperti putri, dijaga dan disayang?

Melihat aku lesu, Lino meniupkan sup di sendok dan menyuapiku.

"Enak?" tanyanya sambil tersenyum.

Aku mengangguk. "Sup buatanmu selalu enak."

Kuahnya yang hangat meresap ke tubuh, perlahan hatiku pun menghangat.

"Ini, coba juga ikannya. Aku masak sendiri, dagingnya lembut sekali dan bumbunya pas."

Semua kejadian beberapa hari terakhir terasa terhapus oleh hangatnya suasana makan malam ini.

Hidup memang tidak mudah, setiap rumah punya cerita. Aku hanya perlu bersabar sedikit lagi.

"Lino."

"Hm?"

"Aku akan usaha segera hamil."

Dia meletakkan sendok dan menggenggam tanganku dengan penuh haru. "Sayang, selama kamu yakin, semua pasti bisa."

Tiba-tiba, ponsel di kamar berdering.

Lino buru-buru berdiri. "Aku ambil dulu."

Saat kembali, dia tampak senang dan berkata sambil menunjuk layar. "Pak Raynard. Ini telepon dari Pak Raynard."

Dia menyalakan speaker dan menyuruhku menjawab.

Jujur, aku takut Raynard mengatakan hal yang tidak pantas. Dari luar memang tampak rapi dan berwibawa, tetapi kalau sedang bicara denganku, mulutnya bisa lancar keluarkan kata-kata yang membuat telinga merah.

Aku membasahi bibir keringku. "Halo?"

Raynard hanya berkata singkat, "Setengah jam lagi, datang ke ruang VIP nomor 3 di Paviliun Rasa."
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 50

    Raynard tidak melepaskan mangkuk dan bersikeras. "Selama belum keluar dari rumah sakit, tetap saja pasien."Melihat kemesraan mereka berdua, aku pun membalikkan badan, dan pura-pura membereskan barang.Sebenarnya, tujuan Raynard memamerkan kemesraan di depanku adalah untuk menghilangkan kecurigaan Maura.Aku berdiri di ujung ranjang dan menatap mereka berdua dengan tatapan merestui. Maura sepertinya tidak curiga terhadap reaksi aku yang tampak tulus.Setelah Maura selesai makan malam, Raynard memutuskan untuk menemaninya di rumah sakit. Aku berjalan keluar dari ruang rawat bersama Davin.Di lorong, Davin bertanya padaku, "Tidak marah?"Aku menoleh dan memperlihatkan ekspresi terkejut. "Marah soal apa?"Davin menatapku sambil menilai situasi dan mencoba membaca ekspresiku, tetapi tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. "Aku cuma mau mengingatkanmu, jangan lupa siapa dirimu sebenarnya.""Haha." Aku tertawa getir. "Terima kasih atas peringatanmu. Tapi kamu juga tahu, sejak awal aku mel

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 49

    Perasaan pria terhadap sosok pujaan hatinya memang berbeda. Di mata Raynard sekarang, aku hanyalah seseorang yang bisa dipanggil sesuka hati dan disingkirkan kapan pun dia mau.Setelah merapikan kotak makan, aku bersiap pulang. Tidak ada gunanya menjadi penghalang.Aku memberi tahu Raynard. "Pak Raynard, aku pulang dulu."Raynard masih sempat mengingatkan soal menu makanan, menyuruhku untuk masak sesuai daftar, dan menghindari bahan-bahan yang tidak bisa dimakan Maura.Aku berjalan ke sisi ranjang. Meski Maura memberi kesan akrab seperti seorang teman, aku tak bisa benar-benar memperlakukannya seperti itu. Raynard pasti tidak akan mengizinkannya."Bu Maura, kamu istirahat baik-baik. Aku pergi dulu."Maura perhatian padaku. "Kamu ke sini sendirian? Bagaimana kalau suruh Raynard antar pulang?"Raynard menatap ke arahku. Aku segera berkata, "Tidak perlu. Aku bawa mobil."Begitu aku keluar dari kamar, terdengar suara lembut Raynard dari dalam. "Kamu mau minum tidak?"Aku menutup pintu. Kel

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 48

    "Raynard. Semua ini salahku. Jangan salahkan dia." Maura berkata sambil memalingkan wajah. Matanya bahkan menjadi merah.Raynard memberikan semangkuk bubur kepadaku dan berkata dengan nada kesal, "Masak bubur saja tidak becus. Lain kali, jangan pakai talas." Aku merasa sedih. Bagaimana mungkin aku tahu dia alergi talas.Aku meletakkan bubur dan menyerahkan telur kukus. Raynard meniup telur kukus itu dan menyuapkan ke Maura. Dia juga makan setengah potong labu kukus.Maura hanya bisa makan sedikit. Makan beberapa suap dan sudah tidak bisa makan lagi.Aku bisa melihat bahwa Raynard kesal dan gusar. Dia marah karena Maura makan sedikit dan marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa.Raynard menerima panggilan dari kantor. Maura sempat membujuknya agar Raynard kembali bekerja dan tidak perlu menjaganya. Namun, Raynard bersikeras untuk menemaninya.Perawat memanggil keluarga pasien untuk mengambil obat. Sekarang hanya aku dan Maura di kamar pasien.Dia menoleh dan berkata,

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 47

    Raynard berkata, "Maag Maura kambuh. Sekarang dirawat di rumah sakit. Oh, ya. Kalau Kak Elina datang, tolong suruh dia masak sesuatu yang lunak dan mudah dicerna, terus kirim ke rumah sakit. Dia tidak suka makanan restoran.""Oke. Aku akan kasih tahu Kak Elina begitu dia datang."Tidak lama setelah Raynard pergi, dia menelponku lagi.Raynard bertanya padaku, "Kamu bisa masak?"Aku terdiam. "Bisa."Raynard berkata, "Barusan Kak Elina telepon, kemarin pinggang suaminya makin parah, sekarang dia dirawat di rumah sakit. Jadi, dia harus menjaganya beberapa hari di rumah sakit. Kamu masak makanan yang cocok buat penderita maag, terus antar ke rumah sakit.""Oke."Aku menutup telepon dan mencari informasi mengenai pola makan untuk pasien maag dari internet.Di kulkas ternyata ada talas. Aku keluarkan talas itu dan masak bubur dengan talas. Aku juga mengukus telur dan labu. Lalu, aku memasukkannya ke kotak makan dan langsung berangkat ke rumah sakit.Di tempat parkir aku mengirim pesan WhatsAp

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 46

    Nama aliasnya adalah Melodi Langit terdengar anggun dan memesona. Sementara namaku, Peternak Hoki.Namaku jelas-jelas menarik perhatiannya. Dia menatapku dan tersenyum penuh arti. "Lucu sekali."Aku tersenyum samar sambil melihat tatapan Raynard yang dingin dan menjaga jarak terhadapku. Raynard jelas-jelas tidak ingin aku menganggu mereka.Aku pun tahu diri dan segera pergi. "Pak Raynard, Bu Maura, aku kembali bekerja dulu."Saat menutup pintu, aku mendengar Maura berkata dengan lembut, "Bu Ranaya lucu sekali. Kamu harus lebih lembut padanya."Dengan nada penuh manja, Raynard berkata, "Dia bawahanku, dan kamu memintaku bersikap lembut padanya?""Jangan terlalu galak juga. Kamu tidak tahu bagaimana raut wajahmu barusan, sampai-sampai aku sendiri merasa takut melihatnya."Aku tidak tahu bagaimana Raynard menjawab Maura. Aku tidak bisa mendengar dengan jelas karena pintu sudah tertutup dengan rapat.Maura ternyata lebih ramah dan mudah didekati dari yang kuperkirakan. Waktu meninggalkan k

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 45

    Aku berhasil melunasi utang kali ini. Rumah dan tanah juga tetap aman. Aku juga sudah bilang ke keluargaku kalau aku tidak akan ikut campur urusan Juna. Aku membiarkan dia menanggung sendiri konsekuensinya.Apabila dia masih mau berjudi, tidak peduli dia kehilangan tangan atau nyawa, itu bukan lagi urusanku.Ibu mengiyakan dengan sangat meyakinkan, katanya dia pasti akan membujuknya berhenti berjudi. Namun, dalam hati, aku tahu jelas, seorang penjudi akut tidak akan semudah itu berubah dan kembali ke jalan yang benar.Agar mereka tidak datang ke kantor untuk membuat keributan, aku mengetuk pintu kantor Raynard."Ada apa?" Raynard yang sedang membaca dokumen bertanya kepadaku tanpa mengangkat kepalanya.Tangan yang terkulai di samping tubuh mengepal erat. "Aku harus jujur, Pak Raynard, keluargaku memang agak rumit. Adikku itu tipe orang yang hanya ingat diberi makan, bukan dipukul. Aku khawatir kejadian seperti kemarin bisa terulang lagi. Mereka tidak punya uang, jadi pasti akan datang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status