Share

Bab 7

Author: Yerin Anindya
"Aku..." Baru saja akan bilang sedikit lelah, tapi telepon sudah keburu ditutup.

Lino menatapku, lalu bertanya, "Malam ini ada acara lagi?"

Aku menggeleng. "Tidak tahu, dia tidak bilang apa-apa."

Makanan di meja bahkan belum disentuh, suasananya juga sedang pas. Aku tidak ingin merusaknya, buru-buru membuka WhatsApp untuk menolak ajakan Raynard, tetapi Lino keburu memotong.

"Jangan tidak pergi." kata Lino. "Bagaimana kalau dia mau bicara soal promosi kerjaku?"

Bayangan indah di kepalaku seketika runtuh ditabrak kenyataan.

"Selain memikirkan naik jabatan, kamu tidak bisa pikir hal lain? Tidak lihat aku sedang capek? Aku tidak mau pergi. Aku hanya ingin istirahat di rumah."

Lino buru-buru menenangkan, menggenggam tanganku dan berkata lembut, "Sayang, maaf, ini salahku. Aku tidak berguna, makanya kamu sampai harus minta tolong ke dia. Tapi kamu juga tahu kondisi kita sekarang... tidak ada pilihan lain."

Dia berjalan ke belakangku, kedua tangan memijat pundakku perlahan, lalu berbisik lembut di telingaku, "Pak Raynard yang menelepon sendiri, pasti ada hal penting yang ingin dibahas. Kalau aku bisa naik jabatan, aku pasti bisa jadi manajer cabang yang stabil. Pada saat itu, kamu tidak perlu kerja sekeras ini lagi."

Terus terang, kalau Raynard yang memanggil, aku memang tidak berani menolak.

Bukan karena Lino, tetapi karena utang keluargaku, Raynard yang membantu melunasinya. Aku berutang budi padanya, tidak punya hak untuk berkata tidak.

Lino telah menyeretku masuk ke dalam pernikahan yang dipenuhi rasa bersalah dan iba.

Katanya, semua penderitaan wanita setelah menikah, adalah hasil dari keputusan bodoh sebelum menikah.

Dulu kupikir aku cukup waras. Namun, lama-lama, aku juga mulai kehilangan akal.

Mobil berhenti di Restoran Paviliun Rasa. Sebelum turun, Lino menggenggam tanganku.

"Sayang, soal itu juga... kamu harus manfaatkan kesempatan."

Manfaatkan kesempatan?

Seorang pria yang tidak bisa punya anak, tetapi begitu terobsesi ingin punya anak. Bukankah itu lucu?

Aku bertanya dengan nada kesal, "Kalau dia pakai pengaman, bagaimana aku harus memanfaatkan kesempatan?"

Lino menunjuk pin di dadaku dengan ekspresi misterius. "Pakai ini untuk melubanginya."

Aku langsung terdiam. Jadi alasan dia menyuruhku pakai bros ini, karena itu?

Dengan nada memohon, Lino berkata, "Hidupku sudah begini. Kalau aku bisa punya anak darimu, rasanya sudah cukup bagiku. Siapa ayahnya tidak penting, selama kamu yang melahirkannya, aku akan membesarkannya seperti darah dagingku sendiri. Tolong, Ranaya... maafkan aku."

Setiap kali dia bilang maaf, rasa jijik selalu muncul dari dalam hatiku.

Aku tidak tahan dan bertanya, "Kamu benar-benar tidak keberatan membesarkan anak orang lain?"

Lino kembali memasang wajah putus asa, menunduk lesu. "Sayang, aku bukan laki-laki sejati... aku bahkan jijik sama diriku sendiri..."

Dia memelukku sambil menangis, membuat hatiku terasa masam.

"Sudahlah, jangan menangis." ucapku sambil mengusap punggungnya dengan rasa bersalah. "Bicaraku agak kelewatan tadi."

Mana ada pria yang rela dipermalukan seperti itu? Kalau posisinya dibalik, aku pun bisa memahami perasaannya. Bukan berarti Lino tidak peduli pada darah dagingnya. Dia hanya benar-benar tidak sanggup.

Dia terlalu menjaga harga diri. Tidak ingin orang lain tahu dia mandul.

Jadi, dia lebih memilih anak hasil pinjam benih, asalkan bisa menjaga citra luarnya.

Begitu sampai di restoran, sebelum turun, Lino masih sempat mengingatkan. "Jangan lupa yang paling penting."

Melihat sorot matanya yang penuh harap, aku tahu betapa besar keinginannya agar aku hamil.

Saat pintu ruang VIP kubuka, Raynard sedang santai menyeruput teh. Matanya langsung menatapku, menelusuri tubuhku dari bawah ke atas.

Untuk menarik perhatiannya, Lino memilihkan gaun hitam super pendek. Begitu jaket dilepas dan kakiku yang putih terekspos, aku bahkan merasa risih sendiri, buru-buru menarik ujung rok ke bawah.

Baru saja duduk, tangan Raynard langsung menyentuh pahaku dan bertanya, "Naik apa ke sini?"

Aku menghindari tatapannya. "Naik taksi."

Raynard mengangkat alisnya sedikit, jelas menunggu aku berkata jujur.

Dari jendela, bisa langsung terlihat gerbang restoran. Pasti dia tahu Lino yang mengantar.

Akhirnya aku menunduk. "Dia yang antar."

"Kamu ini..."

Nada suaranya yang kecewa justru terasa sangat lembut.

Cangkir teh di depanku perlahan diisi olehnya. "Di luar dingin, minum teh hangat dulu."

"Terima kasih." Aku mengangkat cangkir dan menyeruput sedikit.

"Yang waktu itu aku bilang, sudah kamu pikirkan?"

Pertanyaannya tiba-tiba, membuatku bingung.

"Apa?"

"Di bandara, soal cerai."

"Eh..." Aku terdiam sejenak. "Itu..."

Aku kehabisan kata. Namun, dia tidak terburu-buru mendesak. Aku menatap cangkir teh di atas meja, tenggelam dalam pikiran.

Cangkir porselen putih itu tampak halus berkilau, seperti dirinya, lembut dan tenang, elegan dan kuat.

Tangan Raynard santai disandarkan ke sandaran kursiku. "Besok kamu cerai sama Lino."

Nada bicaranya bukan permintaan, tetapi perintah mutlak.

"Pak Raynard, sepertinya aku tidak bisa setuju."

Dari sudut mataku, aku melihat dia sedikit mendekat, kakinya pun digeser mendekatiku. "Aku tidak mengerti, apa bagusnya dia sampai kamu begitu berat meninggalkannya?"

Aku juga tidak mengerti, kenapa dia begitu ngotot ingin aku bercerai.

Dengan suara mantap, aku berkata, "Pak Raynard, aku ini cuma persinggahan singkat dalam hidup Anda. Seperti bunga seratus hari, cantik sebentar, lalu layu. Aku tahu posisiku. Anda belum bosan saja, makanya belum melepaskan. Tapi kalau aku bercerai, Anda yang diuntungkan, bisa memanggilku kapan saja. Tapi aku? Aku sendirian di kota ini. Tidak punya siapa pun. Tanpa keluarga, tanpa saudara. Satu-satunya yang memberiku rumah, tempat untuk pulang adalah Lino. Aku tidak bisa begitu saja meninggalkannya."

Kata-kataku bukan karena berharap Raynard akan luluh. Namun, aku ingin dia sadar. Jangan karena keinginan sesaat, mengorbankan pernikahan orang.

Dia tidak tampak terkejut. Wajahnya tetap tenang, bahkan saat menuangkan teh hingga meluber dari cangkir.

Aku sedikit tertegun. "Pak Raynard, tehnya..."

Raynard hanya berkata, "Manusia itu seperti cangkir ini, ada batasnya bisa menampung seberapa banyak."

Aku tahu, di matanya, aku adalah cangkir itu. Dia mengingatkanku untuk tahu diri.

"Ranaya." Dia meletakkan teko, lalu mengambil tisu dan mengusap tangan dengan tenang. "Kalau kamu tidak bisa cerai, aku akan bantu."

"Aku..." Belum sempat menolak, dia sudah menatapku dan berkata, "Kamu bertahan dalam pernikahan tanpa cinta, tanpa keintiman... untuk siapa? Mau bukti apa lagi? Lino cuma jadi beban. Apa yang bisa dia berikan padamu?"

Aku spontan menjawab, "Cinta."

Mendengar kata itu, bibirnya melengkung tipis, bukan mengejek, tapi seperti iba... atau kecewa karena aku masih terjebak dalam ilusiku sendiri.

"Kamu bilang Lino mencintaimu?"

Aku mengangguk yakin. "Ya."

Dia menunjuk ponselku. "Telepon dia sekarang, suruh jemput kamu."

Aku tidak tahu maksudnya. Mungkin dia tidak suka ditolak langsung, jadi ingin cepat-cepat menyuruhku pergi.

Aku pun menuruti, menelepon Lino dan memintanya segera datang. Dari nadanya, terdengar seperti masih sempat mengeluh.

Aku mengenakan jaket, bersiap pergi, dan Raynard pun ikut berdiri.

Kami berdiri di depan pintu. Malam itu udara mulai dingin. Raynard meraih tanganku, lalu memasukkannya ke dalam saku mantelnya. Aku hendak menariknya karena takut orang melihat, tetapi dia menahan tanganku dengan erat.

"Pak Raynard," ucapku sambil melirik sekitar. "Takut ada yang lihat."

Raynard menoleh, memandangku dari atas ke bawah dengan tatapan main-main. "Yang lebih takut ketahuan itu kamu, bukan aku, 'kan?"

Aku tidak bisa berkata-kata. "Kalau Anda sampai terlihat terlalu dekat dengan wanita bersuami, bukankah bisa merusak citra perusahaan?"

Dia bertanya, "Kamu mengkhawatirkanku, atau kamu yang takut?"

Tentu saja aku tidak berani bilang takut ketemu kenalan. Itu sama saja cari masalah sendiri.

"Tentu mengkhawatirkanmu..."

Raynard seolah tahu tetapi tidak membongkar. "Tenang, di dunia bisnis, tidak ada yang peduli soal seperti ini. Yang penting cuma keuntungan."
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 50

    Raynard tidak melepaskan mangkuk dan bersikeras. "Selama belum keluar dari rumah sakit, tetap saja pasien."Melihat kemesraan mereka berdua, aku pun membalikkan badan, dan pura-pura membereskan barang.Sebenarnya, tujuan Raynard memamerkan kemesraan di depanku adalah untuk menghilangkan kecurigaan Maura.Aku berdiri di ujung ranjang dan menatap mereka berdua dengan tatapan merestui. Maura sepertinya tidak curiga terhadap reaksi aku yang tampak tulus.Setelah Maura selesai makan malam, Raynard memutuskan untuk menemaninya di rumah sakit. Aku berjalan keluar dari ruang rawat bersama Davin.Di lorong, Davin bertanya padaku, "Tidak marah?"Aku menoleh dan memperlihatkan ekspresi terkejut. "Marah soal apa?"Davin menatapku sambil menilai situasi dan mencoba membaca ekspresiku, tetapi tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. "Aku cuma mau mengingatkanmu, jangan lupa siapa dirimu sebenarnya.""Haha." Aku tertawa getir. "Terima kasih atas peringatanmu. Tapi kamu juga tahu, sejak awal aku mel

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 49

    Perasaan pria terhadap sosok pujaan hatinya memang berbeda. Di mata Raynard sekarang, aku hanyalah seseorang yang bisa dipanggil sesuka hati dan disingkirkan kapan pun dia mau.Setelah merapikan kotak makan, aku bersiap pulang. Tidak ada gunanya menjadi penghalang.Aku memberi tahu Raynard. "Pak Raynard, aku pulang dulu."Raynard masih sempat mengingatkan soal menu makanan, menyuruhku untuk masak sesuai daftar, dan menghindari bahan-bahan yang tidak bisa dimakan Maura.Aku berjalan ke sisi ranjang. Meski Maura memberi kesan akrab seperti seorang teman, aku tak bisa benar-benar memperlakukannya seperti itu. Raynard pasti tidak akan mengizinkannya."Bu Maura, kamu istirahat baik-baik. Aku pergi dulu."Maura perhatian padaku. "Kamu ke sini sendirian? Bagaimana kalau suruh Raynard antar pulang?"Raynard menatap ke arahku. Aku segera berkata, "Tidak perlu. Aku bawa mobil."Begitu aku keluar dari kamar, terdengar suara lembut Raynard dari dalam. "Kamu mau minum tidak?"Aku menutup pintu. Kel

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 48

    "Raynard. Semua ini salahku. Jangan salahkan dia." Maura berkata sambil memalingkan wajah. Matanya bahkan menjadi merah.Raynard memberikan semangkuk bubur kepadaku dan berkata dengan nada kesal, "Masak bubur saja tidak becus. Lain kali, jangan pakai talas." Aku merasa sedih. Bagaimana mungkin aku tahu dia alergi talas.Aku meletakkan bubur dan menyerahkan telur kukus. Raynard meniup telur kukus itu dan menyuapkan ke Maura. Dia juga makan setengah potong labu kukus.Maura hanya bisa makan sedikit. Makan beberapa suap dan sudah tidak bisa makan lagi.Aku bisa melihat bahwa Raynard kesal dan gusar. Dia marah karena Maura makan sedikit dan marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa.Raynard menerima panggilan dari kantor. Maura sempat membujuknya agar Raynard kembali bekerja dan tidak perlu menjaganya. Namun, Raynard bersikeras untuk menemaninya.Perawat memanggil keluarga pasien untuk mengambil obat. Sekarang hanya aku dan Maura di kamar pasien.Dia menoleh dan berkata,

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 47

    Raynard berkata, "Maag Maura kambuh. Sekarang dirawat di rumah sakit. Oh, ya. Kalau Kak Elina datang, tolong suruh dia masak sesuatu yang lunak dan mudah dicerna, terus kirim ke rumah sakit. Dia tidak suka makanan restoran.""Oke. Aku akan kasih tahu Kak Elina begitu dia datang."Tidak lama setelah Raynard pergi, dia menelponku lagi.Raynard bertanya padaku, "Kamu bisa masak?"Aku terdiam. "Bisa."Raynard berkata, "Barusan Kak Elina telepon, kemarin pinggang suaminya makin parah, sekarang dia dirawat di rumah sakit. Jadi, dia harus menjaganya beberapa hari di rumah sakit. Kamu masak makanan yang cocok buat penderita maag, terus antar ke rumah sakit.""Oke."Aku menutup telepon dan mencari informasi mengenai pola makan untuk pasien maag dari internet.Di kulkas ternyata ada talas. Aku keluarkan talas itu dan masak bubur dengan talas. Aku juga mengukus telur dan labu. Lalu, aku memasukkannya ke kotak makan dan langsung berangkat ke rumah sakit.Di tempat parkir aku mengirim pesan WhatsAp

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 46

    Nama aliasnya adalah Melodi Langit terdengar anggun dan memesona. Sementara namaku, Peternak Hoki.Namaku jelas-jelas menarik perhatiannya. Dia menatapku dan tersenyum penuh arti. "Lucu sekali."Aku tersenyum samar sambil melihat tatapan Raynard yang dingin dan menjaga jarak terhadapku. Raynard jelas-jelas tidak ingin aku menganggu mereka.Aku pun tahu diri dan segera pergi. "Pak Raynard, Bu Maura, aku kembali bekerja dulu."Saat menutup pintu, aku mendengar Maura berkata dengan lembut, "Bu Ranaya lucu sekali. Kamu harus lebih lembut padanya."Dengan nada penuh manja, Raynard berkata, "Dia bawahanku, dan kamu memintaku bersikap lembut padanya?""Jangan terlalu galak juga. Kamu tidak tahu bagaimana raut wajahmu barusan, sampai-sampai aku sendiri merasa takut melihatnya."Aku tidak tahu bagaimana Raynard menjawab Maura. Aku tidak bisa mendengar dengan jelas karena pintu sudah tertutup dengan rapat.Maura ternyata lebih ramah dan mudah didekati dari yang kuperkirakan. Waktu meninggalkan k

  • Jatuh di Pelukan Bos Berbahaya   Bab 45

    Aku berhasil melunasi utang kali ini. Rumah dan tanah juga tetap aman. Aku juga sudah bilang ke keluargaku kalau aku tidak akan ikut campur urusan Juna. Aku membiarkan dia menanggung sendiri konsekuensinya.Apabila dia masih mau berjudi, tidak peduli dia kehilangan tangan atau nyawa, itu bukan lagi urusanku.Ibu mengiyakan dengan sangat meyakinkan, katanya dia pasti akan membujuknya berhenti berjudi. Namun, dalam hati, aku tahu jelas, seorang penjudi akut tidak akan semudah itu berubah dan kembali ke jalan yang benar.Agar mereka tidak datang ke kantor untuk membuat keributan, aku mengetuk pintu kantor Raynard."Ada apa?" Raynard yang sedang membaca dokumen bertanya kepadaku tanpa mengangkat kepalanya.Tangan yang terkulai di samping tubuh mengepal erat. "Aku harus jujur, Pak Raynard, keluargaku memang agak rumit. Adikku itu tipe orang yang hanya ingat diberi makan, bukan dipukul. Aku khawatir kejadian seperti kemarin bisa terulang lagi. Mereka tidak punya uang, jadi pasti akan datang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status