Kaindra, seorang pria ambisius yang menikah dengan Tanika, putri tunggal pengusaha kaya raya, menjalani kehidupan pernikahan yang dari luar terlihat sempurna. Namun, di balik semua kemewahan itu, pernikahan mereka retak tanpa terlihat-Tanika sibuk dengan gaya hidup sosialitanya, sering bepergian tanpa kabar, sementara Kaindra tenggelam dalam kesepian yang perlahan menggerogoti jiwanya. Ketika Kaindra mengetahui bahwa Tanika mungkin berselingkuh dengan pria lain, bukannya menghadapi istrinya secara langsung, dia justru memulai petualangan balas dendamnya sendiri. Hubungannya dengan Fiona, rekan kerjanya yang ternyata menyimpan rasa cinta sejak dulu, perlahan berubah menjadi sebuah hubungan rahasia yang penuh gairah dan emosi. Fiona menawarkan kehangatan yang selama ini hilang dalam hidup Kaindra, tetapi hubungan itu juga membawa komplikasi yang tak terhindarkan. Di tengah caranya mencari tahu kebenaran tentang Tanika, Kaindra mendekati Isvara, sahabat dekat istrinya, yang menyimpan rahasia dan tatapan menggoda setiap kali mereka bertemu. Isvara tampaknya tahu lebih banyak tentang kehidupan Tanika daripada yang dia akui. Kaindra semakin dalam terjerat dalam permainan manipulasi, kebohongan, dan hasrat yang ia ciptakan sendiri, di mana setiap langkahnya bisa mengancam kehancuran dirinya. Namun, saat Kaindra merasa semakin dekat dengan kebenaran, dia dihadapkan pada pertanyaan besar: Seberapa jauh Kaindra akan melangkah dalam permainan ini, dan apakah dia siap menghadapi kebenaran yang mungkin lebih menyakitkan dari apa yang dia bayangkan?
View MoreMereka bilang aku mokondo. Modal kon*** doang. Dulu, aku mati-matian menolak label itu. Menepis gunjingan rekan kerja di perusahaan besar milik Desmond Wijaya, bos sekaligus ayah mertuaku. Aku bekerja keras, memeras otak dan tenaga, bukan untuk menumpang hidup, tapi untuk membuktikan diri. Untuk diakui, bukan hanya sebagai menantu, melainkan sebagai pria yang layak. Sekarang, setelah empat tahun neraka bersamanya, aku tak lagi peduli. Biarkan mereka bicara, karena apa yang akan kulakukan jauh lebih gila dari sekadar "mokondo."
Namaku Kaindra. Tiga puluh dua tahun. Empat tahun lalu, hidupku tak lebih dari deretan angka di laporan keuangan dan target bulanan yang harus dicapai. Hingga suatu hari, sebuah pintu emas terbuka di hadapanku, dijajarkan oleh Pak Desmond. Beliau, dengan mata tajam seorang visioner bisnis, memperkenalkanku pada putri tunggalnya, Tanika. Saat itu, aku sudah menjejakkan kaki di tangga karier, meniti anak tangga demi anak tangga dengan keringat dan dedikasi. Mungkin itu yang membuat Pak Desmond, dengan insting bisnisnya yang tak pernah meleset, melihatku sebagai aset. Sebuah investasi masa depan untuk pewaris takhtanya.
Tanika. Ah, Tanika. Di mataku kala itu, dia adalah sosok yang memukau. Berbeda dari wanita kebanyakan yang kutemui di lingkaran korporat. Dia anggun, senyumnya seolah menyimpan rahasia, matanya ceria namun juga sedikit tertutup, seolah ada jutaan cerita yang disimpannya rapat-rapat. Aku, Kaindra yang selalu realistis, tak pernah menyangka bisa jatuh cinta secepat dan sedalam itu. Bermula dari rasa beruntung dikenalkan putri bos, perlahan, peruntungan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih menghanyutkan: perasaan yang tulus.
Namun, cinta memang seringkali buta, bukan? Atau mungkin aku yang sengaja memejamkan mata. Selama masa perkenalan itu, bayangan-bayangan mulai muncul. Tanika bukanlah tipikal pewaris yang berminat pada urusan bisnis keluarga. Sebaliknya, dunianya berputar di poros kebebasan, kemewahan, dan lingkaran sosialita elite. Ketika aku bersembunyi di balik tumpukan dokumen, dia berbagi senyum di acara brunch mewah, fotonya tersebar di media sosial dengan latar belakang tempat-tempat paling instagramable. Ada gejolak kecil di benakku, tapi aku selalu menepisnya. Bukankah setiap orang punya dunianya sendiri? Aku meyakinkan diri, cinta akan menyatukan segalanya.
Keraguan itu seolah sirna ketika setahun kemudian, kami memutuskan untuk menikah. Pak Desmond menyambutnya dengan senyum lebar, seolah melihat cetak biru masa depan yang sempurna. Aku yakin, ia melihatku bukan hanya sebagai menantu, tetapi sebagai jembatan yang kokoh untuk meneruskan dinasti bisnisnya. Aku tidak tahu apa yang Tanika rasakan, binar matanya selalu sulit kutafsirkan. Tapi aku, aku sungguh percaya pernikahan ini adalah lembaran baru yang akan membahagiakan kami berdua.
Beberapa hari sebelum hari besar itu tiba, alam semesta seolah mencoba memberiku peringatan. Sebuah insiden kecil, atau mungkin takdir, mempertemukan aku dengan pemandangan yang mengoyak keyakinanku. Di sebuah pusat perbelanjaan, di tengah riuhnya keramaian, aku melihat Tanika. Dia tidak sendiri. Di sampingnya, seorang pria asing. Awalnya kupikir itu teman biasa, tapi di sebuah kafe sudut, tanganku tercekat. Tangan mereka bertaut erat di atas meja, jemari Tanika yang biasa kukagumi sedang menangis, dan pria itu, dengan gestur yang terlalu intim, menyentuh wajahnya, seolah menghapus air mata yang tak bisa kulihat.
Napas tersangkut di tenggorokan. Seluruh duniaku runtuh detik itu juga. Jantungku melorot ke dasar perut, berdebar liar, bukan karena cinta, melainkan karena getaran kengerian. Aku ingin melangkah, menuntut penjelasan, menghentikan sandiwara itu. Tapi kakiku terpaku. Aku hanya berdiri di kejauhan, bagai patung yang diamati oleh ribuan pasang mata tak terlihat. Ponsel di genggaman, dengan gemetar, merekam adegan itu. Sebuah bukti bisu yang kusimpan di galeri, tanpa tahu harus berbuat apa. Malam itu, aku pulang dengan pikiran yang kacau balau.
Aku memilih diam. Sebuah keputusan terburuk yang pernah kubuat. Tidak pernah aku menanyakan, tidak pernah aku mengungkitnya. Aku memilih menjadi bodoh. Dalam benakku, aku ingin percaya bahwa ikatan kami lebih kuat dari bayangan masa lalu yang kelam. Pernikahan ini, kataku pada diri sendiri, adalah awal baru. Sebuah masa depan indah yang akan mengubur semua keraguan. Aku meyakinkan diriku bahwa aku mencintai Tanika. Bahwa dia pun mencintaiku. Dengan keyakinan rapuh itu, aku melangkah menuju altar, menatap matanya di hadapan ribuan tamu, meski kerikil di benakku terus mengganggu.
Pesta pernikahan kami adalah sebuah manifestasi kemewahan yang tak masuk akal. Sebuah ballroom hotel bintang lima, dipenuhi lebih dari 1.500 undangan. Sebagian besar dari mereka adalah kerabat Tanika dan kolega bisnis Pak Desmond. Hanya segelintir yang benar-benar kukenal: beberapa rekan kerja yang sama-sama berjuang di perusahaan, serta dua tiga teman lama yang datang dari masa laluku yang sederhana.
Aku mendengar selentingan itu, bisikan-bisikan rendah di antara para kolega yang menyebutku "mokondo". Seolah-olah aku menikahi Tanika semata-mata demi materi dan status sosial. Aku tidak peduli. Materi? Status? Bukan itu alasanku. Saat itu, aku sungguh-sungguh percaya bahwa aku dan Tanika saling mencintai. Bahwa hubungan kami dilandasi oleh perasaan yang tulus, bukan sekadar kontrak sosial atau ambisi keluarga. Dengan keyakinan itu, aku mengucap janji suci dan memulai hidup baru sebagai suami Tanika.
Tahun pertama pernikahan kami terasa seperti mimpi yang menjadi nyata. Tanika, yang sebelumnya kulihat begitu sibuk dengan dunianya sendiri, tiba-tiba menjelma menjadi istri yang perhatian. Dia mendengarkan ceritaku, mencoba memahami beban kerja yang kutanggung di perusahaan keluarganya. Kejutan-kejutan kecil sering menghiasi hari-hari kami. Kami sering menghabiskan malam bersama, bercinta dengan gairah yang membara, memadamkan semua keraguan yang pernah ada, meyakinkanku bahwa inilah bukti cinta sejati kami.
Namun, tidak semuanya terasa wajar. Ada hal-hal kecil yang terus mengganggu. Tanika, misalnya, selalu mematikan lampu saat kami bercinta. Dia hampir tidak pernah menatap mataku, bahkan di saat-saat paling intim. Sesekali aku menangkap sorot matanya yang sepintas, bukan dengan cinta atau gairah, tapi dengan sesuatu yang lebih mirip rasa bersalah atau kehampaan yang tak terlukiskan. Aku mencoba mengabaikan perasaan itu, berpikir mungkin aku hanya terlalu sensitif, terlalu banyak berkhayal. Lagipula, aku merasa bahagia. Bukankah itu yang terpenting dalam pernikahan?
Waktu terus berlalu, mengikis kebahagiaan semu yang kami bangun. Memasuki tahun ketiga pernikahan, tekanan dari Pak Desmond mulai terasa kental. Beliau ingin Tanika segera hamil. Sebagai putri tunggal, Tanika adalah penerus garis keturunan keluarga Wijaya, dan Pak Desmond sudah tak sabar menimang cucu. Ironisnya, di tengah desakan itu, hubungan kami justru semakin dingin. Kehidupan seksual kami perlahan memudar, menjadi rutinitas asing yang canggung, dan Tanika semakin jarang berada di rumah.
Aku pulang dari kantor, berharap menemukan istri yang menyambutku dengan senyum, dengan pelukan. Namun, rumah megah itu sering kosong. Hanya ada beberapa pembantu yang sigap memastikan segalanya berjalan sempurna. Sementara itu, Tanika sibuk dengan hidupnya sendiri. Jika tidak sedang bepergian ke luar negeri dengan teman-teman sosialitanya, dia pulang larut malam dengan aroma alkohol yang menyengat.
Rasa penasaran menggerogoti. Dengan siapa dia menghabiskan waktu? Beberapa kali aku mencoba mencari, mengikutinya ke tempat-tempat yang dia kunjungi—karaoke mewah, klub malam eksklusif. Tapi yang kutemukan hanya dia bersama teman-teman wanitanya, tertawa tanpa beban, seolah tak ada beban pernikahan di pundaknya. Aku merasa seperti orang bodoh yang hanya menjadi pelengkap dalam hidupnya, sebuah ornamen yang bisa diabaikan. Namun, aku tetap menahan diri untuk tidak mempermasalahkannya. Aku masih berharap, masih ingin percaya.
Suatu hari, kami berencana menghabiskan waktu berdua. Aku bahkan sengaja pulang lebih cepat, ingin menepati janji kami yang rapuh. Tapi saat aku masuk ke rumah, Tanika tampak tergesa-gesa. Dia merapikan tasnya dengan canggung, menghindari mataku, dan segera pergi tanpa banyak penjelasan, hanya gumaman "ada urusan mendadak" yang terasa hambar.
Ada sesuatu yang janggal dalam tingkah lakunya malam itu. Rasa penasaran menguasai pikiranku. Tanpa berpikir panjang, aku memutuskan untuk mengikutinya dari jauh. Mobilnya meluncur mulus menuju hotel bintang lima di pusat kota, gemerlap di bawah sorotan lampu malam. Aku memarkir mobilku di kejauhan, menunggu dan mengamati, jantungku bergemuruh tak karuan.
Malam itu, aku menyaksikan duniaku meledak di depan mataku sendiri. Melalui jendela lobi, aku melihat Tanika, dan pria itu. Pria yang sama dari foto di ponselku empat tahun lalu. Senyum di wajah pria itu, tangan yang menggenggam erat lengan Tanika, bisikan-bisikan yang tak bisa kudengar tapi bisa kurasakan getarannya. Dan kemudian lift itu terbuka, menelan mereka berdua ke lantai atas, meninggalkan aku terkapar di dalam mobil. Aku diam, tidak berani maju, tidak sanggup mundur. Aku hanya terdiam, merasa seperti orang asing dalam hidupku sendiri.
Hatiku hancur berkeping-keping tidak bersisa. Aku ingin menghadapinya, ingin menuntut penjelasan, ingin berteriak melampiaskan semua rasa sakit. Tapi, setelah beberapa waktu duduk sendirian di dalam mobil, menelan kepahitan yang tak ada habisnya, aku membuat sebuah keputusan. Aku memilih untuk diam. Apa gunanya? Dengan segala kenyamanan dan materi yang sekarang kumiliki, meninggalkan Tanika, putri tunggal Desmond Wijaya, bukanlah pilihan yang realistis. Aku tidak siap kembali ke kehidupan lamaku yang penuh perjuangan, tanpa jaminan, tanpa pijakan.
Aku menelan luka itu bulat-bulat. Sejak malam terkutuk itu, sebuah ide gelap mulai merayap, mengubah segalanya. Jika Tanika bisa mempermainkanku, jika dia bisa berselingkuh di belakangku, kenapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama? Jika dia bisa bermain api, maka aku juga bisa lebih gila darinya. Jika pengkhianatan ini adalah seni, maka aku akan menjadi mahagurunya.
Di malam yang dingin dan penuh luka itu, Kaindra yang lama mati. Petualangan baruku pun dimulai. Bukan lagi tentang mencari cinta, tapi tentang memenuhi kekosongan dengan cara yang paling gelap dan tak terduga.
Aku meraih ponsel Fiona dengan hati-hati. Aku tidak ingin membangunkan dia, tidak ingin merusak ilusi kebahagiaan ini jika ternyata dugaanku salah. Jemariku gemetar saat menyentuh jari Fiona ke layar, menggunakan sidik jarinya untuk membuka kunci. Ponsel terbuka. Aku menahan napas, berusaha tetap tenang. Kutekan pesan itu. Hanya inisial GA, tidak ada nama lengkap di daftar kontak. Siapa GA? Seseorang yang Fiona tidak ingin identitasnya kuketahui?Aku membuka aplikasi email Fiona. Di sana, sebuah email terkirim menarik perhatianku. Tanggal pengiriman tiga minggu lalu. Sebuah email yang berisi lampiran. Jemariku mengetuknya. Dan yang kulihat… darahku serasa membeku. Foto dokumen. Formula komposisi suplemen Omega-3. Formula rahasia Jaya Pharma.Pengkhianatan itu menghantamku seperti gelombang pasang. Rasa mual melilit perutku. Tidak mungkin. Ini tidak mungk
Fiona menatapku, matanya berkilau di bawah lampu jalan yang temaram. Dia tidak menjawab, hanya tersenyum tipis, menggigit bibir bawahnya. Perasaan itu, yang dulu pernah ada di antara kami, kini kembali memanas.“Atau… kita bisa mencari tempat yang lebih tenang?” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. Tapi pesannya jelas.Jantungku berdebar lebih kencang. Pikiran tentang Serenity, tentang Tanika, sekilas melintas. Tapi kelelahan, stres pekerjaan, dan daya pikat Fiona yang begitu kuat, membuatku mengangguk, seperti sebuah hipnotis yang tidak bisa kuhentikan. Aku tahu ini adalah ide yang buruk. Tapi aku tidak bisa menolaknya. Aku ingin menolaknya. Tapi tubuhku menginginkan kehangatan yang lain.Kami masuk ke dalam mobil. Bukan menuju rumah, melainkan menuju sebuah hotel. Ini adalah hotel yang sama
"Sudah siap untuk presentasi, Kai?" tanyanya, suaranya terdengar renyah, seperti keripik yang baru saja diremas, dan nada suaranya itu seakan mengandung pertanyaan lain, pertanyaan yang hanya kami berdua tahu jawabannya. Aku tahu senyumnya itu, senyum yang pernah membuatku lengah dan jatuh dalam pelukannya beberapa tahun lalu. Senyum yang menyimpan janji kenikmatan terlarang.Aku menegakkan tubuh, berusaha mengusir bayangan kenangan itu, dan kenangan Serenity yang masih hangat di benakku, kembali ke mode profesional. "Sudah. Laporan tim sales development?" tanyaku, mencoba terdengar datar.Fiona melangkah masuk lebih dalam, aura parfumnya yang elegan dan sedikit manis mulai mengisi ruangan. Dia meletakkan sebuah map di meja kerjaku. "Siap. Semua data penjualan proyek sebelumnya dan estimasi untuk FA15 sudah ada di sini. Tim sudah menganalisis tren pasar, dan prediksinya sangat menjanjikan."Aku mengangguk, membuka map itu, berpura-pura fokus pada angka-angka, padahal yang kulihat hany
Napas kami berdua masih memburu, menyatu dalam keheningan yang baru saja lahir dari badai gairah. Detik-detik itu terasa abadi, dipenuhi aroma panas tubuh kami yang bercampur, aroma keringat, dan jejak cinta yang baru saja meledak. Kulitku masih menyentuh kulit Serenity yang lembut, napasnya yang mulai teratur membelai dadaku. Ruangan kamar ini terasa lembap dan memabukkan, seolah udara pun ikut terlarut dalam sisa-sisa kenikmatan kami. Aku memejamkan mata, memeluknya erat, merasakan degup jantungnya yang tenang di bawah telapak tanganku…DRRRTTTT! DRRRTTTT! DRRRTTTT!Ponselku berdering lagi. Suaranya memekakkan, memecah keheningan yang sakral itu dengan brutal. Tidak berhenti, terus-menerus, seolah tak sabar menghancurkan momen yang baru saja kami ukir.Serenity sontak bergerak, tubuhnya menegang menjauh dariku. Mata indahnya yang tadi berkabut kenikmatan, kini menyala dengan nyala api kecurigaan. Bibir penuhnya yang barusan mengerang puas kini mengeras. "Siapa yang nelpon sampai ten
Aku menarik tubuhku keluar perlahan, meninggalkan Serenity yang terbaring lemas dengan napas terengah-engah dan mata yang masih berkaca-kaca. Sensasi saat aku keluar darinya hampir sama nikmatnya dengan saat aku masuk. Aku menatapnya, benar-benar menatapnya. Wajahnya yang biasa terlihat tegas dan penuh kontrol, kini begitu rentan, begitu terbuka. Rambutnya berantakan, bibirnya sedikit bengkak, dan ada rona merah yang menjalar dari dada hingga pipinya. Dia adalah sebuah mahakarya kekacauan yang indah, dan aku pelukisnya.Perkataannya menggantung di udara panas kamar ini. "Gue gak yakin bisa balik normal lagi habis ini."Itu bukan sekadar pujian. Itu adalah sebuah pengakuan, sebuah penyerahan diri. Dan di matanya, aku melihat kebenaran dari kata-kata itu. Aku melihat kilatan panik bercampur dengan gairah yang belum padam. Dia baru saja membuka sebuah pintu dalam dirinya yang tidak ia ketahui ada, dan sekarang ia takut, sekaligus terobsesi dengan apa yang ada di baliknya. Sesuatu yang be
Dia tidak menjawab, hanya menggigit bibir bawahnya sendiri, matanya turun ke bagian bawah tubuhku yang sudah keras dan siap menuntut. Aku bisa melihat sedikit keterkejutan di matanya, mungkin menyadari ukuran yang dia lihat. Aku menyadari tatapannya dan sengaja bergerak sedikit, menunjukkan kejantananku yang sudah berdiri sempurna, menantang.Serenity menarik napas tajam. “Gila…” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ekspresinya campuran antara takut, penasaran, dan… gairah yang meluap-luap. Ini dia. Momen yang kutunggu. Momen saat dia menyadari perbedaan yang drastis.Aku tidak memberinya waktu untuk berpikir terlalu lama. Aku menunduk, menciumnya lagi dengan lembut kali ini, mengalirkan semua gairah yang ada di urat nadiku ke dalam ciuman itu. Sementara bibirku meraup bibirnya, tanganku turun ke bawah, meraba pahanya yang mas
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments