“Lilibet,” bisik Grace.“Kenapa?” tanya Lizbeth seraya menyisip minumannya.“Tadi aku ketemu pria seram bangat. Aku perhatikan pria itu, pria yang satu kereta dengan kita.”LIzbeth yang mendengar itu menebak kalau pria yang disebutkan oleh sahabatnya adalah Frans. Frans mengikutinya atas titah Lucien, dia juga menginap di kamar yang sama dengan Lizbeth. Namun, Grace tidak tahu apapun.LIzbeth tidak bisa memberitahu hubungannya dengan Lucien yang begitu rumit. Meskipun begitu, Lizbeth mulai merasa nyaman berada di sisi Lucien, meskipun banyak rintangan yang menghadang. Tapi, ia ingin tetap berada di sisi Lucien. Meskipun dunia mengatakan dirinya tidak layak.Pagi itu selesai jogging, Lizbeth dan Grace kembali ke hotel. Mereka pergi mandi lebih dulu, sebelum akhirnya mereka turun kembali ke bawah untuk sarapan.Saat sarapan di restoran yang ada di hotel, Lizbeth sempat melirik ke arah ponselnya. Dia bertanya-tanya sedang apa Lucien saat ini, kenapa tidak mengirimkan pesan. Apakah dia s
Hati Lizbeth menghangat saat membaca pesan itu.[Mungkin lusa.]Pesan itu dikirimnya kepada Lucien. Namun, sejujurnya dia ingin lebih lama berada di sini. Berada dalam kedamaian yang panjang, jauh dari tekanan orang-orang di sekitarnya. Bukan berarti dia ingin sembunyi, ia hanya ingin menenangkan hati dan pikirannya sejenak.Lizbeth menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum akhirnya meletakkannya di atas meja. Angin sore berhembus kencang, menyapu rambutnya yang dibiarkan terurai. Jemarinya secara refleks merapikan helai-helai yang terbawa angin, sementara pandangannya mulai kosong, menatap ke laut yang membiru. Dimana pasir putih sebagai pijakannya.Grace yang duduk di seberang, meletakkan gelas yang berisikan minuman dinginnya dan mencondongkan tubuh sedikit. “Apa yang sedang kamu pikirkan?”Lizbeth tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. “Bukan apa-apa.” Tapi matanya sedikit lebih lembut dari sebelumnya, dan pipinya tampak bersemu.“Apa mungkin kamu sedang memikirkan seseorang
Tatapan semua orang kini tertuju pada sosok Lucien, yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Daniel sempat melirik ke arah Lizbeth yang sampai detik ini masih membeku. “Lilibeth, bukankah di atasan kita?” bisik Grace menjadi canggung.Lizbeth melotot, dia hampir lupa kalau perusahaan lamanya juga sudah dibeli oleh Lucien. Lizbeth kembali menatap Lucien.Tiba-tiba suara Daniel sempat memecah keheningan.“Boleh,” kata Daniel dengan suara ramah.Lucien pun duduk di samping Lizbeth, Grace menyadari ada yang tidak biasa antara bos dan sahabatnya itu.Setelah kehadiran Lucien, suasana sekitar mereka sempat sunyi sejenak, namun Grace, dengan celotehnya yang ringan dan hangat, segera membuat suasana kembali hangat. Ia mengalihkan percakapan.“Aku dengar makanan di restoran ini sangat enak, belum lagi pantainya selalu menjadi tempat favorit. Sayang sekali kaki Lilibeth terkilir, besok dia tidak bisa main di air lagi.”“Betul, tempat ini memang selalu membuat para turis tertarik. Mungkin karen
“Lilibeth,” panggil Grace dari belakang mengejutkannya.Lizbeth menoleh ke belakang, melihat temanya memegangi botol kaleng bir. Lalu, berdiri di sisinya.“Kamu sungguh membuatku syok!” seru Grace sembari tertawa pelan, mengamati sahabatnya yang kini merona dari telinga hingga leher. “Lucien Kingsley? Lelaki super dingin itu, yang katanya tidak tersentuh. Astaga, tidak disangka dia bisa sehangat itu, menggendongmu. Sungguh luar perkiraan.”Lizbeth hanya bisa menunduk, menahan senyumnya yang mengembang perlahan. Embusan angin pantai membawa aroma laut yang memenangkan.Di depan mereka, ombak berdebur pelan.“Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu, Grace. Hanya saja, semuanya berjalan begitu cepat. Aku sendiri masih belum percaya.” Lizbeth menatap lurus ke depan, bibirnya bergerak pelan. “Lucien... dia sangat berbeda dari apa yang orang lihat di luar.”Grace menyentuh tangan Lizbeth, menggenggamnya erat. “Aku mengerti. Aku bisa lihat cara dia menatapmu saat makan malam tadi. Aku b
Grace mengangguk pelan seraya tersenyum. “Aku bisa merasakannya, kalau dia memang bucin padamu, Lilibeth. OMG … seorang Lucien, yang terkenal menakutkan bisa menyukaimu, ini luar biasa.”Grace begitu bahagia. Lizbeth terdiam, tetapi tidak bisa menyembunyikan bahwa dia juga senang memiliki seseorang yang tulus padanya. Malam itu, mereka berbaring di atas tempat tidur, sambil bercerita dengan hati yang hangat dan perasaan yang sedikit tidak percaya, seolah kebahagiaan itu terlalu manis untuk jadi kenyataan.***Keesokan paginya, suasana Hermosa terasa tenang dan segar. Langit berwarna biru lembut, dan hangatnya matahari pagi yang menyapa para pejalan kaki. Di jalur jogging yang membentang di sepanjang pantai, Lucien berlari dengan langkah tegap dan teratur, mengenakan kaos abu-abu dan celana olahraga hitam.Langkahnya terhenti sesaat saat melihat sosok pria yang juga tengah jogging dari arah berlawanan. Daniel. Mereka berhenti beberapa meter satu sama lain, dan Daniel menyapa lebih dulu
“Uuuh —”Sentuhan hangat terasa membakar tubuh Lizbeth, saat bibir pria itu menyentuh tengkuknya. Jemarinya menyusuri bagian dalam gaun merah yang dikenakan Lizbeth. Menyentuh area yang belum pernah disentuh siapa pun sebelumnya.Ketika mata keduanya saling bertemu, pria tampan itu menarik tubuh Lizbeth ke dalam pelukannya, lalu mencium bibirnya dengan kelembutan yang mengejutkan. Ciuman itu menghapus semua keraguan, menggantinya dengan gejolak hasrat yang tak tertahankan.“Mmmppth!”Pakaian mereka satu per satu jatuh ke lantai, meninggalkan tubuh yang saling bersentuhan tanpa jarak. Lizbeth memeluk pria itu erat, membalas setiap sentuhan dan ciuman dengan penuh semangat. Semakin lama, semakin dalam Lizbeth menciumnya, ia merasakan semakin tenggorokannya terasa kering, membuatnya semakin tidak bisa berhenti menciumnya.Napas yang semakin memburu membuat keduanya semakin tidak bisa menahan gejolak di dada. Sentuhan tangannya menyapu punggung halus Lizbeth yang terekspos. “Aku pasti aka
Lizbeth baru saja kembali ke sebuah resor di tepi pantai di New York, tempat yang seharusnya menjadi saksi hari bahagianya. Namun, semua rencana pernikahan itu berantakan. Hatinya masih terasa perih setelah memergoki Elmer, pria yang akan menikahinya, berselingkuh dengan kakak tirinya, Valeria.Begitu memasuki kamar hotel tempat keluarganya menginap, Lizbeth dikejutkan oleh pemandangan yang tidak biasa. Martha, ibu tirinya, tengah mengobrak-abrik isi kamar bersama seorang asisten pribadi. Pakaian Lizbeth berserakan di mana-mana.Melihat kehadiran Lizbeth, Martha menoleh dan tersenyum miring, lalu mengulurkan tangannya. “Berikan cincin pernikahan itu. Pernikahan Valeria dan Elmer hari ini harus sempurna. Tak boleh ada cela.”Lizbeth menggenggam erat tasnya, tubuhnya menegang, ketakutan menyergap saat Martha mulai melangkah mendekat. Tanpa peringatan, Martha merebut tas itu dengan kasar, mengeluarkan seluruh isinya, lalu mengaduk-aduk dengan geram. Dan tidak menemukan apa yang dicarinya.
Waktu telah berlalu, dan akhirnya Lizbeth kembali bekerja setelah menghabiskan satu minggu masa cutinya di sebuah penginapan. Pagi itu, sebelum berangkat kerja, ia hanya memakan sepotong roti demi menghemat pengeluaran. Setelah itu, ia menaiki bus menuju tempat kerjanya. Lizbeth bekerja sebagai resepsionis di sebuah perusahaan Real Estate."Aku dengar pernikahannya gagal! Kekasihnya malah menikahi kakaknya.""Pasti kakaknya lebih cantik. Sampai sekarang aku masih heran, kok bisa si cupu kayak dia kerja di sini.""Katanya, dia sempat menggoda kepala divisi kita."Lizbeth yang sedang berada di dekat loker pura-pura tidak mendengar apa pun. Ia memilih mengabaikan komentar menyakitkan itu. Hingga tiba-tiba, suara pintu loker dibanting keras membuat semua terdiam.“Jaga bicara kalian. Hati Lilibeth, jauh lebih cantik daripada mulut kalian berdua!” tegur Grace teman dekat Lizbeth.Kedua perempuan yang membicarakan Lizbeth pergi. Grace menghampiri Lizbeth yang kini menutup lokernya dengan ten
Grace mengangguk pelan seraya tersenyum. “Aku bisa merasakannya, kalau dia memang bucin padamu, Lilibeth. OMG … seorang Lucien, yang terkenal menakutkan bisa menyukaimu, ini luar biasa.”Grace begitu bahagia. Lizbeth terdiam, tetapi tidak bisa menyembunyikan bahwa dia juga senang memiliki seseorang yang tulus padanya. Malam itu, mereka berbaring di atas tempat tidur, sambil bercerita dengan hati yang hangat dan perasaan yang sedikit tidak percaya, seolah kebahagiaan itu terlalu manis untuk jadi kenyataan.***Keesokan paginya, suasana Hermosa terasa tenang dan segar. Langit berwarna biru lembut, dan hangatnya matahari pagi yang menyapa para pejalan kaki. Di jalur jogging yang membentang di sepanjang pantai, Lucien berlari dengan langkah tegap dan teratur, mengenakan kaos abu-abu dan celana olahraga hitam.Langkahnya terhenti sesaat saat melihat sosok pria yang juga tengah jogging dari arah berlawanan. Daniel. Mereka berhenti beberapa meter satu sama lain, dan Daniel menyapa lebih dulu
“Lilibeth,” panggil Grace dari belakang mengejutkannya.Lizbeth menoleh ke belakang, melihat temanya memegangi botol kaleng bir. Lalu, berdiri di sisinya.“Kamu sungguh membuatku syok!” seru Grace sembari tertawa pelan, mengamati sahabatnya yang kini merona dari telinga hingga leher. “Lucien Kingsley? Lelaki super dingin itu, yang katanya tidak tersentuh. Astaga, tidak disangka dia bisa sehangat itu, menggendongmu. Sungguh luar perkiraan.”Lizbeth hanya bisa menunduk, menahan senyumnya yang mengembang perlahan. Embusan angin pantai membawa aroma laut yang memenangkan.Di depan mereka, ombak berdebur pelan.“Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu, Grace. Hanya saja, semuanya berjalan begitu cepat. Aku sendiri masih belum percaya.” Lizbeth menatap lurus ke depan, bibirnya bergerak pelan. “Lucien... dia sangat berbeda dari apa yang orang lihat di luar.”Grace menyentuh tangan Lizbeth, menggenggamnya erat. “Aku mengerti. Aku bisa lihat cara dia menatapmu saat makan malam tadi. Aku b
Tatapan semua orang kini tertuju pada sosok Lucien, yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Daniel sempat melirik ke arah Lizbeth yang sampai detik ini masih membeku. “Lilibeth, bukankah di atasan kita?” bisik Grace menjadi canggung.Lizbeth melotot, dia hampir lupa kalau perusahaan lamanya juga sudah dibeli oleh Lucien. Lizbeth kembali menatap Lucien.Tiba-tiba suara Daniel sempat memecah keheningan.“Boleh,” kata Daniel dengan suara ramah.Lucien pun duduk di samping Lizbeth, Grace menyadari ada yang tidak biasa antara bos dan sahabatnya itu.Setelah kehadiran Lucien, suasana sekitar mereka sempat sunyi sejenak, namun Grace, dengan celotehnya yang ringan dan hangat, segera membuat suasana kembali hangat. Ia mengalihkan percakapan.“Aku dengar makanan di restoran ini sangat enak, belum lagi pantainya selalu menjadi tempat favorit. Sayang sekali kaki Lilibeth terkilir, besok dia tidak bisa main di air lagi.”“Betul, tempat ini memang selalu membuat para turis tertarik. Mungkin karen
Hati Lizbeth menghangat saat membaca pesan itu.[Mungkin lusa.]Pesan itu dikirimnya kepada Lucien. Namun, sejujurnya dia ingin lebih lama berada di sini. Berada dalam kedamaian yang panjang, jauh dari tekanan orang-orang di sekitarnya. Bukan berarti dia ingin sembunyi, ia hanya ingin menenangkan hati dan pikirannya sejenak.Lizbeth menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum akhirnya meletakkannya di atas meja. Angin sore berhembus kencang, menyapu rambutnya yang dibiarkan terurai. Jemarinya secara refleks merapikan helai-helai yang terbawa angin, sementara pandangannya mulai kosong, menatap ke laut yang membiru. Dimana pasir putih sebagai pijakannya.Grace yang duduk di seberang, meletakkan gelas yang berisikan minuman dinginnya dan mencondongkan tubuh sedikit. “Apa yang sedang kamu pikirkan?”Lizbeth tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. “Bukan apa-apa.” Tapi matanya sedikit lebih lembut dari sebelumnya, dan pipinya tampak bersemu.“Apa mungkin kamu sedang memikirkan seseorang
“Lilibet,” bisik Grace.“Kenapa?” tanya Lizbeth seraya menyisip minumannya.“Tadi aku ketemu pria seram bangat. Aku perhatikan pria itu, pria yang satu kereta dengan kita.”LIzbeth yang mendengar itu menebak kalau pria yang disebutkan oleh sahabatnya adalah Frans. Frans mengikutinya atas titah Lucien, dia juga menginap di kamar yang sama dengan Lizbeth. Namun, Grace tidak tahu apapun.LIzbeth tidak bisa memberitahu hubungannya dengan Lucien yang begitu rumit. Meskipun begitu, Lizbeth mulai merasa nyaman berada di sisi Lucien, meskipun banyak rintangan yang menghadang. Tapi, ia ingin tetap berada di sisi Lucien. Meskipun dunia mengatakan dirinya tidak layak.Pagi itu selesai jogging, Lizbeth dan Grace kembali ke hotel. Mereka pergi mandi lebih dulu, sebelum akhirnya mereka turun kembali ke bawah untuk sarapan.Saat sarapan di restoran yang ada di hotel, Lizbeth sempat melirik ke arah ponselnya. Dia bertanya-tanya sedang apa Lucien saat ini, kenapa tidak mengirimkan pesan. Apakah dia s
“Dia siapa?” tanya Grace seraya menyiku tangan Lizbeth.Lizbeth menganga seraya menatap sahabatnya itu. “Ah, tidak ada.”Grace memegang kedua pipi Lizbeth.”Lilibeth, ayolah. Lupakan Elmer, pria seperti dia tidak cocok untuk kamu tangisi, apa lagi kamu rindukan.” Lizbeth terkejut, sahabatnya masih mengira kalau ia masih belum bisa melupakan Elmer. “Dunia ini sangat luas. Pasti ada satu, dari banyak pria di dunia ini, yang mencintaimu dengan tulus.”Seketia ucapan Grace membuat Lizbeth terharu, matanya berbinar. Grace tersenyum lalu memeluk Lizbeth.“Elmer, pasti akan menyesalinya. Mencampakkan Lilibethku yang cantik.”Sikap Grca terkadang mirip sekali orang tua yang menasihati putri kecilnya, dan Lizbeth bersyukur memiliki Grace sebagai sahabatnya. Di kehidupannya yang menyesakkan ini.“Grace, terima kasih.”“Tidak perlu berterima kasih, kita sahabat.”Lizbeth tersenyum, lebih tepatnya keduanya sama-sama tersenyum. Grace tahu seperti apa kondisi Lizbeth, mereka tumbuh bersama dan melew
Lizbeth mendekatkan wajahnya ke Lucien, lalu menggeleng pelan. “Dulu iya, sekarang tidak.” Senyumnya mengembang tenang. “Malam ini aku tidak bisa makan malam denganmu.”Tatapan Lucien yang awalnya hangat perlahan meredup. “Kenapa?”Lizbeth menarik napas. “Aku lupa memberitahumu. Beberapa hari terakhir terlalu sibuk, terlalu banyak hal terjadi. Sehingga aku tidak memiliki waktu untuk mengatakannya, maaf — tapi, sebelumnya aku sudah membuat rencana… aku akan pergi liburan bersama temanku.”“Liburan?” Lucien mengerutkan kening. “Kenapa tidak bilang dari awal?”Lizbeth menunduk sebentar, lalu menatapnya lagi. “Aku butuh sedikit ketenangan. Bukan karena marah atau ingin menghindar darimu… hanya ingin mengambil waktu sejenak untuk diriku sendiri. Apa tidak boleh?”Lucien tidak langsung menjawab. Ia memandangi wajah Lizbeth sejenak, seolah sedang menimbang sesuatu. Kemudian, dia mengangguk pelan.“Tapi—”“Tapi apa?” tanya Lizbeth sambil mengangkat alis.“Setidaknya, biarkan bodyguard ikut me
Air matanya tidak bisa berhenti menetes. Setiap perkataan Lucien mampu membuat hatinya luluh, tetapi bukan sekadar bualan semata. Melainkan cinta yang sebenarnya, walaupun dulu Lizbeth nyaris tidak percaya dengan apa yang dikatakan Lucien. Namun, setelah menyaksikan itu semua membuat Lizbeth yakin, bahwa Lucien memang tulus mencintainya.Hanya saja Lizbeth tidak tahu harus bereaksi seperti apa, bagaimanapun, ini pertama kalinya dia dicintai secara ugal-ugalan, oleh sosok pria yang terkenal kejam, dan arogan. Tapi, berhati hangat di hadapan perempuan yang dicintainya.‘Lizbeth, di dunia ini hanya aku yang tulus padamu. Tidak akan pernah ada cinta seperti aku.’Lizbeth melepaskan pelukannya, Lucien dengan mata merah dan tatapan teduh menyeka air mata Lizbeth. Lalu membelai wajahnya.“Aku tidak bermaksud membohongimu. Percayalah, Lilibeth.”Lizbeth mengerutkan alisnya, lalu mengangguk pelan. “Aku percaya.”Lucien meraih kepala Lizbeth, dan mencium bibir Lizbeth lembut. Lizbeth membalas
Mateo duduk di ruang kerjanya dengan mata terpejam. Jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja, ada ketegangan samar yang terpancar di wajahnya. Seolah ia sedang menunggu sesuatu yang sudah ia prediksi akan terjadi, namun tetap enggan untuk menerimanya.Pintu ruangan terbuka cepat. Martha masuk dengan langkah terburu-buru dan wajah cemas. “Sayang… Luxora sudah beralih menjadi milik Lucien,” ucapnya tanpa basa-basi, lalu menyalakan televisi di sudut ruangan.Mateo membuka matanya perlahan. Tatapannya kosong saat menatap layar yang menayangkan siaran langsung mengenai akuisisi Kingsley terhadap Luxora. Tulisan besar terpampang. "Lucien Cassian Kingsley Resmi Akuisisi Luxora Group." Dia tidak mengatakan sepatah kata pun, dan masuk ke dalam mobil. Berita akuisisi itu tengah ramai menjadi perbincangan di media. Serta menjadi topik hangat, Sementara itu, Valeria menginjakkan kaki di lobby gedung Kingsley dengan langkah cepat dan penuh kemarahan. Ia langsung menuju meja resepsionis, wajahny