Agnes menahan nyeri di dalam hatinya. Ia menyembunyikan tatapan nanar lewat sorot angkuh, membalas Gerald dengan tegas. Ia sudah cukup jauh menjalani hidup sendirian dan tanpa kehadiran Gerald pun, Agnes bisa melakukan semua sampai akhir. “Berhenti membawa Irvin ke dalam permasalahan kita, Gerald. Aku nggak pernah mau berurusan dengan kamu lagi, termasuk hal sefatal ini. Apa kamu berpikir Irvin akan menyukai kehadiran kamu?” Sorot manik hitam Gerald menatap Agnes tegas. “Aku nggak bisa memberikan jawaban karena belum membuat interaksi dengan dia. Tapi aku akan berusaha untuk memberikan perhatianku sebagai pembuktian.” Perempuan itu mendengkus dan membuang pandangan sesaat. Gerald terlalu percaya diri untuk setiap ucapannya. “Mungkin ini permainan baru kamu untuk menghancurkanku, iya, kan? Nggak mudah untuk membangun sebuah keluarga sekalipun itu sandiwara. Ada hal lain yang pasti ingin kamu lakukan secara diam-diam.” Agnes kembali menatap Gerald dengan senyum miring. “Kamu pasti
“Lo udah tau, siapa perempuan yang peluk Pak Gerald di lobi, Nes?” Agnes dan Fiani keluar dari ruangan zumba. Sekitar dua puluh orang baru menyelesaikan aktifitas olahraga bersama. Beberapa di antara mereka ada yang memilih melanjutkan secara pribadi dan Agnes bersama teman karibnya berjalan ke ruang ganti pakaian. “Menurut gue itu nggak perlu dibahas,” cetusnya membuka loker untuk mengambil minum dan memilah pakaian ganti yang memang selalu tersimpan sebagai salinan. Fiani tersenyum jahil menatap perempuan dengan setelan tank top dan legging senada. “Yakin, nih, nggak perlu dibahas sama sekali? Gue udah tau dari beberapa jam lalu sebenarnya. Cuma nggak ada waktu untuk ketemu dan lupa kirim pesan buat lo.” Agnes memicing, menatap balik penuh curiga temannya. Perempuan yang memakai sport bra tersebut mendekat, lalu ia sengaja bersandar di samping loker Agnes. Fiani melipat kedua tangan di dada dan berucap, “Gue bisa lihat tatapan cemburu lo di sana. Atau seenggaknya, gue bisa lihat
Agnes berontak dan berusaha melepaskan cekalan Gerald. Nyatanya, pria itu semakin mengeratkan cekalan dan menyeret paksa Agnes memasuki lift. Perempuan itu membeliak saat Gerald menekan lantai yang dituju. “Lepas, Ge!” teriak Agnes frustrasi dan air mata yang sudah membasahi penuh kedua pipi putihnya. “Berhenti membuatku marah, Nes,” desis Gerald membuat tubuh Agnes gemetar. Tatapan tajam di antara sorot rapuhnya pudar seiring ucapan Gerald yang terkesan dingin tadi. Ia menunduk, pasrah dengan tenaga dan kesabaran yang tidak berbuah manis. Kali ini diperlakukan buruk di depan banyak orang menggoreskan luka terlalu dalam. Hiks. Cekalan tangan Gerald di pergelangan tangan Agnes mengendur. Sorot nanar pria bermanik hitam itu tertuju pada perempuan di sampingnya. Bahu Agnes bergetar dan kepala itu semakin tertunduk dalam. “Citra diriku semakin buruk dan kali ini menghancurkan reputasi yang kubangun,” lirih Agnes dengan suara bergetar. Gerald membeku melihat Agnes semakin rapuh dan
Ada sedikit rasa kecewa melihat Agnes menjaga jarak dengan Fiani. Padahal, semalam ia sudah mengkhawatirkan Agnes dan berpikir pagi hari adalah waktu yang tepat untuk bertemu teman baiknya. Ia tidak peduli ucapan wanita itu semalam. Agnes dan pasangan suami istri itu menjadi pusat perhatian, tapi Fiani ingin menjadi penengah agar Agnes tidak semakin dipermalukan. Mengenai fakta yang membuatnya cukup terkejut. Semua itu tetap kembali lagi pada privasi Agnes dan Fiani tidak mempermasalahkan, meskipun ternyata status pertemanan mereka tidak seterbuka pertemanan pada umumnya. Ia tidak merasa dibohongi. Fiani harus mengerti keadaan Agnes dan sampai detik ini, Agnes tidak melakukan apa pun yang merugikan Fiani. Ini hanya tentang kehidupan pribadi yang terasa berat bagi Agnes dan belum berani mengungkapkannya. “Lo bisa pergi kerja duluan, Fi. Kita nggak perlu berangkat bareng. Gue nggak mau mereka justru menyerang lo karena label yang gue dapatkan semalam.” Agnes membuang pandangan set
Selama penerbangan menuju Jakarta. Tidak ada percakapan di antara Gerald dan Agnes. Bahkan, pria itu pun larut dengan kegiatan sendiri dibandingkan membuka obrolan bersama Agnes. Perempuan itu enggan memulai dan berusaha meredam rasa kesal, mengingat pria di sampingnya telah mempermainkan Agnes. “Nyebelin banget,” gerutu Agnes menatap kesal Gerald yang sudah dijemput sopir keluarga. Padahal, mereka beriringan keluar dari bandara setelah perjalanan di pesawat dan duduk bersebelahan. Gerald seolah tidak mengenal Agnes dan berlalu tanpa ucapan selamat tinggal. Ia melihat Honda CR-V putih itu berlalu dari bandara dan meninggalkan Agnes sendirian. Perempuan yang membawa satu koper dan kardus merek oleh-oleh, segera memanggil taksi. Ia ingin bertemu anak tercinta, meluapkan kebahagiaan. Perjalanan yang ditempuh untuk sampai ke kompleks perumahan sederhana tidak begitu lama. Hanya empat puluh lima menit dengan keadaan jalan yang lancar. “Anak Mama ... kangen banget udah lama nggak ketem
“Nenes janda cantik di kompleks ini, lho, Nak. Dia masih muda dan baru punya satu anak. Banyak pria muda di sekitar sini sering sekali bicarakan Nenes. Kamu nggak mau ikut mengantri dapatkan hati Nenes?” “Uhuk! Uhuk!” Gerald mengulum senyum melihat Agnes serabutan mengambil air putih dibantu Nek Lastri yang ikut panik. Pria itu sempat melihat Agnes sangat menyukai camilan dari Nek Lastri. Ia menikmati sambil mendengarkan Gerald diajak bicara wanita lansia itu. Tapi ia tidak berpikir Nek Lastri sedang mempromosikan Agnes di hadapan mantan kekasihnya. “Pelan-pelan makannya, Nenes. Jangan buat khawatir karena orang keselek juga bahaya. Nggak bisa dianggap remeh kalau yang tersedak makanan terlalu berat dan kasar.” Nek Lastri duduk di samping Agnes dan membantu menepuk serta mengusap punggung perempuan cantik itu. Agnes mengangguk dengan menyisakan sedikit batuk. Ia mengambil satu gelas berisi air putih untuk mendorong sisa makanan di tenggorokan. Dengan gerakan cepat Agnes menoleh
Perempuan berseragam olahraga itu masih manja bergelayut di leher kekasihnya. Ia menempelkan tubuh depan di punggung kekasihnya, lalu menaruh dagu di bahu tegap itu. Suara kecupan terisi di ruang ekstrakurikuler basket dan tidak lantas membuat pria yang sedari tadi sibuk melihat profil calon anggota baru merasa risih. “Masih lama, Kak? Jadi, kan, antar aku ke tempat bimbel?” Agnes mengingatkan kekasihnya yang sudah lima menit lalu mengabaikannya. Sebenarnya bukan mengabaikan, melainkan memang membutuhkan waktu merekrut anggota dan Agnes sudah dipersilakan melakukan aktifitas apa pun di ruangan sedang ini. Ukuran ruang ekskul ini setengah dari ruang kelas umum. Beberapa fasilitas tambahan cukup nyaman dan ditunjang camilan yang selalu tersedia. Gerald—kekasih Agnes—yang baru pensiun beberapa waktu lalu pun masih pada kebiasaan; menyediakan makanan untuk anggota lain. “Sebentar lagi selesai,” sahut Gerald membiarkan Agnes mengusel di ceruk lehernya. Jam masih menunjukkan pukul tiga
Tertulis di dalam surat pernikahan kontrak, jika Agnes akan mendapatkan beberapa keuntungan sebagai bentuk ganti rugi dari pernikahan mereka yang hanya berlangsung selama satu tahun kedepan. Beberapa di antaranya mencakup satu unit mobil sport, rumah di kawasan elit, uang sepuluh milyar dan saham atas resort yang ditempati Agnes. Bahkan, rumah di kawasan elit akan dipilih sendiri oleh Agnes, maksimal satu minggu sebelum pernikahan mereka berlangsung secara tertutup. Ini bukan hal yang ditakuti Agnes. Ada hal lain membuatnya sedikit gundah dan hampir mundur. Sayangnya, dendam masa lalu Agnes terpantik kembali dan ia ingin menghancurkan telak Jiera. Ia akan membuat posisi di antara mereka terbalik, lalu Agnes bisa memenangkan keinginan terpendamnya juga. Gerald melihat tangan kanan Agnes dengan cepat membuat sebuah garis berbentuk tanda tangan. Pola cepat setelah dalam kurun kurang dari dua menit Agnes membaca isi surat tersebut. “Kamu berubah pikiran?” tanya Gerald masih tidak perca