“Ibu Agnes tidak pernah mendaftarkan pernikahan ataupun perceraiannya di pengadilan negeri.” Gerald merasakan hantaman kuat berada di dalam dadanya. Teriakan Agnes kurang dari lima jam yang lalu silih berganti masuk dalam ingatan dan terasa kuat di telinga Gerald. Napas Gerald tercekat. Lidahnya terasa kelu untuk mengutarakan dengan suara tenang, “A-pa kamu sudah mendapatkan informasi yang valid?” Asisten pribadi Gerald mengangguk cepat. Ia duduk tenang sambil menyodorkan berkas dengan ketebalan tidak sampai lima senti. “Di dalam berkas ini selain data diri Ibu Agnes, saya juga sudah menyiapkan salinan data mengenai pernikahan atau perceraian dalam beberapa tahun terakhir, Pak.” “Tidak ada satupun mengatasnamakan Ibu Agnes Zefanya. Termasuk rumah sakit yang memungkinkan Ibu Agnes melakukan proses bersalin,” tambah pria itu membuat Gerald membeku. “Dari semua data resmi yang valid ini. Ada hal mendasar yang membuat saya yakin mengenai secara garis besar kehidupan pribadi Ibu Agnes
“Aku ingin meminta maaf untuk semua kesalahan yang aku perbuat ke kamu.” Agnes tersenyum miring. “Kurang dari sepuluh menit lalu, asisten pribadi kamu datang dan meminta kedatanganku ke mari. Aku sedikit berpikir, mungkin ada lagi masalah yang mau kamu berikan untukku. Bukannya selama dua minggu ini kamu sibuk? Itu artinya, kamu juga nggak berminat membuat kekacauan untuk pekerjaanku.” Gerald melihat tatapan tajam dan sakit hati yang belum terelakkan. Ia tahu ada kekecewaan mendalam di balik sorot mengejeknya. Pria itu mengangguk. “Aku tau dan aku mengakui kesalahanku.” “Tapi dari dua minggu lalu, aku memang sudah menyelesaikan permasalahan kekanakan ini.” Agnes membuang pandangan. Dada perempuan itu terasa sesak dan ucapan Gerald terlalu mudah terucap. Pikirannya sudah terkonstruksi menepis ucapan Gerald yang berlawanan sejak beberapa waktu lalu. Gerald yang memperlakukan Agnes kasar, lalu menyalahgunakan jabatan. Apa semudah itu sikap Gerald mendapatkan maaf dari dirinya? “K
“Ya ampun! Diam-diam lo udah punya pengagum rahasia, Nes?”“Siapa?! Satu tempat ini atau orang luar? Bule, gitu?”Kening Agnes mengkerut dan ia melangkah memasuki ruang kerja. Pagi ini Fiani lebih dulu memasuki ruang kerja Agnes. Ia menjemput tepat di depan unit Agnes, lalu menginginkan obrolan pagi hari sebelum jam kerja berlangsung.Sayangnya, mata Fiani sudah berbinar melihat buket mawar merah di atas meja kerja Agnes. Di sisi samping juga ada satu kotak coklat merek ternama. “Wow! Coklat Godiva?!” histeris melihat merek dan memadukan dengan harga.Dua kota coklat dengan harga yang lumayan—kisaran satu juta per satu kotak—ada di meja kerja Agnes. “Nes. Bagi dong,” cicitnya ikut tergiur sambil melirik Agnes yang baru mendekat dengan pandangan bingung.Fiani akan berpikir berulang kali membeli coklat yang kerap ia dapatkan dari teman lain berbentuk hampers di hari perayaan. Setidaknya ia bisa mencicipi tanpa harus membeli. Ia memiliki banyak pengeluaran, termasuk mementingkan kebutuh
Senyum Agnes tertarik perlahan seiring makanan yang sudah ia cicipi tertelan sempurna. Kedua ibu jari mengacung, memberikan tanda hebat pada tim memasak. “Komposisi yang sangat tepat! Menu yang kalian buat sudah lebih dari ekspektasi saya.” “Saya berharap klien baru ini akan jatuh cinta pada masakan kalian semua.” Tepuk tangan penuh kebahagiaan tersugesti pada Agnes. Ia ikut bertepuk tangan, memeriahkan dapur luas tersebut yang berisi divisi Food Production, terdiri dari lima senior dan dua junior. Tidak ada senioritas karena dari awal kedatangan Agnes dan melihat divisi lain. Mereka semua layaknya keluarga yang saling mendukung, tidak sungkan untuk menerima kritik dan tetap selaras, menyeimbangkan pemikiran dari banyak pegawai masing-masing. Di antara mereka, memang masih ada yang memiliki sikap keras kepala, tidak bisa memosisikan diri dengan baik. Setidaknya biarkan saja itu berlaku untuk Agnes. Ia selalu ingin timnya bekerja dengan baik dan saling mengasihi seperti saudara di
Agnes menahan nyeri di dalam hatinya. Ia menyembunyikan tatapan nanar lewat sorot angkuh, membalas Gerald dengan tegas. Ia sudah cukup jauh menjalani hidup sendirian dan tanpa kehadiran Gerald pun, Agnes bisa melakukan semua sampai akhir. “Berhenti membawa Irvin ke dalam permasalahan kita, Gerald. Aku nggak pernah mau berurusan dengan kamu lagi, termasuk hal sefatal ini. Apa kamu berpikir Irvin akan menyukai kehadiran kamu?” Sorot manik hitam Gerald menatap Agnes tegas. “Aku nggak bisa memberikan jawaban karena belum membuat interaksi dengan dia. Tapi aku akan berusaha untuk memberikan perhatianku sebagai pembuktian.” Perempuan itu mendengkus dan membuang pandangan sesaat. Gerald terlalu percaya diri untuk setiap ucapannya. “Mungkin ini permainan baru kamu untuk menghancurkanku, iya, kan? Nggak mudah untuk membangun sebuah keluarga sekalipun itu sandiwara. Ada hal lain yang pasti ingin kamu lakukan secara diam-diam.” Agnes kembali menatap Gerald dengan senyum miring. “Kamu pasti
“Lo udah tau, siapa perempuan yang peluk Pak Gerald di lobi, Nes?” Agnes dan Fiani keluar dari ruangan zumba. Sekitar dua puluh orang baru menyelesaikan aktifitas olahraga bersama. Beberapa di antara mereka ada yang memilih melanjutkan secara pribadi dan Agnes bersama teman karibnya berjalan ke ruang ganti pakaian. “Menurut gue itu nggak perlu dibahas,” cetusnya membuka loker untuk mengambil minum dan memilah pakaian ganti yang memang selalu tersimpan sebagai salinan. Fiani tersenyum jahil menatap perempuan dengan setelan tank top dan legging senada. “Yakin, nih, nggak perlu dibahas sama sekali? Gue udah tau dari beberapa jam lalu sebenarnya. Cuma nggak ada waktu untuk ketemu dan lupa kirim pesan buat lo.” Agnes memicing, menatap balik penuh curiga temannya. Perempuan yang memakai sport bra tersebut mendekat, lalu ia sengaja bersandar di samping loker Agnes. Fiani melipat kedua tangan di dada dan berucap, “Gue bisa lihat tatapan cemburu lo di sana. Atau seenggaknya, gue bisa lihat
Agnes berontak dan berusaha melepaskan cekalan Gerald. Nyatanya, pria itu semakin mengeratkan cekalan dan menyeret paksa Agnes memasuki lift. Perempuan itu membeliak saat Gerald menekan lantai yang dituju. “Lepas, Ge!” teriak Agnes frustrasi dan air mata yang sudah membasahi penuh kedua pipi putihnya. “Berhenti membuatku marah, Nes,” desis Gerald membuat tubuh Agnes gemetar. Tatapan tajam di antara sorot rapuhnya pudar seiring ucapan Gerald yang terkesan dingin tadi. Ia menunduk, pasrah dengan tenaga dan kesabaran yang tidak berbuah manis. Kali ini diperlakukan buruk di depan banyak orang menggoreskan luka terlalu dalam. Hiks. Cekalan tangan Gerald di pergelangan tangan Agnes mengendur. Sorot nanar pria bermanik hitam itu tertuju pada perempuan di sampingnya. Bahu Agnes bergetar dan kepala itu semakin tertunduk dalam. “Citra diriku semakin buruk dan kali ini menghancurkan reputasi yang kubangun,” lirih Agnes dengan suara bergetar. Gerald membeku melihat Agnes semakin rapuh dan
Ada sedikit rasa kecewa melihat Agnes menjaga jarak dengan Fiani. Padahal, semalam ia sudah mengkhawatirkan Agnes dan berpikir pagi hari adalah waktu yang tepat untuk bertemu teman baiknya. Ia tidak peduli ucapan wanita itu semalam. Agnes dan pasangan suami istri itu menjadi pusat perhatian, tapi Fiani ingin menjadi penengah agar Agnes tidak semakin dipermalukan. Mengenai fakta yang membuatnya cukup terkejut. Semua itu tetap kembali lagi pada privasi Agnes dan Fiani tidak mempermasalahkan, meskipun ternyata status pertemanan mereka tidak seterbuka pertemanan pada umumnya. Ia tidak merasa dibohongi. Fiani harus mengerti keadaan Agnes dan sampai detik ini, Agnes tidak melakukan apa pun yang merugikan Fiani. Ini hanya tentang kehidupan pribadi yang terasa berat bagi Agnes dan belum berani mengungkapkannya. “Lo bisa pergi kerja duluan, Fi. Kita nggak perlu berangkat bareng. Gue nggak mau mereka justru menyerang lo karena label yang gue dapatkan semalam.” Agnes membuang pandangan set