“Anak Mama!”
Pelukan hangat Agnes mendekap penuh kerinduan putra kecilnya yang sangat cerdas di usianya sekarang. Bahkan, Agnes terharu mendapati Irvin sudah bisa memanggilnya dengan sebutan Mama.
Ia menghadiahi Irvin—anak laki-laki Agnes—dengan kecupan manis di kedua pipi gembilnya.
“ASI-nya udah dibawa cukup kan, Mbak?”
Tas ASI, tas ransel dan satu koper itu menjadi hal menarik yang Agnes lihat setelah berhasil membawa bayi bule-nya dalam gendongan. “Iya, Bu. Sudah saya bawa semua, lengkap.”
Agnes tersenyum kecil, lalu mengangguk dan membawa babysitter-nya menuju kamar Agnes di lantai bersama jabatan setara atau sedikit di atasnya.
Hanya ruangan Gerald yang berbeda di lantai paling atas dan diisi bersebelahan dekat unit sekretaris bersama asisten pribadi.
Gerald terlalu banyak merangkap dalam bekerja dan posisi yang diemban.
Agnes hanya ingat, jika sekarang pabrik olahan makanan sudah diambil alih anak—penerus utama—Liam Ogawa.
“Tunggu dua hari lagi ya, Mbak. Nanti kita pulang sama-sama dan saya sudah pesan tiket kepulangan ke Jakarta.”
Dua orang itu berjalan berdampingan menuju lift.
“Baik, Bu. Saya juga senang bisa menemani ibu di sini. Sekalian bisa liburan dan pengin manjain mata,” balas perempuan seusia Agnes dalam balutan seragam babysitter dan kerudung segiempat tersebut tertawa kecil.
Agnes mendengkus geli, melihat raut merona dan pasti kebahagiaan sedang meliputi perasaan perempuan lajang itu.
“Ibu menginap di Jakarta?”
“Nggak, Mbak. Saya pulang untuk mengantar kalian berdua aja. Banyak pekerjaan di sini yang nggak bisa saya tinggalkan,” jelas Agnes dan menguasai tatapan sedih.
Ia tidak boleh memperlihatkan kebingungan dan rasa khawatir dari Suster Irvin. Tidak mungkin juga ia menceritakan masalah yang dihadapi Agnes setelah beberapa waktu lalu pulang ke Jakarta.
Perempuan berkerudung itu ingin sekali membicarakan alternatif lain. Ia merasa majikannya terlalu khawatir dengan ia dan sang anak majikan. Ia takut merepotkan Agnes dan memberikan pilihan. Sayangnya, pintu lift sudah terlebih dulu terbuka.
Pintu lift terbuka.
Namun, langkah kaki Agnes yang ingin masuk terhenti dengan kehadiran Gerald ditemani asisten pribadinya. Pria itu terdiam, menatap lurus bayi yang digendong Agnes. Manik biru dan paras blasteran itu menjadi fokus utama Gerald.
Agnes menelan saliva susah payah. Pelukan pada putranya kian mengerat.
“Pak?”
Sahutan dari asisten pribadi itu membuat Gerald tersadar dan langsung keluar dengan langkah lebar. Bahkan, perasaan perih hadir dan bergelayut di dalam relung hati Agnes.
Tatapan Gerald sangat dingin, melewati Agnes tanpa menyapa. Bahkan, tadi pagi ia bergegas keluar dari kamar Gerald pukul setengah empat karena tidak ingin bersitatap dengan pria pertama yang memperkenalkan Agnes sebuah sentuhan dan kehangatan dari milik seorang pria.
**
“Sa-ya satu ranjang sama ibu? Beneran, Bu? Saya takut ngiler dan ngorok, Bu.”
Pertanyaan sekaligus menjelaskan bagaimana ia tidur, membuat Agnes tertawa kecil.
Nina. Seorang babysitter yang sejauh ini membuat Agnes yakin sebagai perempuan baik dan taat agama, mempercayakan Irvin dalam asuhan dan juga dibantu satu ibu pengganti untuk ASI Irvin.
“Kenapa, Mbak? Saya kan, udah anggap Mbak sebagai saudari sendiri. Nggak apa-apa. Karena kamar ini hanya ada satu,” jelasnya.
Nina meringis pelan. “Saya bisa tidur di sofa, Bu,” timpalnya merasa tidak nyaman.
“Lagipula, kasihan Mas Irvin harus tidur di boks bayi nantinya,” lanjut Nina karena Agnes sudah memesan tempat tidur untuk Irvin pada salah seorang kepercayaan di sini.
Agnes mengembuskan napas pelan, lalu mengangguk samar. “Ya sudah kalau itu yang bisa membuat Mbak nyaman,” balas Agnes, membuat senyum Nina terbit.
“Saya mandikan Mas Irvin dulu ya, Bu.”
“Biar saya saja, Mbak.”
“Mbak Nina tolong siapkan air mandi dan biarkan saya yang siapkan pakaian Irvin,” jelasnya dan mereka pun berbagi tugas.
Kehadiran Irvin, anak lelaki bermanik biru itu membuat dunia Agnes jungkir balik. Banyak duka yang harus ia lalui untuk menjadi perempuan mandiri. Kesalahpahaman dalam hidupnya seolah berlanjut. Ia harus keluar dari rumah ketika orangtuanya mengira Irvin adalah bayi merah yang baru saja dilahirkan Agnes.
Mereka menduga: Agnes dituduh hamil di luar nikah dan ditinggalkan ayah dari sang anak.
Namun, Agnes tidak ingin menyalahi takdir karena ia pun tidak melakukan kesalahan tersebut. Sekarang, fokusnya hanya pada Irvin dan bekerja lebih baik untuk membiayai kehidupan ia dan sang anak.
Setelah selesai memandikan Irvin, Agnes membawa sang buah hati ke area pantai.
Akhir pekan dan jadwal yang memang tidak terlalu padat hari ini, membuat Agnes memilih membahagiakan Irvin dalam momen yang ia ciptakan.
Nina mengambil beberapa potret ibu muda yang sangat cantik.
Agnes hanya membalut tubunya dengan dress selutut tanpa lengan. Kedua lengan putih dan kaki jenjang itu terlihat sempurna.
Rambut panjang berwarna hitam ia urai, membiarkan angin pantai sedikit memainkan dengan nakal.
“Ibu mau kelapa muda?”
“Saya titip satu, Mbak,” cetus Agnes setelah mengambil duduk di salah satu kursi jemur.
Ia mengusap puncak kepala Irvin saat anak kecil itu terlalu menggemaskan, seolah menatap dirinya untuk berucap, tapi bingung ingin mengatakan apa. Bibir menggemaskan itu terus saja berbicara dengan mainan di tangannya.
“Kamu kangen sama Mama, Nak?”
“Ngen, Ma.”
“Udah pasti kangen, ya,” lanjutnya terkekeh pelan mendapati anak lelakinya cukup cerdas merespons dan menyerap kosa kata.
Agnes bersyukur ia mempunyai Ibu pengganti yang bisa memberikan ASI bagi Irvin. Karena ia tidak mungkin bisa memberikan hal tersebut karena bukan seorang Ibu yang pernah melahirkan dan bisa memberikan ASI.
Perempuan itu tersenyum pedih seraya mengusap puncak kepala anaknya. Rambut coklat Irvin menjadi hal menarik yang sering Agnes lakukan; mengusap dan menyisir. Menggemaskan sekali.
“Anak dari pria yang sama atau berbeda?”
Ucapan dingin itu membuat Agnes mendongak.
Ia tertegun melihat kedatangan Gerald yang melepas kacamatanya, lalu duduk di kursi jemur yang berhadapan langsung dengan Agnes.
Pertanyaan itu menggaung di telinga Agnes dan membuat perasaannya kembali sesak.
Gerald tersenyum miring dan memperhatikan Irvin di pangkuan Agnes. “Dulu kamu ketahuan baru aja periksa dengan alat kontrasepsi dan hasilnya positif,” cetus Gerald.
“Seharusnya sekarang dia sudah besar, jauh lebih tua dibanding anak bungsu kamu,” lanjut Gerald, membuat Agnes tersenyum getir.
Benar, bukan?
Pria itu terlalu mempercayai benalu dibandingkan Agnes sebagai kekasih hati Gerald saat itu.
“Memangnya ada yang salah kalau aku punya anak lagi dari pria lain? Kamu keberatan?”
“Ranjang semalam hanya menjadi saksi, kalau aku masih ingin bertahan di bawah naungan kamu. Aku membutuhkan pekerjaan untuk membesarkan kedua putraku.”
Wajah Gerald memerah. Napasnya memburu dengan pandangan teralihkan ke arah lain.
Agnes tersenyum miring dan mengembuskan napas kasar. Dadanya benar-benar sesak, tapi ia mencoba bertahan lebih baik lagi. “Hidup kamu dan aku sudah berubah sejak kita putus. Kamu harus memahami hal itu baik-baik.”
“Berarti keputusanku untuk meniduri kamu sudah benar.”
Gerald berdiri dan tidak bisa menilik lebih jauh jika ucapannya sudah menggoreskan luka dalam hati Agnes. Bahkan, pelupuk mata itu tampak berkabut, siap meluncurkan lagi air mata dan membasahi kedua pipi Agnes.
Napas Gerald terasa sesak. Ia kembali menatap bayi berparas tampan.
Gerald tidak bisa memastikan siapa ayah dari anak bayi bermanik biru itu. Ia menjadi yakin, jika Agnes memang perempuan murahan.
Sama dengan hal yang diucapkan Jiera, sebelum ia memutuskan Agnes malam itu di apartemen mantan kekasihnya.
“Sudah seharusnya aku mendengarkan ucapan teman dekatku dibandingkan seorang yang hanya berstatus kekasih.”
Ucapan itu memukul telak Agnes. Ia menahan suara untuk meneriaki kebodohan ia dan Gerald di masa lalu. Terutama saat pria itu terlalu memercayai orang lain dibandingkan perempuan yang berhasil menggoreskan banyak kebahagiaan di hidup Gerald.
Pria itu menancapkan luka tak kasat mata, lebih mempercayai kesalahpahaman yang ternyata tidak pernah usai.
Gerald melangkah pergi, meskipun ia melihat pelupuk mata Agnes terlihat berkaca.
“Bu? Ibu menangis?!”
Nina panik.
Ia langsung berjongkok di hadapan Agnes setelah menaruh dua buah kelapa muda di atas meja. Agnes menghapus cepat air matanya, lalu menggeleng samar. “Saya hanya sedikit kemasukan debu, Mbak.”
“Mata saya agak perih.”
“Ibu butuh air? Biar saya—“
“—tolong jaga Irvin sebentar, Mbak. Biar saya saja yang pergi ke toilet.”
Nina langsung meraih Irvin dalam gendongan. Perempuan itu terpaku dengan punggung Agnes yang semakin menjauh, tampak bergetar sesaat.
Bentakan Gerald dan senyum puas Jiera terpatri sempurna tepat setelah malam perpisahan sekolah Agnes. Ingatan terburuk Agnes mengenai kandasnya hubungan ia bersama Gerald.
“Lo rubah licik yang memanfaatkan kepolosan gue, Jiera.”
**
Gerald tidak pernah menduga jika kehadiran Agnes akan mengubah pola hidupnya. Bahkan, ia berusaha selama delapan tahun ini untuk menyingkirkan Agnes dari pikiran dan tentu hati. Perempuan itu terlalu banyak memberikan kesan di dalam benak dan tersemat jauh di lubuk hati Gerald. “Seharusnya aku menyingkirkan dia dari sini. Bukan memberikan penawaran yang tentu akan mudah dia lakukan,” desis Gerald mengepalkan tangan dan pulpen dalam genggamannya ia eratkan. Gerald ingin sekali mematahkan pulpen tersebut. Ia terlalu sulit mengendalikan diri dan napas yang memburu setelah menghina Agnes di pinggir pantai. Anak lelaki itu menjadi masalah terbesar bagi Gerald dan ia sudah berpikir jauh, jika Agnes benar-benar melupakan hubungan yang pernah mereka jalin. Siapa Ayah sang bayi? Ia mendengkus mengejek. Delapan tahun memang sangat mudah membuat Agnes melupakan Gerald. Dan sangat bodoh, Gerald terlalu lama memikirkan masa depannya yang baru. Ia terlalu menggantungkan hubungan tidak pasti
“Ibu Agnes tidak pernah mendaftarkan pernikahan ataupun perceraiannya di pengadilan negeri.” Gerald merasakan hantaman kuat berada di dalam dadanya. Teriakan Agnes kurang dari lima jam yang lalu silih berganti masuk dalam ingatan dan terasa kuat di telinga Gerald. Napas Gerald tercekat. Lidahnya terasa kelu untuk mengutarakan dengan suara tenang, “A-pa kamu sudah mendapatkan informasi yang valid?” Asisten pribadi Gerald mengangguk cepat. Ia duduk tenang sambil menyodorkan berkas dengan ketebalan tidak sampai lima senti. “Di dalam berkas ini selain data diri Ibu Agnes, saya juga sudah menyiapkan salinan data mengenai pernikahan atau perceraian dalam beberapa tahun terakhir, Pak.” “Tidak ada satupun mengatasnamakan Ibu Agnes Zefanya. Termasuk rumah sakit yang memungkinkan Ibu Agnes melakukan proses bersalin,” tambah pria itu membuat Gerald membeku. “Dari semua data resmi yang valid ini. Ada hal mendasar yang membuat saya yakin mengenai secara garis besar kehidupan pribadi Ibu Agnes
“Aku ingin meminta maaf untuk semua kesalahan yang aku perbuat ke kamu.” Agnes tersenyum miring. “Kurang dari sepuluh menit lalu, asisten pribadi kamu datang dan meminta kedatanganku ke mari. Aku sedikit berpikir, mungkin ada lagi masalah yang mau kamu berikan untukku. Bukannya selama dua minggu ini kamu sibuk? Itu artinya, kamu juga nggak berminat membuat kekacauan untuk pekerjaanku.” Gerald melihat tatapan tajam dan sakit hati yang belum terelakkan. Ia tahu ada kekecewaan mendalam di balik sorot mengejeknya. Pria itu mengangguk. “Aku tau dan aku mengakui kesalahanku.” “Tapi dari dua minggu lalu, aku memang sudah menyelesaikan permasalahan kekanakan ini.” Agnes membuang pandangan. Dada perempuan itu terasa sesak dan ucapan Gerald terlalu mudah terucap. Pikirannya sudah terkonstruksi menepis ucapan Gerald yang berlawanan sejak beberapa waktu lalu. Gerald yang memperlakukan Agnes kasar, lalu menyalahgunakan jabatan. Apa semudah itu sikap Gerald mendapatkan maaf dari dirinya? “K
“Ya ampun! Diam-diam lo udah punya pengagum rahasia, Nes?”“Siapa?! Satu tempat ini atau orang luar? Bule, gitu?”Kening Agnes mengkerut dan ia melangkah memasuki ruang kerja. Pagi ini Fiani lebih dulu memasuki ruang kerja Agnes. Ia menjemput tepat di depan unit Agnes, lalu menginginkan obrolan pagi hari sebelum jam kerja berlangsung.Sayangnya, mata Fiani sudah berbinar melihat buket mawar merah di atas meja kerja Agnes. Di sisi samping juga ada satu kotak coklat merek ternama. “Wow! Coklat Godiva?!” histeris melihat merek dan memadukan dengan harga.Dua kota coklat dengan harga yang lumayan—kisaran satu juta per satu kotak—ada di meja kerja Agnes. “Nes. Bagi dong,” cicitnya ikut tergiur sambil melirik Agnes yang baru mendekat dengan pandangan bingung.Fiani akan berpikir berulang kali membeli coklat yang kerap ia dapatkan dari teman lain berbentuk hampers di hari perayaan. Setidaknya ia bisa mencicipi tanpa harus membeli. Ia memiliki banyak pengeluaran, termasuk mementingkan kebutuh
Senyum Agnes tertarik perlahan seiring makanan yang sudah ia cicipi tertelan sempurna. Kedua ibu jari mengacung, memberikan tanda hebat pada tim memasak. “Komposisi yang sangat tepat! Menu yang kalian buat sudah lebih dari ekspektasi saya.” “Saya berharap klien baru ini akan jatuh cinta pada masakan kalian semua.” Tepuk tangan penuh kebahagiaan tersugesti pada Agnes. Ia ikut bertepuk tangan, memeriahkan dapur luas tersebut yang berisi divisi Food Production, terdiri dari lima senior dan dua junior. Tidak ada senioritas karena dari awal kedatangan Agnes dan melihat divisi lain. Mereka semua layaknya keluarga yang saling mendukung, tidak sungkan untuk menerima kritik dan tetap selaras, menyeimbangkan pemikiran dari banyak pegawai masing-masing. Di antara mereka, memang masih ada yang memiliki sikap keras kepala, tidak bisa memosisikan diri dengan baik. Setidaknya biarkan saja itu berlaku untuk Agnes. Ia selalu ingin timnya bekerja dengan baik dan saling mengasihi seperti saudara di
Agnes menahan nyeri di dalam hatinya. Ia menyembunyikan tatapan nanar lewat sorot angkuh, membalas Gerald dengan tegas. Ia sudah cukup jauh menjalani hidup sendirian dan tanpa kehadiran Gerald pun, Agnes bisa melakukan semua sampai akhir. “Berhenti membawa Irvin ke dalam permasalahan kita, Gerald. Aku nggak pernah mau berurusan dengan kamu lagi, termasuk hal sefatal ini. Apa kamu berpikir Irvin akan menyukai kehadiran kamu?” Sorot manik hitam Gerald menatap Agnes tegas. “Aku nggak bisa memberikan jawaban karena belum membuat interaksi dengan dia. Tapi aku akan berusaha untuk memberikan perhatianku sebagai pembuktian.” Perempuan itu mendengkus dan membuang pandangan sesaat. Gerald terlalu percaya diri untuk setiap ucapannya. “Mungkin ini permainan baru kamu untuk menghancurkanku, iya, kan? Nggak mudah untuk membangun sebuah keluarga sekalipun itu sandiwara. Ada hal lain yang pasti ingin kamu lakukan secara diam-diam.” Agnes kembali menatap Gerald dengan senyum miring. “Kamu pasti
“Lo udah tau, siapa perempuan yang peluk Pak Gerald di lobi, Nes?” Agnes dan Fiani keluar dari ruangan zumba. Sekitar dua puluh orang baru menyelesaikan aktifitas olahraga bersama. Beberapa di antara mereka ada yang memilih melanjutkan secara pribadi dan Agnes bersama teman karibnya berjalan ke ruang ganti pakaian. “Menurut gue itu nggak perlu dibahas,” cetusnya membuka loker untuk mengambil minum dan memilah pakaian ganti yang memang selalu tersimpan sebagai salinan. Fiani tersenyum jahil menatap perempuan dengan setelan tank top dan legging senada. “Yakin, nih, nggak perlu dibahas sama sekali? Gue udah tau dari beberapa jam lalu sebenarnya. Cuma nggak ada waktu untuk ketemu dan lupa kirim pesan buat lo.” Agnes memicing, menatap balik penuh curiga temannya. Perempuan yang memakai sport bra tersebut mendekat, lalu ia sengaja bersandar di samping loker Agnes. Fiani melipat kedua tangan di dada dan berucap, “Gue bisa lihat tatapan cemburu lo di sana. Atau seenggaknya, gue bisa lihat
Agnes berontak dan berusaha melepaskan cekalan Gerald. Nyatanya, pria itu semakin mengeratkan cekalan dan menyeret paksa Agnes memasuki lift. Perempuan itu membeliak saat Gerald menekan lantai yang dituju. “Lepas, Ge!” teriak Agnes frustrasi dan air mata yang sudah membasahi penuh kedua pipi putihnya. “Berhenti membuatku marah, Nes,” desis Gerald membuat tubuh Agnes gemetar. Tatapan tajam di antara sorot rapuhnya pudar seiring ucapan Gerald yang terkesan dingin tadi. Ia menunduk, pasrah dengan tenaga dan kesabaran yang tidak berbuah manis. Kali ini diperlakukan buruk di depan banyak orang menggoreskan luka terlalu dalam. Hiks. Cekalan tangan Gerald di pergelangan tangan Agnes mengendur. Sorot nanar pria bermanik hitam itu tertuju pada perempuan di sampingnya. Bahu Agnes bergetar dan kepala itu semakin tertunduk dalam. “Citra diriku semakin buruk dan kali ini menghancurkan reputasi yang kubangun,” lirih Agnes dengan suara bergetar. Gerald membeku melihat Agnes semakin rapuh dan