Share

8. Rubah Licik

“Anak Mama!”

Pelukan hangat Agnes mendekap penuh kerinduan putra kecilnya yang sangat cerdas di usianya sekarang. Bahkan, Agnes terharu mendapati Irvin sudah bisa memanggilnya dengan sebutan Mama.

Ia menghadiahi Irvin—anak laki-laki Agnes—dengan kecupan manis di kedua pipi gembilnya.

“ASI-nya udah dibawa cukup kan, Mbak?”

Tas ASI, tas ransel dan satu koper itu menjadi hal menarik yang Agnes lihat setelah berhasil membawa bayi bule-nya dalam gendongan. “Iya, Bu. Sudah saya bawa semua, lengkap.”

Agnes tersenyum kecil, lalu mengangguk dan membawa babysitter-nya menuju kamar Agnes di lantai bersama jabatan setara atau sedikit di atasnya.

Hanya ruangan Gerald yang berbeda di lantai paling atas dan diisi bersebelahan dekat unit sekretaris bersama asisten pribadi.

Gerald terlalu banyak merangkap dalam bekerja dan posisi yang diemban.

Agnes hanya ingat, jika sekarang pabrik olahan makanan sudah diambil alih anak—penerus utama—Liam Ogawa.

“Tunggu dua hari lagi ya, Mbak. Nanti kita pulang sama-sama dan saya sudah pesan tiket kepulangan ke Jakarta.”

Dua orang itu berjalan berdampingan menuju lift.

“Baik, Bu. Saya juga senang bisa menemani ibu di sini. Sekalian bisa liburan dan pengin manjain mata,” balas perempuan seusia Agnes dalam balutan seragam babysitter dan kerudung segiempat tersebut tertawa kecil.

Agnes mendengkus geli, melihat raut merona dan pasti kebahagiaan sedang meliputi perasaan perempuan lajang itu.

“Ibu menginap di Jakarta?”

“Nggak, Mbak. Saya pulang untuk mengantar kalian berdua aja. Banyak pekerjaan di sini yang nggak bisa saya tinggalkan,” jelas Agnes dan menguasai tatapan sedih.

Ia tidak boleh memperlihatkan kebingungan dan rasa khawatir dari Suster Irvin. Tidak mungkin juga ia menceritakan masalah yang dihadapi Agnes setelah beberapa waktu lalu pulang ke Jakarta.

Perempuan berkerudung itu ingin sekali membicarakan alternatif lain. Ia merasa majikannya terlalu khawatir dengan ia dan sang anak majikan. Ia takut merepotkan Agnes dan memberikan pilihan. Sayangnya, pintu lift sudah terlebih dulu terbuka.

Pintu lift terbuka.

Namun, langkah kaki Agnes yang ingin masuk terhenti dengan kehadiran Gerald ditemani asisten pribadinya. Pria itu terdiam, menatap lurus bayi yang digendong Agnes. Manik biru dan paras blasteran itu menjadi fokus utama Gerald.

Agnes menelan saliva susah payah. Pelukan pada putranya kian mengerat.

“Pak?”

Sahutan dari asisten pribadi itu membuat Gerald tersadar dan langsung keluar dengan langkah lebar. Bahkan, perasaan perih hadir dan bergelayut di dalam relung hati Agnes.

Tatapan Gerald sangat dingin, melewati Agnes tanpa menyapa. Bahkan, tadi pagi ia bergegas keluar dari kamar Gerald pukul setengah empat karena tidak ingin bersitatap dengan pria pertama yang memperkenalkan Agnes sebuah sentuhan dan kehangatan dari milik seorang pria.

**

“Sa-ya satu ranjang sama ibu? Beneran, Bu? Saya takut ngiler dan ngorok, Bu.”

Pertanyaan sekaligus menjelaskan bagaimana ia tidur, membuat Agnes tertawa kecil.

Nina. Seorang babysitter yang sejauh ini membuat Agnes yakin sebagai perempuan baik dan taat agama, mempercayakan Irvin dalam asuhan dan juga dibantu satu ibu pengganti untuk ASI Irvin.

“Kenapa, Mbak? Saya kan, udah anggap Mbak sebagai saudari sendiri. Nggak apa-apa. Karena kamar ini hanya ada satu,” jelasnya.

Nina meringis pelan. “Saya bisa tidur di sofa, Bu,” timpalnya merasa tidak nyaman.

“Lagipula, kasihan Mas Irvin harus tidur di boks bayi nantinya,” lanjut Nina karena Agnes sudah memesan tempat tidur untuk Irvin pada salah seorang kepercayaan di sini.

Agnes mengembuskan napas pelan, lalu mengangguk samar. “Ya sudah kalau itu yang bisa membuat Mbak nyaman,” balas Agnes, membuat senyum Nina terbit.

“Saya mandikan Mas Irvin dulu ya, Bu.”

“Biar saya saja, Mbak.”

“Mbak Nina tolong siapkan air mandi dan biarkan saya yang siapkan pakaian Irvin,” jelasnya dan mereka pun berbagi tugas.

Kehadiran Irvin, anak lelaki bermanik biru itu membuat dunia Agnes jungkir balik. Banyak duka yang harus ia lalui untuk menjadi perempuan mandiri. Kesalahpahaman dalam hidupnya seolah berlanjut. Ia harus keluar dari rumah ketika orangtuanya mengira Irvin adalah bayi merah yang baru saja dilahirkan Agnes.

Mereka menduga: Agnes dituduh hamil di luar nikah dan ditinggalkan ayah dari sang anak.

Namun, Agnes tidak ingin menyalahi takdir karena ia pun tidak melakukan kesalahan tersebut. Sekarang, fokusnya hanya pada Irvin dan bekerja lebih baik untuk membiayai kehidupan ia dan sang anak.

Setelah selesai memandikan Irvin, Agnes membawa sang buah hati ke area pantai.

Akhir pekan dan jadwal yang memang tidak terlalu padat hari ini, membuat Agnes memilih membahagiakan Irvin dalam momen yang ia ciptakan.

Nina mengambil beberapa potret ibu muda yang sangat cantik.

Agnes hanya membalut tubunya dengan dress selutut tanpa lengan. Kedua lengan putih dan kaki jenjang itu terlihat sempurna.

Rambut panjang berwarna hitam ia urai, membiarkan angin pantai sedikit memainkan dengan nakal.

“Ibu mau kelapa muda?”

“Saya titip satu, Mbak,” cetus Agnes setelah mengambil duduk di salah satu kursi jemur.

Ia mengusap puncak kepala Irvin saat anak kecil itu terlalu menggemaskan, seolah menatap dirinya untuk berucap, tapi bingung ingin mengatakan apa. Bibir menggemaskan itu terus saja berbicara dengan mainan di tangannya.

“Kamu kangen sama Mama, Nak?”

“Ngen, Ma.”

“Udah pasti kangen, ya,” lanjutnya terkekeh pelan mendapati anak lelakinya cukup cerdas merespons dan menyerap kosa kata.

Agnes bersyukur ia mempunyai Ibu pengganti yang bisa memberikan ASI bagi Irvin. Karena ia tidak mungkin bisa memberikan hal tersebut karena bukan seorang Ibu yang pernah melahirkan dan bisa memberikan ASI.

Perempuan itu tersenyum pedih seraya mengusap puncak kepala anaknya. Rambut coklat Irvin menjadi hal menarik yang sering Agnes lakukan; mengusap dan menyisir. Menggemaskan sekali.

“Anak dari pria yang sama atau berbeda?”

Ucapan dingin itu membuat Agnes mendongak.

Ia tertegun melihat kedatangan Gerald yang melepas kacamatanya, lalu duduk di kursi jemur yang berhadapan langsung dengan Agnes.

Pertanyaan itu menggaung di telinga Agnes dan membuat perasaannya kembali sesak.

Gerald tersenyum miring dan memperhatikan Irvin di pangkuan Agnes. “Dulu kamu ketahuan baru aja periksa dengan alat kontrasepsi dan hasilnya positif,” cetus Gerald.

“Seharusnya sekarang dia sudah besar, jauh lebih tua dibanding anak bungsu kamu,” lanjut Gerald, membuat Agnes tersenyum getir.

Benar, bukan?

Pria itu terlalu mempercayai benalu dibandingkan Agnes sebagai kekasih hati Gerald saat itu.

“Memangnya ada yang salah kalau aku punya anak lagi dari pria lain? Kamu keberatan?”

“Ranjang semalam hanya menjadi saksi, kalau aku masih ingin bertahan di bawah naungan kamu. Aku membutuhkan pekerjaan untuk membesarkan kedua putraku.”

Wajah Gerald memerah. Napasnya memburu dengan pandangan teralihkan ke arah lain.

Agnes tersenyum miring dan mengembuskan napas kasar. Dadanya benar-benar sesak, tapi ia mencoba bertahan lebih baik lagi. “Hidup kamu dan aku sudah berubah sejak kita putus. Kamu harus memahami hal itu baik-baik.”

“Berarti keputusanku untuk meniduri kamu sudah benar.”

Gerald berdiri dan tidak bisa menilik lebih jauh jika ucapannya sudah menggoreskan luka dalam hati Agnes. Bahkan, pelupuk mata itu tampak berkabut, siap meluncurkan lagi air mata dan membasahi kedua pipi Agnes.

Napas Gerald terasa sesak. Ia kembali menatap bayi berparas tampan.

Gerald tidak bisa memastikan siapa ayah dari anak bayi bermanik biru itu. Ia menjadi yakin, jika Agnes memang perempuan murahan.

Sama dengan hal yang diucapkan Jiera, sebelum ia memutuskan Agnes malam itu di apartemen mantan kekasihnya.

“Sudah seharusnya aku mendengarkan ucapan teman dekatku dibandingkan seorang yang hanya berstatus kekasih.”

Ucapan itu memukul telak Agnes. Ia menahan suara untuk meneriaki kebodohan ia dan Gerald di masa lalu. Terutama saat pria itu terlalu memercayai orang lain dibandingkan perempuan yang berhasil menggoreskan banyak kebahagiaan di hidup Gerald.

Pria itu menancapkan luka tak kasat mata, lebih mempercayai kesalahpahaman yang ternyata tidak pernah usai.

Gerald melangkah pergi, meskipun ia melihat pelupuk mata Agnes terlihat berkaca.

“Bu? Ibu menangis?!”

Nina panik.

Ia langsung berjongkok di hadapan Agnes setelah menaruh dua buah kelapa muda di atas meja. Agnes menghapus cepat air matanya, lalu menggeleng samar. “Saya hanya sedikit kemasukan debu, Mbak.”

“Mata saya agak perih.”

“Ibu butuh air? Biar saya—“

“—tolong jaga Irvin sebentar, Mbak. Biar saya saja yang pergi ke toilet.”

Nina langsung meraih Irvin dalam gendongan. Perempuan itu terpaku dengan punggung Agnes yang semakin menjauh, tampak bergetar sesaat.

Bentakan Gerald dan senyum puas Jiera terpatri sempurna tepat setelah malam perpisahan sekolah Agnes. Ingatan terburuk Agnes mengenai kandasnya hubungan ia bersama Gerald.

“Lo rubah licik yang memanfaatkan kepolosan gue, Jiera.”

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status