“Jadi, itu alasan saya ingin bergabung di perusahaan ini,” ucap Valerie, menjawab pertanyaan Aldrich dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan.
Aldrich memiringkan kepala sedikit, memperhatikan wanita di depannya dengan intensitas yang tidak sepenuhnya ia sadari. “Valerie,” katanya, suaranya terdengar lebih lembut dari yang ia maksudkan. “Kau terlihat… siap untuk kesempatan ini.” Tatapannya tanpa sengaja turun ke jemari Valerie yang tampak meremas clutch-nya dengan gugup. Gerakan kecil itu tidak terlewat dari matanya, memberi kesan bahwa di balik sikap percaya dirinya, ada kelembutan yang sengaja ia sembunyikan. Valerie segera sedikit menegakkan tubuh, berusaha memperkuat auranya yang profesional. Ia tidak ingin Aldrich, atau siapa pun, melihat sisi rentannya. “Terima kasih,” jawabnya dengan nada yang terdengar mantap, meskipun di dalam hatinya ada gejolak yang sulit ia abaikan. Mata mereka bertemu untuk beberapa detik, masing-masing mencoba membaca pikiran yang tersembunyi di balik ekspresi satu sama lain. Dan untuk sesaat, ruangan terasa dipenuhi ketegangan yang sulit dijelaskan. “Saya telah mempersiapkan ini dengan baik.” Aldrich, yang duduk di balik meja besar dengan sikap santai namun penuh wibawa, mengangguk perlahan. “Baguslah. Itu kontrak kerjamu,” katanya, menunjuk dokumen tebal yang sudah tertata rapi di atas meja. “Kau bisa membacanya terlebih dahulu. Pastikan kau memahami isinya.” Valerie mengambil kontrak itu dengan kedua tangannya. Ia mulai membaca dokumen tersebut dengan cepat tetapi tetap cermat. Namun, matanya membelalak sejenak saat tiba di salah satu bagian: penalti jika ia memutuskan kontrak sebelum masa kerja berakhir. Lima ratus juta rupiah. Jumlah itu mungkin bukan masalah besar jika ia masih menjadi “putri Bastian” dan memiliki akses ke rekening keluarganya. Namun, keputusannya untuk kabur dari rumah, meninggalkan segala kenyamanan, berarti ia kini hanya bergantung pada dirinya sendiri. Saat ini, lima ratus juta adalah angka yang hampir mustahil baginya untuk dicapai. Aldrich, yang mengamatinya dengan cermat, tidak melewatkan perubahan kecil pada ekspresi Valerie. Dengan nada datar namun mengandung sindiran halus, ia berkata, “Kenapa? Kau terlihat seperti seseorang yang berencana melanggar kontrak.” Kata-katanya menusuk Valerie, membuatnya merasa tersudut. Ia mendongak, menatap pria itu dengan tatapan tajam. “Tentu saja tidak,” balasnya dengan suara yang tetap tegas meskipun hatinya sedikit merutuki keberadaan Aldrich yang sepertinya selalu bisa membaca pikirannya. Aldrich tersenyum kecil, senyum yang sulit diartikan. “Bagus kalau begitu,” ujarnya pelan, sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. “Karena di sini, kami tidak menerima orang yang setengah hati. Jika kau bergabung dengan HC Group, kau harus siap dengan segala risikonya.” Valerie menggenggam pena yang ada di atas meja, jari-jarinya sedikit gemetar. Namun, ia tahu tidak ada jalan mundur. Menyerah pada Aldrich di awal kariernya di sini akan membuatnya terlihat lemah, dan Valerie tidak pernah ingin dianggap seperti itu. Dengan tarikan napas dalam, ia akhirnya menandatangani kontrak tersebut. Suara pena menyentuh kertas terasa seperti pengesahan atas keputusan besar dalam hidupnya. Saat selesai, ia meletakkan pena itu dengan tenang dan menatap Aldrich langsung ke matanya. “Siapa bilang saya akan melanggar?” ucapnya, dengan nada yang penuh tantangan. Aldrich menatapnya, senyumnya bertambah lebar. “Itu lebih seperti dirimu, Nona Valerie.” katanya, sambil mengambil kontrak yang sudah ditandatangani. Dengan gerakan santai, ia menyimpan dokumen itu ke dalam map, lalu melirik Valerie sekali lagi. “Selamat bergabung di HC Group. Mari kita lihat, seberapa jauh kau akan bertahan.” Valerie tidak membalasnya, tetapi hatinya berdebar. Ada sesuatu tentang pria ini yang membuatnya merasa seolah sedang berada di atas papan catur, setiap langkahnya akan menentukan siapa yang akan menang atau kalah. Saat Aldrich mengalihkan pandangannya ke layar komputer, Valerie berdiri, berusaha menjaga sikapnya tetap tenang. “Jika tidak ada yang lain, saya akan mulai bekerja,” katanya sambil melangkah keluar dari ruangan. Tepat sebelum pintu tertutup, suara Aldrich terdengar di belakangnya, cukup pelan namun tetap jelas. “Jangan lupa, Nona Valerie. Ini adalah permainan yang panjang. Pastikan kau tahu aturan sebelum memutuskan untuk bermain.” Valerie menghentikan langkahnya sejenak di depan pintu, mendengar kata-kata Aldrich yang menggantung di udara seperti tantangan terselubung. Ia menoleh sedikit, cukup untuk memberikan tatapan singkat sebelum menjawab dengan tenang, "Saya tidak pernah bermain untuk kalah, Tuan Aldrich." Pintu menutup di belakangnya, membatasi pandangan Aldrich yang masih tertuju ke arah tempat Valerie berdiri sebelumnya. Senyuman kecil kembali menghiasi wajahnya, kali ini disertai rasa penasaran yang tak bisa ia abaikan. Di luar ruangan, Valerie mengatur napas. Jemarinya masih terasa gemetar, bukan karena rasa takut, tetapi lebih kepada tekanan dan adrenalin yang mengalir deras di tubuhnya. Lima ratus juta. Jumlah itu terngiang-ngiang di pikirannya seperti lonceng peringatan. Apa pun risikonya, ia tahu ini adalah langkah yang harus diambil. Namun, kenapa Aldrich membuatnya merasa seolah ada lebih dari sekadar kontrak kerja di antara mereka? Langkah Valerie terhenti di dekat meja resepsionis. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan singkat kepada sahabatnya, Luna. “Aku resmi diterima di HC Group. Wish me luck!” Tak butuh waktu lama, balasan dari Luna muncul. “Congrats! Tapi hati-hati sama bosmu itu, ya. Aku dengar dia sangat dingin dan kejam.” Valerie membaca pesan itu dengan alis sedikit berkerut. Dingin? Mungkin, tapi Aldrich lebih terasa seperti seseorang yang memiliki agenda tersembunyi, seseorang yang menikmati permainan kekuasaan. Hal itu membuat Valerie merasa seperti bidak yang diposisikan secara hati-hati di papan catur. “Tapi aku juga punya kendali atas langkahku,” pikir Valerie.“Sudah lama aku tak mendengar itu.” Aldrich terkekeh seraya mengusap garis rahangnya sebentar lalu menatap Valerie dengan ekspresi penuh kenangan.Di depannya, Valerie menyipitkan mata, kemudian menggigit bibir bawahnya pelan, “Waktu itu aku benar-benar yakin kamu gigolo.”“Aku tahu. Dan jujur, aku cukup terhibur saat kamu menyodorkanku kartu kredit dan daftar permintaan tanpa ragu. Padahal kupikir aku ketahuan,” jawab Aldrich sambil tertawa kecil.Valerie menutup wajahnya dengan satu tangan, malu mengingat kejadian di Paris itu. “Astaga, aku masih tidak percaya aku melakukannya.”Aldrich menyandarkan siku di atas meja, mendekat sedikit, “Uhm, tapi mungkin jika kau tak mendekat, aku yang akan menculik kau lebih dulu.” “Bisa kau bayangkan, Aldrich? Aku menghamili gigolo-ku sendiri,” sahut Valerie dramatis, membuat Aldrich tertawa terbahak.“Kau memang pemberani, nona,” balasnya ringan.“Jadi,” katanya sambil menoleh ke Aldrich, “kamu sudah lihat beberapa pilihan gedung yang Ayah rekom
Mobil hitam yang mereka tumpangi melaju mulus di jalanan kota, kaca jendela menyaring matahari sore yang hangat. Valerie bersandar nyaman di jok kulit, jemarinya masih saling menggenggam dengan Aldrich. Ia sempat menoleh, memperhatikan pria di sebelahnya yang tampak santai tapi tetap penuh perhatian seperti biasa.Tiba-tiba, mobil melambat. Valerie mengangkat kepala, melihat ke luar jendela."Kita berhenti? Kenapa?" tanyanya heran.Mobil menepi di depan sebuah restoran bergaya klasik Eropa yang berdiri anggun di antara bangunan modern. Dinding eksteriornya dilapisi batu alam, dengan lampu-lampu gantung yang menambah kesan elegan.Aldrich hanya menoleh dengan senyum tipis. "Ya. Kita akan makan."Valerie mendengus. "Iya, aku tahu kita akan makan. Tapi kenapa harus ke tempat seperti ini?"Restoran itu terlihat seperti tempat yang biasanya hanya dikunjungi pasangan saat ulang tahun pernikahan ke-30 atau saat lamaran mewah.Aldrich mengangkat alis dan mengerlingkan satu matanya. "Kau piki
Claire menyenggol bahunya dengan ringan. “Oke, sebelum aku menangis dan mengacaukan makeup sendiri, kenapa kalian nggak ambil satu foto terakhir sebelum ganti baju?”Valerie tertawa, lalu mengangguk. Claire mengeluarkan ponsel, dan mereka pun berdiri di depan cermin besar. Valerie dengan gaun dan veil, Aldrich dengan jas gelap yang tadi dicoba untuk fitting. Keduanya berdiri cukup dekat, tapi tidak bersentuhan. “C'mon. Lebih dekat, Aldrich. Ini bukan sesi foto KTP.” Claire berkata gemas. Aldrich tersenyum dan menaruh satu tangan di punggung Valerie dengan hati-hati. Sementara Valerie sendiri tersipu, tapi tidak menghindar.Klik.Claire menatap hasil fotonya, lalu menunjukkan pada mereka. “Satu kata. Majalah wedding akan rebutan buat pasang foto ini di cover.”Valerie memelototi Claire dengan tatapan geli. “Berhenti. Kau membuatku ingin kabur dari altar.”“Terlambat, Princess. Kamu sudah dicintai orang ini sampai ke ujung dunia,” Claire menjawab sambil menepuk lengan Valerie.Aldrich
Setelah sesi fitting selesai, Valerie duduk bersandar di sofa butik sembari menghela napas panjang. Gaun telah dicoba, jas sudah pas. Hanya satu hal yang tersisa.“Aku tahu kau kelelahan, tapi ini bagian favoritku,” ucap Claire sambil menghampiri mereka dengan sebuah nampan berisi kotak-kotak kecil berwarna krem dan emas. “Aksesoris.”Valerie menegakkan punggungnya secara perlahan. “Bagian favoritmu, bukan aku,” sahutnya dengan senyum kecil.Claire tak menggubris. Ia meletakkan kotak-kotak itu di meja rendah di depan mereka, lalu membuka satu demi satu. Kalung berhiaskan mutiara, anting berlian mungil, dan bahkan tiara halus dari kristal yang memantulkan cahaya seperti bintang.“Tidak semua pengantin cocok pakai tiara, tapi kau seperti lahir untuk memakainya,” kata Claire sambil menyodorkan benda itu ke arah Valerie.Valerie memutar matanya, tapi tidak menolak saat Claire menyelipkannya ke rambutnya. Ia menatap bayangannya di cermin besar di sisi ruangan.“Lucu juga,” gumamnya sambil
“Aku tahu ini telat,” ucap Aldrich perlahan, suaranya rendah dan penuh makna. Jemarinya menggenggam tangan Valerie semakin erat. “Tapi aku ingin memberikanmu sesuatu yang spesial setiap saat.”Valerie sempat mengerutkan dahi, namun tak lama kemudian ia membeku saat Aldrich menunduk dan mengeluarkan sesuatu dari saku dalam jasnya. Sebuah kotak beludru berwarna abu-abu muda, dengan detail jahitan halus di tepinya. Tangannya yang biasanya begitu tenang kini sedikit bergetar saat membuka kotak itu di depan Valerie.Di dalamnya, bersemayam sebuah cincin berlian yang tampak begitu memukau. Cincin itu terbuat dari platinum murni yang ramping namun kokoh, memeluk sebuah batu berlian berbentuk cushion cut sebesar dua karat. Berlian itu bening seperti tetesan embun pagi, dengan kilauan yang tampak menari-nari di bawah cahaya lampu gantung butik. Di sekeliling berlian utama, terhampar barisan pavé diamond kecil yang mengelilinginya seperti bintang-bintang yang menjaga pusat semesta. Setiap de
Sementara itu, di luar ruang ganti, Aldrich duduk menunggu di kursi panjang berlapis velvet. Tangan kirinya menggenggam cangkir teh camomile yang perlahan mendingin. Matanya menatap pintu ruang ganti tanpa berkedip. Dan ketika pintu itu perlahan terbuka, waktu terasa melambat.Valerie melangkah keluar dengan perlahan dan gugup, kepalanya sedikit tertunduk sebelum akhirnya mengangkat wajah dan menatap Aldrich.Melihat pemandangan itu, langkah Aldrich pun terhenti. Ia reflek berdiri dari duduknya.“Cantik sekali,” gumamnya. Matanya menatap Valerie seolah tak percaya. Napasnya tercekat, lalu terhembus pelan. “Sayang…”Valerie memegangi sisi gaunnya dengan gugup. Tatapan Aldrich benar-benar seperti menelanjanginya. “Ini terlalu berlebihan ya? Aku kelihatan—”“Kau luar biasa!” potong Aldrich cepat, nyaris seperti kilat. “Seolah semua hal indah yang pernah kubayangkan tak ada artinya dibandingkan saat melihatmu sekarang.”Valerie menunduk, pipinya merona. “Kau selalu saja berkata manis sa