Hari-hari awal Valerie sebagai sekretaris CEO terasa seperti ujian mental. Jadwal Aldrich yang padat, rapat yang tak ada habisnya, dan tuntutan perfeksionisme membuatnya bekerja ekstra keras.
Namun, kejadian memalukan di hari ketiga membuatnya ingin menggali lubang dan menghilang. Saat itu Valerie tengah sibuk menyortir email ketika Aldrich memintanya untuk mengirimkan daftar belanja pribadi kepada asisten rumah tangganya. Daftar itu sederhana. Hanya berisi bahan makanan, beberapa botol anggur, dan satu catatan tambahan yang nyaris luput dari perhatian Valerie. Karena terburu-buru, dia salah menekan tombol dan mengirimkan email itu ke seluruh divisi perusahaan. Dampaknya langsung terasa. Ponsel Valerie berbunyi tanpa henti, kolega mulai berbisik-bisik, dan beberapa bahkan tertawa terbahak-bahak. Baru saat itulah Valerie membuka kembali email yang ia kirimkan dan membaca bagian akhirnya: PS: Jangan lupa beli almond milk, bukan susu sapi biasa. Saya tidak mau jerawatan saat meeting besar nanti. Valerie memucat. Jantungnya seperti berhenti berdetak ketika pintu ruang Aldrich terbuka, dan pria itu keluar dengan ekspresi bercampur aduk antara bingung dan geli. "Valerie," katanya pelan, memperlihatkan ponselnya. "Tolong jelaskan kenapa kepala divisi operasional baru saja menanyakan preferensi susu saya?" Valerie merasa seperti akan pingsan, tapi dia mencoba tetap tenang. Dengan wajah memerah, dia menjawab, "Saya… saya pikir Anda ingin berbagi rahasia kulit mulus Anda dengan semua orang, Pak." Aldrich memandangnya lama sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak, suara tawa yang jarang ia tunjukkan di kantor. "Kamu benar-benar berbeda," katanya sambil menggelengkan kepala. "Aku harus mengakui, ini pertama kalinya sesuatu seperti ini terjadi." Valerie hanya bisa tersenyum kaku, berharap lantai di bawahnya bisa membawanya menjauh dari rasa malu itu. Kejadian email itu menjadi bahan candaan selama beberapa hari, tapi Aldrich tidak pernah membahasnya lagi secara serius. Dia bahkan tampak lebih santai di sekitar Valerie, meskipun sikap profesionalnya tetap terjaga. Namun, Valerie tidak menyangka bahwa kesalahannya akan membawa dampak yang lebih besar. Seminggu kemudian, dalam rapat besar bersama kepala divisi, salah satu peserta tiba-tiba mengangkat tangan dan berkata, "Pak Aldrich, kami sudah mengatur pengiriman almond milk Anda untuk pantry kantor. Kami ingin memastikan Anda siap menghadapi semua meeting penting tanpa masalah." Ruang rapat langsung dipenuhi tawa, dan Valerie hanya bisa menundukkan kepalanya, berharap bisa menghilang. “Bodoh sekali kau Valerie!” rutuknya dalam hati. Aldrich meliriknya sekilas dengan senyum yang jelas mengatakan, ‘Kau membuat ini terjadi’, sebelum dia menanggapi, "Terima kasih atas perhatian kalian. Saya rasa itu keputusan yang bijaksana." Setelah rapat selesai, Aldrich mendekati Valerie yang masih sibuk membereskan dokumen. Dia menunduk sedikit hingga wajahnya hampir sejajar dengannya dan berbisik, "Kau membuat hariku lebih menarik, Valerie. Jangan pernah berubah." --- Beberapa minggu bekerja, Valerie mulai menyadari bahwa menjadi sekretaris Aldrich lebih sulit dari yang ia bayangkan. Selain harus menghadapi tatapan pria itu yang kadang terlalu intens, ia juga harus terus menghindari panggilan telepon dari Bastian, ayahnya. “Valerie, kenapa kau tidak menjawab teleponku?” Bastian berkata dengan nada tegas suatu hari saat ia akhirnya berhasil menelepon Valerie di tengah pekerjaannya. “Karena saya sedang sibuk bekerja, Ayah,” jawab Valerie sambil berbisik agar Aldrich tidak mendengar. “Bekerja? Di mana? Aku ingin kau bertemu pria yang kupilih untukmu.” Valerie hampir tersedak. “Ayah, tolong jangan mencampuri hidupku. Aku sudah dewasa!” Namun, saat itu Aldrich berjalan ke arahnya, mengulurkan tangan untuk mengambil ponselnya. “Siapa itu, Valerie?” tanyanya dengan nada datar, tapi mata itu menyelidik. “Oh, ini hanya…,” Valerie mencoba mencari alasan, tapi Aldrich sudah mengambil ponselnya dan menempelkan ke telinganya. “Ini Aldrich, CEO HC group. Apa ada yang bisa saya bantu?” katanya tanpa basa-basi. Di ujung sana, suara Bastian langsung berubah serius. “Aldrich? Kau?!” Valerie membeku. Aldrich mengangkat satu alisnya. “Oh, jadi Anda ayah Valerie? Senang sekali akhirnya bisa berbicara dengan Anda, Pak Bastian.” Valerie nyaris pingsan. Dalam hati ia hanya bisa berteriak, “Habis sudah aku!”“Sudah lama aku tak mendengar itu.” Aldrich terkekeh seraya mengusap garis rahangnya sebentar lalu menatap Valerie dengan ekspresi penuh kenangan.Di depannya, Valerie menyipitkan mata, kemudian menggigit bibir bawahnya pelan, “Waktu itu aku benar-benar yakin kamu gigolo.”“Aku tahu. Dan jujur, aku cukup terhibur saat kamu menyodorkanku kartu kredit dan daftar permintaan tanpa ragu. Padahal kupikir aku ketahuan,” jawab Aldrich sambil tertawa kecil.Valerie menutup wajahnya dengan satu tangan, malu mengingat kejadian di Paris itu. “Astaga, aku masih tidak percaya aku melakukannya.”Aldrich menyandarkan siku di atas meja, mendekat sedikit, “Uhm, tapi mungkin jika kau tak mendekat, aku yang akan menculik kau lebih dulu.” “Bisa kau bayangkan, Aldrich? Aku menghamili gigolo-ku sendiri,” sahut Valerie dramatis, membuat Aldrich tertawa terbahak.“Kau memang pemberani, nona,” balasnya ringan.“Jadi,” katanya sambil menoleh ke Aldrich, “kamu sudah lihat beberapa pilihan gedung yang Ayah rekom
Mobil hitam yang mereka tumpangi melaju mulus di jalanan kota, kaca jendela menyaring matahari sore yang hangat. Valerie bersandar nyaman di jok kulit, jemarinya masih saling menggenggam dengan Aldrich. Ia sempat menoleh, memperhatikan pria di sebelahnya yang tampak santai tapi tetap penuh perhatian seperti biasa.Tiba-tiba, mobil melambat. Valerie mengangkat kepala, melihat ke luar jendela."Kita berhenti? Kenapa?" tanyanya heran.Mobil menepi di depan sebuah restoran bergaya klasik Eropa yang berdiri anggun di antara bangunan modern. Dinding eksteriornya dilapisi batu alam, dengan lampu-lampu gantung yang menambah kesan elegan.Aldrich hanya menoleh dengan senyum tipis. "Ya. Kita akan makan."Valerie mendengus. "Iya, aku tahu kita akan makan. Tapi kenapa harus ke tempat seperti ini?"Restoran itu terlihat seperti tempat yang biasanya hanya dikunjungi pasangan saat ulang tahun pernikahan ke-30 atau saat lamaran mewah.Aldrich mengangkat alis dan mengerlingkan satu matanya. "Kau piki
Claire menyenggol bahunya dengan ringan. “Oke, sebelum aku menangis dan mengacaukan makeup sendiri, kenapa kalian nggak ambil satu foto terakhir sebelum ganti baju?”Valerie tertawa, lalu mengangguk. Claire mengeluarkan ponsel, dan mereka pun berdiri di depan cermin besar. Valerie dengan gaun dan veil, Aldrich dengan jas gelap yang tadi dicoba untuk fitting. Keduanya berdiri cukup dekat, tapi tidak bersentuhan. “C'mon. Lebih dekat, Aldrich. Ini bukan sesi foto KTP.” Claire berkata gemas. Aldrich tersenyum dan menaruh satu tangan di punggung Valerie dengan hati-hati. Sementara Valerie sendiri tersipu, tapi tidak menghindar.Klik.Claire menatap hasil fotonya, lalu menunjukkan pada mereka. “Satu kata. Majalah wedding akan rebutan buat pasang foto ini di cover.”Valerie memelototi Claire dengan tatapan geli. “Berhenti. Kau membuatku ingin kabur dari altar.”“Terlambat, Princess. Kamu sudah dicintai orang ini sampai ke ujung dunia,” Claire menjawab sambil menepuk lengan Valerie.Aldrich
Setelah sesi fitting selesai, Valerie duduk bersandar di sofa butik sembari menghela napas panjang. Gaun telah dicoba, jas sudah pas. Hanya satu hal yang tersisa.“Aku tahu kau kelelahan, tapi ini bagian favoritku,” ucap Claire sambil menghampiri mereka dengan sebuah nampan berisi kotak-kotak kecil berwarna krem dan emas. “Aksesoris.”Valerie menegakkan punggungnya secara perlahan. “Bagian favoritmu, bukan aku,” sahutnya dengan senyum kecil.Claire tak menggubris. Ia meletakkan kotak-kotak itu di meja rendah di depan mereka, lalu membuka satu demi satu. Kalung berhiaskan mutiara, anting berlian mungil, dan bahkan tiara halus dari kristal yang memantulkan cahaya seperti bintang.“Tidak semua pengantin cocok pakai tiara, tapi kau seperti lahir untuk memakainya,” kata Claire sambil menyodorkan benda itu ke arah Valerie.Valerie memutar matanya, tapi tidak menolak saat Claire menyelipkannya ke rambutnya. Ia menatap bayangannya di cermin besar di sisi ruangan.“Lucu juga,” gumamnya sambil
“Aku tahu ini telat,” ucap Aldrich perlahan, suaranya rendah dan penuh makna. Jemarinya menggenggam tangan Valerie semakin erat. “Tapi aku ingin memberikanmu sesuatu yang spesial setiap saat.”Valerie sempat mengerutkan dahi, namun tak lama kemudian ia membeku saat Aldrich menunduk dan mengeluarkan sesuatu dari saku dalam jasnya. Sebuah kotak beludru berwarna abu-abu muda, dengan detail jahitan halus di tepinya. Tangannya yang biasanya begitu tenang kini sedikit bergetar saat membuka kotak itu di depan Valerie.Di dalamnya, bersemayam sebuah cincin berlian yang tampak begitu memukau. Cincin itu terbuat dari platinum murni yang ramping namun kokoh, memeluk sebuah batu berlian berbentuk cushion cut sebesar dua karat. Berlian itu bening seperti tetesan embun pagi, dengan kilauan yang tampak menari-nari di bawah cahaya lampu gantung butik. Di sekeliling berlian utama, terhampar barisan pavé diamond kecil yang mengelilinginya seperti bintang-bintang yang menjaga pusat semesta. Setiap de
Sementara itu, di luar ruang ganti, Aldrich duduk menunggu di kursi panjang berlapis velvet. Tangan kirinya menggenggam cangkir teh camomile yang perlahan mendingin. Matanya menatap pintu ruang ganti tanpa berkedip. Dan ketika pintu itu perlahan terbuka, waktu terasa melambat.Valerie melangkah keluar dengan perlahan dan gugup, kepalanya sedikit tertunduk sebelum akhirnya mengangkat wajah dan menatap Aldrich.Melihat pemandangan itu, langkah Aldrich pun terhenti. Ia reflek berdiri dari duduknya.“Cantik sekali,” gumamnya. Matanya menatap Valerie seolah tak percaya. Napasnya tercekat, lalu terhembus pelan. “Sayang…”Valerie memegangi sisi gaunnya dengan gugup. Tatapan Aldrich benar-benar seperti menelanjanginya. “Ini terlalu berlebihan ya? Aku kelihatan—”“Kau luar biasa!” potong Aldrich cepat, nyaris seperti kilat. “Seolah semua hal indah yang pernah kubayangkan tak ada artinya dibandingkan saat melihatmu sekarang.”Valerie menunduk, pipinya merona. “Kau selalu saja berkata manis sa