โAkhirnya sampai!โ ujar Valerie dengan nada setengah lega, setengah lelah. Matanya menatap gedung apartemen yang menjulang di hadapannya, lalu bergantian melirik ke arah Aldrich yang duduk di kursi pengemudi.Setelah makan siang bisnis yang lebih mirip ajang drama tadi, Aldrich memutuskan untuk langsung mengantar Valerie pulang. Mereka tak kembali ke kantor, dan Valerie bersumpah, ini mungkin satu-satunya kebaikan pria itu hari ini.โKau terlihat tidak rela? Apa mungkin kau enggan jauh-jauh dariku?โ goda Aldrich, menyeringai seperti biasanya. Nada suaranya santai, tapi matanya berkilat jahil, penuh kepuasan melihat ekspresi Valerie yang jelas terganggu.Valerie mendengus, lalu memutar bola matanya dramatis. โJelas-jelas aku bahagia sekali karena tidak harus bertemu denganmu setiap detik, Tuan gigolo Sempurna! Ini benar-benar kabar baik untuk kesehatan mentalku.โAldrich tertawa pelan, tampaknya justru menikmati celotehan Valerie. โAh, sungguh? Tapi mengapa aku menangkap kesan sebali
โVal!โSuara panggilan itu membuat langkah Valerie terhenti. Pagi itu, ia baru saja melangkah melewati lobi utama kantor. Penampilannya rapi seperti biasaโblazer hitam dipadu dengan blouse berwarna gading yang tersemat rapi di bawah pinggang celana panjangnya. Rambut panjangnya digerai dengan sedikit gelombang di ujung, dan sepatu hak tingginya berbunyi nyaring setiap kali ia melangkah. Valerie menoleh dan mendapati seorang pria dengan ransel yang hampir lepas dari bahunya, berlari kecil mengejarnya sambil terengah-engah. Itu Leoโdengan kemeja biru muda yang digulung hingga siku, dasi yang agak miring, dan celana bahan berwarna abu-abu. Berbeda dengan Valerie yang berasal dari tim eksekutif sebagai sekretaris CEO, Leo bekerja di divisi kreatif dan lebih sering tampil santai dibanding karyawan lain.โLeo?โ Valerie berkerut keningnya, bingung melihat pria itu berlari seperti dikejar sesuatu.โSelamat pagi, Valerie,โ ujar Leo masih sambil berusaha mengatur napasnya yang tak teratur.
[โClubbing?โ]Valerie menatap pesan yang baru saja masuk ke ponselnya dari Luna, sahabatnya. Di hadapannya, layar laptop menampilkan deretan angka-angka yang harus ia susun ke dalam laporan keuangan bulanan. Tumpukan berkas tergeletak rapi di samping laptop, sementara tangan Valerie lincah memegang pulpen, mencoret-coret beberapa angka yang perlu diperbaiki. Layar spreadsheet penuh dengan data yang perlu ia susun, dan kepalanya sudah mulai terasa penat.โHuh,โ desahnya pelan sambil bersandar sejenak di kursinya.Ia melepas kacamata baca yang bertengger di hidungnya, lalu meraih ponsel. Jari telunjuknya dengan cepat membalas pesan dari Luna. Sebelum itu, Valerie melirik kanan-kiri dengan waspada, memastikan tidak ada satu pun rekan kerja yang memperhatikannya, terutama Aldrich, bosnya yang selalu muncul tiba-tiba.โAku sibuk,โ balas Valerie singkat.Tak butuh waktu lama, layar ponselnya kembali menyala. Pesan balasan dari Luna muncul lagi dengan cepat, membuat Valerie mendecak pelan
Mobil sedan hitam itu berhenti di depan sebuah gedung modern dengan neon sign yang berkelap-kelip mencolok. Musik bass berdentum lembut, meski dari luar hanya samar-samar terdengar. Antrian orang-orang tampak memanjang di depan pintu masuk, kebanyakan dari mereka berpakaian modis, mencerminkan kehidupan malam kota yang mewah dan energik.Valerie keluar dari mobil dengan anggun, derap high heels-nya memantul di trotoar. Luna menyusul dengan langkah cepat, lalu merangkul lengan Valerie sambil tersenyum lebar. โKita pasti jadi pusat perhatian,โ bisiknya.Senyum simpul Valerie tak luntur. Dengan penuh percaya diri, ia berjalan mendekati pintu masuk. Gaun hitam mini yang ia kenakan memeluk tubuhnya dengan sempurna, mengundang lirikan diam-diam dari pria-pria yang berdiri di antrean. Sorot mata mereka mengikuti setiap gerakan Valerieโdari helai rambut yang melambai lembut, hingga lekuk kaki jenjangnya yang berpadu indah dengan high heels bertali. Namun Valerie hanya menatap lurus ke dep
โHalo?โSuara Valerie terdengar serak, diselingi tawa kecil yang samar. Sudah tiga puluh menit berlalu sejak ia mulai merasa dunia seakan berputar akibat minuman beralkohol yang ia pesan sendiri. Namun, senyum lebar tetap menghiasi wajahnya yang memerah. Valerie sedikit membungkuk, melawan keseimbangannya sendiri, saat menerima panggilan dari Aldrich.Di seberang telepon, Aldrich langsung menyadari suara musik yang memekakkan telinga. Rahangnya mengeras. Samar-samar, ia juga menangkap suara seorang pria di latar belakang.โKau mabuk?โ tanya Aldrich tajam, nada khawatir bercampur kesal.Valerie tertawa, menggoyangkan tubuhnya tanpa peduli. Sebelah tangannya menepuk pipi seorang pria yang mendadak merangkul pinggangnya. โAku tidak mabuk. Untuk apa kau bertanya?โ jawab Valerie, suaranya terdengar main-main.Aldrich menarik napas panjang, menahan amarah yang membuncah. Namun, mendengar suara Valerie yang terdengar tidak seperti dirinya, amarah itu berubah menjadi kegelisahan. Tanpa berk
โTunggu, tunggu. Hentikan mobilnya!โValerie merengek tiba-tiba saat mereka baru setengah jalan.Aldrich mengerutkan kening, mengarahkan mobil ke pinggir jalan di dekat sebuah pom bensin. Dia menoleh cepat ke arah Valerie, yang terlihat pucat sambil memegangi perutnya.โAda apa? Katakan sesuatu,โ desak Aldrich, cemas.โPerutku terasa aneh. Aku ingin muntah,โ gumam Valerie lemas.Aldrich menghela napas panjang sambil menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Dengan cepat, dia keluar dari mobil dan membuka pintu di sisi Valerie. โAyo turun, kau butuh udara,โ katanya tegas, membantu Valerie melepas sabuk pengamannya.Begitu Valerie berdiri, detik berikutnya dia langsung membungkuk dan memuntahkan isi perutnya.โHuek!โAldrich berdiri di sampingnya tanpa ragu sedikit pun. Dia meraih rambut Valerie dengan lembut agar tidak menutupi wajahnya dan mengusap punggung wanita itu dengan gerakan pelan.โRasanya tak nyaman,โ keluh Valerie di sela-sela napasnya yang berat.โTenang saja, sebentar lagi
Aldrich tidak membawa Valerie pulang ke apartemen seperti sebelumnya. Sebaliknya, pria itu membelokkan mobil sportnya ke sebuah jalan yang dikelilingi pepohonan rindang, menuju mansion pribadinya.Valerie tertegun ketika mobil memasuki area mansion Aldrich. Pagar tinggi berlapis besi dengan ornamen ukiran klasik terbuka otomatis, memperlihatkan jalan masuk lebar yang diapit oleh taman lanskap yang begitu rapi. Lampu-lampu taman tersebar dengan pencahayaan hangat, menerangi hamparan rumput hijau dan bunga-bunga berwarna-warni yang tertata sempurna.Di ujung jalan, berdiri sebuah bangunan megah tiga lantai dengan arsitektur modern klasik. Pilar-pilar tinggi menghiasi teras depan, dengan pintu utama besar yang terbuat dari kayu mahoni berukir, memberikan kesan mewah namun tetap elegan.Saat mobil berhenti di depan pintu utama, Valerie membuka mulutnya sedikit, terpana. Namun, sebelum dia sempat berkata apa-apa, beberapa maid dengan seragam rapi berbaris menyambut mereka. Para maid memb
โKau tidak ingin mencoba permen tadi?โ tanya Aldrich sambil memperhatikan Valerie yang sibuk menghabiskan minuman hangatnya.Valerie mengangkat alis, menatapnya sekilas. โPermen yang tadi? Ah, itu bukan seleraku,โ jawabnya santai.Aldrich mengangguk kecil, tapi sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk senyum yang sulit ditebak. โApa kau yakin?โ tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih menggoda.Valerie menaruh gelasnya di atas meja dengan pelan. Tatapannya kini penuh kecurigaan. โKenapa kau tersenyum seperti itu? Mencurigakan sekali,โ katanya, setengah waspada.Aldrich tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia meraba saku celananya dan mengeluarkan sesuatu. Valerie memperhatikan gerakannya dengan tatapan heran, sampai Aldrich menyodorkan sebuah permen yang tadi dia beli di supermarket.โKubilang ini bukan seleraโโ Valerie berhenti bicara. Wajahnya seketika memerah saat menyadari apa yang ia pegang. Rasa mabuk yang masih samar di kepalanya kini tergantikan oleh gelombang panas y
Aldrich menatap mall di depannya sekilas, sebelum masuk ke dalamnya. Beberapa mata langsung tertuju pada Aldrich, bahkan, secara terang-terangan menatap lapar ke arah pria itu. Aldrich tidak peduli, dia acuh. Kaki panjangnya langsung melangkah mantap memasuki supermarket di dalam mall tersebut. Bergegas menuju bagian buah impor dan lokal.โMaaf, Mas,โ ucap Aldrich mencegat petugas yang baru saja meletakkan keranjang buah di sisi pojok. Petugas itu menoleh dan tersenyum sopan. โIya, Mas? Ada yang bisa saya bantu?โ tanyanya. Aldrich mengangguk, lalu menatap cepat ke sekeliling. โSaya mau nyari buah mundu atau jawura. Di bagian mana ya?โ โMundu? Jawura?โ petugas itu mengulangi pertanyaan Aldrich seolah itu mantra asing. โMohon maaf, kami nggak ada stok itu.โAldrich mengelus rambutnya, frustrasi. โOh ya? Terima kasih, Mas.โโSama-sama, mas. Mari, permisi.โMenghela nafas panjang, Aldrich keluar dari mall, berdiri di bawah lampu jalan yang mulai redup, menatap layar ponsel.Pukul 20.0
Valerie tertawa. โAstagaโฆ aku ingat sedikit. Ayah sempat nangis juga, ya?โโIya, sambil bilang, โAnakku sudah bisa kabur dari rumah!โโ ujar Bunda menirukan suara Bastian dengan gaya dramatis, dan mereka berdua meledak dalam tawa.Halaman demi halaman Valerie buka, menemukan momen-momen kecil yang dulu hanya kabur dalam ingatan: waktu ia nyasar di taman belakang dan ditemukan tidur di bawah pohon mangga, saat menangis karena balon ulang tahunnya meletus, atau saat mencoret-coret dinding dengan krayon lalu menyalahkan โkucing tetangga.โโAkuโฆ beneran dulu segemas ini ya Bun?โ Valerie mencubit pipinya sendiri.โGemes banget, sampai bikin Bunda takut kamu cepat besar dan ninggalin Bunda,โ ucap Bunda sambil mengelus rambut Valerie.Valerie diam sejenak, menatap satu foto lama. Itu adalah fotonya dan Jennifer, masih berseragam sekolah, tersenyum sambil memegang bunga matahari yang mereka tanam bersama.Wajah Valerie perlahan berubah. Tangannya menyentuh foto itu sejenak, lalu cepat-cepat me
Tok. Tok.Ketukan lembut terdengar di pintu kamar Valerie. Suaranya disusul suara lembut yang tak pernah gagal membuat Valerie merasa seperti anak kecil lagi.โSayang, Bunda boleh masuk?โValerie yang sejak tadi hanya duduk di tepi ranjang, memeluk bantal sambil memandangi jendela, menunggu pesan dari Aldrich, menoleh pelan. Ia mengangguk meski tahu sang bunda tak bisa melihatnya.Pintu terbuka perlahan. Wanita elegan dengan balutan blouse biru pastel itu melangkah masuk, menenteng secangkir susu hangat. Senyum hangatnya muncul lebih dulu, sebelum ia duduk di sisi tempat tidur Valerie.โApa kamu merasa nyaman?โ tanya Bunda, mengusap pelan tangan Valerie.Valerie mengangguk kecil. โNyaman, Bun. Lebih dari nyaman.โTapi bundanya tahu, di balik senyuman itu, ada hal-hal yang masih mengganjal di hati putrinya.Sambil menyerahkan cangkir susu, Bunda menarik napas panjang. โKamu tahu, waktu Bunda hamil kamu dulu, Bunda juga sering menangis diam-diam.โValerie menoleh cepat, kaget.โBunda?โ
Ruang interogasi siang itu tak terlalu ramai. Hanya ada dua penyidik, satu pengacara pendamping dari pihak kepolisian, dan Aldrich yang duduk dengan ekspresi tegas di sisi kanan meja.Jennifer duduk di seberang, tangannya terikat borgol, tapi senyumnya masih setengah mengejek seperti biasa. Rambutnya diikat asal, dan tatapannya tajam menusuk ke arah Aldrich.โJadi,โ ujar penyidik, membuka catatan. โKita ingin memastikan, benar bahwa semua rencana penjebakan, pengawasan, penyebaran video tak senonoh itu berasal dari Anda?โJennifer menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menarik napas panjang, lalu melirik Aldrich sejenak. Bibirnya terangkat dalam senyum malas.โYa,โ katanya enteng. โItu semua ideku.โRuangan mendadak sunyi.Aldrich hanya memiringkan kepala sedikit, menatapnya lebih dalam. โKenapa, Jennifer?โJennifer mendecakkan lidah pelan. โKenapa? Serius nanya begitu?โIa mengangkat alis, lalu melipat tangan di atas meja. โKau tahu, dulunya aku dan Valerie itu sahabat. Bestie, begitu
โKarenaโฆ kamu sangat cantik pagi ini. Dan aku butuh waktu untuk menikmati itu tanpa disela siapa pun,โ jawabnya jujur, dengan suara rendah dan dalam.Valerie tertawa kecil, menunduk menahan senyum. โGombal!โโTidak.โ Aldrich melangkah mendekat. โKamu makin bersinar sejak hamil. Kulitmu, matamu, senyummuโฆ aku bahkan tidak yakin bisa berkonsentrasi bekerja hari ini.โValerie menegakkan dagunya, pura-pura berani. โBerarti salahku kamu jadi malas kerja?โโTentu.โ Aldrich menatap mata Valerie begitu dekat sekarang. โDan karena ituโฆโTiba-tiba, ia mencondongkan tubuhnya cepat dan mencuri satu kecupan ringan di bibir Valerie, hanya sekelebat, nyaris tak tersentuh angin.Valerie terkejut. โAldrich!โTapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Aldrich sudah menjauh setengah langkah dengan senyum tak berdosa. โApa? Aku hanya mengambil hakku sebagai tunangan.โโKalau dilihat Bunda, aku bisa dikunci di kamar sebulan!โ Valerie menepuk dada Aldrich dengan gemas, tapi rona merah sudah merayap sampai
Suara bel utama mansion menggema lembut ke seluruh penjuru rumah, membuyarkan tawa keluarga kecil itu di ruang makan.Salah satu maid segera berjalan cepat menuju pintu depan. Tak lama, ia kembali sambil tersenyum, membungkuk sedikit kepada Valerie.โMaaf, Nona Valerieโฆ ada tamu. Tuan Aldrich sudah tiba.โWajah Valerie seketika berubah. Matanya membulat kecil. โHa? Aldrich?โSebelum ia bisa berdiri dari kursinya, langkah-langkah mantap terdengar mendekat. Di ambang ruang makan yang luas dan berlapis marmer itu, Aldrich muncul, membawa sebuket bunga peony berwarna putih kekuningan yang indah, dengan satu kantong kertas berisi botol minuman herbal yang tampaknya dikemas dengan cantik.โPagi semuanya.โ Suaranya rendah dan tenang, tapi senyumnya penuh kelembutan, terarah hanya pada satu orangโValerie.Valerie yang semula bersandar santai kini duduk lebih tegak. Wajahnya langsung merona. Tangannya refleks menyentuh pipinya yang terasa hangat, lalu menatap Aldrich dengan cemberut malu-malu
Begitu ia menginjak lantai marmer utama, aroma masakan segar langsung menyergap lebih kuat. Valerie menuju ruang makan, dan saat pintu geser dibuka oleh seorang pelayan lain, matanya langsung dimanjakan oleh pemandangan yang menggugah selera.Ruang makan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan lampu kristal utama bergaya baroque menggantung anggun di tengah ruangan. Meja makan panjang dari kayu walnut mengkilat ditata sempurna dengan taplak putih bersih dan peralatan makan perak. Di tengah meja, berjejer aneka masakan yang menggoda. Omelette keju, salmon panggang, salad buah segar, aneka roti dan croissant hangat, potongan alpukat dan telur rebus, bubur ayam kampung, serta teh melati dan kopi hitam yang masih mengepul.Di ujung meja, sang ayah, Bastian, sudah duduk santai dengan koran pagi terbuka di depan wajahnya, namun begitu Valerie masuk, ia menurunkannya dan langsung tersenyum lebar.โLihat siapa yang akhirnya bangun!โ serunya sambil berdiri. โNak, daddymu curiga, bundamu s
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai kamar Valerie, menyapu lembut wajahnya yang tenang dan sedikit mengantuk. Kulitnya tampak lebih bercahaya dari biasanya, dengan pipi yang merona alami, sebuah pesona baru yang muncul sejak ia mengandung. Rambutnya yang sedikit berantakan justru membingkai wajah ovalnya dengan manis, membuatnya terlihat semakin menawan meski baru saja terbangun.Ia mengenakan daster satin berwarna lembutโbiru muda dengan renda tipis di bagian lengan dan kerah. Bahannya yang jatuh mengikuti lekuk tubuh membuatnya tampak anggun meski dalam kesederhanaan. Valerie menggeliat pelan di atas ranjang, lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.Senyuman tipis langsung mengembang di wajahnya begitu layar menyala, ada notifikasi dari Aldrich.Aldrich [07.02 AM]:Pagi, sayang. Sudah bangun?Valerie mengetik dengan cepat, senyumnya makin lebar.Valerie [07.03 AM]:Sudah. Tapi belum mandi. Masih mager di kasur.Kenapa tidak bangunkan aku langsung saja?
Malam telah turun dengan damai, membungkus mansion megah milik keluarga Bastian dalam kehangatan yang elegan. Di ruang makan utama, cahaya lampu gantung berkilau keemasan, memantulkan bayangan hangat di dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan klasik.Di meja makan panjang yang ditata rapi dengan peralatan makan mewah berlapis emas, duduklah Valerie, Aldrich, Bastian, dan sang Bunda. Wanita anggun itu mengenakan blus sutra krem yang memancarkan ketenangan, duduk di samping suaminya dengan tatapan penuh cinta pada anak semata wayangnya.Makan malam berlangsung dalam obrolan ringan dan senyum yang tak putus-putus. Sampai akhirnya Valerie meletakkan garpunya perlahan, menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi hangat yang terselip gugup.โAyah, Bundaโฆโ ucap Valerie lirih. โAku ingin memberitahu sesuatu.โBunda Valerie segera menatap putrinya itu dengan lembut. โApa, sayang?โValerie meraih tangan ibunya, lalu melirik Aldrich yang duduk di sebelahnya, memberi anggukan kecil penuh duku