Malam itu, Michaela meringkuk di atas kasur yang usang. Matanya terbuka lebar, menatap kosong pada langit-langit yang tampak kusam.
Dalam kegelapan kamar, hanya ada suara napasnya yang teratur dan sesekali gemerisik angin dari luar. Ia berusaha menahan tangis, tapi air matanya hampir menetes. Ia tak ingin Ace atau siapa pun mendengarnya menangis. Dia tak ingin terlihat lemah, terutama di depan pria yang telah menculiknya ini.
Hatinya terasa sangat berat. Segala ketakutan dan kesedihan yang ditahan sejak ia dibawa ke tempat ini, kini menyeruak dalam keheningan malam. Ia merindukan rumahnya—suara lembut ibunya yang memanggil namanya, aroma masakan hangat yang selalu menyambutnya setiap pulang, dan sentuhan lembut ibunya di rambutnya setiap malam sebelum tidur. Ia bahkan merindukan suara langkah kaki ayahnya di lorong, dan kehadiran Ryan, tunangannya, yang selalu memastikan dia aman.
Michaela menggigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis yang ingin keluar. Ia memejamkan mata, berharap semua ini hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir.
"Aku sangat merindukanmu, Mom," gumamnya pelan dalam hati. "Aku ingin pulang... aku ingin kembali ke rumah kita. Aku tidak bisa... aku tidak bisa hidup seperti ini."
Air mata akhirnya mengalir di pipinya, tapi ia tetap diam, hanya bisa meringkuk lebih erat di bawah selimut tipis yang tak cukup hangat untuk melindunginya dari rasa dingin di dalam dirinya.
Sementara itu, di dapur, Ace baru saja selesai menyiapkan makan malam. Meskipun tempat ini jauh dari kata mewah, Ace masih bisa memasak dengan cukup baik.
Ia menata makanan dengan telaten di atas meja kayu tua, mencoba menghadirkan sedikit kehangatan dalam suasana yang suram ini.
Ace memandangi hasil masakannya sejenak. "Tidak buruk," gumamnya kepada dirinya sendiri, merasa sedikit puas. Di tengah kekacauan dan kerumitan hidupnya, menyiapkan makanan sederhana ini memberinya sedikit rasa normalitas, sesuatu yang sangat langka dalam kehidupannya.
Setelah memastikan semuanya siap, Ace melangkah ke arah kamar Michaela. Dia mengetuk pintu dengan lembut, memanggil nama gadis itu. "Michaela, makan malam sudah siap."
Tidak ada jawaban dari dalam kamar.
Ace menunggu sejenak, lalu mencoba lagi. "Michaela?"
Keheningan tetap menyelimuti. Ace merasakan ada yang tidak beres. Meskipun gadis itu sering menolak berbicara dengannya, biasanya dia akan memberi tanda kecil seperti batuk atau desahan yang menandakan bahwa dia mendengar.
Dengan hati-hati, Ace membuka pintu kamar itu. Pintu itu berderit pelan saat terbuka, memperlihatkan sosok Michaela yang meringkuk di atas kasur. Lampu di kamar hanya menyala redup, memberikan bayangan lemah di dinding.
Ace melihat gadis itu berbaring memunggunginya, tubuhnya tampak gemetar di bawah selimut tipis.
"Michaela?" panggil Ace dengan nada lebih lembut, mendekat ke ranjang. Ia duduk di tepi ranjang, tangannya menyentuh lengan Michaela dengan hati-hati.
Michaela tidak bereaksi. Ia tetap diam, bahkan tidak bergerak sedikit pun. Ace mulai merasa khawatir. Ia menyentuh dahi Michaela dengan punggung tangannya, merasakan panas yang tidak normal. "Sial," desis Ace pelan. "Kau demam."
Michaela tetap tak bergerak, matanya masih terpejam. Ace bisa merasakan bahwa suhu tubuhnya terlalu tinggi. Ini bukan hanya demam biasa—gadis ini benar-benar sakit.
"Aku harus melakukan sesuatu," gumam Ace. Meskipun dia tidak tahu banyak tentang merawat orang sakit, dia tahu bahwa Michaela membutuhkan bantuan segera.
Ace berdiri dan bergegas ke dapur, mencari sesuatu yang bisa menurunkan demam Michaela. Dia menemukan kain bersih di salah satu laci, kemudian merendamnya dalam air dingin dari keran dapur.
Kembali ke kamar, Ace menempelkan kain basah itu di dahi Michaela, berharap ini bisa sedikit membantu menurunkan panasnya.
Michaela mengerang pelan saat kain dingin menyentuh dahinya, tapi dia tidak membuka mata. Ace merasa lega melihat sedikit reaksi dari gadis itu, tetapi ia tahu itu tidak cukup. Dia harus lebih cepat bertindak.
Ace kembali ke dapur, membuka lemari kecil yang ada di sudut ruangan. Setelah mencari beberapa saat, ia menemukan obat penurun demam yang masih tersisa. Ia mengambil segelas air dan kembali ke kamar Michaela.
Dengan hati-hati, Ace membangunkan Michaela. "Michaela, kau harus minum ini," ucapnya pelan.
Michaela membuka matanya perlahan, matanya tampak kabur dan lelah. "Apa... apa yang kau lakukan?" suaranya serak, nyaris tidak terdengar.
"Kau demam tinggi. Minumlah ini," Ace menyodorkan obat itu padanya, mencoba terdengar setenang mungkin. Michaela menatapnya dengan bingung, tetapi ia terlalu lemah untuk menolak. Dengan susah payah, ia menelan obat itu dan meminum air yang diberikan Ace.
Setelah memastikan Michaela meminum obatnya, Ace menarik selimut lebih rapat di sekeliling tubuh gadis itu. "Tidur saja, aku akan menjagamu," katanya sambil duduk di kursi di dekat ranjang.
Michaela memejamkan mata kembali, napasnya mulai stabil meskipun tubuhnya masih gemetar.
Dalam kegelapan malam, Ace duduk diam di sana, matanya tak pernah lepas dari sosok Michaela yang berbaring lemah. Ia belum pernah merasa seperti ini sebelumnya—perasaan aneh yang muncul dalam dirinya saat melihat gadis ini sakit. Ini lebih dari sekadar tanggung jawab; ada sesuatu yang lebih mendalam, sesuatu yang tak bisa dia ungkapkan.
Sambil duduk di sana, Ace kembali teringat saat pertama kali ia melihat Michaela. Gadis itu begitu kuat, penuh semangat, bahkan dalam situasi yang paling menakutkan sekalipun. Namun sekarang, dia tampak begitu rapuh, dan Ace tidak bisa mengabaikan keinginan untuk melindunginya, meskipun dia sendiri tidak sepenuhnya mengerti mengapa.
"Jangan khawatir, kau akan baik-baik saja," bisik Ace pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Michaela. Dia tahu gadis itu tidak bisa mendengarnya, tetapi entah kenapa, mengucapkan kata-kata itu membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
Malam itu berlalu dengan keheningan yang berat, di mana hanya ada dua jiwa yang berbeda—satu yang terluka dan yang lain yang sedang menemukan sisi dirinya yang belum pernah ia sadari.
Dan di dalam hati Ace, muncul pertanyaan yang belum bisa ia jawab: Apa yang sebenarnya dia rasakan terhadap gadis ini? Dan apakah ini akan mengubah segalanya?
Sementara itu, Michaela tenggelam dalam tidur yang tak tenang, pikirannya melayang kembali ke kenangan rumah, merindukan suara ibunya yang lembut.
Tapi di bawah lapisan ketakutannya, ada rasa hangat aneh yang ia rasakan setiap kali Ace berada di dekatnya—sesuatu yang tidak ingin ia akui, namun tidak bisa ia tolak.
Michaela menatap ke luar jendela, melihat jalanan yang semakin sunyi. Mobil yang dikemudikan Max dan temannya melaju dengan kecepatan konstan.Di sampingnya, Max diam, jarang bicara, namun sorot matanya tetap penuh amarah, kecewa, dan kekhawatiran.Michaela merasa berat harus berpisah dengan Ace, tapi situasi ini tidak memberinya pilihan lain."Aku tidak pernah mengira kau akan terlibat sejauh ini, Michaela," Max membuka percakapan, suaranya serak, seperti menahan gejolak emosinya.Michaela hanya diam, menggigit bibir bawahnya. Rasa sakit karena harus meninggalkan Ace masih begitu terasa.Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi rasanya terhalang oleh jarak yang kini memisahkan mereka."Max," ucap Michaela akhirnya, "Ace tidak seperti yang kau pikirkan. Dia hanya mencoba melindungiku."Max menoleh dengan cepat, tatapannya tajam. "Melindungimu? Dengan membawamu pergi tanpa sepengetahuan kami? Dengan mempertaruhkan nyawamu?""Ace tidak bermaksud begitu," jawab Michaela cepat, "Dia han
Jip tua Ace melaju tenang di jalan yang mulai ramai. Di dalam mobil, suasana begitu hening.Michaela sesekali melirik ke arah Ace, tapi tak berani berbicara banyak.Pikirannya berputar, memikirkan banyak hal, terutama tentang perasaannya terhadap pria yang baru saja ia kenal lebih dekat.Ace fokus pada jalanan di depannya, namun sesekali ia melirik Michaela yang tampak resah di sampingnya. Dalam hatinya, ia bisa merasakan perubahan pada gadis itu, meski tak ada yang diucapkan secara terbuka.Michaela akhirnya memberanikan diri berbicara, meskipun ragu. “Ace... Mobil ini, apa tidak pernah terpikir untuk menggantinya dengan yang lebih baru?” tanyanya pelan.Ace menoleh sedikit, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Tidak, mobil ini penuh kenangan. Terlalu berharga untuk diganti.”Michaela terdiam sejenak, mengangguk pelan. Ia memahami, jawaban Ace tak sekadar tentang mobil tua itu, tapi juga tentang betapa dalam pria ini memaknai hal-hal di sekitarnya. Ada ketulusan yang membuatnya semaki
"Dan bagaimana kau bisa berada di sini, Damian?" tanya Ace, suaranya terdengar datar. Matanya menatap Damian tanpa emosi.Damian hanya tertawa kecil, menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Michael yang menyuruhku. Dia bilang sedang sibuk dengan urusan penting, jadi dia memintaku menggantikan dia. Lagipula, Ace, kita sudah lama tidak bertemu, bukan? Aku yakin kau pasti merindukanku," katanya sambil tersenyum menggoda.Ace hanya menggelengkan kepalanya pelan, wajahnya menunjukkan sedikit kelelahan. "Kau selalu saja. Sama sekali tidak berubah," jawabnya, mencoba menahan tawa kecil yang ingin keluar.Damian tersenyum lebar, puas dengan reaksinya. "Kau tahu, Ace, hidup ini terlalu singkat untuk bersikap serius sepanjang waktu," katanya sambil mengangkat bahu.Michaela yang sejak tadi menyaksikan percakapan mereka akhirnya ikut angkat bicara. "Sudahlah, Ace. Kalian tak perlu berdebat. Lebih baik kita kembali sekarang," katanya dengan lembut, mencoba melerai perbincangan mereka.Lalu, dia ber
Michaela mendekat, langkahnya pelan namun penuh keyakinan. "Aku tidak mau pergi," ucapnya dengan suara serak, matanya menatap Ace dengan tegas.Ada getaran dalam suaranya, namun bukan karena takut, melainkan karena perasaan yang mendesak dari dalam dirinya.Ace mengalihkan pandangannya. Ia tahu hatinya telah lama terperangkap oleh gadis ini, tapi tidak pernah berani mengakuinya. "Aku akan mengantarmu," jawabnya pelan, nyaris berbisik, lalu berbalik, mencoba menahan emosi yang berkecamuk.Namun Michaela tak mau menyerah. "Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Ace!" teriaknya, suaranya pecah oleh tekad dan rasa frustrasi.Ace berhenti sejenak. Tubuhnya menegang, dia bisa merasakan kemarahan bercampur dengan ketakutan di balik kata-kata Michaela. Dengan berat hati, ia memutar tubuhnya kembali.Dalam sekejap, Michaela menarik kaos Ace dengan kuat, membuat pria itu terhuyung mendekat. Tanpa memberikan kesempatan untuk protes, Michaela langsung menyambar bibir Ace, menyatukan mereka dalam cium
Ace turun dari jipnya dengan kemarahan yang mendidih. Langkahnya cepat dan tegas saat mendekati rumah tua yang tampak reyot di depannya.Pikirannya hanya terfokus pada satu hal: menyelamatkan Michaela, apapun risikonya.Di dalam rumah, Michaela duduk terikat di kursi kayu, tubuhnya lelah dan tak berdaya. Mulutnya tersumpal kain, membuatnya tak mampu berteriak meskipun keputusasaan menyelimuti dirinya.Para penculik terus berbincang, tertawa, seolah tak ada yang akan menghentikan mereka.“Hahaha, setelah ini, kita akan hidup mewah dengan uang tebusan itu,” ucap Mat, pria bertato, tertawa keras sambil menenggak minuman keras. “Aku akan pergi ke luar negeri dan menikmati hidup dengan gadis-gadis cantik!”Pria lain menimpali dengan tawa kasar. “Aku juga! Sudah lama aku tidak menyentuh tubuh wanita. Mungkin sebelum kita ambil uangnya, gadis ini bisa jadi hiburan.”Michaela mendengar percakapan itu dan hatinya tenggelam dalam ketakutan yang luar biasa. Tubuhnya gemetar, keringat dingin meng
Di dalam mobil yang melaju cepat, suasana penuh dengan aroma keringat dan asap rokok. Seorang pria bertubuh besar, bertato di lengan dan lehernya, duduk dengan angkuh di kursi penumpang depan. Kaos hitam ketat membungkus tubuh kekarnya, sementara kepalanya yang botak bersinar terkena cahaya dari luar.“Hahaha, bagus! Kita akan jadi milyarder sebentar lagi,” ucap pria itu sambil menatap pria lain di sampingnya, yang tengah menenggak minuman keras dari botol plastik.“Kau benar! Tidak sia-sia kita mencarinya. Hahaha, kita akan jadi milyarder!” sahut pria satunya dengan suara serak, botol di tangannya hampir kosong.Di kursi belakang, Michaela meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Tangan dan kakinya terikat erat, dan mulutnya tersumpal kain yang membuat setiap suara protesnya berubah menjadi rintihan tertahan. Wajahnya basah oleh air mata, tubuhnya gemetar tak terkendali. ‘Ace... tolong aku,’ hatinya merintih dalam kesunyian, matanya terpejam mencoba mencari ketenangan di tengah rasa t