Tepat jam 08.30 pagi supir keluarga Mahawira mengantar Mentari dan Rakhan ke Bandara. Mentari duduk dengan tegang di jok penumpang di samping Rakhan. Perjalanan menuju bandara yang diselimuti kesunyian terasa sangat panjang dan lama. Mentari bersabar tidak mengeluarkan kata-kata sampai mereka tiba di bandara. Ia tidak mau bertengkar dengan Rakhan.
Menarik sendiri kopernya, Rakhan berjalan meninggalkan Mentari yang kesulitan membawa koper hingga harus dibantu supir mereka. Mentari sendiri merasa pegal hati lantaran ia harus menahan perasaan kesalnya sampai mereka tiba di konter check-in penerbangan domestik.
Setelah urusan check-in selesai dan mendapatkan boarding pass, tujuan utama pe
“Oh, iya, Pak. Anda tidak perlu melakukan proses check-in. Kami telah mengurus semuanya sesuai instruksi Pak GM,” jelas Eduardo.Eduardo membawa Rakhan dan Mentari memasuki lobi, sementara bellboy yang bersama Eduardo membawakan koper pasangan itu. Ingin menunjukkan sisi terbaik lobi hotel mewah tersebut, Eduardo meminta Mentari dan Rakhan mengikuti langkahnya ke balkon lobi. Di sana mereka dipersilakan duduk di sofa tamu, sementara Eduardo mengambil kunci kamar di meja resepsionis.Mata Mentari dimanjakan oleh pemandangan alam yang menyejukkan di tengah panasnya cuaca pulau yang terletak di ujung barat provinsi NTT tersebut. Hamparan laut biru dengan pulau kecil bernama pulau Kukusan yang dikelilingi kapal-kapal membuat tatapan Mentari enggan beralih. Selama beberapa saat Mentari terhipnotis oleh panorama yang memikat. Namun, Mentari kemudian
Serta merta Mentari bangkit dari duduknya. Tatapannya tertuju pada sosok pria yang berjalan melintasi area dining beberapa saat lalu. “Ya, Tuhan. Arya!”Mentari membuka sling bag-nya, lalu mengambil tiga lembar uang seratus ribuan dan meletakkan di bawah gelas berisi air putih. Ia berlari mengejar pria itu hingga kembali ke lobi. Sayangnya, ia kehilangan pria itu di antara serombongan pengunjung yang baru memasuki hotel tersebut.“Arya ....” Mentari menekan dada dengan satu tangan berusaha mengatur napasnya yang tersengal. Ia yakin kalau pria yang baru saja dilihatnya adalah Arya. Aku tidak mungkin salah lihat.
“Aku hanya memperingatkanmu. Kalau kau macam-macam, kau akan merasakan bagaimana rasanya bercinta sampai tak bisa berjalan. Paham?!” Rakhan berusaha membelokkan arah pemikiran Mentari.Mentari mendelik. “Ancaman macam apa itu? Dasar sinting!”“Atau kau ingin kutelanjangi sekarang dan merasakannya?” Rakhan kembali melontarkan intimidasinya.Mentari menelan ludah dengan susah payah. Rakhan tampak serius dengan ucapannya. Mentari menarik wajahnya menjauh dari wajah Rakhan. Dari kemarin malam hingga sore ini, Rakhan sudah berkali-kali menciumnya. Bulu kuduknya meremang. Desir rasa takut kalau Rakhan akan menjadikan nyata ancamannya mengalir hingga ke seluruh pembuluh nadi.“T-tidak mau ....” Mentari menggeleng. Napasnya s
Mentari merasakan bumi berguncang dan suara Rakhan yang memanggil namanya terdengar semakin nyata. Ia pikir sedang berada di tengah bencana alam yang sedang melanda. Namun, serpihan kesadarannya sedikit demi sedikit menyatu dan membuat Mentari terjaga. Mata Mentari terbelalak saat mendapati Rakhan sudah duduk di tepi tempat tidur sambil memandanginya. Ia segera bangkit untuk duduk.“Sedang apa kau?” Mentari bertanya kepada Rakhan dengan suara sedikit parau sambil beringsut ke punggung tempat tidur.Rakhan mengernyitkan dahi. Bukan karena merasa heran, melainkan Rakhan merasa terusik. Rakhan merasa Mentari sedang menuduhnya melakukan sesuatu yang buruk. Ia kemudian menatap Mentari dengan mata menyipit.“Sedang apa?!” Nada suara Rakhan menandaskan ketersinggungan. “Aku sedang
Mentari memalingkan pandangan ke jendela. Ia hanya mengungkapkan ganjalan di hatinya. Namun, ia tidak bisa memungkiri jika Rakhan punya akses untuk terhubung dengan orang-orang yang ahli di bidang itu dan mampu membayar mereka. Sampai bulan menggantikan matahari dan langit menjadi gelap, Rakhan masih belum menyerah untuk membuktikan usahanya kalau ia memang berniat mencari Arya. Terlepas dari benar atau tidaknya pria yang dilihat Mentari adalah Arya, ia sudah melakukan usaha terbaik versi dirinya. Beberapa hotel, dari yang berbintang hingga ke penginapan sekelas losmen, sudah mereka datangi. Namun, mereka masih harus bersabar. Beberapa pria bernama Arya yang sempat mereka temui pun, bukanlah Arya yang mereka maksud. Berupaya menemukan Arya di tengah kota asing bagai mencari jarum di tumpukan jerami. “Kita akan melanjutkan pencarian ini besok,” cetus Rakhan beberapa saat setelah laju mobil berhenti di parkir basemen hotel tempat mereka menginap.“Tidak perlu,” jawab Mentari pelan da
Mentari membiarkan suasana kamar gelap gulita. Rasa sedih yang terus mengancam kekuatannya, mencegah Mentari untuk beranjak dari peraduan. Mentari terpuruk dalam lemah di tengah derai air mata di atas ranjang sampai Rakhan masuk dan menyalakan lampu. Penasaran dengan suara isak tangis yang berdengung di telinga, Rakhan memberanikan diri melongok ke area tempat tidur. Ia sengaja tidak menyalakan lampu. Cahaya temaram cukup untuk matanya melihat Mentari yang sedang menangis. Rakhan memberanikan diri duduk di tepi ranjang memunggungi Mentari.“Kalau kau masih penasaran, kita akan mencari pacarmu lagi besok,” cetusnya.Beberapa saat Rakhan menunggu, tidak ada reaksi dari Mentari. Hanya suara tangis Mentari yang menjadi nada tunggu paling dramatis yang pernah ia dengar. Rakhan kemudian menoleh ke belakang. “Tari—““Aku jahat,” sela Mentari dengan suara sedikit serak. “Aku egois karena aku memaksanya menuruti semua kemauanku untuk kawin lari. Aku sudah mematahkan harapan seorang ibu yang be
Belum habis keterkejutannya akan perpindahan posisi tidur dan busana yang dikenakan Rakhan, Rakhan tiba-tiba membuka mata. Ia mengernyit sambil mengucek mata. “Sedang apa kau di sini?”Mentari menelan ludah. Ia sedikit gugup. “B-bukankah semalam aku yang tidur di sofa?”Rakhan bangkit. Ia menurunkan kaki ke lantai sementara punggungnya ia sandarkan ke punggung sofa. Kedua tangannya menggenggam kepalanya sendiri untuk melepas pusing efek beru bangun tidur. “Aku pulang, kau sudah tidur di ranjangku,” tutur Rakhan.“Oh, iya?”“Kau pikir aku kurang kerjaan memindahkanmu dari sofa ke ranjang? Siapa kau sampai aku harus melakukan itu?” sangkal Rakhan dengan nada pedas.Mentari memberengut. Mungkin ia yang lupa karena mustahil Rakhan bisa sebaik itu, memindahkannya dari sofa ke ranjang. Mentari berusaha memercayai keterangan Rakhan. “Cepat mandi sana! Perjalanan ke rumah orang tua pacarmu itu cukup memakan waktu.” Rakhan mengingatkan Mentari akan rencana mereka. “Iya!” Mentari membalas de
Mentari hampir tidak memercayai fakta yang ia dapatkan, tetapi kemungkinan besar cerita Pak RT itu benar. Ia tahu siapa ayahnya. Ayahnya bisa melakukan apa saja untuk terbebas dari segala tudingan. Cucuran air mata mengunci mulut Mentari di sepanjang perjalanan pulang. Duduk di sampingnya, Rakhan pun tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa memberikan tisu untuk menyeka air mata Mentari. Keinginannya untuk merengkuh Mentari dan membiarkan wanita itu menangis di pundaknya, dalam dekapan, terhalang oleh kekhawatiran yang begitu besar. Rakhan khawatir adanya penolakan. Rasa yang sangat tidak biasa. Ia tidak pernah membiarkan dirinya tenggelam dalam rasa cemas menghadapi keinginan yang menggebu. Apa yang menjadi inginnya, akan ia lakukan tanpa pertimbangan terlebih dahulu. Beberapa hari ini Mentari telah membuatnya menjadi lemah, penuh pertimbangan, dan bodoh. Rakhan merasa ia sedang dimanfaatkan Mentari untuk membantunya mencari Arya, tetapi Rakhan suka.Suka? Rakhan mengerjap menyad