Satu kebohongan akan menciptakan kebohongan lain yang lebih besar dan rumit. Mentari sadar apa yang ia katakan pada Edo dan Mike perlahan, tapi pasti bisa menjadi bumerang yang berbalik menghajarnya. Namun, Mentari tidak bisa memaparkan kenyataan pada semua orang bahwa ayahnyalah yang menjadi dalang kehancuran hidupnya. Ia butuh waktu untuk melakukannya. Saat ini tak seorang pun mendukungnya. Ia seperti yatim piatu yang sedang berjuang sendirian menghadapi kerasnya hidup.
Dari ujung koridor, Mentari hanya bisa memandangi pintu kelasnya. Gertakan Edo dan kawan-kawan telah menciutkan nyalinya untuk melewati pintu berwarna cokelat itu.
"Kenapa lo nggak masuk?" Suara bening dan lembut yang familier di telinga Mentari secara otomatis memacu jantung wanita itu untuk berdegup lebih kencang.
Mentari tidak tahu apa yang harus ia lakukan atau ke mana ia harus menolehkan wajahnya. Ia sudah bisa menduga apa yang akan dilakukan pemilik suara itu selanjutnya. Semua teman-temannya sudah menghakimi, mungkin, tak terkecuali dengannya.
"Arya belum pernah datang ke kampus lagi sejak dia memutuskan pergi sama elo tempo hari." Penjelasan yang tenang dan jauh dari nada menghakimi memberi Mentari sedikit keleluasaan untuk menarik napas lebih dalam. Ia sudah salah menduga.
Mentari akhirnya berani menoleh dan menatap gadis berambut hitam yang diikat membentuk ekor kuda yang kini telah berdiri di sampingnya. Ia lantas memosisikan dirinya berdiri berhadapan dengan gadis itu. "Gue tahu, Sri."
"Jadi, elo tahu Arya—"
"Nggak," potong Mentari seolah ia tahu apa yang akan ditanyakan Sri.
Sri meraih tangan Mentari lalu menarik teman baiknya itu ke samping tangga, tempat yang cukup tenang dan sedikit bebas dari lalu lalang para mahasiswa.
"Arya ke mana?" tanya Sri dengan suara yang sengaja dipelankan.
Mentari menggeleng. Ia tidak punya alasan untuk berbohong kepada Sri, tetapi ia dihantui rasa takut yang besar. Mentari sudah kehilangan Arya dan ia tidak mau kehilangan semua orang yang ia sayangi. Meskipun ayahnya lebih layak disebut monster, namun hanya pria kejam itu yang Mentari punya.
"Kalian putus di tengah jalan? Kenapa?" Sri mengasumsikan sendiri alasan Mentari tidak datang bersama Arya.
"Nggak, Sri."
"Terus kenapa?"
Desakan Sri menimbulkan ketakutan yang lain bagi Mentari. Wanita itu cemas rasa percayanya kepada Sri akan membuka mulutnya sendiri untuk berterus terang.
"Sri, gue harus pergi." Akhirnya Mentari mengambil keputusan yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Bukan untuk menghindar, hanya untuk menjauh sementara waktu sambil memikirkan jalan keluar. Ia berharap bisa menemukan Arya sebelum pernikahannya dengan Rakhan dipublikasikan ke seantero jagad raya dan persoalan menghilangnya Arya menjadi polemik baru dalam hidupnya.
"Elo mau ke mana? Elo bisa cerita ke gue kalau ada apa-apa, Tari."
"Gue bakal cerita tapi nggak sekarang." Mentari celingukan memeriksa suasana di sekitarnya.
"Tari ...."
Mentari kembali memandang ke arah Sri. Keinginan yang sangat besar untuk bercerita pada Sri justru semakin meremas-remas hatinya. Ia percaya pada Sri, tapi ia tidak tidak memercayai orang-orang di sekitar gadis lugu itu.
"Gue janji akan cerita semuanya, Sri. Gue pergi ya." Mentari berbalik meninggalkan Sri. Ia bahkan tidak mengacuhkan panggilan Sri yang memenuhi koridor kampus.
Menahan rasa sakit yang menusuk-nusuk hati dan air mata yang terus memaksa untuk mengalir, Mentari mengendarai mobil keluar dari area kampus dan terus melaju tak tentu arah. Sampai akhirnya ia merasakan dadanya hampir meledak, Mentari menghentikan laju mobilnya di bahu jalan. Ia membiarkan semua kesedihan menyerang, menghantam, dan meruntuhkan pertahanannya. Ia meluapkan perasaan nyeri yang menggerogoti hati dan seluruh tubuhnya dengan menangis.
Sebuah ide melintas di kepala Mentari beberapa menit kemudian. Ia tidak akan menemukan Arya kalau ia tidak berusaha mencari Arya lebih jauh. Mentari melajukan kembali mobilnya. Kali ini dengan arah yang pasti. Gerbang Tol Tebet menjadi opsi lintasan pertama ke mana ia harus mencari Arya.
Menyusuri jalan bebas hambatan selama lebih dari tiga puluh menit dan bergelut dengan kepadatan arus lalu lintas di jalan protokol berikutnya, akhirnya Mentari tiba di tempat terakhir kali ia bersama Arya. Perasaan tenang yang ia coba bangun kembali nyatanya tidak bisa mencegah tangan dan seluruh tubuhnya berhenti gemetaran. Trauma itu jelas masih ada dan Mentari tidak akan pernah lupa bagaimana orang-orang kepercayaan ayahnya memperlakukan Arya. Ingatan kejadian siang itu bersama Arya melumpuhkan gerak motoriknya hingga Mentari merasakan lemas yang luar biasa. Ia tidak berdaya di kursi kemudi. Air matanya kembali meleleh dan membasahi wajah. Pelan-pelan, pandangannya semakin buram dan merubah menjadi gelap.
***
"Arya ...." Mentari mengucapkan dengan lirih satu-satunya nama pria yang terpahat di hatinya. Matanya terbuka perlahan-lahan dan mendapati dirinya tidak lagi berada di balik kemudi. Sekuat tenaga Mentari berusaha bangkit untuk duduk dan ketika selimutnya turun ke pangkuan, ia tahu seseorang sudah mengganti baju yang dikenakannya pagi tadi dengan baju tidur berbahan satin dan bermodel chemise. Jenis baju tidur yang sangat tidak ingin ia kenakan. Pemandangan yang ia lihat kemudian membuatnya ingin menjerit. Ia sudah kembali ke kamarnya di rumah keluarga Mahawira. Hati dan harapannya kembali patah.
"Untuk apa kau pergi ke kampung nelayan itu?"
Tanpa menoleh kepada si penanya, Mentari yakin jika Rakhan sudah menunggunya untuk bangun dan diinterogasi. Mentari menunduk dan tidak berniat menjawab pertanyaan pria itu.
"Aku bertanya padamu, Mentari." Rakhan menandaskan dengan nada geram.
Mentari memberanikan diri mengangkat kembali wajahnya. Ia tidak perlu repot-repot mencari keberadaan Rakhan karena pria itu telah berdiri di depan ranjangnya. Kedua tangan Rakhan terkubur dalam saku celana dan matanya menatap tajam Mentari. Pria yang masih mengenakan setelan kantor itu jelas sekali sedang berusaha menekan Mentari agar ia mau bicara.
"Aku tidak perlu menjelaskan apa-apa kepadamu." Suara Mentari terdengar sedikit serak tapi cukup jelas di telinga Rakhan.
Rakhan mendesah kesal. "Aku tidak percaya ayahku menikahkanku dengan gadis ingusan yang sok pintar."
"Aku pun tidak merasa senang menjadi istrimu."
"Tidak satu pun dari kita yang diuntungkan oleh pernikahan sialan ini."
"Lantas, kenapa kau berlagak peduli padaku? Kau bisa membiarkanku tetap di sana, di kampung nelayan itu."
"Aku tidak peduli padamu," tepis Rakhan. Ia melangkah mendekat ke tempat tidur hingga ujung sepatu hitamnya yang berkilat nyaris menyentuh kaki dipan jati tersebut. "Aku peduli pada harga diriku," lanjutnya.
Mentari mengangkat sebelah ujung bibirnya dan mengeluarkan desis mencemooh. "Pengalihan isu yang bagus."
Setelah kejadian siang tadi, Rakhan merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya. Namun, sebagian dari dirinya tetap merasa gelisah. Setibanya di rumah, ia mendapati Mentari yang sedang duduk di ruang tamu sedang menidurkan Arga di pangkuannya. Kehangatan yang terpancar dari pandangan Mentari selalu menjadi penghiburan bagi Rakhan, meskipun malam itu ia tahu bahwa berita yang akan disampaikannya bukanlah sesuatu yang ringan.Rakhan melepas jasnya dan berjalan mendekati Mentari. Ia mengecup bibir Mentari, lalu dahi Arga. Semampunya Rakhan mencoba tersenyum seakan-akan tidak ada yang terjadi. Namun, Mentari tahu ekspresi Rakhan tidak seperti biasa. Wanita itu bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal dari cara Rakhan menatapnya.“Kau baik-baik saja?” tanya Mentari penuh kuriositas sambil menepuk-nepuk paha Arga yang mulai tertidur pulas. Tatapannya penuh dengan kekhawatiran meski ia berusaha terlihat tenang.Rakhan mengambil napas dalam-dalam, lalu duduk di sebelahnya. “Ada sesuatu
Rakhan mengecup pipi Mentari, lalu berkata pelan di telinganya, “Sampai bertemu sore nanti.”“Hubungi aku kalau kau ada meeting dadakan, ya,” ucap Mentari sambil menurunkan Arga dari gendongannya.“Tentu saja.” Sekali lagi Rakhan mengecup pipi Mentari. “Aku pergi. I love you.”“Aku juga. Hati-hati di jalan.”Usai makan siang bersama Mentari, Rakhan kembali ke kantornya. Siang itu, Jakarta tampak begitu terik, tetapi Rakhan hampir tidak merasakannya. Pikirannya kembali dijejali berbagai urusan pekerjaan, terutama proyek yang melibatkan Annika. Namun, tak dapat dipungkiri, sosok Evander pun kerap muncul di benaknya sejak pertemuan mereka. Ia masih meragukan pria itu meskipun kredibilitasnya sebagai pengacara profesional tidak diragukan lagi. Tanpa ia sadari, mobil yang dikemudikan sopirnya sudah hampir setengah perjalanan. Mereka baru saja berhenti di perempatan ketika tiba-tiba dua orang pria berhelm yag mengendarai sepeda motor sport mendekat ke jendela mobilnya. Rakhan yang tengah a
Rakhan duduk di belakang meja kerjanya. Pandangannya menembus jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian. Sementara itu, pikirannya dipenuhi dengan informasi yang baru saja diterima. Drew datang ke kantornya pagi itu dengan sebuah rahasia yang selama ini tersembunyi dalam bayang-bayang keluarga Annika.“Evander adalah saudara sepupu Annika,” kata Drew sambil meletakkan map di meja Rakhan. “Anak dari adik tiri ayahnya yang tidak pernah dipublikasikan. Keluarga mereka merahasiakan hubungan itu, karena ibu Evander dan kakak ayahnya Annika tidak pernah menikah.”Rakhan menggenggam tepi meja, mencerna kata-kata Drew dengan hati-hati. “Pantas aku tidak menemukan informasi apa pun tentang hubungan mereka di media sosial dan situs pencarian. ”“Benar,” sahut Drew. “Mereka punya ikatan keluarga yang cukup rumit. Itu sebabnya hubungan mereka disembunyikan. Oh, iya. Kau juga harus tahu bahwa Evander itu seorang duda. Mantan istrinya orang Jerman. Mereka bercerai tiga tahun
Rakhan pulang lebih larut dari biasanya. Pekerjaan di kantor membuatnya kelelahan, tetapi begitu membuka pintu, kehangatan yang familiar segera menyambutnya. Cahaya lampu yang terang dan cerah, aroma harum masakan yang masih tersisa di udara, dan yang paling menyenangkan, Mentari sudah berdiri di ambang pintu dengan senyuman manis yang selalu membuatnya merasa tenang.Mentari berjalan mendekat dan seperti kebiasaannya, ia memberikan ciuman lembut di pipi Rakhan. “Selamat datang, sayang,” bisik Mentari dengan lembut.Rakhan tersenyum, merasakan sejenak kehangatan itu. “Selalu menyenangkan pulang ke rumah,” jawabnya pelan sambil membelai lembut rambut Mentari. Seketika, rasa lelahnya menjadi berkurang.“Aku sudah memasak makanan favoritmu, sup asparagus kepiting.” Mentari mengumumkan menu makan malam yang telah disajikannya di atas meja makan.“Wah, makan besar nih!” Rakhan menanggapi dengan antusias. “Kalau begitu, aku mandi dulu. Nanti kita makan bareng.”“Jangan lama-lama, ya. Aku su
Sore itu, rumah Mentari dan Rakhan dipenuhi dengan kehangatan. Arga sedang bermain di tengah ruang keluarga, sementara Mentari dan Rakhan duduk di sofa sambil menikmati teh hangat. Angin sepoi-sepoi dari jendela yang terbuka membawa suasana tenang. Untuk beberapa saat, mereka bisa melupakan kesibukan dan drama di luar sana.Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika suara bel pintu berbunyi. Mentari menatap Rakhan dengan sedikit heran. Mereka tidak sedang menantikan tamu sore ini.“Siapa ya kira-kira?” tanya Mentari sambil berdiri dan menuju pintu.Rakhan mengangkat bahu dan melirik Arga yang masih sibuk bermain, lalu dia berdiri mengikuti istrinya. Ketika Mentari membuka pintu, mereka mendapati Annika berdiri di sana bersama seorang pria bertubuh tinggi yang tidak lain adalah Evander."Annika? Evander?" Mentari terkejut, tapi senyumnya tetap ramah. "Apa yang membawa kalian ke sini?"Annika tersenyum dan mengangkat sebuah bingkisan di tangannya. "Kami datang untuk mengucapkan terim
Rakhan menatap Aldy dengan tajam. "Ketika kau menyakiti seseorang, itu menjadi urusan semua orang. Apalagi kalau dia orang yang aku kenal."Annika terduduk di atas paving block. Kedua tangannya bertumpuk menutupi pipinya yang bengkak sambil menangis. Mentari dengan cepat berjongkok di samping Annika, memeriksa keadaan wanita itu. “Kau baik-baik saja?” tanyanya penuh kekhawatiran.Annika menoleh pelan ke arah Mentari. Sambil terisak-isak, wanita itu berkata dengan suara bergetar dan jelas sekali ia sedang menyembunyikan rasa sakitnya. “A-aku nggak apa-apa.” Aldy melangkah mendekat, masih marah, tapi Rakhan berdiri tegak di depannya, seperti dinding pelindung yang tidak mungkin ditembus. "Pergilah sebelum situasi ini menjadi lebih buruk buatmu," kata Rakhan dingin dan dengan nada mengancam yang jelas.Aldy tampak ragu sejenak. Ekspresi wajahnya terlihat mengeras. “Dia tunanganku. Aku punya hak atas dia!”Rakhan tidak bergeming, hanya menatap Aldy dengan mata yang penuh amarah. "Kau ti
Mentari mengambil napas dalam-dalam, menenangkan degup jantungnya yang terasa berantakan. Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, ia memutuskan bahwa menunggu tanpa kepastian hanya akan membuat pikirannya semakin semrawut. Tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan melangkah menuju gerai kopi tempat Rakhan dan Annika duduk. Suara langkah kakinya terasa begitu berat, seakan-akan setiap langkah membawa sejuta pertanyaan yang menunggu jawaban.Ketika Mentari tiba di depan meja mereka, Rakhan yang awalnya fokus pada pembicaraannya dengan Annika, mendongak dan terkejut melihat kehadirannya. Dalam sekejap ekspresi serius di wajahnya berubah menjadi bingung. Namun, itu hanya sesaat sebelum akhirnya menyambut Mentari dengan senyum."Tari? Kamu di sini?" Rakhan bertanya, suaranya terdengar tenang tapi menyimpan keheranan.Annika yang duduk di hadapan Rakhan tersenyum manis menyambut istri sang mantan. "Hai, Mentari. Lama tak bertemu."Mentari memaksakan diri tersenyum, berusaha menjaga
"Arga sudah tidur?" Rakhan bertanya pelan, mengintip dari balik pintu kamar.Mentari mengangguk sambil menepuk-nepuk punggung putra mereka yang baru saja terlelap. "Iya, baru saja."Rakhan mendekat, duduk di tepi ranjang sambil mengamati wajah kecil Arga. "Dia sudah semakin besar. Cepat sekali waktu berlalu."Mentari tersenyum tipis. "Iya, rasanya baru kemarin aku menggendongnya untuk pertama kali."Keluarga kecil Mentari dan Rakhan telah menemukan ritme kebahagiaan mereka. Kehadiran Arga, putra mereka yang kini genap berusia satu tahun, melengkapi segala yang pernah diimpikan Mentari. Meski terkadang malam-malam panjang diisi tangisan bayi dan kelelahan, bagi Mentari, setiap detik bersama Arga dan Rakhan merupakan kebahagiaan tersendiri. Rakhan, meski jarang bisa menunjukkan sisi romantisnya, ia selalu membuat hari-hari Mentari penuh dengan kejutan kecil yang manis. Sebuah pelukan tiba-tiba, hadiah yang sederhana tapi bermakna, atau sekadar ikut begadang di sampingnya saat Arga sedan
Gemuruh emosi mendadak memenuhi dada dan membuatnya sesak napas. Berusaha tetap tenang, Mentari melontarkan tanya tanpa emosi berlebihan, “Kau masih berhubungan dengannya?”“Ada pekerjaan yang mengharuskan aku tetap terhubung dengannya.” Rakhan menjelaskan dengan hati-hati.Sementara itu, ponsel Rakhan terus berdering membuat telinga Mentari tidak nyaman. Mentari mengembus napas. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan kekesalannya hingga ia hanya diam.“Tari ....”Mentari mengembus napas. Mencoba untuk bersikap dewasa memang tidak mudah tapi perlu dicoba. “Angkat saja.”“Kau yakin?”“Iya.”