Share

9. Harus Disudahi

Tanggapan Mentari memicu reaksi marah Rakhan. Rahang pria itu mengeras dan kilat tajam mata gelapnya menghujam dada Mentari dengan kemurkaan. "Kau mengendarai salah satu mobilku tanpa izin, pergi ke tempat yang menjadi markas musuh besar ayahmu, dan memancing kegaduhan dengan pingsan di dalam mobil. Apa yang akan dipublikasikan para pencari berita jika mereka mengetahui semua itu? Apa aku harus mengklarifikasi berita dengan mengakuimu sebagai istriku atau sebagai anak raja preman yang mencuri mobilku? Kurasa aku tidak akan pernah memilih opsi pertama. Kau tahu itu."

"Menjadi istrimu adalah sebuah kutukan dan aku tidak perlu pengakuan." Mentari merespons dengan geram.

"Jangan merepotkanku jika kau ingin mati di sana."

Mentari menyibakkan selimut lalu beringsut ke tepi tempat tidur. Ia tidak peduli dengan penampilannya yang sedikit terbuka—mengenakan baju tidur tipis, pendek, dan bertali pundak kecil. Semua kalimat yang diucapkan Rakhan membuat telinganya panas dan meletupkan marah. Ia kemudian berdiri sambil memendam rasa jengkel yang teramat sangat.

"Kau terlalu berbangga diri, Rakhan. Aku tidak akan mati sebelum menemukan kebenaran tentang Arya dan aku berjanji kau akan membayar semuanya karena—"

"Aku tidak ada hubungannya dengan perbuatan ayahmu pada kekasihmu jika itu yang kau maksud," potong Rakhan. Sorot matanya yang tegas memancarkan sebuah peringatan.

Sayangnya, peringatan itu tidak membuat Mentari terancam. Wanita itu justru semakin menantang Rakhan dengan tatapan tajamnya. "Jika bukan karena kau, ayahku tidak akan melakukan semua itu pada Arya."

"Sialan kau, Mentari!" Rakhan berjalan, mempersempit jaraknya dengan Mentari lalu memegang erat kedua lengan wanita itu, dan menebarkan peringatan yang lebih keras. "Kau tidak bisa menuduhku menjadi penyebab kesialanmu. Ayahmu dengan sukarela menyerahkan putrinya untuk ditukar dengan kebebasan tanpa batas. Dan jika kekasih bodohmu itu harus menghilang, lenyap dari muka bumi ini, memang sudah seharusnya begitu."

"Brengsek kau, Rakhan! Seharusnya kau yang mati dan berada di neraka." Mentari menekan dada bidang Rakhan dengan kedua tangan dan berusaha mendorong pria itu agar menjauh, namun tenaga Mentari tidak cukup kuat untuk melakukannya.

Usaha Mentari menyulut kemarahan Rakhan semakin besar. Tidak hanya kemarahan, tekad Rakhan untuk segera mengakhiri pernikahan mereka pun semakin meronta. Satu-satunya jalan untuk menghentikan pernikahan yang ia anggap lelucon paling konyol itu adalah kehadiran seorang bayi.

Rakhan menarik tubuh Mentari hingga tak menyisakan jarak dengannya. Ia melingkarkan satu tangan ke punggung Mentari dan tangan lainnya menahan tengkuk wanita itu. Bibirnya dengan tidak sabar menyambar bibir ranum Mentari lalu melumatnya dengan kasar, menghukum atas sumpah serapah yang Mentari ucapkan secara gamblang tadi. Rakhan tidak memberi Mentari kesempatan untuk menghirup oksigen lebih banyak dengan terus mendesakkan lidahnya ke dalam dan memenuhi mulut wanita itu.

Bibir Mentari terasa sakit dan bengkak lantaran bibir Rakhan menekan keras, menghisap dan mencicipi bibirnya dengan membabi buta. Alih-alih tersulut gairah, Mentari justru merasa mual. Mentari tidak siap dengan invasi mendadak Rakhan. Ia tidak akan pernah siap untuk melakukan aktivitas intim dengan Rakhan.

Mentari akhirnya berhasil menghirup oksigen lebih banyak setelah Rakhan melepaskan ciuman dan mendorongnya dengan kasar ke atas tempat tidur sampai ia terjengkang. Masih terengah-engah, Mentari menurunkan roknya yang tersingkap ke atas dan mengekspos paha mulus dan sebagian celana dalam hitamnya.

Sialan. Rakhan tersesat dan tak berdaya menghadapi kapasitas emosi dan gairah yang tiba-tiba meraja dalam dirinya. Hanya hal kecil yang tidak sengaja diperlihatkan Mentari ternyata sukses mengguncang pertahanan gairah liarnya. Rakhan mengembus napas berusaha menurunkan tensi ketegangan di tubuhnya yang mulai menyesakkan celana katun hitam yang dikenakannya.

Bukan hal baru Rakhan mendapati wanita yang hanya mengenakan pakaian dalam seksi berlalu lalang di hadapannya, bahkan tak jarang pula wanita-wanita sekelas model dan aktris mau memamerkan tubuh aduhai dan polos mereka di atas ranjangnya. Terjangan gairah yang begitu saja melanda membuatnya marah. Terlebih lagi saat dorongan itu semakin kuat Rakhan rasakan. Ia harus menyudahinya. 

Waktu seakan berjalan sangat lambat ketika Rakhan berusaha meluapkan rontaan hasratnya yang tak lagi bisa ia bendung. Bagaimanapun, dorongan untuk memuaskan rasa lapar lebih kuat dari keangkuhan yang menjadi benteng pertahananannya. Rakhan terjebak dalam rasa damba yang mendalam hingga ia tidak bisa mendengar suara apa pun yang menghalanginya. Satu-satunya suara yang menggema di kepala Rakhan adalah tekad untuk memadamkan gairah yang sedang membakar dirinya.

"Rakhan, tolong jangan lakukan ini padaku." Mentari terisak-isak di tengah ketidakberdayaannya. Ia nyaris tidak bisa bergerak di bawah tubuh Rakhan yang memerangkapnya di atas ranjang. Rakhan berhasil menguasai dan menyerap seluruh kekuatannya dalam sekejap. Ledakan tangis diiringi jerit penolakan Mentari pun tak menghentikan usaha Rakhan untuk melepas seluruh kain yang masih melekat di tubuh wanita itu.

"Jangan sekarang, Rakhan. Aku mohon, jangan sekarang!" Dengan penuh asa, Mentari memohon belas kasihan Rakhan yang jelas-jelas diabaikan pria itu.

"Sekarang atau nanti tidak akan ada bedanya. Kau istriku dan akan melahirkan anakku. Lebih cepat, lebih baik."

"Rakhan--"

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, pria itu membungkam permohonan Mentari dengan mulutnya.

"Emmph..."

Ia menghisap, mencecap, dan mencium gadis itu dengan penuh hasrat!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status