Tanggapan Mentari memicu reaksi marah Rakhan. Rahang pria itu mengeras dan kilat tajam mata gelapnya menghujam dada Mentari dengan kemurkaan. "Kau mengendarai salah satu mobilku tanpa izin, pergi ke tempat yang menjadi markas musuh besar ayahmu, dan memancing kegaduhan dengan pingsan di dalam mobil. Apa yang akan dipublikasikan para pencari berita jika mereka mengetahui semua itu? Apa aku harus mengklarifikasi berita dengan mengakuimu sebagai istriku atau sebagai anak raja preman yang mencuri mobilku? Kurasa aku tidak akan pernah memilih opsi pertama. Kau tahu itu."
"Menjadi istrimu adalah sebuah kutukan dan aku tidak perlu pengakuan." Mentari merespons dengan geram.
"Jangan merepotkanku jika kau ingin mati di sana."
Mentari menyibakkan selimut lalu beringsut ke tepi tempat tidur. Ia tidak peduli dengan penampilannya yang sedikit terbuka—mengenakan baju tidur tipis, pendek, dan bertali pundak kecil. Semua kalimat yang diucapkan Rakhan membuat telinganya panas dan meletupkan marah. Ia kemudian berdiri sambil memendam rasa jengkel yang teramat sangat.
"Kau terlalu berbangga diri, Rakhan. Aku tidak akan mati sebelum menemukan kebenaran tentang Arya dan aku berjanji kau akan membayar semuanya karena—"
"Aku tidak ada hubungannya dengan perbuatan ayahmu pada kekasihmu jika itu yang kau maksud," potong Rakhan. Sorot matanya yang tegas memancarkan sebuah peringatan.
Sayangnya, peringatan itu tidak membuat Mentari terancam. Wanita itu justru semakin menantang Rakhan dengan tatapan tajamnya. "Jika bukan karena kau, ayahku tidak akan melakukan semua itu pada Arya."
"Sialan kau, Mentari!" Rakhan berjalan, mempersempit jaraknya dengan Mentari lalu memegang erat kedua lengan wanita itu, dan menebarkan peringatan yang lebih keras. "Kau tidak bisa menuduhku menjadi penyebab kesialanmu. Ayahmu dengan sukarela menyerahkan putrinya untuk ditukar dengan kebebasan tanpa batas. Dan jika kekasih bodohmu itu harus menghilang, lenyap dari muka bumi ini, memang sudah seharusnya begitu."
"Brengsek kau, Rakhan! Seharusnya kau yang mati dan berada di neraka." Mentari menekan dada bidang Rakhan dengan kedua tangan dan berusaha mendorong pria itu agar menjauh, namun tenaga Mentari tidak cukup kuat untuk melakukannya.
Usaha Mentari menyulut kemarahan Rakhan semakin besar. Tidak hanya kemarahan, tekad Rakhan untuk segera mengakhiri pernikahan mereka pun semakin meronta. Satu-satunya jalan untuk menghentikan pernikahan yang ia anggap lelucon paling konyol itu adalah kehadiran seorang bayi.
Rakhan menarik tubuh Mentari hingga tak menyisakan jarak dengannya. Ia melingkarkan satu tangan ke punggung Mentari dan tangan lainnya menahan tengkuk wanita itu. Bibirnya dengan tidak sabar menyambar bibir ranum Mentari lalu melumatnya dengan kasar, menghukum atas sumpah serapah yang Mentari ucapkan secara gamblang tadi. Rakhan tidak memberi Mentari kesempatan untuk menghirup oksigen lebih banyak dengan terus mendesakkan lidahnya ke dalam dan memenuhi mulut wanita itu.
Bibir Mentari terasa sakit dan bengkak lantaran bibir Rakhan menekan keras, menghisap dan mencicipi bibirnya dengan membabi buta. Alih-alih tersulut gairah, Mentari justru merasa mual. Mentari tidak siap dengan invasi mendadak Rakhan. Ia tidak akan pernah siap untuk melakukan aktivitas intim dengan Rakhan.
Mentari akhirnya berhasil menghirup oksigen lebih banyak setelah Rakhan melepaskan ciuman dan mendorongnya dengan kasar ke atas tempat tidur sampai ia terjengkang. Masih terengah-engah, Mentari menurunkan roknya yang tersingkap ke atas dan mengekspos paha mulus dan sebagian celana dalam hitamnya.
Sialan. Rakhan tersesat dan tak berdaya menghadapi kapasitas emosi dan gairah yang tiba-tiba meraja dalam dirinya. Hanya hal kecil yang tidak sengaja diperlihatkan Mentari ternyata sukses mengguncang pertahanan gairah liarnya. Rakhan mengembus napas berusaha menurunkan tensi ketegangan di tubuhnya yang mulai menyesakkan celana katun hitam yang dikenakannya.
Bukan hal baru Rakhan mendapati wanita yang hanya mengenakan pakaian dalam seksi berlalu lalang di hadapannya, bahkan tak jarang pula wanita-wanita sekelas model dan aktris mau memamerkan tubuh aduhai dan polos mereka di atas ranjangnya. Terjangan gairah yang begitu saja melanda membuatnya marah. Terlebih lagi saat dorongan itu semakin kuat Rakhan rasakan. Ia harus menyudahinya.
Waktu seakan berjalan sangat lambat ketika Rakhan berusaha meluapkan rontaan hasratnya yang tak lagi bisa ia bendung. Bagaimanapun, dorongan untuk memuaskan rasa lapar lebih kuat dari keangkuhan yang menjadi benteng pertahananannya. Rakhan terjebak dalam rasa damba yang mendalam hingga ia tidak bisa mendengar suara apa pun yang menghalanginya. Satu-satunya suara yang menggema di kepala Rakhan adalah tekad untuk memadamkan gairah yang sedang membakar dirinya.
"Rakhan, tolong jangan lakukan ini padaku." Mentari terisak-isak di tengah ketidakberdayaannya. Ia nyaris tidak bisa bergerak di bawah tubuh Rakhan yang memerangkapnya di atas ranjang. Rakhan berhasil menguasai dan menyerap seluruh kekuatannya dalam sekejap. Ledakan tangis diiringi jerit penolakan Mentari pun tak menghentikan usaha Rakhan untuk melepas seluruh kain yang masih melekat di tubuh wanita itu.
"Jangan sekarang, Rakhan. Aku mohon, jangan sekarang!" Dengan penuh asa, Mentari memohon belas kasihan Rakhan yang jelas-jelas diabaikan pria itu.
"Sekarang atau nanti tidak akan ada bedanya. Kau istriku dan akan melahirkan anakku. Lebih cepat, lebih baik."
"Rakhan--"
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, pria itu membungkam permohonan Mentari dengan mulutnya.
"Emmph..."
Ia menghisap, mencecap, dan mencium gadis itu dengan penuh hasrat!
Ketidaksabaran Rakhan membuat ciumannya terasa sedikit kasar dan membuat Mentari mengerang kesakitan. Namun, Rakhan justru menekan tubuhnya ke tubuh Mentari, ke arah hasrat memuncak yang minta diredakan. Dan perlahan, dominasinya berhasil membuat Mentari menyerah. Tanpa melepaskan ciumannya di bibir Mentari, Rakhan melucuti pakaiannya dan membebaskan bukti gairahnya untuk menyentuh, memompa, dan memenuhi tubuh Mentari.Tidak ada yang lebih menakutkan Mentari saat ini, melainkan rengkuhan sang predator yang tengah memangsanya. Dorongan yang begitu kuat memaksa Mentari meneteskan air mata dan memekik menahan sakit. Seluruh perasaannya luluh lantak. Mentari merasakan dirinya pecah dan hancur menjadi jutaan kepingRasa sakit di sekujur tubuhnya diam-diam menyelusup ke dalam hati, menciptakan jelaga sekaligus kehampaan. Mentari menarik apa saja yang dapat ia gapai untuk menutupi tubuh telanjangnya. Gaun tidur yang masih tergeletak di tepi ranjang menjadi pilihan alternatif di saat i
"Sebaiknya kamu pulang ke rumah suamimu sekarang, Tari." Lucian terang-terangan mengusir Mentari. Ia kemudian kembali ke kursinya.Mentari mendesah kesal. Ia mengambil satu langkah lebih dekat ke meja Lucian. "Pa, katakan Arya ada di mana? Papa apa-in Arya?"Alih-alih menjawab, Lucian justru berteriak memanggil Anton. "Anton!"Tidak berapa lama Anton muncul di ruang kerja Lucian. Pria berpostur tinggi dan berbadan kekar yang menjadi kepercayaan Lucian sejak belasan tahun silam itu menunduk penuh hormat kepada sang pemimpin. "Apa yang bisa saya kerjakan, Tuan?""Bawa Mentari pulang ke rumah suaminya," perintah Lucian.Mentari membelalak. Darahnya mendidih seketika mendengar titah Lucian pada Anton. Lucian benar-benar tidak peduli kepadanya, pikir Mentari."Pa!" protes Mentari, "Papa nggak bisa mengusir Tari begitu saja. Katakan pada Tari, Arya di mana?"Sekali lagi Lucian tidak memedulikan pertanyaan putrinya. Ia kembali memberi perintah pada Anton hanya dengan anggukan. Anton memahami
"Nanti gue tanyain sama Edo. Lo tenang aja ya dan tunggu kabar dari gue." Sri mengerti betul apa yang dirasakan Mentari. Ia tulus ingin membantu Mentari."Gue kan nggak pegang HP. Nanti gue aja yang datang ke sini.""Oke deh. Ngomong-ngomong, elo mau apa ke rumah orangtuanya Arya?"Mentari menggeleng. "Gue enggak tahu. Mungkin gue mau minta maaf sama mereka karena gue anak mereka ...." Napas Mentari tiba-tiba tersekat di tenggorokan dan rasa panas kembali menyengat matanya dan menciptakan genangan baru di matanya."Hei, kok nangis lagi sih?" Sri membelai lembut punggung Mentari. "Elo nggak salah apa-apa, Tari. Arya mungkin sedang pergi melepas kekecewaannya karena elu nikah sama orang lain."Gue yang salah. Mentari tak sanggup membendung aliran air mata. Ia sudah berbohong kepada semua orang. Perasaan bersalah terus menghukumnya tanpa ampun."Kalau elo mau ke rumah orangtua Arya, nanti gue temenin elo," lanjut Sri berusaha menenangkan."Gue berutang banyak sama elo, Sri.""Elo ngomong
Kepalan tangan Rakhan di atas stir mengerat hingga kuku-kukunya menancap di telapak tangan. Sebisanya ia menahan diri untuk tidak menampar mulut lancang Mentari. Bagaimanapun, ia masih membutuhkan Mentari untuk membebaskan diri dari belenggu pernikahan. "Ayahmu menghubungiku siang tadi. Untuk apa kau masih mencari Arya dan ke mana saja kau sesiangan ini?""Bukan urusanmu ke mana aku pergi.""Sekarang ke mana pun kau pergi akan menjadi urusanku. Undangan resepsi pernikahan sudah disebarkan Ayah dan Mawar. Acara itu akan digelar hari Minggu besok. Sebentar lagi seluruh dunia akan tahu kau adalah istriku. Kau pikir itu bukan beban berat untukku? Menikah dengan anak Lucian Sagara adalah yang terburuk."Ucapan Rakhan meremas hati Mentari. Meskipun ia tidak pernah setuju menikah dengan pria itu, tetapi hinaan Rakhan terhadapnya dan juga ayahnya terasa sangat menyakitkan."Aku akan mengajukan tuntutan cerai secepatnya, sebelum resepsi digelar." Mentari menegaskan. Hanya itu satu-satunya cara
“Rakhan, tunggu!” Mentari ikut bangkit dari duduknya dan menghalangi langkah Rakhan. “Satu kali seminggu sampai aku hamil.”Mentari merasa dirinya tidak punya pilihan lain. Ia mengambil keputusan kilat dan tak rasional demi bisa mendapatkan bantuan mencari Arya. Meskipun ia dan Rakhan sudah resmi sebagai suami-istri, tetapi Mentari masih belum bisa menerima hal itu. Baginya, Arya adalah segalanya. Pengorbanan yang ia lakukan untuk menemukan Arya akan sebanding dengan hasilnya kelak. Terlepas Arya akan menerima kenyataan atau tidak, Mentari sudah berusaha untuk tetap menjaga cintanya untuk Arya. Setidaknya, itulah yang Mentari pikirkan saat ini.“Rakhan, jika kau tidak terlibat dengan hilangnya Arya—““Sudah kukakatakan kepadamu, aku tidak tahu menahu soal kekasihmu,” sela Rakhan, “aku bukan tipe pria yang suka merebut kekasih orang lain. Lagi pula, kau bukan tipeku. Tidak ada kesepakatan di antara kita!” lanjutnya sambil menatap tajam Mentari.Ucapan Rakhan melemahkan, bahkan membuya
Tubuh tetap ingin setegar batu karang yang dihantam ombak, tapi hati meleleh bagai lilin yang terbakar. Kegelisahan yang nyaris berubah menjadi pesimistis berdenyut di nadi Mentari. Masalah yang mengadang kian menjadi dilema yang menakutkan. Ia merasa bertanggung jawab atas hilangnya Arya. Setelah memberikan nomor ponselnya pada Sri, Mentari memutuskan untuk pulang. Ia berjalan dengan malas melintasi beranda. Rumah ini bagai penjara mewah untuknya. Ia dibebaskan untuk pergi sesukanya, tapi tetap harus kembali dan menjalankan kewajibannya sebagai menantu keluarga Mahawira dan istri Rakhan. “Mami, Mami!” teriakan bocah laki-laki berusia sekitar lima tahun menghentikan langkah Mentari setelah melewati ruang keluarga. Mata Mentari sedikit melebar melihat anak berkulit putih dan berpipi tembem itu. Rambut ikal dan mata beningnya berhasil mencuri perhatian Mentari. Rasa suka melihat anak itu tiba-tiba menyelinap ke dalam hati dan tanpa sadar membuatnya tersenyum sendiri. Dia tampan dan
Melewati hari yang sibuk ternyata tak mengubah perasaan kesal Rakhan pada Mentari. Kejadian tadi siang masih melekat dalam memorinya. Wanita keras kepala itu masih saja menuduhnya terlibat atas hilangnya Arya. Sikap tidak kooperatifnya pun membuat Rakhan lebih jengkel. Ia tidak habis pikir kenapa ayahnya sampai bisa memaksanya menikah dengan wanita sok pintar yang menyebalkan seperti Mentari.Rakhan menggoyang gelas bertangkai dan berbadan bulat berisi red wine. Alih-alih meneguk isinya, ia hanya mengamati cairan hasil fermentasi buah anggur itu. Sesekali pandangannya menembus ke luar jendela yang setinggi langit-langit dan memandangi awan, atap gedung lain, atau hanya sekadar memandang kosong. Di dalam apartemen mewah berfasilitas megah ini Rakhan biasanya menghabiskan waktu untuk menenangkan diri dari permasalahan yang sedang melilitnya. Namun, kali ini ia tidak sendirian. Sepasang tangan dengan jari-jari lentik dan berkuku oval yang dicat merah tiba-tiba mengalungi pundak lebar R
Melewati hari yang sibuk ternyata tak mengubah perasaan kesal Rakhan pada Mentari. Kejadian tadi siang masih melekat dalam memorinya. Wanita keras kepala itu masih saja menuduhnya terlibat atas hilangnya Arya. Sikap tidak kooperatifnya pun membuat Rakhan lebih jengkel. Ia tidak habis pikir kenapa ayahnya sampai bisa memaksanya menikah dengan wanita sok pintar yang menyebalkan seperti Mentari.Rakhan menggoyang gelas bertangkai dan berbadan bulat berisi red wine. Alih-alih meneguk isinya, ia hanya mengamati cairan hasil fermentasi buah anggur itu. Sesekali pandangannya menembus ke luar jendela yang setinggi langit-langit dan memandangi awan, atap gedung lain, atau hanya sekadar memandang kosong. Di dalam apartemen mewah berfasilitas megah ini Rakhan biasanya menghabiskan waktu untuk menenangkan diri dari permasalahan yang sedang melilitnya. Namun, kali ini ia tidak sendirian. Sepasang tangan dengan jari-jari lentik dan berkuku oval yang dicat merah tiba-tiba mengalungi pundak lebar R