Ketika pesta selesai dan ia harus diantar oleh sang ayah ke "rumah baru"-nya bersama Paulios Theodore, Tatiana merasa semua kebahagiaan telah direnggut darinya. Di dalam mobil, ia melipat tangan di dada, wajahnya penuh amarah.
Begitu mobil memasuki sebuah lingkungan yang sempit, dengan rumah-rumah berdempetan dan jalanan yang tidak mulus, Tatiana memutar mata dengan penuh penghinaan. "Apa ini?" tanya Tatiana, suaranya tajam seperti pisau. "Apakah dia tinggal di lingkungan ayam? Rumah-rumah ini begitu dekat satu sama lain. Tidak ada privasi sama sekali!" Paulios yang duduk di sebelahnya menatapnya dengan tenang, meskipun matanya menunjukkan ketegasan. "Lingkungan ini mungkin tidak mewah, tapi orang-orangnya bekerja keras dan hidup dengan adab. Sesuatu yang lebih bernilai dibandingkan harta." Tatiana mendengus keras, menatap Paulios dengan sinis. "Adab? Kau pikir adab bisa membayar tagihan? Bisa memberiku kenyamanan? Aku menikah bukan untuk hidup seperti ini." Paulios menatap Tatiana dengan dingin, tapi suaranya tetap tenang. "Etika dan adab jauh lebih berharga daripada kemewahan, Tatiana. Jika itu tidak cukup bagimu, maka mungkin kau perlu belajar lebih banyak tentang kehidupan." Tatiana terdiam sejenak, tetapi jelas terlihat bahwa kata-kata Paulios membuatnya semakin kesal. "Kau bicara seperti orang bijak, tapi lihat dirimu. Kau bahkan tidak punya cukup uang untuk membawaku ke tempat yang layak." Percakapan sengit itu berlanjut hingga mobil berhenti di depan sebuah rumah kecil bergaya klasik yang tampak kuno. Tatiana melirik keluar jendela mobil, wajahnya berubah semakin muram. "Ini rumahnya?" kata Tatiana sambil menahan tawa sinis. "Lebih terlihat seperti kandang." Ayahnya, Alexander, turun dari mobil lebih dulu dan membantu membuka pintu untuk Tatiana. "Ini tempat tinggal sementara kalian," kata Alexander dengan tenang. "Paulios dan keluarganya sudah menyiapkan segalanya untuk menyambutmu." Tatiana tidak menjawab. Ia keluar dari mobil dengan enggan, matanya terus memandangi rumah kecil itu dengan jijik. Setelah ayahnya memeluknya dan mengucapkan selamat tinggal, mobil sang ayah pergi, meninggalkan Tatiana dan Paulios berdiri di depan rumah. Begitu mobil itu hilang dari pandangan, Tatiana langsung membanting kopernya ke tanah. "Apa-apaan ini? Kau pikir aku akan tinggal di tempat seperti ini? Ini bahkan lebih buruk daripada asrama karyawan!" Paulios mendekati koper itu, membungkuk, dan mengangkatnya dengan tenang. "Ini rumah yang telah kami siapkan, Tatiana. Tidak besar, tapi cukup untuk kita berdua." "Cukup untuk siapa? Aku butuh ruang dan kenyamanan!" Tatiana melipat tangan di dadanya, matanya penuh amarah. "Apa kau pikir dengan gajimu yang kecil itu, kau bisa memenuhi kebutuhanku? Kau bahkan tidak bisa membayar biaya perawatan wajahku yang sepuluh juta sebulan!" Paulios menatapnya dengan tatapan dingin, penuh wibawa. "Aku mungkin tidak punya uang sebanyak itu sekarang, tapi aku akan bekerja lebih keras. Aku akan naik jabatan, dan aku akan memenuhi semua kebutuhanmu." Tatiana tertawa sinis, suaranya penuh penghinaan. "Naik jabatan? Dengan pekerjaanmu sebagai pelayan? Berapa lama itu akan terjadi? Lima tahun? Sepuluh tahun? Kau bercanda." Paulios menatapnya langsung ke mata, suaranya tetap tenang tapi tegas. "Setidaknya aku punya tekad. Sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang. Kau mungkin tidak percaya sekarang, tapi aku akan buktikan bahwa aku bisa." Tatiana mendengus keras, lalu berjalan melewati Paulios menuju pintu rumah. "Lihat saja. Tapi jangan berharap aku akan tinggal diam dan puas dengan ini." Paulios hanya mengangguk pelan, menatap Tatiana yang masuk ke dalam rumah dengan langkah keras. Dalam hati, ia tahu perjalanannya untuk membuktikan diri baru saja dimulai. Bagi Tatiana, ini jelas seperti sebuah penghinaan. Ia tak menyangka jika ayahnya tega membiarkannya hidup seperti ini demi menyelamatkan nama keluarga. Meskipun ia juga sedikit tertolong karena berhasil lolos dari kabar gagal menikah, tetapi seharusnya tidak dengan sesuatu yang seburuk ini. *** Malam itu, keheningan menyelimuti rumah kecil tempat Tatiana dan Paulios tinggal. Semua orang tertidur, termasuk Tatiana yang masih marah dan kesal dengan situasi barunya. Namun, di kamar lain, Paulios duduk dengan tenang di dekat jendela. Ponselnya tiba-tiba bergetar, menampilkan nomor tanpa nama. Suara seorang pria di ujung telepon terdengar formal. "Tuanku, mobil sudah siap. Kami menunggu di lokasi yang biasa." Paulios mengangguk meskipun pria itu tak bisa melihatnya. "Baik. Aku akan keluar sekarang." Ia mengenakan jaket hitam sederhana dan berjalan pelan agar tidak membangunkan Tatiana. Pukul dua malam, ia keluar dari rumah tanpa suara. Beberapa langkah dari rumah, sebuah sedan hitam elegan sudah menunggu. Seorang pria bertubuh tegap keluar dari mobil dan membukakan pintu. "Selamat malam, Tuanku," kata Azmir, pria itu, dengan hormat, senyumnya bercampur dengan ejekan halus. Paulios jelas tahu apa maksud dari senyuman itu, tetapi ia memilih untuk tidak menanggapinya. Mobil melaju meninggalkan lingkungan kumuh itu, menuju kawasan yang jauh lebih elit. Setelah perjalanan singkat, sedan berhenti di depan sebuah mansion megah. Cahaya lampu besar menyinari fasad bangunan klasik itu, dengan bodyguard berbaris rapi di depan pintu. Begitu Paulios keluar dari mobil, semua bodyguard memberi hormat serempak. "Tuanku," seru mereka serentak. Paulios hanya mengangguk ringan, melangkah masuk ke dalam mansion tanpa banyak bicara. Di dalam, suasana mewah langsung terasa—dari chandelier kristal hingga karpet Persia yang menutupi lantai marmer. Seorang pria tua berambut putih dengan kemeja putih bersih berjalan mendekat, wajahnya penuh kebahagiaan. "Paulios! Anakku!" seru pria tua itu sambil membuka tangan untuk memeluknya. "Papa," Paulios menjawab, menerima pelukan itu dengan penuh hormat. Pria itu adalah Maxwin Welington, CEO Amara Group—sebuah konglomerat yang menaungi hotel-hotel elit di seluruh dunia. Maxwin menatap putranya dengan bangga. "Bagaimana kabar pengantin barumu? Kapan kau akan mengenalkannya padaku?" Paulios menyeringai kecil, tapi matanya tetap dingin. "Istriku... sedang dalam masa pelatihan, Papa. Dia harus dilatih dulu untuk menghadapi kehidupan nyata sebelum aku bisa mengenalkannya secara resmi." Maxwin mengangkat alis, sedikit terkejut tapi juga terhibur. "Pelatihan? Kau membuat pernikahanmu terdengar seperti program militer." Paulios tertawa kecil. "Semacam itu. Aku tak ingin istri yang hanya mendukungku saat aku berada di atas. Aku ingin istri yang bisa bertahan bersamaku, bahkan dalam kondisi sulit. Saat ini, dia sedang dalam 'ujian militer' untuk membuktikan dirinya." Maxwin tertawa keras mendengar jawaban itu. "Kau benar-benar anakku. Selalu punya cara untuk menguji orang." Paulios tersenyum tipis, tapi tatapannya penuh determinasi. "Tatiana De Luca punya potensi, Papa. Hanya saja, dia terlalu dimanja oleh hidupnya yang penuh kemewahan. Aku ingin dia belajar, bukan hanya menjadi seorang istri, tapi juga pasangan yang tangguh." Maxwin menepuk bahu Paulios dengan bangga. "Kau tahu apa yang kau lakukan, anakku. Tapi aku tetap ingin melihatnya segera. Jangan terlalu lama menyembunyikannya dariku." Paulios mengangguk. "Tenang saja, Papa. Pada waktunya, dia akan siap. Dan saat itu, dia akan menjadi istri yang aku banggakan."Beberapa hari telah berlalu sejak Tatiana melemparkan berkas cerai ke wajah Paulios, tapi sampai sekarang, pria itu belum menandatanganinya. Kertas-kertas itu masih tersimpan rapi di meja kecil di sudut kamar, tidak tersentuh, seolah-olah Paulios tidak ingin mengakui keberadaannya. Setiap kali ia memandangnya, ada perasaan aneh yang menyeruak dalam dadanya. Ia tidak ingin melepaskan Tatiana. Tidak seperti ini.Namun, malam ini, batas kesabaran Tatiana akhirnya runtuh.BRAK!Pintu kamar terbanting keras saat Tatiana menerobos masuk tanpa permisi. Matanya menyala penuh amarah, sementara gaun merah yang ia kenakan melambai saat ia melangkah cepat mendekati Paulios, yang saat itu sedang duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk.“Kau pikir kau sedang bermain drama konyol di sini, Paulios?!” suara Tatiana melengking tajam. “Kenapa kau belum menandatangani surat itu? Apa yang kau tunggu?!”Paulios mengangkat kepalanya, matanya lelah ta
Paulios membuka pintu rumah dengan langkah lambat, tubuhnya terasa letih setelah seharian bekerja keras. Wajahnya letih, penuh dengan pemikiran yang bergelut, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang berusaha tetap teguh. Ia menatap sekeliling, mengingat betapa sepi dan kosongnya rumah ini. Namun, tatapan matanya langsung tertumbuk pada sosok yang sedang duduk di ruang tamu. Tatiana, dengan gaun santai dan kuku yang sedang dilapisi cat merah muda cerah, duduk di kursi, tampak santai dan sedikit sombong.Tatiana tidak menoleh, tidak ada sapaan hangat atau perhatian apapun yang diberikan. Seolah-olah dunia mereka sudah benar-benar terpisah. Paulios mendekat, langkahnya berhenti sejenak di depan pintu, matanya masih memandangi wanita yang menjadi istrinya."Tatiana," suara Paulios terdengar berat, seperti ada beban yang terpendam di dalamnya.Tatiana baru menoleh, wajahnya tanpa ekspresi, hanya seulas senyum tipis yang tidak menyiratkan kehangatan. Tanpa b
Suara pel basah yang menggesek lantai mengisi kesunyian di dalam ruangan kantor mewah itu. Paulios berdiri membungkuk, menggerakkan pel dengan gerakan lambat dan teratur. Tangannya terampil membersihkan lantai yang mengilap, wajahnya tenang tanpa ekspresi.Namun, ketenangan itu hancur saat sebuah berkas dilemparkan tepat ke arah wajahnya. Kertas-kertas berhamburan di lantai, berserakan di sekitar ember pel yang dibawanya. Paulios mengangkat kepala, menatap pria angkuh yang berdiri di depannya dengan senyum mengejek.Victor berdiri dengan tangan disilangkan di depan dada, ekspresinya penuh kesombongan. Matanya menyipit, bibirnya tersungging tipis. “Bereskan itu. Lantai ini harus bersih tanpa noda sedikit pun.”Paulios menghela napas pelan, menahan emosinya. Ia menundukkan kepala, bukan karena takut, melainkan karena menghormati atasannya. Dengan tenang, ia memunguti kertas-kertas yang berserakan di lantai. Tangannya bergerak perlahan, namun dalam benaknya,
Restoran mewah itu masih dipenuhi cahaya lilin temaram dan alunan musik klasik yang romantis. Namun, suasana di meja mereka begitu tegang dan mencekam. Mata Paulios tajam menatap Victor yang kini berdiri dengan senyum penuh kesombongan. Tatiana berdiri di samping Victor, wajahnya datar tanpa sedikit pun rasa bersalah.Victor memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan sikap angkuh. Ia memandang Paulios dari atas ke bawah, menilai pria itu seperti melihat sampah yang kebetulan melintas di depannya. Senyum sinis tersungging di bibirnya.“Jadi?” Victor mendekat, suaranya rendah namun penuh ejekan. “Kau mau bawa pulang Tatiana?” Ia melirik Paulios dengan pandangan meremehkan. “Mau bawa pakai apa? Bajai? Gocar? Taksi? Atau… jalan kaki?” Ia pura-pura berpikir, ekspresinya dibuat-buat seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu. “Berapa sih gaji seorang cleaning service sepertimu per bulan?”Tatiana terdiam, tidak ada niat untuk membela Paulios. Justr
Restoran mewah itu dipenuhi cahaya temaram lilin yang berkilauan, memberikan suasana romantis dan hangat bagi setiap pasangan yang duduk di sana. Alunan musik klasik yang lembut berpadu sempurna dengan gemerincing gelas anggur yang saling bersulang. Di salah satu sudut ruangan, Tatiana duduk anggun dengan gaun elegan berwarna merah marun yang menonjolkan keanggunannya. Senyumnya merekah, matanya berbinar saat menatap pria di depannya—Victor. "Aku senang kita bisa makan malam bersama lagi," suara Victor terdengar dalam dan lembut. Ia menyunggingkan senyum tipis, memamerkan pesonanya yang tak pernah gagal membuat Tatiana terpesona. "Rasanya seperti mengulang masa-masa indah kita dulu." Tatiana tertawa kecil, memainkan ujung gelas anggur di tangannya. "Iya... aku juga merindukan saat-saat itu. Mungkin... kita bisa mengulanginya lagi?" Victor menaikkan alis, matanya berbinar nakal. "Kau menggodaku sekarang?" "Mungkin saja," Tatiana menjawab genit, menggigit bibir bawahnya. Victor tert
Sebuah restoran mewah dengan lampu-lampu redup dan alunan musik klasik yang lembut menjadi saksi bisu pertemuan Tatiana dan Victor malam ini. Cahaya lilin yang berpendar di atas meja memberikan kesan hangat dan romantis, seolah semesta mendukung pertemuan mereka setelah sekian lama berpisah. Tatiana duduk dengan anggun, mengenakan dress berwarna merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya yang tergerai rapi membuatnya tampak semakin menawan. Di hadapannya, Victor duduk dengan tenang, mengenakan setelan jas yang terlihat mahal dan berkelas. Pria itu tersenyum tipis, menatap Tatiana dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ada nostalgia di sana, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam. "Aku tidak menyangka kita akan seperti ini lagi," ucap Victor sambil menuangkan anggur ke dalam gelas Tatiana. "Tatiana yang dulu tetap sama seperti yang kulihat sekarang. Cantik, manis, dan… menggoda." Tatiana tersenyum keci