“Apakah kamu baik-baik saja, Nona? Apakah ada yang terluka?”
Tubuh Orlena membeku di tempat saat mendengar suara yang selalu menghantuinya setiap hari. Dan saat wanita itu mendongak untuk melihat orang yang menabraknya, wajah Orlena seketika berubah pucat. Dia bisa melihat orang yang menahan dirinya adalah Maximilian Steltzer. Seketika tubuh Orlena menggigil ketakutan saat mengingat masa lalu di mana pria itu telah melakukan hal buruk padanya.
“Nona, apakah kamu mendengarku? Apakah aku begitu menyakitimu sampai wajahmu pucat dan tubuhmu menggigil?” tanya Max paniik melihat reaksi Orlena.
“Apakah kamu tidak ingat denganku?”
Max menatap wanita itu dengan tatapan bingung. “Apakah kita pernah sebelumnya? Aku sepertinya melupakannya, maafkan aku.”
Melupakanku, Dasar Brengsek. Setelah menghancurkan hidupku, kamu melupakanku? Aku akan membuatmu ingat apa yang sudah kamu lakukan padaku. Dan aku akan membalasnya berkali-kali lipat. Tekad Orlena dalam hati.
Orlena menegakkan tubuhnya. Kemudian dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Max. Dengan lembut mengelus pipi pria itu dengan niat menggoda.
“Sayang sekali kamu melupakan pertemuan penting kita. Padahal aku sama sekali tidak bisa melupakanmu sedetik saja.” Bahkan dalam mimpi pun aku tidak bisa melupakanmu.
Ekspresi wajah Max berubah dingin. Dia mencengkram pergelangan tangan Orlena lalu melepaskan tangan wanita itu dari wajahnya.
“Bersikaplah lebih sopan, Nona. Aku datang bersama istriku. Aku tidak mau dia salah paham dengan ucapanmu.” Max melepaskan tangan Orlena dengan kasar.
Alih-alih marah, Orlena justru tersenyum mendengar ucapan Max. Kemudian dia mengambil selembar kartu namanya dari dalam tas. Kemudian menyelipkan kartu nama itu di saku jas Max bagian dada.
“Kalau begitu temui aku saat kamu sedang tidak bersama istrimu. Sampai jumpa lagi, Tampan.” Orlena mengerlingkan matanya menggoda Max sebelum akhirnya berbalik pergi.
Max mendengus tidak percaya melihat tingkah Orlena yang begitu berani. Kemudian pria itu mengambil kartu nama yang diselipkan oleh Orlena. Terlihat di atas kartu berwarna hitam itu adalah tulisan ‘Orly’ dengan tinta emas. Tidak hanya itu bagian bawah nama itu ada sebuah nama klub malam tempat Orly bekerja.
“Pantas saja wanita itu tidak punya malu. Tapi jika dia pernah melihatku artinya….” Max tidak melanjutkan ucapannya. Dia memasukkan kembali ke dalam saku jasnya. Setelah itu dia berjalan menuju toilet.
***
Mobil sport berwarna biru menyala berhenti di depan kediaman keluarga Wedler. Max mematikan mesin mobilnya lalu menoleh ke arah wanita yang sudah menikah dengannya selama dua tahun.
“Apakah kamu tidak mampir dulu sebentar, Max?” Esmee menawarkan suaminya masuk ke rumah keluarganya.
Sejak awal, Max mengajukan sebuah syarat kepada Esmee sebelum mereka menikah. Syaratnya adalah Max tidak bisa tinggal bersama dengan Esmee. meskipun Max akan selalu ada jika Esmee membutuhkannya, tapi Max tidak mau tinggal bersama istrinya. Esmee tidak tahu apa alasannya. Tapi selama Max mau menjadi suaminya, wanita itu tidak mempermasalahkannya.
Max menggelengkan kepalanya. “Maafkan aku, Esmee. Tapi tidak hari ini. Besok aku ada rapat penting pagi hari. Jadi aku harus mempelajari materi rapatnya lebih dahulu.”
Esmee mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipinya. “Kamu jangan terlalu memaksakan dirimu, Max. Aku tidak mau kamu jatuh sakit.”
Pria itu tersenyum mendengar ucapan istrinya. “Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, Esmee. Tapi aku tidak memaksakan diri. Aku menyukai pekerjaanmu.”
Wanita itu menghela nafas berat. “Baiklah kalau begitu. Hubungi aku jika kamu sudah sampai rumah.”
Max menganggukkan kepalanya. Kemudian wanita itu melepaskan tangannya dari pipi suaminya. Setelah itu Esmee melangkah keluar dari mobil Max. Mereka saling melambaikan tangan sebelum Max mengendarai mobil itu pergi.
Dengan kecepatan tinggi, mobil yang dikendarai oleh Max berhasil mencapai basement apartemennya dalam waktu lima belas menit. Max turun dari mobil dan menekan tombol untuk mengunci mobilnya. Tiba-tiba langkah Max terhenti. Dia menyentuh dadanya yang tiba-tiba berdetak cepat. Pria tahu apa yang sedang terjadi pada tubuhnya dan hal itu membuatnya ketakutan.
“Oh, tidak. Aku harus segera masuk ke dalam apartemen. Aku harus bertahan.”
Max berlari masuk ke dalam gedung apartemen. Setelah menekan tombol private lift, dia bergegas masuk setelah pintu terbuka. Dia merasa lega karena tidak ada orang di dalam lift. Nafasnya menjadi tidak beraturan. Dia berusaha bertahan. Sampai akhirnya pintu lift terbuka dan membawanya ke unit apartemennya. Tapi Max tidak bisa menahan dirinya lagi sehingga tubuhnya pun terjatuh di lantai tak sadarkan diri.
Namun beberapa menit kemudian mata Max kembali terbuka. Pria itu segera berdiri. Dia menunduk dan melihat suit yang dikenakannya. Dia mendengus sinis kemudian melepaskan dasi yang mencekik lehernya. Dia membuang benda itu begitu saja di lantai. Dia melakukan hal yang sama dengan jasnya. Namun sebelum tangannya melepaskan kancing kemeja, tatapan Max tertuju pada kartu nama Orly yang keluar dari saku jasnya.
Max mengambil kartu nama itu lalu membacanya. Bibirnya menyunggingkan senyuman. “Klub Malam Rigel? Apa yang kamu lakukan dengan kartu nama ini, Max?”
***
Orlena membuka pintu rumahnya. Terlihat di wajah cantiknya tampak begitu kesal. Pasalnya Bruno tidak bisa membuatnya puas. Sehingga efek obat perangsang yang diminumnya, masih bisa dirasakannya. "Kamu sudah pulang?" Suara itu membuat Orlena mendongak. Dia bisa melihat seorang wanita berambut pirang duduk di atas sofa besar dengan laptop berada di pangkuannya. "Mau bagaimana lagi, Loody. Klienku sudah puas." Orlena mengangkat kedua bahunya. "Sepertinya dia tidak bisa memuaskanmu. Bagaimana jika aku yang memuaskanmu?"Orlena meninju perut seorang pria yang berdiri di sampingnya. Pria bernama Russel Lee itu langsung meringis sakit dan memegangi perutnya. Sedangkan Aloody yang melihatnya langsung tertawa. "Sepertinya kamu sudah bosan disini, Russel. Apakah kamu mau diusir dari sini?" Orlena melayangkan tatapannya tajam ke arah pria itu. Russel langsung menggelengkan kepalanya. "Ampun, Orlena. Aku masih mau hidup di sini. Ampuni nyawaku."Orlena menganggukkan kepalanya. "Baguslah, ka
Kamu masuk jebakanku, Max. Pria yang menjadi klien baru Orlena ada Max. Berbeda dengan pria yang ditemuinya di restoran, Orlena bisa melihat penampilan pria itu terbilang seperti preman. Dengan sepatu boots hitam, celana jeans hitam yang robek di bagian lutut, kaos hitam, jaket kulit hitam dan kacamata hitam."Wow… apakah kamu merubah penampilanmu untukku, Tampan?" Orlena pun berjalan masuk dan menghampiri Max yang duduk di sofa. Kemudian wanita itu dengan berani duduk di atas pangkuan pria itu. Melingkarkan satu lengannya di leher Max. "Jadi kamu datang kemari setelah mengantarkan istrimu pulang, Max?" Orlena mengelus pipi pria itu dengan sentuhan menggoda.Tiba-tiba pria itu menggulingkan tubuh wanita itu ke sofa lalu menindihnya. Alih-alih meringis sakit, Orlena justru tersenyum. Kedua tangannya digantung di leher Max. "Jadi kamu ingin langsung bermain, Tampan? Kalau begitu aku akan menyanggupinya.” Orlena menarik leher Max dan langsung menciumnya. Membawa pria itu ke dalam sebu
Terdengar suara pintu lift terbuka. Seorang pria mengenakan setelan hijau keabu-abuan berjalan memasuki apartemen milik Max. Seperti biasanya dia akan menyiapkan sarapan yang dia beli dalam perjalanan. Saat masuk ke dapur, pria bernama Altherr Caspari terlonjak kaget. Pasalnya dia melihat atasannya sudah duduk di meja makan menikmati kopi paginya. Bahkan Max sudah terlihat rapi dengan setelan biru bergaris-garis merah.“Oh, God. Kamu mengejutkanku, Max.” Altherr mengelus dadanya yang berdebar kencang.Max sama sekali tidak menanggapinya karena terlalu sibuk dengan pikirannya. Kemudian Altherr memilih kembali berjalan menuju kabinet dapur. Mengeluarkan dua potongan segitiga tuna sandwich. Setelah membuang kantongnya, Altherr menghampiri Max dan meletakkan piring itu di hadapan pria itu.“Apakah Rey membuatmu tidak tidur? Karena itukah kamu sudah siap sepagi ini?” tanya Altherr, satu-satunya orang yang mengetahui masalah penyakit mental yang dialami oleh Max. Memang benar, Max memiliki
Orlena mengamati private lift yang memiliki desain yang mewah. Dengan banyaknya ornamen berwarna emas membuat lift itu tampak berkelas. Memikirkan dirinya akan bertemu dengan Max, membuat api kebencian semakin terbakar dalam dirinya. Rencana balas dendamnya pada Max sudah menjadi blueprint dalam pikirannya. Kamu akan merasakan pembalasan dariku, Pria Brengsek. Bahkan pembalasan itu akan lebih menyakitkan berkali-kali lipat dibandingkan yang kamu berikan padaku. Tekad Orlena dalam hati. Mendengar suara pintu lift terbuka, perhatian Orlena pun tertuju pada pemandangan apartemen mewah milik Max. Wanita itu melangkah keluar dari lift. Seorang pria asing berjalan menghampiri Orlena. “Selamat siang, Nona. Saya adalah Altherr Caspari. Saya adalah sekretaris Tuan Steltzer.” Pria itu mengulurkan tangannya. Wanita yang saat ini mengenakan blouse biru muda dengan rok putih itu membalas uluran tangan Altherr. “Saya adalah Orly. Lalu di mana Tuan Steltzer? Kenapa aku tidak melihat dia?” Sejak
Mia? Bukan Max dan juga bukan Rey. Tapi Mia? heran Orlena dalam hati saat mendengar jawaban dari pria itu.Akhirnya wanita itu berjalan menghampiri bathtub. Dia berlutut di samping bathtub. Dia bisa melihat Max menatapnya dengan mata berlinang dan bahunya yang masih gemetar. Kemudian Orlena mengulurkan kedua tangannya menyentuh bahu Max. Wanita itu mengguncangkan tubuh pria itu.“Dasar Menyebalkan!!! Sampai kapan kamu mau mempermainkanku, HUH? Kamu pikir dengan berpura-pura menjadi gadis cengeng bisa membuatku percaya? Dasar Pria aneh.” Omel Orlena yang berpikir Max sedang bersandiwara.Setelah puas mengguncangkan tubuh pria itu, Orlena menghentikannya untuk melihat reaksi Max. Pria itu memasang ekspresi sedih sebelum akhirnya kembali menangis keras. Bahkan karena terlalu keras membuat Orlena harus menutup kedua telinga dengan tangannya.“MIA BUKAN PRIA ANEH!!! PADAHAL MIA TIDAK MENYAKITI KAKAK, TAPI KENAPA KAKAK JAHAT PADA MIA. HUAA…..”Orlena bisa melihat Max terlihat seperti gadis
“Sayangnya aku bukan Mia, Nona cantik.” Orlena memicingkan matanya. “Kamu bukan Mia. Dan aku juga yakin kamu bukan Max. Jadi siapa kamu?” Pria beranjak naik sehingga sekarang wajahnya tepat berada di atas wajah Orlena. Tatapan mereka saling bertaut. Meskipun wajah pria di hadapannya adalah milik Max, tapi Orlena bisa merasakan hal yang berbeda dari cara pria itu menatap dirinya. Karena Orlena pernah berada di posisi yang sama seperti itu bersama dengan Rey, Orlena yakin pria di hadapannya ini bukanlah Rey. Pasalnya Rey memiliki tatapan yang sangat tajam dan juga dia sangat kasar. Sedangkan pria di hadapannya saat ini memiliki tatapan yang nakal. Orlena sudah banyak menghadapi banyak tipe pria. Wanita itu mengenali pria seperti apa dengan tatapan seperti yang dilihatnya. Pria yang sering menggoda banyak wanita. Jari telunjuk Max menyusuri garis bibir Orlena. “Aku akan memberitahumu siapa aku setelah kamu melakukan sex denganku.” Orlena tersenyum sinis. “Sex? Itu adalah perkara mud
Alarm di ponsel membuat tidur Max terganggu. Perlahan pria itu membuka matanya. Dia perlu beradaptasi dengan sinar matahari pagi yang sudah menerangi kamarnya. Kemudian pria itu mengulurkan satu tangannya untuk meraih ponselnya. Setelah mendapatkan smartphone di tangannya, Max langsung mematikan alarmnya. Dia bisa melihat jam sudah menunjukkan jam enam pagi.Tiba-tiba Max merasakan ada yang bergerak di sampingnya. Dia bahkan bisa mendengar suara seorang wanita mengerang karena tidurnya terusik. Saat Max menleh ke samping, betapa terkejutnya pria itu saat melihat Orlena berbaring di atas lengannya. Dan yang membuat Max semakin terkejut adalah wanita itu sama sekali tidak mengenakan apapun. Dia hanya menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut. “Sial. Apa yang sebenarnya terjadi semalam?” tentu saja Max tidak bisa mengingat apapun karena bukan dirinya yang menguasai tubuhnya semalam.“Yang terjadi semalam adalah kita melakukan sex.”Suara itu sontak membuat Max terkejut. Bahkan karena t
Orlena duduk di depan komputer dengan tatapan bosan. Sudah sangat lama Orlena tidak menggunakan komputer. Sehingga ketika Arthur menyuruhnya untuk memasukkan beberapa data, Orlena tidak bisa mengerjakan dengan cepat. Wanita itu menguap untuk kesekian kalinya. Semalam dia berhubungan sex dengan Troy hingga jam tiga pagi. Sehingga Orlena kurang tidur. Dan ketika jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang, wanita itu tidak bisa lagi menahan kantuknya. Orlena menelungkupkan kepalanya di atas meja dan menjadikan kedua tangannya sebagai bantal. Dalam sekejap wanita itu sudah beralih ke alam mimpi.Di ruang kerjanya, Max sedang memeriksa hasil penjualan makanan yang diproduksi oleh Kimo. Pria itu terlihat begitu serius membaca seiap angka dengan teliti. Bulan kemarin perusahaan kimo sedang dilanda masalah mengenai perusahaan lain yang meniru produk mie instan buatan kimo sehingga berbuntut pada kasus hukum. Tapi melihat penjualan bulan ini, tampaknya ada peningkatan yang signifikan. Membua