Orlena membuka pintu rumahnya. Terlihat di wajah cantiknya tampak begitu kesal. Pasalnya Bruno tidak bisa membuatnya puas. Sehingga efek obat perangsang yang diminumnya, masih bisa dirasakannya.
"Kamu sudah pulang?"
Suara itu membuat Orlena mendongak. Dia bisa melihat seorang wanita berambut pirang duduk di atas sofa besar dengan laptop berada di pangkuannya.
"Mau bagaimana lagi, Loody. Klienku sudah puas." Orlena mengangkat kedua bahunya.
"Sepertinya dia tidak bisa memuaskanmu. Bagaimana jika aku yang memuaskanmu?"
Orlena meninju perut seorang pria yang berdiri di sampingnya. Pria bernama Russel Lee itu langsung meringis sakit dan memegangi perutnya. Sedangkan Aloody yang melihatnya langsung tertawa.
"Sepertinya kamu sudah bosan disini, Russel. Apakah kamu mau diusir dari sini?" Orlena melayangkan tatapannya tajam ke arah pria itu.
Russel langsung menggelengkan kepalanya. "Ampun, Orlena. Aku masih mau hidup di sini. Ampuni nyawaku."
Orlena menganggukkan kepalanya. "Baguslah, kalau begitu jaga ucapanmu. Kalau tidak aku akan tendang burungmu."
Russel menutupi selangkangannya dengan kedua tangan untuk melindunginya dari Orlena. Aloody tidak bisa menahan tawanya melihat tingkah konyol satu-satunya pria dalam rumah ini. Sebenarnya Orlena tidak serius mengatakannya, tapi beginilah cara mereka bercanda.
Orlena menghampiri Aloody dan duduk di sampingnya. Kemudian dia memeluk wanita yang saat ini mengenakan piyama pendek dengan corak stroberi.
"Apakah kamu sudah menemukan informasinya, Loody?" tanya Orlena.
Pria berdarah Asia itu ikut duduk di samping Orlena dan memeluk wanita itu.
"Informasi apa?" tanya Russel penasaran.
"Informasi tentang pria yang memperkosa Orlena delapan belas tahun yang lalu." Jawab Aloody kembali mengotak-atik laptopnya untuk membuka sebuah dokumen.
Russel menegakkan kepalanya terkejut. "Kamu menemukannya dimana, Orlena?"
"Aku tidak sengaja bertemu dengannya saat makan malam dengan seorang klien." Jelas Orlena masih ingat dengan pertemuannya dengan Max.
"Aku sudah mengumpulkan semua informasinya." Aloody menggeser laptopnya sehingga Orlena dan Russel bisa melihat informasi itu. "Namanya Maximilian Steltzer. Presiden Direktur perusahaan Kimo."
Orlena menghela nafas berat. "Aku sudah mendengar itu. Apakah tidak ada informasi yang menarik?"
Aloody menganggukkan kepalanya. "Ada. Sebenarnya perusahaan Kino ini adalah milik keluarga istrinya, Esmee Wedler."
"Jadi pria itu menjadi Presiden Direktur karena merayu anak bosnya?" tebak Russel.
Aloody menganggukkan kepalanya. "Nilai seratus untukmu, Russel."
Orlena mendengus sinis. "Sungguh menjijikkan. Bahkan dari dulu kehidupannya masih menjijikkan. Tapi anehnya dia tidak mengenaliku. Apakah wajahku berubah banyak sejak usiaku lima belas tahun?" Orlena ingat respon Max yang biasa saja.
Aloody menggelengkan kepalanya. "Tidak, kamu tidak berubah banyak. Aku sudah melihat fotomu saat masih sekolah."
"Mungkin dia mengalami amnesia." Celetuk Russel.
"Amnesia?" Orlena melepaskan pelukannya dan menegakkan tubuhnya menatap pria di sampingnya. "Apa maksudmu?"
"Mungkin saja dia mengalami kecelakaan yang melukai kepalanya sehingga dia mengalami amnesia."
Orlena mendengus sinis. "Mungkin itu hukuman dari Tuhan."
"Lalu apa yang akan kamu lakukan untuk balas dendam, Orlena?" tanya Russel penasaran.
Bibir wanita dengan tinggi seratus enam puluh lima sentimeter itu menyunggingkan senyuman penuh arti. "Balas dendam? Aku akan menghancurkan hidupnya sampai hancur berkeping-keping."
Aloody dan Russel yang mendengarkan langsung menganggukkan kepalanya.
Russel menepuk bahu Orlena. "Kami siap membantumu, Orlena."
Aloody menganggukkan kepalanya. "Benar, karena kita adalah sahabat."
Tiba-tiba smartphone Orlena berdering. Dia mengambil benda itu dari dalam tas. Melihat nama bosnya, wanita langsung mengangkat panggilan itu.
"Ada apa, Fey?" tanya Orlena.
"Oh, Orly sayang. Apakah aku mengganggumu? Aku harap Tuan Jannings tidak keberatan." Ucap seorang wanita dengan suara centil.
"Tidak, Fey. Tuan Jannings sudah pergi. Aku bahkan sudah pulang ke rumah. Ada apa?"
"Ada seseorang yang ingin kamu menemaninya. Apakah kamu masih sanggup?"
Bibir Orlena tersenyum senang. "Tentu saja masih sanggup. Aku akan datang ke sana sekarang."
"Aku menunggumu, cantik."
Orlena memasukkan smartphone ke dalam tas. Kemudian dia berdiri. "Aku pergi dulu. Pekerjaan menantiku."
"Hati-hati, Orlena." Seru Russel.
Wanita itu melambaikan tangan sebelum akhirnya meninggalkan rumah itu.
***
"Apakah kamu tidak bisa memberikan pekerjaan ini padaku, Fey? Kenapa kamu memberikan banyak pekerjaan untuk Orly?" tanya wanita bernama Ursula sembari memegangi lengan ramping milik Feyrin Blanc.
Feyrin menghela nafas berat. "Ursula, bukan aku yang ingin memberikan pekerjaan ini pada Orlena. Tapi mereka sendiri yang meminta Orlena secara khusus. Aku tidak bisa mengecewakan klien. Lagipula kamu juga memiliki klien yang khusus memintamu, bukan? Jadi berhentilah iri pada Orlena."
Ursula mendengus kesal. "Menyebalkan. Padahal aku sudah berusaha sebaik mungkin. Tapi kenapa aku tetap menjadi nomor dua. Apakah Orlena menggunakan ilmu hitam untuk memikat mereka?" Ursula mendengus kesal.
"Benar, Ursula. Aku memang menggunakan ilmu hitam bernama 'Give the best of me'."
Seketika Ursula tersentak kaget karena tiba-tiba wanita itu berada di sampingnya.
Orlena tahu menempati posisi pertama dalam pekerjaan ini pasti banyak yang iri termasuk Ursula. "Kamu tidak bisa memberikan yang terbaik dan tidak bisa menahan emosimu, Ursula. Itulah kenapa kamu tidak bisa mengalahkanku." Orlena mendengus sinis.
Feyrin menghela nafas berat melihat Orlena dan Ursula saling melayangkan tatapan penuh kebencian.
"Sudah, sudah, jangan bertengkar. Orlena, sebaiknya kamu cepat pergi ke ruang VIP nomor satu. Dia sudah menunggumu. Dia klien baru. Jadi kuharap kamu membuat dia menjadi pelanggan tetap." Feyrin menatap Orlena penuh harap.
Wanita yang masih mengenakan gaun hitam itu mengacungkan tangannya membentuk huruf 'O'. "Siap, Bos!"
Orlena berjalan meninggalkan ruangan bosnya. Seketika wanita itu disambut dengan suara musik yang keras dan hiruk pikuk orang yang menikmati malam itu. Dia menghampiri sebuah lorong khusus. Di mana ada banyak pintu. Sampai di depan pintu VIP nomor satu, Orlena membuka pintu itu. Seketika bibirnya menyunggingkan senyuman.
***
Kamu masuk jebakanku, Max. Pria yang menjadi klien baru Orlena ada Max. Berbeda dengan pria yang ditemuinya di restoran, Orlena bisa melihat penampilan pria itu terbilang seperti preman. Dengan sepatu boots hitam, celana jeans hitam yang robek di bagian lutut, kaos hitam, jaket kulit hitam dan kacamata hitam."Wow… apakah kamu merubah penampilanmu untukku, Tampan?" Orlena pun berjalan masuk dan menghampiri Max yang duduk di sofa. Kemudian wanita itu dengan berani duduk di atas pangkuan pria itu. Melingkarkan satu lengannya di leher Max. "Jadi kamu datang kemari setelah mengantarkan istrimu pulang, Max?" Orlena mengelus pipi pria itu dengan sentuhan menggoda.Tiba-tiba pria itu menggulingkan tubuh wanita itu ke sofa lalu menindihnya. Alih-alih meringis sakit, Orlena justru tersenyum. Kedua tangannya digantung di leher Max. "Jadi kamu ingin langsung bermain, Tampan? Kalau begitu aku akan menyanggupinya.” Orlena menarik leher Max dan langsung menciumnya. Membawa pria itu ke dalam sebu
Terdengar suara pintu lift terbuka. Seorang pria mengenakan setelan hijau keabu-abuan berjalan memasuki apartemen milik Max. Seperti biasanya dia akan menyiapkan sarapan yang dia beli dalam perjalanan. Saat masuk ke dapur, pria bernama Altherr Caspari terlonjak kaget. Pasalnya dia melihat atasannya sudah duduk di meja makan menikmati kopi paginya. Bahkan Max sudah terlihat rapi dengan setelan biru bergaris-garis merah.“Oh, God. Kamu mengejutkanku, Max.” Altherr mengelus dadanya yang berdebar kencang.Max sama sekali tidak menanggapinya karena terlalu sibuk dengan pikirannya. Kemudian Altherr memilih kembali berjalan menuju kabinet dapur. Mengeluarkan dua potongan segitiga tuna sandwich. Setelah membuang kantongnya, Altherr menghampiri Max dan meletakkan piring itu di hadapan pria itu.“Apakah Rey membuatmu tidak tidur? Karena itukah kamu sudah siap sepagi ini?” tanya Altherr, satu-satunya orang yang mengetahui masalah penyakit mental yang dialami oleh Max. Memang benar, Max memiliki
Orlena mengamati private lift yang memiliki desain yang mewah. Dengan banyaknya ornamen berwarna emas membuat lift itu tampak berkelas. Memikirkan dirinya akan bertemu dengan Max, membuat api kebencian semakin terbakar dalam dirinya. Rencana balas dendamnya pada Max sudah menjadi blueprint dalam pikirannya. Kamu akan merasakan pembalasan dariku, Pria Brengsek. Bahkan pembalasan itu akan lebih menyakitkan berkali-kali lipat dibandingkan yang kamu berikan padaku. Tekad Orlena dalam hati. Mendengar suara pintu lift terbuka, perhatian Orlena pun tertuju pada pemandangan apartemen mewah milik Max. Wanita itu melangkah keluar dari lift. Seorang pria asing berjalan menghampiri Orlena. “Selamat siang, Nona. Saya adalah Altherr Caspari. Saya adalah sekretaris Tuan Steltzer.” Pria itu mengulurkan tangannya. Wanita yang saat ini mengenakan blouse biru muda dengan rok putih itu membalas uluran tangan Altherr. “Saya adalah Orly. Lalu di mana Tuan Steltzer? Kenapa aku tidak melihat dia?” Sejak
Mia? Bukan Max dan juga bukan Rey. Tapi Mia? heran Orlena dalam hati saat mendengar jawaban dari pria itu.Akhirnya wanita itu berjalan menghampiri bathtub. Dia berlutut di samping bathtub. Dia bisa melihat Max menatapnya dengan mata berlinang dan bahunya yang masih gemetar. Kemudian Orlena mengulurkan kedua tangannya menyentuh bahu Max. Wanita itu mengguncangkan tubuh pria itu.“Dasar Menyebalkan!!! Sampai kapan kamu mau mempermainkanku, HUH? Kamu pikir dengan berpura-pura menjadi gadis cengeng bisa membuatku percaya? Dasar Pria aneh.” Omel Orlena yang berpikir Max sedang bersandiwara.Setelah puas mengguncangkan tubuh pria itu, Orlena menghentikannya untuk melihat reaksi Max. Pria itu memasang ekspresi sedih sebelum akhirnya kembali menangis keras. Bahkan karena terlalu keras membuat Orlena harus menutup kedua telinga dengan tangannya.“MIA BUKAN PRIA ANEH!!! PADAHAL MIA TIDAK MENYAKITI KAKAK, TAPI KENAPA KAKAK JAHAT PADA MIA. HUAA…..”Orlena bisa melihat Max terlihat seperti gadis
“Sayangnya aku bukan Mia, Nona cantik.” Orlena memicingkan matanya. “Kamu bukan Mia. Dan aku juga yakin kamu bukan Max. Jadi siapa kamu?” Pria beranjak naik sehingga sekarang wajahnya tepat berada di atas wajah Orlena. Tatapan mereka saling bertaut. Meskipun wajah pria di hadapannya adalah milik Max, tapi Orlena bisa merasakan hal yang berbeda dari cara pria itu menatap dirinya. Karena Orlena pernah berada di posisi yang sama seperti itu bersama dengan Rey, Orlena yakin pria di hadapannya ini bukanlah Rey. Pasalnya Rey memiliki tatapan yang sangat tajam dan juga dia sangat kasar. Sedangkan pria di hadapannya saat ini memiliki tatapan yang nakal. Orlena sudah banyak menghadapi banyak tipe pria. Wanita itu mengenali pria seperti apa dengan tatapan seperti yang dilihatnya. Pria yang sering menggoda banyak wanita. Jari telunjuk Max menyusuri garis bibir Orlena. “Aku akan memberitahumu siapa aku setelah kamu melakukan sex denganku.” Orlena tersenyum sinis. “Sex? Itu adalah perkara mud
Alarm di ponsel membuat tidur Max terganggu. Perlahan pria itu membuka matanya. Dia perlu beradaptasi dengan sinar matahari pagi yang sudah menerangi kamarnya. Kemudian pria itu mengulurkan satu tangannya untuk meraih ponselnya. Setelah mendapatkan smartphone di tangannya, Max langsung mematikan alarmnya. Dia bisa melihat jam sudah menunjukkan jam enam pagi.Tiba-tiba Max merasakan ada yang bergerak di sampingnya. Dia bahkan bisa mendengar suara seorang wanita mengerang karena tidurnya terusik. Saat Max menleh ke samping, betapa terkejutnya pria itu saat melihat Orlena berbaring di atas lengannya. Dan yang membuat Max semakin terkejut adalah wanita itu sama sekali tidak mengenakan apapun. Dia hanya menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut. “Sial. Apa yang sebenarnya terjadi semalam?” tentu saja Max tidak bisa mengingat apapun karena bukan dirinya yang menguasai tubuhnya semalam.“Yang terjadi semalam adalah kita melakukan sex.”Suara itu sontak membuat Max terkejut. Bahkan karena t
Orlena duduk di depan komputer dengan tatapan bosan. Sudah sangat lama Orlena tidak menggunakan komputer. Sehingga ketika Arthur menyuruhnya untuk memasukkan beberapa data, Orlena tidak bisa mengerjakan dengan cepat. Wanita itu menguap untuk kesekian kalinya. Semalam dia berhubungan sex dengan Troy hingga jam tiga pagi. Sehingga Orlena kurang tidur. Dan ketika jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang, wanita itu tidak bisa lagi menahan kantuknya. Orlena menelungkupkan kepalanya di atas meja dan menjadikan kedua tangannya sebagai bantal. Dalam sekejap wanita itu sudah beralih ke alam mimpi.Di ruang kerjanya, Max sedang memeriksa hasil penjualan makanan yang diproduksi oleh Kimo. Pria itu terlihat begitu serius membaca seiap angka dengan teliti. Bulan kemarin perusahaan kimo sedang dilanda masalah mengenai perusahaan lain yang meniru produk mie instan buatan kimo sehingga berbuntut pada kasus hukum. Tapi melihat penjualan bulan ini, tampaknya ada peningkatan yang signifikan. Membua
Max yang sedang menyantap makan siangnya, menyentuh bibirnya. Dia ingat bagaimana ciuman Orlena nyaris menghancurkan akal sehatnya. Padahal selama ini dia ahli dalam hal menahan diri. Tapi dia tidak bisa melakukannya saat bersama dengan Orlena. Seakan wanita itu memiliki feromon yang mampu memikat dirinya. Max menggelengkan kepalanya dengan keras berusaha untuk menyingkirkan Orlena dari kepalanya. Saat dia hendak melanjutkan makannya, tiba-tiba ponselnya berdering. Pria itu meletakkan sendok di atas kotak makanannya. Kemudian dia mengambil smartphone yang tergeletak di atas meja. Dia bisa melihat nama ‘Esmee’ muncul di layar smartphone lipat miliknya.“Ada apa, Esmee?” tanya Max menyapa wanita itu setelah menggeser tombol hijau menerima panggilan itu.“Apakah aku mengganggu pekerjaanmu, Max?” tanya Esmee dengan ragu.“Tidak, aku sedang menikmati makan siangku. Jadi kamu sama sekali tidak mengganggu. Apakah ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan, Esmee?” Max yakin ada hal penting yang