Tempat yang Ivy datangi selanjutnya adalah mall besar yang berada di pusat kota.Setelah memarkirkan mobilnya di parkiran basement, Ivy tidak langsung keluar dari mobil. Di dalam mobil ia mengamati sekeliling lebih dulu. Karena setelah memasuki area mall, Ivy baru ingat kalau mall yang ia datangi saat ini adalah mall yang dinaungi oleh perusahaan Evan. “Duh jadi belanja di sini atau ngga ya? Atau aku belanja ke mall lain aja?” gumam Ivy menimbang-nimbang pilihan yang tepat. Setelah beberapa menit berpikir, Ivy memutuskan untuk tetap belanja di sini. Karena jika ia pergi ke mall lain, kemungkinan ia akan menghabiskan banyak waktu di jalan. Akhirnya Ivy pun segera turun dari mobil. Tak lupa sebelum turun ia memakai masker, selain agar wajahnya yang baru saja perawatan tidak terkena kotoran, ia juga tidak ingin ada karyawan yang menyadari kalau ia adalah istri Evan. Begitu masuk ke dalam mall, Ivy langsung naik ke lantai dua menuju tempat pakaian wanita berada. Ingin membeli gaun
“Selamat datang kak, saya terapis untuk perawatan kakak. Silahkan berganti pakaian ya kak, bajunya bisa disimpan di keranjang ini,” ucapnya ramah sambil menunjuk ke arah gantungan yang di mana selembar kain besar berwarna putih tergantung rapi.Tubuh Ivy menegang seketika mendengar perintah tersebut. “Bajunya dilepas kak?” “Iya kak, tenang aja. Selagi kakak ganti baju, nanti saya tunggu di luar dan tentunya privasi kakak terjamin aman,” jelas sang terapis kemudian berjalan keluar.Ivy pun mengangguk walaupun ia merasa malu jika harus berganti pakaian di sini. Namun karena tidak ada pilihan lain, dengan terpaksa Ivy menuruti perintah tersebut. Ia pun melepaskan pakaiannya, lalu membalut tubuhnya dengan kain spa yang sudah disediakan.“Silahkan berbaring terngkurap ya kak, nanti saya mulai dari punggung,” ucap sang terapis dengan lembut.Ivy pun mengangguk dan menuruti perintah tersebut. Ia berbaring di atas ranjang putih yang terasa begitu lembut dan hangat. Sangat nyaman sekali hing
“Ivy? Kamu ngapain disini?” tanya Naufal terlihat kaget begitu melihat pelanggan yang berada di depannya adalah sosok perempuan yang sudah lama tidak ia temui.Ivy hanya menatap wajah Naufal, tubuhnya terasa kaku. Ingatan tentang perlakuan buruk Naufal kepadanya tiba-tiba berputar di kepalanya.“Kak?” “Kak?” panggil karyawan melihat Ivy hanya terdiam. “Eh iya?” jawab Ivy dengan gugup. Ia berusaha menormalkan mimik wajahnya agar terlihat biasa saja di depan Naufal.“Jadi… jadi kamu manager di toko ini?” tanya Ivy.“Iya,” jawab Naufal singkat. Pria itu menatap Ivy dengan tatapan datar. Entah apa yang sedang ia pikirkan, Ivy pun tak tahu. Namun yang pasti Ivy ingin segera pergi dari sini. Ia begitu takut berhadapan dengan pria yang menurutnya sangat menyeramkan. “Kalau… kalau pesanan aku jadi malam ini bisa?” tanya Ivy.Sebelum Naufal menjawab pertanyaan Ivy, pria itu memberi isyarat kepada karyawan di sebelahnya untuk meninggalkan mereka berdua.“Kenapa? Semua pesanan di proses sesua
Setelah perjalanan kurang lebih selama lima belas menit, mobil Ivy akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang berada di sudut jalan. Bagian depan bangunan itu ditutupi oleh kaca, sehingga setiap orang yang lewat bisa mengetahui aktivitas di dalamnya. Dari situ juga Ivy tahu, walaupun bangunan tersebut tampak kecil, namun banyak pengunjung yang datang. Di bagian atas pintu, terdapat tulisan yang terbuat dari ukiran kayu: Kilas Kenangan. Ivy membuka pintu itu secara perlahan. Bunyi lonceng langsung menyambutnya. Beberapa orang yang berada di dalam toko langsung menatap ke arahnya sebentar, kemudian kembali fokus kepada benda di depan mereka. Ivy berkeliling untuk mengamati satu per satu cangkir-cangkir putih yang berada di etalase kaca. Sebagai orang yang menyukai seni, ia tersenyum senang melihat desain cangkir yang begitu unik dan cantik. Ivy mengedarkan pandangannya ke sekeliling toko, lalu pandangannya berhenti ke arah seorang perempuan muda yang memakai seragam berwa
Ivy keluar dari kamar menggunakan kardigan berwarna biru muda dan celana kulot dengan warna senada. Tak lupa ia membawa tas kecil favoritnya. Di ruang tamu ia melihat Evan yang sedang mengetik sesuatu di laptop. Ivy tidak berniat untuk meminta izin sebelum pergi, oleh karena itu ia melewati pria itu begitu saja. "Mau kemana?" Suara berat itu menghentikan langkah Ivy. Ia menoleh ke arah Evan, pria itu ternyata tetap memandang laptopnya. "Pergi," jawab Ivy singkat. "Kemana?" tanya Evan. Ivy diam sejenak, ia bingung apakah harus jujur atau tidak. Hingga akhirnya yang keluar dari mulutnya malah hal lain. "Kamu ngga perlu tahu!" jawab Ivy. Entah kenapa ia merasa malu kalau Evan tahu dirinya akan pergi perawatan wajah. "Saya ini masih suami kamu, saya berhak tahu kemana kamu pergi!" seru Evan dengan nada yang naik satu oktaf. "Kamu bisa ngga sih biasa aja bilangnya ngga usah bentak-bentak?" tanya Ivy dengan nada tak suka. Ia menatap Evan dengan sengit. "Perasaan saya ngga bentak-be
"Udahlah makan aja, ketimbang aku mati kelaparan," gumam Ivy. Ia mengambil piring, lalu dengan semangat mengambil nasi serta sayuran. Setelah itu, ia mulai memakannya. Sesekali ia mengawasi sekeliling, takut kalau Evan tiba-tiba datang dan melihatnya sedang makan masakannya.Ivy mempercepat durasi makan menjadi dua kali lebih cepat dari biasanya."Akhirnya kenyang juga," gumam Ivy sambil mengusap perutnya. Setelah selesai, ia langsung berdiri dan mencuci piring yang telah ia gunakan. Ia kemudian mengusap tangannya yang basah dengan kain lap.Ivy berbalik badan, dan terkejut karena Evan sudah berdiri di belakangnya."Aah kaget!" seru Ivy sambil mengangkat tangannya. Ia sama sekali tidak menyadari kehadiran pria itu.Sementara itu Evan hanya memandangnya datar, tanpa ekspresi apapun. Ivy balik menatap Evan dengan tatapan seolah tak peduli. Namun tiba-tiba Evan berjalan mendekat, membuat Ivy refleks mundur.Ivy mundur sampai tubuhnya terbentur ke wastafel. "Eeh, jangan deket-deket!" s