Di luar gedung, suara-suara perbincangan semakin keras. Warga mulai berkumpul di sekitar kantor balai desa, menyebar ke jalan-jalan, bertanya-tanya tentang apa yang terjadi dan mengapa pembunuhan itu bisa terjadi begitu dekat dengan rumah mereka.
Rasa takut mulai menguasai mereka, dan itu adalah sesuatu yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Sementara itu, Calon Kepala daerah yang tengah bersiap untuk pemilihan mendengar kabar tentang pembunuhan itu.
Mereka melihat ini sebagai kesempatan untuk menarik simpati warga. Salah satu calon yang dikenal dengan pendekatan populis, Pak Yusuf, segera mengadakan konferensi pers, menggambarkan dirinya sebagai calon yang akan mengembalikan rasa aman di desa itu.
"Kami tidak akan membiarkan desa kita jatuh ke dalam kekacauan," seru Pak Yusuf dengan penuh semangat. "Jika saya terpilih, saya akan memastikan bahwa setiap orang merasa aman di rumah mereka. Tidak ada tempat untuk kriminal di desa ini. Keamanan akan menjadi prioritas utama."
Dalam beberapa jam, kata-kata Pak Yusuf tersebar luas. Warga desa yang sebelumnya hanya merasa cemas, kini mulai berpikir bahwa mungkin inilah saatnya untuk berubah. Mereka merasa khawatir akan masa depan mereka, dan janji Pak Yusuf menawarkan rasa aman yang mereka idamkan.
Namun, Pak Dayat dan Bu Rani tidak tinggal diam. Mereka menyusun strategi untuk melawan arus ini. Sebuah langkah besar sedang dipersiapkan: mereka akan menyelenggarakan konferensi pers yang lebih besar, menyampaikan pesan bahwa pemerintahan Pak Dayat telah mengambil tindakan nyata dan tak terbantahkan untuk mengungkap pelaku, serta memastikan agar kejadian ini tidak terulang.
Keamanan akan menjadi perhatian utama, dan mereka akan bekerja sama dengan kepolisian untuk menangani situasi ini dengan cara yang profesional.
Tapi meski mereka berusaha menenangkan warga, ada satu hal yang semakin mengganggu mereka—pembunuhan ini tampaknya hanyalah permulaan dari sesuatu yang lebih besar, dan mereka belum tahu betul siapa yang sebenarnya berada di baliknya.
***
Sementara itu, di rumah Ana, dunia seolah telah berhenti berputar.
Ibu gadis itu terduduk di sudut ruang tamu dengan tatapan kosong.
Matanya merah dan bengkak karena tiap malam yang ia lalui tidak pernah membiarkan tubuhnya untuk tidur.
Setiap kali angin berhembus melewati jendela, tubuhnya terasa gemetar, mengingatkan pada malam yang mencekam itu—malam ketika putrinya ditemukan tergeletak di hutan dengan keadaan yang mengerikan.
Pikirannya terus berputar, tidak percaya bahwa anaknya, Ana, yang selalu ceria kini telah tiada dengan cara yang begitu kejam.
"Ana sudah tenang disana, Bu," kata kakak Ana, Anita, dengan suara serak yang penuh isak.
Ia mencoba menenangkan ibunya, meski dirinya sendiri juga tenggelam dalam kesedihan yang mendalam. Mereka tak bisa lagi menyentuh Ana, mendengar suaranya, atau melihat senyumnya.
Semua itu sudah lenyap begitu saja, tergantikan dengan kehampaan yang begitu sulit dipahami.
Sementara itu, ayah Ana, Pak Jaya, berdiri di dekat jendela, menatap kosong ke luar. Pikirannya masih kacau. Mereka tidak pernah membayangkan akan menemukan anaknya dalam keadaan seperti itu.
Anak mereka—yang semestinya kembali ke rumah dengan senyum—sekarang hanya menjadi kenangan yang menyakitkan. "Apa yang terjadi, Lela?" suara Pak Jaya serak. "Bagaimana bisa ini terjadi? Ana... Ana tidak pantas berakhir seperti ini."
Di rumah keluarga Uri, suasana yang sama mencekamnya. Uri terbaring di tempat tidur, tubuhnya masih gemetar meski pelukan ibunya sudah memberikan sedikit kenyamanan.
Namun, pikirannya terperangkap dalam bayangan Ana yang tergeletak tak bergerak, wajahnya dipenuhi darah yang mengering.
Kejadian semalam bukan hanya mengguncang dunia luar, tetapi juga mengguncang jJayaya. Dia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa sahabatnya yang selama ini selalu menemaninya, kini telah tiada.
Ibunya, Bu Mira, duduk di sampingnya, memeluk erat tubuh Uri yang masih terisak. Setiap kali Uri menangis, ia merasa sangat hancur. Ana bukan hanya sahabat bagi Uri, tetapi juga bagian dari hidupnya. "Uri harus kuat," bisik Bu Mira lembut, meski hatinya juga ikut hancur.
"Ini adalah ujian berat, tapi kamu harus bertahan. Ana pasti ingin Uri tetap kuat."
Namun, kata-kata itu terasa hampa bagi Uri. Ia tidak bisa mengerti mengapa Ana harus mati dengan cara seperti itu. Mengapa dia? Mengapa Ana? Pikiran itu terus mengganggu, menghantui setiap detik kehidupan Uri yang sebelumnya tenang.
Dalam kepalanya, bayangan Ana yang tergeletak dengan mata terbuka, menatap kosong ke langit, terus mengganggu. "Aku tidak bisa melupakan itu, Bu," ujar Uri dengan suara lirih.
Bu Mira mengusap kepala Uri dengan lembut, berusaha menenangkan anaknya, meskipun ia sendiri juga merasa sangat cemas dan bingung.
Hatinya penuh dengan rasa takut—takut akan dampak dari kejadian ini, takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Kami akan mencari kebenaran, Uri," katanya. "Kami akan memastikan bahwa siapa pun yang melakukan ini akan dihukum. Tapi kamu harus kuat, nak. Kamu tidak sendirian."
Namun, meskipun kata-kata itu mencoba memberi sedikit penghiburan, Uri merasa semakin terperangkap dalam kegelapan.
Semalam, ia merasa begitu kecil dan tak berdaya, menyaksikan bayangan Ana yang tergeletak di hutan. Sekarang, meskipun di tengah kenyamanan rumahnya, perasaan terperangkap itu tetap ada, menghantui pikirannya tanpa henti.
Di sisi lain, ayah Uri berdiri di depan pintu, menatap ke luar dengan ekspresi yang tak tergambarkan.
Sejak semalam, dia merasa gelisah. Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Mengapa ini semua bisa terjadi?
Rian menghela napas panjang. "Aku mau pergi kerumah Jaya, kami harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi!’’
Deg!
Bu Mira menatap suaminya, menyadari betapa gelisahnya hati pria yang selalu ia kenal sebagai sosok yang kuat itu. "Tapi, Pak---"
"Ini harus..." jawabnya pelan dan bersungguh-sungguh.Rian berdiri tegak, menatap Pak Jaya dengan tatapan serius. “Jangan buru-buru mengambil kesimpulan. Kita belum tahu apa-apa,” katanya tegas, meski nada suaranya tak sepenuhnya bisa menyembunyikan kecemasan.Mereka berpencar, memeriksa setiap sudut ruangan. Setiap lembar dokumen yang mereka sentuh terasa seperti menyimpan rahasia gelap. Ketika Rian sampai di meja utama yang sedikit berbeda dengan meja lain diruangan tersebut, ia menemukan laci yang terkunci. Ia mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan dengan satu gerakan kecil namun terlihat cekatan, membuka kunci itu.Di dalam laci, terdapat setumpuk dokumen yang terlihat resmi. Namun, di antara dokumen-dokumen itu, ada satu dokumen yang terlihat berbeda. Sebuah daftar pembayaran utang besar, dengan nama-nama yang tertulis rapi. Nama Pak Jaya ada di sana, disertai angka yang mencengangkan. Tapi bukan itu yang membuat darah Rian membeku, melainkan catatan kecil di sudut bawah dokumen. Tulisan tinta merah mencolok itu berbunyi:"Akan d
Untungnya, kehadiran pasukan buzzer yang sudah mulai bekerja membuat narasi perlahan mulai berubah.Berita pertama yang muncul adalah bahwa Pak Yusuf mencoba memanfaatkan tragedi ini untuk meningkatkan elektabilitasnya.Di media sosial, pesan-pesan yang disebarkan oleh buzzer pemerintah mulai meresap ke dalam benak warga.[Pak Yusuf berusaha meraih simpati dengan cara yang tidak pantas, menjadikan tragedi kematian Ana sebagai alat untuk meraih kekuasaan]Bahkan, ada juga yang mulai mengaitkan Pak Yusuf dengan spekulasi yang lebih gelap, seperti dugaan bahwa dia memiliki koneksi dengan orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu dalam peristiwa pembunuhan ini.Pada awalnya, warga merasa bingung dengan berita-berita yang beredar. Namun, semakin banyak informasi yang masuk, semakin banyak juga yang mulai meragukan niat Pak Yusuf. Mereka merasa khawatir bahwa dia mungkin memang menggunakan tragedi ini untuk menambah peluangnya dalam pemilihan, dan hal itu membuat beberapa warga mulai
Senyum tipis muncul di wajah Joko. "Dan kalian pikir kami tidak tahu? Bahkan jika kita ingin mencari pembunuh, kita harus melihat semua kemungkinan, termasuk kalian berdua."Pak Jaya menundukkan kepalanya, seolah-olah mencoba menenangkan dirinya.Suasana dalam ruangan itu berubah menjadi hening, hanya terdengar suara nafas yang tertahan. Bu Lela menatap suaminya dengan cemas, tetapi tidak mengucapkan sepatah kata pun.“Baiklah, satu pertanyaan terakhir, apakah nama-nama yang kalian berikan padaku sama dengan yang kalian berikan pada bocah kota itu ?”Pak Jaya tetap tertunduk tanpa membalas pertanyaan Joko.“Diam saja ? baiklah, kami izin pamit. Terima kasih atas kerjasamanya, dan mungkin kami akan kembali lagi dalam waktu dekat.” Ucap Joko yang berjalan keluar pintu.Joko telah keluar dari rumah Pak Jaya namun Ketegangan yang dia bawa kedalam rumah itu semakin memuncak saat Joko mengungkapkan kenyataan bahwa Ana bukan anak kandung Pak Jaya. Apakah hal ini akan membuka tabir kebenaran
“Akhirnya! Itu baru informasi yang berguna. Segera lakukan penyelidikan lebih lanjut! Jangan biarkan satu pun petunjuk terlewat!”Rimbawa tampak lega. Sayangnya, para penyidik kini merasa kekurangan dukungan dan petunjuk yang lebih jelas...Padahal di luar gedung kepolisian, wartawan dan masyarakat semakin menuntut jawaban. Mereka semakin curiga dengan keterlambatan penyelidikan yang tampak lamban dan tidak terarah.Di desa-desa, orang-orang mulai berbicara tentang ketidakmampuan aparat kepolisian untuk mengungkap pelaku pembunuhan Ana. Mereka bahkan mulai mencibir kinerja Kepala Kepolisian, yang dipandang lebih sebagai seorang politikus daripada seorang penegak hukum.Namun, tanpa sadar, di balik ketidaksepahaman ini, sebuah petunjuk berharga mungkin saja telah terlewatkan. Mungkin saja, jawabannya sudah ada, tetapi hanya disembunyikan di antara kebingungan yang terus menghantui setiap langkah mereka....Di sisi lain, suasana sekitar rumah Pak Jaya tampak kembali hening setelah keda
Di kantor polisi....Suasana semakin tegang. Berita mengenai penemuan mayat Ana yang mengerikan telah menyebar cepat, dan tekanan dari berbagai pihak semakin meningkat. Meski mereka berusaha bekerja dengan cepat, perkembangan penyelidikan justru tampak lambat, tidak sesuai dengan harapan masyarakat yang sudah terlanjur cemas. Di ruang penyelidikan, kepala kepolisian kota, Jenderal Rimbawa, sedang duduk di meja kerjanya dengan wajah yang tampak kebingungan.Jenderal Rimbawa adalah seorang pria tua berumur 60 Tahun dengan postur tubuh yang masih tegap, meskipun tampak semakin kurus dan lelah. Rambutnya yang dulu hitam kini berubah menjadi abu-abu, dengan beberapa bagian yang hampir memutih, mencerminkan usianya yang semakin menua. Wajahnya terkesan keras, dengan garis-garis kedutan di dahi dan sekitar matanya, menunjukkan pengalaman panjang yang dilalui dalam dunia militer dan kepolisian. Namun, ada sesuatu yang tampak kikuk dalam tatapan matanya—sebuah kebingungan yang seolah mengabur
Dua Keluarga yang terlibat, tetapi seluruh warga merasakan kengerian yang sama.Mereka bahkan tidak bisa lagi menutupi rasa takut mereka. Namun, para pemimpin justru sibuk memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan pribadi mereka.Saat ini, Pak Jaya duduk di ruang tamu sembari memandang ke luar jendela. Wajahnya cemas, sementara pikirannya bergulir cepat.Dicobanya menganalisis setiap kejadian yang mungkin mengarah pada pembunuhan yang mengerikan itu.Di sisi lain, Bu Lela, berdiri di dapur, sibuk menyiapkan secangkir teh hangat. Suasana di rumah terasa berat, bahkan aromanya pun tidak sehangat biasanya. Belum sempat ia menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, terdengar ketukan keras di pintu depan. Tanpa berpikir panjang, Bu Lela membuka pintu, dan di sana berdiri keluarga Ana—Rian, Pak Dedi dan beberapa tetangga yang mereka kenal baik.“Pak Jaya,” kata Rian dengan suara berat, penuh beban. "Kami… kami datang untuk berbicara."Pak Jaya berdiri, menyambut mereka dengan tatapan penuh per