LOGINSepanjang sisa jam kerja, konsentrasiku benar-benar buyar. Angka-angka di laporan triwulan yang tadinya familiar kini terlihat menari-nari seperti hieroglif kuno yang tak bisa kupecahkan. Grafik penjualan produk elektronik yang biasanya bisa kuanalisis dengan mata tertutup, sekarang tampak seperti lukisan abstrak yang tidak masuk akal. Presentasi untuk klien besar besok pagi, yang seharusnya menjadi prioritas utama, tiba-tiba terasa tak penting lagi dibanding badai pikiran yang berkecamuk di benakku.
Bayangan senyum Dinda bersama lelaki asing itu terus berputar di kepalaku seperti film yang diputar berulang-ulang. Setiap detail dari foto itu kini tersimpan dengan jelas di memoriku: cara lelaki itu merangkul Dinda, ekspresi bahagia di wajah istriku, bahkan brand tas mewah yang digendong pria itu; sebuah Louis Vuitton yang harganya pasti setara dengan gajiku selama tiga bulan.
Pertanyaan-pertanyaan tak terucap mulai berdesakan di pikiranku. Siapa lelaki itu sebenarnya? Sudah berapa lama Dinda mengenalnya? Mengapa mereka tampak begitu akrab? Dan yang paling mengganggu: mengapa aku baru mengetahui keberadaan lelaki ini dari foto yang dikirim istri orang lain?
Jam dinding kantor yang biasanya berdetak pelan kini terdengar seperti genderang perang. Tick... tock... tick... tock... Setiap detiknya terasa menyiksa, seolah waktu bergerak dengan kecepatan siput.
Rekan-rekan kerja di sekelilingku tampak asyik dengan aktivitas masing-masing. Ada yang sedang telepon dengan klien, ada yang mengetik laporan dengan semangat, dan ada pula yang tertawa kecil membaca chat di ponsel. Kehidupan mereka berjalan normal, sementara duniaku terasa sedang runtuh perlahan.
Ketika jam menunjukkan pukul 12:30, waktu makan siang, aku sama sekali tak merasakan lapar. Perut yang biasanya sudah berbunyi minta diisi sejak jam 11:30 kini terasa kosong namun mual. Aku memutuskan untuk tetap duduk di mejaku, menatap ponsel yang tergeletak di samping tumpukan berkas.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, entah karena lapar atau cemas, aku mengangkat ponsel dan mencari kontak "Sayang" di daftar panggilan. Foto profil Dinda yang tersenyum manis dengan latar belakang pantai Ancol saat liburan bulan lalu menyapa mataku. Ia tampak begitu bahagia saat itu, dengan rambut yang tertiup angin laut dan mata yang berbinar penuh cinta saat menatap kameraku.
Jempolku menekan tombol panggil dengan ragu. Nada sambung terdengar... panjang... kosong... sepi. Satu... dua... tiga... empat... lima kali bunyi, lalu otomatis terputus. Tidak ada jawaban.
Mungkin Dinda sedang meeting, pikirku sambil mencoba menenangkan diri. Ya, pasti begitu. Ia sering bilang bahwa ponselnya harus di-silent saat presentasi dengan klien. Tapi kenapa ada perasaan was-was yang semakin menguat?
Aku mencoba lagi. Kali ini kutekan nomor Dinda dengan lebih cepat, berharap ia akan segera mengangkat dan menjelaskan segalanya dengan suara riang seperti biasanya. Tapi hasilnya sama: nada sambung yang panjang, hampa, dan berujung pada keheningan.
Panggilan kedua, ketiga, keempat, hingga kelima; semuanya berakhir dengan kehampaan yang sama. Setiap kali nada sambung berbunyi tanpa jawaban, dadaku terasa semakin sesak. Keringat dingin mulai membasahi pelipisku meski AC kantor menyala penuh.
Apakah saat ini, Dinda sedang bermesraan di hotel bersama lelaki itu? Bayangan tak menyenangkan tiba-tiba melintas di kepalaku.
Kecemasan yang semula hanya berupa bisikan samar kini berubah menjadi raungan menggelegar di benakku. Mengapa Dinda tidak mengangkat teleponku? Dalam tiga tahun pernikahan kami, jarang sekali ia tidak merespons panggilanku, apalagi sampai lima kali berturut-turut. Bahkan saat ia sedang dalam meeting paling penting sekalipun, Dinda biasanya akan mengirim pesan singkat: "Meeting dulu sayang, nanti telpon balik ya."
Mengapa ia harus berduaan dengan lelaki itu di mall, dengan senyum seakrab itu? Dan mengapa aku harus mendengar kabar ini dari orang lain, bukan dari Dinda langsung? Transparansi selalu menjadi fondasi hubungan kami. Dinda biasanya bercerita detail tentang hari-harinya, mulai dari menu makan siang di kantin kantor hingga gossip kecil tentang rekan kerja.
Pikiran terburukpun kembali menghinggapi benakku. Jangan-jangan... jangan-jangan Dinda memang sedang ada di hotel saat ini? Bersama lelaki paruh baya berjas mahal itu? Mungkin mereka sedang...
"Sial!" umpat aku dalam hati, mencoba mengusir pikiran negatif yang semakin liar. Tapi bayangan itu terus berputar seperti kaset rusak yang tidak bisa dihentikan.
Sepanjang sisa hari kerja, aku tidak tenang sama sekali. Setiap kali ada rekan kerja yang tertawa, aku merasa mereka sedang membicarakanku. Setiap kali ada yang berbisik-bisik, aku paranoid bahwa mereka sudah tahu tentang foto itu. Bayang-bayang kebahagiaan rumah tanggaku yang selama ini kukira sempurna, mendadak terasa retak dan rapuh, terancam oleh sehelai foto yang tak terduga.
Jam 3 sore, satu jam sebelum aku selesai kerja, ponselku berdering. Nama "Sayang" muncul di layar dengan nada dering khusus yang sudah kusetting: lagu "Perfect" dari Ed Sheeran yang menjadi soundtrack pernikahan kami.
Jantungku berdebar kencang, campuran antara lega dan masih tersisa kecemasan. Aku segera mengangkat telepon dengan tangan yang masih sedikit gemetar.
Dinda tidak membuang waktu untuk foreplay yang panjang. Dia hanya menciumku dengan brutal, ciuman yang terasa putus asa dan liar. Bibirnya bergerak cepat di bibirku, lalu turun ke leher dan dadaku. Aku merasakan gairahnya yang membara di setiap sentuhannya.Dia mendorongku hingga aku terlentang sempurna di ranjang. Lalu, Dinda dengan cepat memosisikan dirinya di atasku. Dia menduduki milikku dengan satu gerakan cepat dan kuat, menenggelamkan diriku hingga pangkal dengan bunyi "shlup" yang basah.“Ah! Akhirnya!” erangnya, suaranya mengandung campuran kepuasan dan kemarahan karena tertunda.Dinda memimpin. Dia menggoyangkan pinggulnya dengan ritme yang liar dan tidak teratur, seolah dia sedang mencoba menggoyang lepas segala rasa frustrasi dan gairah yang menumpuk di kantor. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, mencengkeram kepalaku dengan kedua tangan, dan menciumku tanpa henti. Ciumannya kini bukan lagi ciuman istri, tapi ciuman seorang wanita yang mencari pemuas, yang menggunakan tub
Akhirnya Dinda selesai juga membersihkan diri di kamar mandi. Aku mengikutinya ke kamar dan duduk di tepi ranjang. Aku menunggu dia ganti baju. Aku duduk di sana, tidak bergerak, seolah kehadiranku adalah patung batu. Dia risih dan sempat menegurku, "Mas, jangan lihatin begitu dong!" Tapi aku tidak peduli. Aku hanya duduk di tepi ranjang, menunggunya.Dinda melepas handuknya, dan aku meneliti setiap inci kulitnya di bawah cahaya lampu kamar. Aku mencari jejak; noda merah di leher, gigitan samar di bahu. Tak ada. Itu berarti, Pak Rendra mungkin tidak sempat membuat lukisan kepemilikan di kulit istriku dengan kecupan bibirnya. Atau, mungkin Dinda yang menolak. Sebab setahuku, Dinda memang jarang mau aku hisap kulitnya kuat-kuat sampai berwarna merah.Kini Dinda mengenakan pakaian tidur sutra tipis berwarna maroon, hadiah dariku, ironisnya. Dia berbaring di ranjang. Aku juga segera berbaring di sebelahnya. Tapi aku tidak memeluknya. Aku menjaga jarak satu bantal, menciptakan ruang dingin
Pagi hari berjalan seperti biasanya; alarm berbunyi jam setengah enam, suara burung yang mulai berkicau di luar jendela, dan aroma kopi yang mulai menyeruak dari dapur. Kami bangun dengan mata yang masih setengah terpejam, lalu bersiap dengan rutinitas yang sudah hafal di luar kepala.Kami sarapan bersama di meja makan kecil kami sebelum berangkat ke kantor masing-masing.Namun ada yang berbeda pagi ini. Ada ketegangan halus yang menggantung di udara, sebuah antisipasi yang tidak terucap."Sayang, sepertinya hari ini kamu harus lebih agresif..." ucapku memprovokasinya sambil menyesap kopi. Mataku tak lepas dari penampilannya. Hari ini dia mengenakan pakaian kantor yang menurutku cukup seksi; bahkan mungkin terlalu seksi untuk standar kantoran biasa.Blazer hitam yang pas di tubuhnya, dipadukan dengan blus putih yang dikancing agak rendah, memperlihatkan lekukan lehernya yang mulus. Roknya ketat dan cenderung pendek, memperlihatkan sebagian paha mulusnya yang terbalut stocking tipis be
Kami sampai di rumah jam 11 malam lebih. Lelah memang, tapi ada perasaan aneh yang menggantung di dadaku. Acara pesta itu cukup seru; musik jazz yang mengalun lembut, hidangan mewah yang tersaji di meja panjang, dan percakapan bisnis yang terselip di antara tawa para tamu. Dan yang paling penting, aku akhirnya melihat dan disapa langsung oleh bos utama dari perusahaan pusat.Pria itu hadir seperti bayangan yang tiba-tiba mewujud. Meski hanya sebentar, tidak lebih dari lima menit, aku merasa senang, bahkan sedikit bangga. Aku baru melihatnya sekarang secara langsung. Dia belum terlalu tua. Masih 50an tahun usianya, dengan rambut beruban tipis di pelipisnya. Pendiam, tegas, tak banyak bicara. Tatapannya tajam, seolah mampu membaca setiap orang hanya dalam sekejap. Jabat tangannya singkat tapi kuat, meninggalkan kesan yang dalam.Kini aku dan Dinda sudah berganti pakaian tidur. Kamar kami diterangi lampu tidur yang redup, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan dinginnya AC. Kami
Dinda tampak gelisah. Atau entah apa. Dan aku kembali menuntut dia segera bercerita. Dengan wajah semakin memerah, dan bahasa tubuh aneh yang keluar dengan sendirinya, yang aku tahu jika saat itu ia merasa sangat gugup, ia akhirnya melanjutkan.“Terus dia menurunkan celana dalamku. Tanganku refleks menutupi ituku dan aku mengatakan jangan. Tapi dengan lembut, dia menyingkirkan tanganku. Aku tidak melawan, hanya memejamkan mata. Tubuhku sangat tegang. Dan dia... mulai mencium bagian itu. Bibirnya menyentuh lembut, menghisap ituku... baru kemudian... dia menjulurkan lidahnya. Entah kenapa, baru sebentar saja, aku... aku sudah sampai. Perasaan takut, penasaran, malu... semuanya bercampur menjadi satu. Tapi di saat yang sama, entah kenapa aku menangis. Aku tak bisa mengendalikan diriku. Pak Rendra merasa bersalah, lalu menyuruhku pulang. Padahal, jika dia mau, aku juga nggak akan menolak...”“Kamu menangis?”“I-iya mas. Aku takut. Aku ingat kamu...” kata Dinda. Aku sama sekali tak melihat
Aku terpaku. Kaki seperti tertanam di lantai keramik. Otak langsung berputar cepat, mencoba memproses apa yang baru saja kudengar.Aku bertanya-tanya seketika; apakah Pak Rendra ada di dalam kamar mandi? Tidak mungkin. Aku baru saja masuk, tidak melihat mobil asing di depan rumah. Tidak ada sepatu lelaki di dekat pintu. Rumah sepi total kecuali suara dari kamar mandi itu.Aku menajamkan pendengaranku, mendekatkan kepala ke pintu yang tertutup rapat. Tidak ada suara percakapan. Tidak ada suara gerakan dua orang. Tidak ada erangan lelaki. Hanya desahan Dinda saja; terputus-putus, lirih, penuh kenikmatan yang dia coba tahan.Realisasi itu memukul kepalaku seperti palu. Dia sedang bermasturbasi. Sendiri. Sambil membayangkan Pak Rendra.Gila. Fantasinya sudah sampai tahap itu? Sejauh ini? Bahkan sendirian di kamar mandi, dia masih terobsesi dengan lelaki itu hingga harus melampiaskannya dengan cara seperti ini?Pertanyaan-pertanyaan baru bermunculan, berdesakan di kepalaku. Apakah itu arti







