Share

Senyum Penuh Cinta

Auteur: Calibrie
last update Dernière mise à jour: 2025-07-22 15:05:08

"Sayang, kamu tadi telepon ya?" suara Dinda terdengar seperti biasa; hangat, lembut, dengan sedikit nada manja yang selalu membuatku meleleh. "Maaf, ponselku ketinggalan di kantor. Tadi aku pergi dengan atasanku, ketemu klien di Mall Anggrek. Baru balik ke kantor sepuluh menit yang lalu dan lihat ada missed call dari kamu."

Mall Anggrek. Tempat yang sama dengan foto itu.

"Oh... iya sayang. Tadi aku cuma kangen dan pengen telepon..." balasku sekenanya, berusaha membuat suara terdengar normal meski berbagai pertanyaan berdesakan ingin keluar. "Gimana meetingnya? Lancar?"

"Alhamdulillah lancar, sayang. Kliennya approve proposal kami. Atasanku sampai treat makan siang di foodcourt sebagai celebration kecil-kecilan." Dinda terdengar riang, sama seperti biasanya saat ia mendapat kabar baik dari kantor.

Aku merasa sedikit lega mendengar penjelasan itu. Dinda tidak menyembunyikan fakta bahwa ia pergi bersama atasannya. Transparansi yang kuharapkan masih ada. Tapi... kenapa mereka harus seakrab itu? Kenapa tangan lelaki itu harus merangkul pinggang Dinda dengan cara yang terlihat begitu... intim?

"Siapa atasanmu itu, sayang? Aku belum pernah denger cerita tentang dia," tanyaku hati-hati, berusaha tidak terdengar mencurigakan.

"Oh, dia Pak Rendra. Direktur Marketing yang baru, baru tiga bulan ini pindah dari kantor pusat di Singapore. Orangnya baik banget, sayang. Experience-nya luar biasa, banyak banget yang bisa kupelajari dari beliau."

Pak Rendra. Akhirnya aku punya nama untuk lelaki dalam foto itu.

"Oh... okay sayang. Nanti cerita lebih detail di rumah ya. Aku masih ada kerjaan yang harus diselesaikan," kataku, masih berusaha terdengar santai.

"Oke sayang. Aku juga masih ada laporan yang harus difinish sebelum pulang. Nanti kita dinner bareng ya. Love you!"

"Love you too," jawabku sebelum sambungan terputus.

Aku menatap layar ponsel yang kembali gelap, perasaan campur aduk masih berkecamuk di dadaku. Di satu sisi, aku lega karena Dinda terbuka soal pertemuannya dengan atasannya. Tapi di sisi lain, ada yang masih mengganjal. Foto itu... keakraban itu... apakah benar hanya sebatas hubungan profesional?

Malam nanti, aku harus bicara lebih serius dengan Dinda. Aku perlu mendengar penjelasan lengkap tentang Pak Rendra, tentang hubungan kerja mereka, dan tentang foto yang telah mengusik ketenangan rumah tanggaku.

Tapi bagaimana caranya bertanya tanpa terlihat seperti suami yang posesif dan tidak percaya? Bagaimana cara mengungkapkan keresahanku tanpa merusak kepercayaan yang telah kami bangun selama ini?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku sementara aku berusaha menyelesaikan sisa pekerjaan, menunggu waktu pulang yang rasanya masih sangat lama.

Pukul empat sore, ketika jarum jam kantor terasa berjalan begitu lambat, akhirnya aku bisa melangkahkan kakiku keluar dari gedung. Jalanan seperti biasa, macet parah. Tapi pikiranku jauh lebih macet dari lalu lintas di depanku. Foto di ponsel Andri masih berkelebat, menari-nari di pelupuk mataku. Setiap klakson yang berbunyi, setiap wajah yang berpapasan, terasa menggemakan pertanyaan yang sama: siapa pria itu?

Setibaku di depan rumah minimalis kami yang asri, sebuah kejutan menanti. Lampu ruang tengah sudah menyala terang, dan aroma masakan gurih menyeruak dari dalam. Dinda sudah lebih dulu pulang. Sebuah kelegaan kecil menyelinap, sekaligus kecemasan baru. Bagaimana aku harus menghadapi Dinda?

Begitu aku membuka pintu, Dinda sudah berdiri di ambang ruang tengah. Senyumnya merekah, matanya berbinar menyambut kedatanganku. “Hai, Sayang! Akhirnya kamu juga. Kok tumben agak telat?” sapanya riang, suaranya selembut belaian angin senja. Dinda mengenakan daster rumahan yang nyaman, rambutnya diikat longgar, menambah kesan santai namun tetap memancarkan aura cantiknya.

Ia mendekat, melingkarkan tangannya di pinggangku, dan mencium pipiku dengan penuh kasih. Sentuhan itu familiar, hangat, dan penuh cinta, seperti biasa. Tidak ada gurat cemas atau raut bersalah di wajah Dinda. Wanita itu tampak polos, murni, seolah tidak ada apa-apa yang terjadi di siang hari.

“Tadi ada kerjaan sedikit, sayang. Klien baru,” jawabku, berusaha terdengar normal. Lidahku terasa kelu. Aku membalas pelukan Dinda, merasakan kehangatan tubuh istriku yang selalu berhasil membuatku nyaman. Tapi kali ini, kenyamanan itu berbalut keraguan yang menusuk. Bagaimana bisa Dinda bersikap seolah tidak terjadi apa-apa? Apakah ia pandai menyembunyikan sesuatu, atau memang tidak ada yang perlu disembunyikan?

“Oh, begitu. Sudah mandi sana, terus makan. Aku sudah masak makanan kesukaanmu, lho,” ucap Dinda riang sambil melepaskan pelukannya dan menuntunku menuju kamar mandi.

Aku masuk ke kamar mandi, tatapanku menyapu sekeliling. Pandanganku jatuh pada celana dalam Dinda yang masih tergantung di gantungan pakaian. Celana dalam itu, berwarna biru muda dengan renda putih, lupa belum dimasukkan dalam keranjang pakaian kotor.

Entah dorongan apa yang membuatku melakukan itu, tapi aku tiba-tiba merasa iseng, atau mungkin dorongan dari kecurigaan yang menggerogoti. Tanganku terulur, mengambil celana dalam itu. Aku memeriksanya dan di sanalah aku menemukan sesuatu yang membuat jantungku seolah berhenti berdetak.

Tiga helai rambut keriting, tersemat di serat kain. Dan di dekatnya, samar, ada bekas cairan yang sudah mengering. Hatiku terasa ngilu seketika. Sebuah jarum dingin menusuk ulu hatiku. Aku yakin, baru dua hari yang lalu Dinda mencukur rambut kewanitaannya. Aku tahu karena setelah Dinda bercukur, kami bercinta. Aku selalu bersemangat jika miliknya itu bersih dari rambut. Dan cairan itu… apakah itu…

Dunia seolah berputar. Napasku tercekat. Kepingan puzzle mulai berserakan di benakku, membentuk sebuah gambaran yang mengerikan. Foto di mal, telepon yang tak diangkat, dan kini... bukti kecil namun menohok ini. Darahku berdesir panas, amarah nyaris meluap. Namun, entah kekuatan dari mana, aku berusaha keras untuk menahan diri dan bersikap tenang. Aku harus menguasai diriku. Aku tidak boleh gegabah. Aku harus mengumpulkan bukti kuat sebelum menduduh istriku selingkuh.

Aku dengan cepat meletakkan kembali celana dalam itu di tempatnya, seolah tak terjadi apa-apa. Aku buru-buru menyalakan keran, membasuh wajahku, mencoba menghilangkan gurat kemarahan dan kekecewaan yang mungkin tercetak di sana.

Duduk di meja makan, Dinda bercerita tentang harinya di kantor, keluhan tentang kemacetan, dan rencana kami untuk akhir pekan nanti. Ia tertawa, sesekali menyuapiku, benar-benar seperti Dinda yang kukenal selama ini. Aku mengamati setiap gerak-gerik Dinda, setiap nada suaranya, mencoba menemukan ketidaksesuaian. Namun, tidak ada. Hanya ada istriku yang ceria, penuh perhatian, dan tampak begitu mencintai diriku.

Kontras antara foto di ponsel Andri, celana dalam itu, dan Dinda yang kini ada di depanku begitu tajam, membuat kepalaku pening. Apakah aku terlalu berlebihan? Apakah kecurigaanku hanya sekadar imajinasiku sendiri? Atau justru, kemampuan Dinda untuk bersandiwara begitu sempurna, hingga mampu menutupi segala jejak pengkhianatan? Aku tidak tahu. Dan ketidakpastian itu terasa lebih menyiksa daripada kenyataan pahit sekalipun.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (1)
goodnovel comment avatar
Didin Holidin
mantaaabs thor
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • Jejak Lelaki Lain Di Tubuh Istriku   Mabuk Pengkhianatan Dan Cinta

    Dinda tidak membuang waktu untuk foreplay yang panjang. Dia hanya menciumku dengan brutal, ciuman yang terasa putus asa dan liar. Bibirnya bergerak cepat di bibirku, lalu turun ke leher dan dadaku. Aku merasakan gairahnya yang membara di setiap sentuhannya.Dia mendorongku hingga aku terlentang sempurna di ranjang. Lalu, Dinda dengan cepat memosisikan dirinya di atasku. Dia menduduki milikku dengan satu gerakan cepat dan kuat, menenggelamkan diriku hingga pangkal dengan bunyi "shlup" yang basah.“Ah! Akhirnya!” erangnya, suaranya mengandung campuran kepuasan dan kemarahan karena tertunda.Dinda memimpin. Dia menggoyangkan pinggulnya dengan ritme yang liar dan tidak teratur, seolah dia sedang mencoba menggoyang lepas segala rasa frustrasi dan gairah yang menumpuk di kantor. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, mencengkeram kepalaku dengan kedua tangan, dan menciumku tanpa henti. Ciumannya kini bukan lagi ciuman istri, tapi ciuman seorang wanita yang mencari pemuas, yang menggunakan tub

  • Jejak Lelaki Lain Di Tubuh Istriku   Hal Yang Tak Selesai Di Kantor

    Akhirnya Dinda selesai juga membersihkan diri di kamar mandi. Aku mengikutinya ke kamar dan duduk di tepi ranjang. Aku menunggu dia ganti baju. Aku duduk di sana, tidak bergerak, seolah kehadiranku adalah patung batu. Dia risih dan sempat menegurku, "Mas, jangan lihatin begitu dong!" Tapi aku tidak peduli. Aku hanya duduk di tepi ranjang, menunggunya.Dinda melepas handuknya, dan aku meneliti setiap inci kulitnya di bawah cahaya lampu kamar. Aku mencari jejak; noda merah di leher, gigitan samar di bahu. Tak ada. Itu berarti, Pak Rendra mungkin tidak sempat membuat lukisan kepemilikan di kulit istriku dengan kecupan bibirnya. Atau, mungkin Dinda yang menolak. Sebab setahuku, Dinda memang jarang mau aku hisap kulitnya kuat-kuat sampai berwarna merah.Kini Dinda mengenakan pakaian tidur sutra tipis berwarna maroon, hadiah dariku, ironisnya. Dia berbaring di ranjang. Aku juga segera berbaring di sebelahnya. Tapi aku tidak memeluknya. Aku menjaga jarak satu bantal, menciptakan ruang dingin

  • Jejak Lelaki Lain Di Tubuh Istriku   Dinda Izin telat Pulang

    Pagi hari berjalan seperti biasanya; alarm berbunyi jam setengah enam, suara burung yang mulai berkicau di luar jendela, dan aroma kopi yang mulai menyeruak dari dapur. Kami bangun dengan mata yang masih setengah terpejam, lalu bersiap dengan rutinitas yang sudah hafal di luar kepala.Kami sarapan bersama di meja makan kecil kami sebelum berangkat ke kantor masing-masing.Namun ada yang berbeda pagi ini. Ada ketegangan halus yang menggantung di udara, sebuah antisipasi yang tidak terucap."Sayang, sepertinya hari ini kamu harus lebih agresif..." ucapku memprovokasinya sambil menyesap kopi. Mataku tak lepas dari penampilannya. Hari ini dia mengenakan pakaian kantor yang menurutku cukup seksi; bahkan mungkin terlalu seksi untuk standar kantoran biasa.Blazer hitam yang pas di tubuhnya, dipadukan dengan blus putih yang dikancing agak rendah, memperlihatkan lekukan lehernya yang mulus. Roknya ketat dan cenderung pendek, memperlihatkan sebagian paha mulusnya yang terbalut stocking tipis be

  • Jejak Lelaki Lain Di Tubuh Istriku   Membahas Kompensasi

    Kami sampai di rumah jam 11 malam lebih. Lelah memang, tapi ada perasaan aneh yang menggantung di dadaku. Acara pesta itu cukup seru; musik jazz yang mengalun lembut, hidangan mewah yang tersaji di meja panjang, dan percakapan bisnis yang terselip di antara tawa para tamu. Dan yang paling penting, aku akhirnya melihat dan disapa langsung oleh bos utama dari perusahaan pusat.Pria itu hadir seperti bayangan yang tiba-tiba mewujud. Meski hanya sebentar, tidak lebih dari lima menit, aku merasa senang, bahkan sedikit bangga. Aku baru melihatnya sekarang secara langsung. Dia belum terlalu tua. Masih 50an tahun usianya, dengan rambut beruban tipis di pelipisnya. Pendiam, tegas, tak banyak bicara. Tatapannya tajam, seolah mampu membaca setiap orang hanya dalam sekejap. Jabat tangannya singkat tapi kuat, meninggalkan kesan yang dalam.Kini aku dan Dinda sudah berganti pakaian tidur. Kamar kami diterangi lampu tidur yang redup, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan dinginnya AC. Kami

  • Jejak Lelaki Lain Di Tubuh Istriku   Mengenalkan Dinda Dengan Beberapa Orang

    Dinda tampak gelisah. Atau entah apa. Dan aku kembali menuntut dia segera bercerita. Dengan wajah semakin memerah, dan bahasa tubuh aneh yang keluar dengan sendirinya, yang aku tahu jika saat itu ia merasa sangat gugup, ia akhirnya melanjutkan.“Terus dia menurunkan celana dalamku. Tanganku refleks menutupi ituku dan aku mengatakan jangan. Tapi dengan lembut, dia menyingkirkan tanganku. Aku tidak melawan, hanya memejamkan mata. Tubuhku sangat tegang. Dan dia... mulai mencium bagian itu. Bibirnya menyentuh lembut, menghisap ituku... baru kemudian... dia menjulurkan lidahnya. Entah kenapa, baru sebentar saja, aku... aku sudah sampai. Perasaan takut, penasaran, malu... semuanya bercampur menjadi satu. Tapi di saat yang sama, entah kenapa aku menangis. Aku tak bisa mengendalikan diriku. Pak Rendra merasa bersalah, lalu menyuruhku pulang. Padahal, jika dia mau, aku juga nggak akan menolak...”“Kamu menangis?”“I-iya mas. Aku takut. Aku ingat kamu...” kata Dinda. Aku sama sekali tak melihat

  • Jejak Lelaki Lain Di Tubuh Istriku   Yang Terjadi Di Kantor Dinda

    Aku terpaku. Kaki seperti tertanam di lantai keramik. Otak langsung berputar cepat, mencoba memproses apa yang baru saja kudengar.Aku bertanya-tanya seketika; apakah Pak Rendra ada di dalam kamar mandi? Tidak mungkin. Aku baru saja masuk, tidak melihat mobil asing di depan rumah. Tidak ada sepatu lelaki di dekat pintu. Rumah sepi total kecuali suara dari kamar mandi itu.Aku menajamkan pendengaranku, mendekatkan kepala ke pintu yang tertutup rapat. Tidak ada suara percakapan. Tidak ada suara gerakan dua orang. Tidak ada erangan lelaki. Hanya desahan Dinda saja; terputus-putus, lirih, penuh kenikmatan yang dia coba tahan.Realisasi itu memukul kepalaku seperti palu. Dia sedang bermasturbasi. Sendiri. Sambil membayangkan Pak Rendra.Gila. Fantasinya sudah sampai tahap itu? Sejauh ini? Bahkan sendirian di kamar mandi, dia masih terobsesi dengan lelaki itu hingga harus melampiaskannya dengan cara seperti ini?Pertanyaan-pertanyaan baru bermunculan, berdesakan di kepalaku. Apakah itu arti

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status