"Sayang, kamu tadi telepon ya?" suara Dinda terdengar seperti biasa; hangat, lembut, dengan sedikit nada manja yang selalu membuatku meleleh. "Maaf, ponselku ketinggalan di kantor. Tadi aku pergi dengan atasanku, ketemu klien di Mall Anggrek. Baru balik ke kantor sepuluh menit yang lalu dan lihat ada missed call dari kamu."
Mall Anggrek. Tempat yang sama dengan foto itu.
"Oh... iya sayang. Tadi aku cuma kangen dan pengen telepon..." balasku sekenanya, berusaha membuat suara terdengar normal meski berbagai pertanyaan berdesakan ingin keluar. "Gimana meetingnya? Lancar?"
"Alhamdulillah lancar, sayang. Kliennya approve proposal kami. Atasanku sampai treat makan siang di foodcourt sebagai celebration kecil-kecilan." Dinda terdengar riang, sama seperti biasanya saat ia mendapat kabar baik dari kantor.
Aku merasa sedikit lega mendengar penjelasan itu. Dinda tidak menyembunyikan fakta bahwa ia pergi bersama atasannya. Transparansi yang kuharapkan masih ada. Tapi... kenapa mereka harus seakrab itu? Kenapa tangan lelaki itu harus merangkul pinggang Dinda dengan cara yang terlihat begitu... intim?
"Siapa atasanmu itu, sayang? Aku belum pernah denger cerita tentang dia," tanyaku hati-hati, berusaha tidak terdengar mencurigakan.
"Oh, dia Pak Rendra. Direktur Marketing yang baru, baru tiga bulan ini pindah dari kantor pusat di Singapore. Orangnya baik banget, sayang. Experience-nya luar biasa, banyak banget yang bisa kupelajari dari beliau."
Pak Rendra. Akhirnya aku punya nama untuk lelaki dalam foto itu.
"Oh... okay sayang. Nanti cerita lebih detail di rumah ya. Aku masih ada kerjaan yang harus diselesaikan," kataku, masih berusaha terdengar santai.
"Oke sayang. Aku juga masih ada laporan yang harus difinish sebelum pulang. Nanti kita dinner bareng ya. Love you!"
"Love you too," jawabku sebelum sambungan terputus.
Aku menatap layar ponsel yang kembali gelap, perasaan campur aduk masih berkecamuk di dadaku. Di satu sisi, aku lega karena Dinda terbuka soal pertemuannya dengan atasannya. Tapi di sisi lain, ada yang masih mengganjal. Foto itu... keakraban itu... apakah benar hanya sebatas hubungan profesional?
Malam nanti, aku harus bicara lebih serius dengan Dinda. Aku perlu mendengar penjelasan lengkap tentang Pak Rendra, tentang hubungan kerja mereka, dan tentang foto yang telah mengusik ketenangan rumah tanggaku.
Tapi bagaimana caranya bertanya tanpa terlihat seperti suami yang posesif dan tidak percaya? Bagaimana cara mengungkapkan keresahanku tanpa merusak kepercayaan yang telah kami bangun selama ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku sementara aku berusaha menyelesaikan sisa pekerjaan, menunggu waktu pulang yang rasanya masih sangat lama.
Pukul empat sore, ketika jarum jam kantor terasa berjalan begitu lambat, akhirnya aku bisa melangkahkan kakiku keluar dari gedung. Jalanan seperti biasa, macet parah. Tapi pikiranku jauh lebih macet dari lalu lintas di depanku. Foto di ponsel Andri masih berkelebat, menari-nari di pelupuk mataku. Setiap klakson yang berbunyi, setiap wajah yang berpapasan, terasa menggemakan pertanyaan yang sama: siapa pria itu?
Setibaku di depan rumah minimalis kami yang asri, sebuah kejutan menanti. Lampu ruang tengah sudah menyala terang, dan aroma masakan gurih menyeruak dari dalam. Dinda sudah lebih dulu pulang. Sebuah kelegaan kecil menyelinap, sekaligus kecemasan baru. Bagaimana aku harus menghadapi Dinda?
Begitu aku membuka pintu, Dinda sudah berdiri di ambang ruang tengah. Senyumnya merekah, matanya berbinar menyambut kedatanganku. “Hai, Sayang! Akhirnya kamu juga. Kok tumben agak telat?” sapanya riang, suaranya selembut belaian angin senja. Dinda mengenakan daster rumahan yang nyaman, rambutnya diikat longgar, menambah kesan santai namun tetap memancarkan aura cantiknya.
Ia mendekat, melingkarkan tangannya di pinggangku, dan mencium pipiku dengan penuh kasih. Sentuhan itu familiar, hangat, dan penuh cinta, seperti biasa. Tidak ada gurat cemas atau raut bersalah di wajah Dinda. Wanita itu tampak polos, murni, seolah tidak ada apa-apa yang terjadi di siang hari.
“Tadi ada kerjaan sedikit, sayang. Klien baru,” jawabku, berusaha terdengar normal. Lidahku terasa kelu. Aku membalas pelukan Dinda, merasakan kehangatan tubuh istriku yang selalu berhasil membuatku nyaman. Tapi kali ini, kenyamanan itu berbalut keraguan yang menusuk. Bagaimana bisa Dinda bersikap seolah tidak terjadi apa-apa? Apakah ia pandai menyembunyikan sesuatu, atau memang tidak ada yang perlu disembunyikan?
“Oh, begitu. Sudah mandi sana, terus makan. Aku sudah masak makanan kesukaanmu, lho,” ucap Dinda riang sambil melepaskan pelukannya dan menuntunku menuju kamar mandi.
Aku masuk ke kamar mandi, tatapanku menyapu sekeliling. Pandanganku jatuh pada celana dalam Dinda yang masih tergantung di gantungan pakaian. Celana dalam itu, berwarna biru muda dengan renda putih, lupa belum dimasukkan dalam keranjang pakaian kotor.
Entah dorongan apa yang membuatku melakukan itu, tapi aku tiba-tiba merasa iseng, atau mungkin dorongan dari kecurigaan yang menggerogoti. Tanganku terulur, mengambil celana dalam itu. Aku memeriksanya dan di sanalah aku menemukan sesuatu yang membuat jantungku seolah berhenti berdetak.
Tiga helai rambut keriting, tersemat di serat kain. Dan di dekatnya, samar, ada bekas cairan yang sudah mengering. Hatiku terasa ngilu seketika. Sebuah jarum dingin menusuk ulu hatiku. Aku yakin, baru dua hari yang lalu Dinda mencukur rambut kewanitaannya. Aku tahu karena setelah Dinda bercukur, kami bercinta. Aku selalu bersemangat jika miliknya itu bersih dari rambut. Dan cairan itu… apakah itu…
Dunia seolah berputar. Napasku tercekat. Kepingan puzzle mulai berserakan di benakku, membentuk sebuah gambaran yang mengerikan. Foto di mal, telepon yang tak diangkat, dan kini... bukti kecil namun menohok ini. Darahku berdesir panas, amarah nyaris meluap. Namun, entah kekuatan dari mana, aku berusaha keras untuk menahan diri dan bersikap tenang. Aku harus menguasai diriku. Aku tidak boleh gegabah. Aku harus mengumpulkan bukti kuat sebelum menduduh istriku selingkuh.
Aku dengan cepat meletakkan kembali celana dalam itu di tempatnya, seolah tak terjadi apa-apa. Aku buru-buru menyalakan keran, membasuh wajahku, mencoba menghilangkan gurat kemarahan dan kekecewaan yang mungkin tercetak di sana.
Duduk di meja makan, Dinda bercerita tentang harinya di kantor, keluhan tentang kemacetan, dan rencana kami untuk akhir pekan nanti. Ia tertawa, sesekali menyuapiku, benar-benar seperti Dinda yang kukenal selama ini. Aku mengamati setiap gerak-gerik Dinda, setiap nada suaranya, mencoba menemukan ketidaksesuaian. Namun, tidak ada. Hanya ada istriku yang ceria, penuh perhatian, dan tampak begitu mencintai diriku.
Kontras antara foto di ponsel Andri, celana dalam itu, dan Dinda yang kini ada di depanku begitu tajam, membuat kepalaku pening. Apakah aku terlalu berlebihan? Apakah kecurigaanku hanya sekadar imajinasiku sendiri? Atau justru, kemampuan Dinda untuk bersandiwara begitu sempurna, hingga mampu menutupi segala jejak pengkhianatan? Aku tidak tahu. Dan ketidakpastian itu terasa lebih menyiksa daripada kenyataan pahit sekalipun.
Ini adalah malam terakhir. Setelah ini, aku tak tahu masih bisa bertemu dengan Jasmin lagi atau tidak. Kami berciuman dengan liar, saling melepas hasrat yang membara. Aku membalas ciumannya dengan penuh gairah, seolah semua kekacauan yang ada di hatiku bisa hilang dengan satu sentuhan. Toh, semua ini, dia yang memulainya. Aku hanya mengikutinya.Rupanya, dia tadi tak benar-benar mabuk. Mungkin sedikit mabuk, tapi masih sadar dan seharusnya dia bisa berjalan dengan tegap. Nyatanya, di kamar ini, setelah pintu terkunci, dan setelah kami berciuman dengan begitu liarnya, kami saling menatap. Matanya masih merupakan mata orang sadar. Dan dia bisa melepaskan bajunya dengan benar, tanpa sempoyongan.Aku memerhatikan semua itu; bagaimana cara dia melepaskan bajunya dengan sensual dengan niat menggodaku. Yang tersisa masih pakaian dalam. Dia mengenakan pakaian dalam g-string seksi. Cukup minimalis dan membuat darahku terpompa sampai ke kepala.Haruskah aku melakukan hal ini? Aku ragu sebetulny
Hari sudah semakin sore. Langit perlahan berubah menjadi jingga, memudar menjadi merah muda dan ungu. Kabut tipis mulai turun, menyelimuti puncak bukit. Pemandangan itu sangat indah, namun tidak bisa menenangkan hatiku. Aku berjalan kembali ke vila, pikiranku berkecamuk dengan tawaran Ibu Claudia.Aku kembali ke kamarku, membuka pintu, dan meletakkan koperku di samping ranjang. Aku memandangi ranjang itu. Tempat tidur ini menjadi saksi bisu atas sebuah kejadian yang pelik; Insiden hantu yang membuat aku menjadi memiliki sebuah hubungan dengan Jasmin.Aku segera masuk ke kamar mandi. Air hangat terasa seperti surga. Aku membiarkan air membasahi tubuhku, berharap semua kekacauan dalam diriku bisa luruh. Aku mencoba untuk fokus pada satu hal: pekerjaanku. Aku harus mengambil kesempatan ini. Ini adalah impianku.Setelah mandi, aku memakai kemeja berwarna maroon dan celana bahan berwarna hitam. Aku menatap diriku di cermin. Wajahku terlihat lelah, tapi mataku terlihat lebih bersemangat. Ak
Situasi di antara kami terasa mencekik. Aku hanya khawatir satu hal yang terus berputar di kepalaku; bagaimana jika Ibu Claudia ini hanya sedang mengujiku? Ujian loyalitas? Atau mungkin ujian moral yang jika gagal akan membuatku kehilangan pekerjaan? Pikiran-pikiran negatif itu bergelayut seperti kabut tebal di otakku.Maka aku pun mencoba bersikap profesional, meski keringat dingin mulai membasahi kerah kaosku. Aku meluruskan punggung, berusaha menampilkan ekspresi senetral meskipun dalam hati badai sedang mengamuk. Situasi ini benar-benar sulit bagiku; seperti berjalan di atas tali yang tipis di atas jurang yang dalam. Tak boleh salah pilih kata, tak boleh salah gerak, bahkan tak boleh salah napas."Voucher ini... gimana sih bu? Saya kok belum paham ya?" Suaraku terdengar sedikit bergetar meski aku berusaha menstabilkannya. "Kita sama-sama dapat ruangan di hotel itu gitu? Berarti kan nggak harus di hari yang sama ya? Atau harus?" Aku merasakan kerongkonganku mengering. Pertanyaan-pe
Aku menghela napas panjang, memandang cakrawala yang mulai berubah warna. "Kehidupanku bersama Dinda, istriku..." aku memulai, suaraku terdengar ragu. "Kami sudah bersama selama tiga tahun. Pernikahan yang…" aku terdiam sejenak, "… ada dinamika di sela-sela kebahagiaan yang kami bangun bersama… "Kata-kata itu terasa pahit di lidah. Aku melanjutkan dengan cerita-cerita manis yang sudah aku hafal di luar kepala; cerita yang selalu aku sampaikan kepada rekan kerja, atasan, bahkan keluarga. Tentang bagaimana kami saling mendukung, tentang rencana memiliki anak, dan lain-lain.Yang aku sembunyikan adalah pengkhianatan Dinda. Aku harus mempertahankan citra ini. Tak boleh tampak retak. Pak Hartono waktu itu membicarakan promosi. Dia mengatakan bahwa kestabilan keluarga mencerminkan kestabilan kerja seseorang dan ini akan menjadi bahan pertimbangan pengangkatanku.Ibu Claudia mengangguk-angguk mendengar ceritaku, sesekali tersenyum hangat. Matanya yang teduh membuatku merasa bersalah karena
Kami mulai berpetualang. Selama kami mencari kotak itu, aku merasa canggung dan tegang. Ibu Claudia berjalan di sampingku, sesekali matanya menyapu sekeliling, mencari kotak yang disembunyikan.Kami mencari di sekitar vila. Kami melihat beberapa kelompok lain menemukan kotak mereka. Aku merasa sedikit putus asa. Mungkin kami tidak akan mendapatkannya. Tapi Ibu Claudia tidak menyerah. Dia tetap bersemangat. Demi hadiah. Astaga. Padahal dia sudah kaya raya. Tapi yang aku lihat kemudian di sini, dia mengerjakan sesuatu, meski demi hal kecil, dengan penuh semangat.Aku pun tertular semangatnya dan terus mencari."Sepertinya, kita harus mencari di luar," katanya. "Kotak yang disembunyikan di sini mungkin sudah didapatkan yang lain."Aku mengangguk. Kami berjalan keluar, menuju perkebunan teh yang terbentang luas. Udaranya terasa sejuk dan segar. Bau tanah basah dan teh yang menenangkan memenuhi indraku. Kami terus berjalan, menyusuri jalan setapak yang menanjak. Matahari menuju sore terasa
Darahku kembali mendidih menyaksikan foto yang muncul di layar ponselku. Mataku tak bisa lepas, seolah ada magnet yang menahannya. Dari belakang memang, tapi aku sangat yakin wanita itu adalah istriku, dan lelaki itu adalah Pak Rendra. Gestur mereka tidak sederhana. Tak ada, dalam konteks profesionalisme, atau konteks apapun, seorang atasan menggandeng lengan sekretarisnya menuju lobi hotel. Tanganku mengepal, ponsel di genggamanku terasa dingin.Aku sudah melihat foto yang lebih menyebalkan waktu itu. Tapi kali ini, rasa kesal itu tetap ada. Aku mencoba berpikir tidak peduli. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa aku sudah melakukan "pembalasan" semalam. Tapi nyatanya, rasa sakit itu tetap menusuk. Ya, beginilah. Mungkin ceritanya akan berbeda jika Dinda tidak menyembunyikan hal ini. Apa yang kami perbincangkan, semua itu mengarah seolah Dinda adalah istri yang setia dan tak mau disentuh lelaki lain. Dia malah marah saat aku memancingnya soal fantasiku waktu itu, kan?Lamunanku selesa