Malam merangkak pelan seperti kabut tebal yang menyelimuti jiwa, namun mataku tak kunjung terpejam. Setiap detik terasa seperti jam, setiap suara kecil, detak jam dinding, gemerisik daun di luar jendela, terdengar begitu keras di tengah kesunyian kamar. Di sampingku, Dinda sudah terlelap dalam dengan wajah damai yang menyakitkan untuk kupandang. Napasnya teratur dan tenang, naik turun dalam ritme yang sempurna, seperti orang yang tak memiliki beban apapun di hatinya.
Aku berbalik, menatap punggungnya yang bergerak naik-turun seirama napasnya. Cahaya lampu dari luar rumah yang menyusup melalui celah gorden menerangi lekuk tubuhnya yang sudah sangat kukenal. Begitu familiar, begitu intim, namun sekarang terasa asing. Seperti menatap orang lain yang mengenakan topeng wajah istriku.
Ingatanku melayang pada sore tadi. Senyumnya yang terlalu cerah saat aku pulang kerja, pelukannya yang terlalu erat, ciumannya yang terlalu bergairah; semuanya terasa begitu nyata, begitu meyakinkan. Seperti seorang aktris yang sedang memerankan peran terbaiknya. Tapi bayangan rambut keriting dan noda kering di celana dalamnya terus berputar, bagai film bisu yang diputar berulang-ulang di benakku. Frame demi frame, detail demi detail, semuanya terekam jelas dalam memori yang enggan melepaskan.
Hatiku berdetak tidak karuan. Ada bagian dari diriku yang masih ingin percaya, yang masih mencari seribu alasan untuk membenarkan Dinda. Mungkin aku salah lihat. Mungkin itu hanya ilusi dari pikiran yang terlalu curiga.
Sebelum Dinda terlelap, kami sempat berbincang ringan di ranjang. Dia menyandarkan kepalanya di dadaku, jari-jarinya bermain dengan kancing piyamaku.
"Hari ini capek banget," gumamnya pelan, suaranya terdengar lelah namun ada sesuatu yang dipaksakan di dalamnya.
"Iya, aku juga. Meeting seharian," jawabku sambil mengusap rambutnya yang harum. Tapi pikiranku melayang pada foto yang dikirim Andri.
Dinda terdiam sejenak, jari-jarinya berhenti bermain dengan kancing bajuku. Lalu tiba-tiba dia bergerak naik, wajahnya menghadapku langsung. "Mas Aryo..."
"Ya?"
"Aku mau…” Wajahnya memerah.
“Katanya capek?” balasku. Sebenarnya aku agak enggan untuk bercinta. Gara-gara kecurigaanku itu.
“Biar sekalian. Kamu capek banget ya?” tanya Dinda.
“Hmm…”
“Kamu santai saja… biar aku yang menyenangkanmu…” ucapnya. Dia pun naik ke pangkuanku, menarik wajahku, mencium bibirku.
Biasanya Dinda pemalu dalam hal seperti ini, selalu menunggu aku yang memulai. Tapi malam itu ada yang berbeda. Matanya menatapku intens, tangannya mulai bergerak nakal di dadaku.
"Dinda..." aku ragu, hatiku masih diselimuti kecurigaan yang tebal seperti kabut. Ada suara kecil di kepalaku yang berteriak untuk menolak, untuk tidak terjerat dalam permainannya.
"Sst..." Dia meletakkan jarinya di bibirku, lalu perlahan turun untuk mencium leherku. "Jangan banyak mikir, sayang."
Tapi justru karena dia bilang jangan banyak mikir, otakku malah semakin berpikir. Ini tidak seperti Dinda yang kukenal. Ada keputusasaan tersembunyi dalam setiap sentuhannya, seolah berusaha menghapus jejak dosa dengan kepasrahan yang menyedihkan.
Dinda mendekat dengan mata yang berbinar penuh hasrat; atau mungkin rasa bersalah yang tersamar. Dia memelukku erat, tubuhnya menekan tubuhku dengan kehangatan yang familier namun terasa berbeda. Bibirnya mulai mencari-cari dengan keputusasaan yang terselubung, seolah berusaha menghapus jejak dosa dengan sentuhan.
Aku tak punya pilihan, atau mungkin aku terlalu lemah untuk menolak. Aku membalas sentuhannya, dan di tengah gairah yang mulai menyelimutiku seperti ombak panas, aku melihat itu sebagai kesempatan. Sebuah kesempatan untuk mengecek lagi, untuk memastikan keraguan yang menggerogoti jiwaku. Ya, aku akan mengecek lagi apakah rambut dinda benar-benar habis tak bersisa? Sialan. Tiga helai rambut di celana dalamnya itu sungguh menggangguk pikiranku.
Saat kami berdua sudah larut dalam momen intim itu, dengan napas yang memburu dan tubuh yang bergerak dalam ritme kuno, diam-diam aku mencoba meraba. Teliti, hati-hati, seperti detektif yang mencari bukti di tempat kejadian perkara. Setiap sentuhan penuh perhitungan, setiap gerakan penuh intensi tersembunyi. Dan benar saja, di bagian paling bawah, di tempat yang paling sulit dijangkau pisau cukur, di sudut yang biasanya terlupakan, aku menemukan beberapa helai rambut.
Rambut-rambut itu terasa lebih kasar di bawah jemariku yang bergetar, lebih tebal dari rambut Dinda di bagian depan yang sudah dipangkas habis dengan rapi seperti biasanya. Aku mencoba berpikir positif lagi, memaksa otakku untuk menemukan penjelasan yang rasional. Mungkin itu memang rambut Dinda yang terlupa dicukur. Dan bekas cairan yang telah kering dan membentuk noda putih itu, mungkin juga cairan kewanitaan Dinda sendiri dari hari-hari sebelumnya.
Otakku mati-matian mencari pembenaran, berlari dari satu hipotesis ke hipotesis lain seperti tikus yang terjebak di labirin. Aku mencari celah, mencari alasan, mencari apapun untuk tidak percaya pada apa yang sebenarnya mulai berteriak di dalam diriku dengan suara yang semakin keras dan semakin jelas. Tapi setiap pembenaran terasa hambar, setiap alasan terasa dipaksakan.
Namun, keraguan itu tak pernah benar-benar hilang. Ia bersembunyi di sudut paling gelap dari pikiranku, seperti predator yang sabar menunggu mangsa lengah. Dia menunggu saat-saat lemahku, saat-saat ketika pertahananku turun, untuk menerkam lagi dengan cakar-cakar tajam yang menyayat jiwa.
Aku memejamkan mata dengan paksa, berharap esok pagi semua kegelisahan ini sirna, terbawa angin malam dan berganti dengan kenyataan bahwa semua ini hanyalah salah paham belaka, nightmare yang akan berakhir dengan cahaya fajar. Tapi di dalam hati, aku tahu itu hanyalah harapan kosong, seperti mengharap hujan di tengah padang gurun.
Ini adalah malam terakhir. Setelah ini, aku tak tahu masih bisa bertemu dengan Jasmin lagi atau tidak. Kami berciuman dengan liar, saling melepas hasrat yang membara. Aku membalas ciumannya dengan penuh gairah, seolah semua kekacauan yang ada di hatiku bisa hilang dengan satu sentuhan. Toh, semua ini, dia yang memulainya. Aku hanya mengikutinya.Rupanya, dia tadi tak benar-benar mabuk. Mungkin sedikit mabuk, tapi masih sadar dan seharusnya dia bisa berjalan dengan tegap. Nyatanya, di kamar ini, setelah pintu terkunci, dan setelah kami berciuman dengan begitu liarnya, kami saling menatap. Matanya masih merupakan mata orang sadar. Dan dia bisa melepaskan bajunya dengan benar, tanpa sempoyongan.Aku memerhatikan semua itu; bagaimana cara dia melepaskan bajunya dengan sensual dengan niat menggodaku. Yang tersisa masih pakaian dalam. Dia mengenakan pakaian dalam g-string seksi. Cukup minimalis dan membuat darahku terpompa sampai ke kepala.Haruskah aku melakukan hal ini? Aku ragu sebetulny
Hari sudah semakin sore. Langit perlahan berubah menjadi jingga, memudar menjadi merah muda dan ungu. Kabut tipis mulai turun, menyelimuti puncak bukit. Pemandangan itu sangat indah, namun tidak bisa menenangkan hatiku. Aku berjalan kembali ke vila, pikiranku berkecamuk dengan tawaran Ibu Claudia.Aku kembali ke kamarku, membuka pintu, dan meletakkan koperku di samping ranjang. Aku memandangi ranjang itu. Tempat tidur ini menjadi saksi bisu atas sebuah kejadian yang pelik; Insiden hantu yang membuat aku menjadi memiliki sebuah hubungan dengan Jasmin.Aku segera masuk ke kamar mandi. Air hangat terasa seperti surga. Aku membiarkan air membasahi tubuhku, berharap semua kekacauan dalam diriku bisa luruh. Aku mencoba untuk fokus pada satu hal: pekerjaanku. Aku harus mengambil kesempatan ini. Ini adalah impianku.Setelah mandi, aku memakai kemeja berwarna maroon dan celana bahan berwarna hitam. Aku menatap diriku di cermin. Wajahku terlihat lelah, tapi mataku terlihat lebih bersemangat. Ak
Situasi di antara kami terasa mencekik. Aku hanya khawatir satu hal yang terus berputar di kepalaku; bagaimana jika Ibu Claudia ini hanya sedang mengujiku? Ujian loyalitas? Atau mungkin ujian moral yang jika gagal akan membuatku kehilangan pekerjaan? Pikiran-pikiran negatif itu bergelayut seperti kabut tebal di otakku.Maka aku pun mencoba bersikap profesional, meski keringat dingin mulai membasahi kerah kaosku. Aku meluruskan punggung, berusaha menampilkan ekspresi senetral meskipun dalam hati badai sedang mengamuk. Situasi ini benar-benar sulit bagiku; seperti berjalan di atas tali yang tipis di atas jurang yang dalam. Tak boleh salah pilih kata, tak boleh salah gerak, bahkan tak boleh salah napas."Voucher ini... gimana sih bu? Saya kok belum paham ya?" Suaraku terdengar sedikit bergetar meski aku berusaha menstabilkannya. "Kita sama-sama dapat ruangan di hotel itu gitu? Berarti kan nggak harus di hari yang sama ya? Atau harus?" Aku merasakan kerongkonganku mengering. Pertanyaan-pe
Aku menghela napas panjang, memandang cakrawala yang mulai berubah warna. "Kehidupanku bersama Dinda, istriku..." aku memulai, suaraku terdengar ragu. "Kami sudah bersama selama tiga tahun. Pernikahan yang…" aku terdiam sejenak, "… ada dinamika di sela-sela kebahagiaan yang kami bangun bersama… "Kata-kata itu terasa pahit di lidah. Aku melanjutkan dengan cerita-cerita manis yang sudah aku hafal di luar kepala; cerita yang selalu aku sampaikan kepada rekan kerja, atasan, bahkan keluarga. Tentang bagaimana kami saling mendukung, tentang rencana memiliki anak, dan lain-lain.Yang aku sembunyikan adalah pengkhianatan Dinda. Aku harus mempertahankan citra ini. Tak boleh tampak retak. Pak Hartono waktu itu membicarakan promosi. Dia mengatakan bahwa kestabilan keluarga mencerminkan kestabilan kerja seseorang dan ini akan menjadi bahan pertimbangan pengangkatanku.Ibu Claudia mengangguk-angguk mendengar ceritaku, sesekali tersenyum hangat. Matanya yang teduh membuatku merasa bersalah karena
Kami mulai berpetualang. Selama kami mencari kotak itu, aku merasa canggung dan tegang. Ibu Claudia berjalan di sampingku, sesekali matanya menyapu sekeliling, mencari kotak yang disembunyikan.Kami mencari di sekitar vila. Kami melihat beberapa kelompok lain menemukan kotak mereka. Aku merasa sedikit putus asa. Mungkin kami tidak akan mendapatkannya. Tapi Ibu Claudia tidak menyerah. Dia tetap bersemangat. Demi hadiah. Astaga. Padahal dia sudah kaya raya. Tapi yang aku lihat kemudian di sini, dia mengerjakan sesuatu, meski demi hal kecil, dengan penuh semangat.Aku pun tertular semangatnya dan terus mencari."Sepertinya, kita harus mencari di luar," katanya. "Kotak yang disembunyikan di sini mungkin sudah didapatkan yang lain."Aku mengangguk. Kami berjalan keluar, menuju perkebunan teh yang terbentang luas. Udaranya terasa sejuk dan segar. Bau tanah basah dan teh yang menenangkan memenuhi indraku. Kami terus berjalan, menyusuri jalan setapak yang menanjak. Matahari menuju sore terasa
Darahku kembali mendidih menyaksikan foto yang muncul di layar ponselku. Mataku tak bisa lepas, seolah ada magnet yang menahannya. Dari belakang memang, tapi aku sangat yakin wanita itu adalah istriku, dan lelaki itu adalah Pak Rendra. Gestur mereka tidak sederhana. Tak ada, dalam konteks profesionalisme, atau konteks apapun, seorang atasan menggandeng lengan sekretarisnya menuju lobi hotel. Tanganku mengepal, ponsel di genggamanku terasa dingin.Aku sudah melihat foto yang lebih menyebalkan waktu itu. Tapi kali ini, rasa kesal itu tetap ada. Aku mencoba berpikir tidak peduli. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa aku sudah melakukan "pembalasan" semalam. Tapi nyatanya, rasa sakit itu tetap menusuk. Ya, beginilah. Mungkin ceritanya akan berbeda jika Dinda tidak menyembunyikan hal ini. Apa yang kami perbincangkan, semua itu mengarah seolah Dinda adalah istri yang setia dan tak mau disentuh lelaki lain. Dia malah marah saat aku memancingnya soal fantasiku waktu itu, kan?Lamunanku selesa