Share

Bab 5

last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-20 12:52:50

Harta kalau didapatkan dari cara yang curang, maka tidak akan berkah dan justru jadi masalah. Ini juga yang dialami Hadi dan Alina. Setelah melewati debat panjang, akhirnya Irwan bersedia mengganti uang Hadi yang digunakan untuk merenovasi rumah Marini. 

Uang 50jt yang diberi oleh Irwan, digunakan Alina untuk bersenang-senang. Shoping-shoping, perawatan dan berbagai hal unfaedah. Uang sebanyak itu akhirnya menguap begitu saja, tanpa rupa. 

"Mas, bagi duit dong! Aku mau luluran ke salon," rengek Alina pada suaminya. 

"Uang? Kamu yang bener dong, sayang. Baru kemarin gaji Mas sudah kamu ambil semua, hanya menyisakan uang bensin. Kok sekarang minta lagi? Ini baru tanggal 15, lho. Emang kamu pakai buat apa saja uang sebanyak itu?" tanya Hadi jengkel. Meski begitu suaranya tetap lembut, dia sama sekali tak berani membentak Alina. Walaupun istrinya ini melakukan kesalahan. 

Bibir Alina langsung mengurucut mendengar ucapan suaminya. "Ya buat macem-macem, Mas. Namanya juga orang hidup, masih banyak kebutuhan! Pelit banget sih jadi suami! Duit dipakai istri diungkit-ungkit!" ketus Alina. 

"Bukan mengungkit-ungkit, Sayang. Aku hanya tanya kenapa uang sebanyak itu masih kurang? Marini dulu hanya menerima setengah gajiku, tapi cukup untuk kebutuhan selama sebulan. Itu sudah termasuk biaya sekolah Ramon, lho. Sedangkan kamu hanya sendiri, kok bisa kurang?" ucap Hadi mengungkapkan keheranannya.

"Tuh, kan! Malah banding-bandingin aku sama Mbak Marini! Jelas bedalah! Biaya perawatanku mahal, biar terlihat cantik terus. Kalau aku irit kayak Mbak Marini, perawatan seadanya, bisa-bisa kamu kecantol perempuan lain!" Suara Alina mulai meninggi. Perempuan itu tidak pernah mau dibandingkan dengan Marini dari segi apapun. 

"Aku nggak bandingkan kamu dengan Marini, Sayang. Ya udah, ngak usah diperpanjang, ya." Akhirnya Hadi mengalah, demi menghindari pertengkaran. Dia kena batunya sekarang, kalau dulu Marini selalu mengalah, tak berani bersuara tinggi di depannya. Alina justru sebaliknya. 

"Kalau gitu mana duitnya? Aku sudah terlanjur booking salon tadi." Alina menadahkan tangannya pada Hadi. 

Hadi menghela nafas, bingung harus bagaimana menjelaskan pada Alina. Kalau dia benar-benar sedang tidak pegang uang. "Kamu pakai uang yang dari Mas Irwan, dulu!"

"Hah! Uang sudah dari kapan tahun itu masih kamu tanyakan?" pekik Alina. 

"Iya, kamu simpan, kan?"

"Ha .... Ha .... Ha .... Mas, Mas! Uang itu sudah lama habis." Hadi menatap bingung ke arah Alina. 

"Habis bagaimana?"

"Ya habis, lah! Habis kok gimana? Kamu pikir perayaan ulang tahunku kemarin nggak pakai uang? Jalan-jalan kita kemarin nggak pakai uang!"

Hadi benar-benar tak habis pikir, dengan perempuan yang dia nikahi setahun terakhir ini. Boros sekali kalau urusan uang, padahal dia bukan berasal dari keluarga kaya. Hanya keluarga biasa dan sederhana, harusnya bisa lebih hati-hati dalam menggunakan uang. Kenapa ini? Duh! Ingin rasanya Hadi .... 

"Tapi aku benar-benar nggak pegang uang, Lin. Semua gajiku kuserahkan padamu, uang tabunganku juga kamu yang pegang. Sudah nggak ada uang lagi," jelas Hadi pelan. Berharap Alina mengerti dan tak menuntut macem-macem. 

"Ya usaha dong, Mas! Jangan nyerah gitu aja. Pakai duit kantor, kek!" 

"Kamu mau aku korupsi?" tanya Hadi dengan tatapan tajam. 

"Alah, Mas. Nggak usah sok suci. Aku tahu kalian biasa makan duit proyek, makan duit sogokan dari para kontraktor. Itu sudah jadi rahasia umum orang PU." Alina pernah magang di kantor Hadi, jadi sedikit banyak tahu tentang kinerja orang di kantor itu. 

"Aku nggak berani, Lin. Sekarang pengawasan dari pusat lebih ketat. Kamu mau suamimu ini pakai seragam oren?"

"Terus gimana, dong? Aku sudah terlanjur booking salon," rajuk Alina yang sukses membuat Hadi kebingungan. 

"Sabar, ya? Tunggu gajian cair, nanti kamu ke salon," bujuk Hadi. 

"Kamu payah, Mas!" sentak Alina kemudian meninggalkan Hadi yang sedang memijit keningnya karena pusing. 

Hadi jadi ingat ucapan Irwan dan Lilik, ketika dia meminta uangnya dikembalikan. 

"Oke, akan kubayar uang yang kamu keluarkan untuk merenovasi rumah ini. Tapi jangan pernah kamu menginjakkan kakimu di rumah ini lagi," ucap Irwan dingin. 

Dia benar-benar sakit hati dengan iparnya yang satu ini. Sebagai suami, kepala keluarga, Ayah. Mengeluarkan uang untuk biaya renovasi rumah milik istri diperhitungkan, padahal dia ikut tinggal di dalamnya. Laki-laki nggak ada otak si Hadi ini. 

"Jangan dikasih, Mas. Keenakan dia nanti! Orang keluar uang untuk keluarga sendiri kok diungkit-ungkit," ucap Lilik mencoba mencegah Kakak tertuanya itu. 

"Nggak pa-pa, Lik. Aku hanya ingin Marini tenang di sana. Awas saja kalau dia berani menuntut macem-macem lagi, aku nggak segan-segan melemparnya ke penjara!" ancam Irwan dengan nada emosi. 

"Semoga uang itu jadi penyakit dalam hidupmu, Mas. Semoga nggak berkah!" Lilik mengeluarkan sumpah serapah, saking jengkelnya pada Hadi. Manusia kok nggak punya hati, toh rumah itu untuk anaknya sendiri. 

"Apa ini akibat sumpah serapah yang diucapkan Lilik dulu, ya?" gumam Hadi dalam hati. 

Sejak menerima uang itu, selalu saja ada masalah yang datang menyapanya. Padahal gajinya besar, belum lagi uang sampingan yang dia dapat. Tapi tak pernah cukup, bahkan selalu kurang. Padahal dulu bersama Marini, dengan gaji yang lebih rendah masih bisa nabung. "Sepertinya aku salah pilih istri," gumam Hadi dalam hati. 

Ah, menyesal pun percuma semua sudah terlanjur terjadi. 

* * * * * * * * 

Sementara Hadi hidup dalam penyesalan, Ramon sudah bisa menjalani hidupnya secara normal. Dia masuk SMP favorit, ikut berbagai kegiatan ekstrakurikuler untuk mengisi waktu luangnya. Lilik sengaja memberi banyak kegiatan pada Ramon, agar anak itu segera melupakan kesedihannya. 

Tak sia-sia Lilik menggembleng Ramon menjadi anak yang disiplin dan berprestasi. Dari SMP sampai kuliah, Ramon selalu menjadi juara. Bukan hanya prestasi akademik, tapi juga beberapa kejuaraan olahraga. 

"Jadi Bu Lek tidak mau menghadiri wisudaku?" tanya Ramon dengan wajah kecewa. 

"Lho, yang nggak mau menghadiri acara wisudamu siapa? Bu Lek hanya ingin kamu mengabari ayahmu, memintanya untuk datang menyaksikan keberhasilan kamu menyelesaikan studi," jelas Lilik.

Sudah bertahun-tahun sejak meninggalnya Marini, Ramon dan ayahnya putus kontak, tak ada komunikasi sama sekali. Bahkan Hadi mangkir dari kewajibannya membiayai hidup Ramon. Meski begitu Lilik ingin keponakannya itu berdamai dengan Hadi. Bagaimana pun juga mereka adalah ayah dan anak, akan lebih baik jika saling memaafkan dan melupakan kesalahan di masa lalu. 

"Untuk apa sih, Bu Lek? Wong dia sudah bahagia dengan kehidupannya, untuk apa kita ganggu lagi. Lagipula, belum tentu dia mau datang."

"Soal dia mau datang atau tidak, itu urusan belakang. Yang penting kamu datang, temui ayahmu dan sampaikan kabar gembira ini. Aku rasa beliau akan bahagia dan bangga putranya sudah berhasil menyandang gelar sarjana. Sudahi permusuhan kalian! Kasihan Mbak Marini, dia pasti sedih melihat suami dan anaknya bermusuhan." 

Ramon hanya terpekur menatap lantai. Damai dengan ayahnya? Apa mungkin? 

Bersambung .... 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jejak Luka   Bab 57

    "Duh, kamu cantik banget. Memang ya, kecantikan pengantin nggak ada yang menandingi." Ardia mencium pipi kanan kiri pengantin wanita. "Mbak Ardia bisa, aja." Attaya tersipu malu, mendapat pujian dari kakak ipar suaminya. "Padahal Mbak Ardi juga cantik, lho. Apalagi Kamaya ini, ih gemes. Duh, jadi pengen punya sendiri," balas Attaya.Meski dulu sempat kecewa, karena Ramon lebih memilih Ardia. Sekarang Attaya bisa menerima mereka sebagai saudara. Mungkin memang Ramon bukan jodohnya, nyatanya Tuhan menggantinya dengan sosok yang tak kalah baik dan gantengnya. Meski tak semapan Ramon, tapi Angga lebih muda. Attaya siap, kok, diajak berjuang dari bawah. Kalau semua dijalani dengan cinta, akan terasa lebih indah. Tanpa pernah ada yang menyangka, Angga menjalin hubungan dengan Attaya hingga naik pelaminan. Wanita yang dulu pernah ditolak Ramon, kini jadi adik iparnya. Ramon bahkan harus memastikan beberapa kali, kalau Angga tak salah orang. Nyatanya memang Attaya yang dulu pernah dijodohk

  • Jejak Luka   Bab 56

    "Paak, Ardia, Paaak .... !" Lastri menjerit, bersamaan dengan ambruknya Ardia dan menangisnya Baby Kamaya. Dua laki-laki itu gesit menangkap tubuh Ardia, sebelum jatuh ke lantai. Hargo yang sudah berumur itu nampak ngos-ngosan, sementara Ramon terlihat bernafas lega, karena berhasil menyelamatkan Ardia. "Duh, piye, to? Kok sampai pingsan begini?" Lastri menggoyang-goyang tubuhnya sendiri, berusaha menenangkan Baby Kamaya. "Cup, cup, Sayang. Jangan nangis lagi, ya. Mama nggak pa-pa, kok." Lastri mengajak bicara Kamaya, meski bayi itu tak mengerti maksudnya. Bermaksud menenangkan, karena bayi itu masih saja menangis. "Jadi Ardia beneran belum tahu Renita meninggal, Ram?" Tanya Hargo, sambil menata nafasnya yang kepayahan, setelah mereka selesai meletakkan tubuh Ardia di atas Ranjang. Tubuh Ardia makin berisi sejak hamil dan melahirkan. Jangankan Hargo, Ramon saja yang masih muda, ngos-ngosan ngangkat istrinya. "Keadaan nggak memungkinkan, Pa. Saya nggak berani mengatakan yang sebena

  • Jejak Luka   Bab 55

    "Wah, gantengnya cucu Eyang ...," ucap Hargo, ayah sambung Ardia yang baru saja berkunjung itu. Reflek tangan Lastri, istri Hargo mencubit laki-laki paruh baya itu. "Cantik, Pa. Dia kan cewek? Masak lupa, sih? Kemarin sudah dibilangin, juga." Hargo nyengir lebar, menyadari kekeliruannya. "Lupa, Ma. Maklum sudah tua," jawab Hargo membela diri. "Biarin aja, Cayang. Yangkungmu memang sudah pikun sekarang, ikut Yangti aja, yuk!" Lastri mengangangkat tubuh mungil itu, dan membawanya dalam gendongan. "Namanya siapa, Ar?" Tanya Lastri tanpa menatap Ardia, dia justru asik mengagumi wajah imut Kamaya, yang memang plek ketiplek Ramon. Nggak ada mirip-miripnya sama sekali dengan mamanya, Ardia hanya kebagian gendernya saja. "Pantes yangkungnya bilang ganteng, wong mirip banget bapaknya gini." Lastri membatin. "Kamaya Aymar, Ma. Panggilannya Kamaya," jawab Ardia sambil meletakkan minuman di meja dekat ranjang. "Wes, to. Nggak usah repot-repot! Nanti kalau aku habis bisa ambil sendiri, kamu

  • Jejak Luka   Bab 54

    Ramon menatap getir gundukan tanah merah, yang ada di depannya. Di dalam tanah itu, tergolek wanita yang sudah memporak-porandakan kehidupan istrinya. Renita, ibu Ardia sekaligus mertua Ramon itu kini sudah terbaring di bawah sana. Tempat peristirahatan terakhir, sekaligus tempat mempertanggung jawabkan segala perbuatannya di dunia. Ya, Ramon mendapat kabar dari Rutan, saat hendak mengantar ASIP ke Perina tadi. Bahwa Renita menghembuskan nafas terakhir, sehari setelah alat bantu nafasnya dicabut. Kini mertuanya itu dimakamkan di pemakaman umum dekat Rutan. Ramon sudah tanda tangan, menyerahkan semua pengurusan jenazah Renita pada pihak Rutan. Bukan mau lepas tanggung jawab, Tapi kondisi Ardia secara fisik dan psikis tak memungkinkan untuk itu. Lagi pula tak ada keluarga yang bisa diajak berembug, dan dimintai pertimbangan, mau dimakamkan di mana Renita nanti. Daripada bingung, Ramon memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada pihak Rutan. Sebenarnya Ramon sudah mengabari keluarga be

  • Jejak Luka   Bab 53

    "Mas, kalau aku sudah pulih, sudah boleh pulang. Antar aku menemui Mama, ya?" "Apa, kamu menemui Mama? Buat apa?" Ramon setengah kaget mendengar ucapan Ardia. Ardia baru sehari menjalankan operasi sesar, gerak aja belum bisa. Tiba-tiba ingin bertemu Renita? Yang bener aja? Kemungkinan besar umur Renita hanya tinggal beberapa hari, memang masih ada kesempatan? Bisa jadi Renita sudah terlanjur berpulang, sebelum sempat bertemu Ardia. Menurut keterangan perawat yang menemui Ramon, alat bantu yang menopang hidup Renita akan segera dicabut, begitu mendapat persetujuan dari pihak keluarga. Sedangkan Ramon yang mewakili Ardia, sebagai satu-satunya keluarga yang dimiliki Renita. Sudah menyatakan pasrah dan menyerahkan semua keputusan pada pihak rumah sakit. Mungkinkah kesempatan itu masih ada? "Aku ingin seperti kamu, Mas. Yang bisa memaafkan Ayah, meskipun sudah menyakiti Ibu dan menelantarkan Mas Ramon. Aku ingin memaafkan, Mama. " ucap Ardia pelan. Ramon menggenggam jemari istrinya,

  • Jejak Luka   Bab 52

    Ramon menatap miris tubuh kurus pucat, dengan selang di beberapa bagian tubuhnya itu. Ya, Ramon akhirnya datang memenuhi panggilan dari pihak Rutan, agar menemui Renita di sisa hidupnya. Meski yang diinginkan wanita itu adalah anak kandungnya, bukan menantunya. Kesahatan dan kondisi mental Ardia tak memungkinkan, untuk bertemu nenek dari Kamaya ini. Meski tak pernah bertemu langsung, Ramon pernah melihat Renita dari jauh ketika sidang putusan dulu. Dia masih terlihat cantik, meski tak lagi segar saat iti. Tapi sekarang, keadaannya benar-benar memprihatinkan. Renita tak ubahnya tengkorak yang bernafas. Mungkin ini karma untuk seorang wanita yang hanya mengejar kesenangan dunia, dan tega menzolimi anaknya sendiri. Ramon membatin. "Tante, ini Ramon, suami Ardia." Pelan Ramon berkata. Meski lirih, di ruangan senyap itu suara Ramon terdengar begitu jelas. "Saya datang mewakili Ardia. Maaf, dia tidak bisa datang. Tante tahu kenapa? Dia tidak sanggup bertemu Tante. Jangankan untuk berte

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status