Home / Romansa / Jejak di Antara Kita / Ujian Kepercayaan

Share

Ujian Kepercayaan

Author: WorldOne
last update Last Updated: 2024-09-29 23:21:53

Keesokan harinya, Ezra bangun dengan perasaan campur aduk. Malam sebelumnya di festival bersama Kaira berakhir dengan baik, tapi pertemuan tak terduga dengan Livia masih menghantui pikirannya. Meski Ezra telah berjanji pada dirinya sendiri dan Kaira bahwa masa lalunya dengan Livia tidak akan mengganggu mereka, perasaan tak menentu itu tetap ada.

Ezra memutuskan untuk melanjutkan rutinitasnya seperti biasa, berusaha menenangkan pikirannya dengan tetap fokus pada pekerjaannya. Namun, saat dia duduk di meja kerjanya dan membuka ponsel, ada pesan lain dari Livia.

"Ezra, aku menunggu di kafe di sudut jalan. Aku harap kita bisa bicara."

Ezra menatap pesan itu lama, mencoba memutuskan apakah dia harus menemuinya. Meski ia merasa ragu, bagian dari dirinya tahu bahwa ada hal-hal yang harus diselesaikan. Dia tidak bisa lari dari masa lalu selamanya.

Dengan berat hati, Ezra memutuskan untuk menemui Livia, tapi kali ini dia bertekad untuk memperjelas semuanya. Tidak akan ada ruang abu-abu; dia harus menutup bab dalam hidupnya yang berkaitan dengan Livia.

Setibanya di kafe, Ezra melihat Livia duduk di salah satu meja, tampak menunggunya. Dia terlihat berbeda dari dulu—lebih dewasa, lebih tenang, tapi sorot matanya masih menyimpan kenangan masa lalu. Saat melihat Ezra, senyum kecil tersungging di wajahnya.

"Terima kasih sudah datang," kata Livia ketika Ezra duduk di depannya. "Aku tahu ini sulit bagimu."

Ezra hanya mengangguk, tidak ingin memperpanjang basa-basi. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Livia?"

Livia menghela napas, terlihat gugup sejenak sebelum berbicara. "Aku tahu aku menghilang tanpa penjelasan beberapa tahun lalu, dan itu adalah kesalahan besar. Aku tidak akan menyalahkanmu jika kamu masih marah atau terluka. Tapi aku kembali karena aku ingin memperbaiki segalanya, setidaknya menjelaskan apa yang terjadi."

Ezra mendengarkan dalam diam, hatinya sedikit tergerak oleh kata-kata Livia. Tapi di balik itu, dia tetap fokus pada tujuannya untuk tidak membiarkan masa lalu menguasai hidupnya.

Livia melanjutkan, "Dulu, aku pergi karena ada masalah keluarga yang harus aku hadapi sendiri. Aku terlalu takut untuk melibatkanmu, dan aku merasa tidak adil jika kamu harus ikut terjebak dalam kekacauan itu. Jadi aku memilih untuk pergi... tanpa penjelasan."

Ezra memejamkan matanya sejenak, menahan perasaan campur aduk yang mulai muncul. "Aku mengerti, Livia. Tapi kamu harus tahu, itu sangat menyakitkan. Aku merasa dikhianati, ditinggalkan begitu saja tanpa penjelasan."

"Aku tahu," Livia menjawab lirih. "Itu salahku. Aku ingin meminta maaf. Aku hanya berharap kamu bisa memaafkanku, bahkan jika kamu tidak bisa menerima aku kembali dalam hidupmu."

Ezra tersenyum tipis. "Aku tidak menyimpan dendam, Livia. Aku sudah mencoba melupakan semuanya. Tapi kita tidak bisa kembali ke masa lalu."

Livia menunduk, tampak menerima kenyataan itu. "Aku tidak berharap kita kembali seperti dulu, Ezra. Aku hanya ingin mengakui kesalahanku dan meminta maaf. Aku harap kamu bisa memulai lembaran baru, dengan atau tanpa aku."

Ezra mengangguk pelan. "Aku menghargai permintaan maafmu, Livia. Aku sudah memulai hidup baru, dan sekarang, ada seseorang yang sangat berarti bagiku."

Wajah Livia berubah sedikit, seolah menerima kenyataan yang sudah dia duga sejak awal. "Kaira, ya?" tanyanya lembut.

Ezra mengangguk, tanpa ragu kali ini. "Ya, Kaira. Aku tidak ingin menghancurkan hubungan kami karena masa lalu yang belum selesai."

Livia tersenyum tipis, walaupun ada sedikit rasa sedih di balik matanya. "Aku senang kamu menemukan kebahagiaanmu, Ezra. Kaira wanita yang baik. Aku harap hubungan kalian bisa bertahan."

"Aku juga berharap begitu," balas Ezra. "Dan terima kasih karena kamu datang dan menjelaskan semuanya. Sekarang aku bisa menutup bab ini dengan damai."

Pertemuan itu berakhir dengan tenang. Tidak ada drama atau tangisan berlebihan, hanya dua orang yang akhirnya berdamai dengan masa lalu mereka. Ezra merasa lega, meskipun masih ada bagian kecil dari dirinya yang merasakan perpisahan ini berat. Tapi dia tahu, ini adalah langkah yang benar.

Sepulang dari kafe, Ezra merasa lebih ringan. Beban yang selama ini membebani pikirannya akhirnya terlepas. Namun, dia tahu bahwa langkah berikutnya lebih penting—memastikan Kaira bahwa masa lalu itu benar-benar sudah selesai dan tidak akan mempengaruhi hubungan mereka.

Malamnya, Ezra memutuskan untuk menelepon Kaira. Suara lembutnya terdengar di ujung sana, dan Ezra langsung merasa lebih tenang.

"Kaira, aku ingin bicara," kata Ezra dengan hati-hati.

Kaira terdiam sejenak. "Tentang Livia?"

"Ya," jawab Ezra. "Aku bertemu dengannya hari ini. Aku ingin semuanya jelas di antara kita."

Kaira tidak langsung menjawab, membuat Ezra sedikit cemas. Tapi akhirnya, dia mendengar Kaira berkata, "Aku senang kamu tidak menyembunyikannya dariku, Ezra. Apa yang terjadi?"

Ezra menceritakan segalanya—tentang pertemuan mereka, percakapan mereka, dan bagaimana akhirnya dia bisa berdamai dengan masa lalunya. Dia memastikan Kaira bahwa perasaannya tidak lagi terjebak di masa lalu, dan bahwa fokus utamanya sekarang adalah hubungan mereka.

Kaira mendengarkan dengan seksama. Setelah Ezra selesai bercerita, Kaira akhirnya berkata, "Aku senang kamu menyelesaikan semuanya, Ezra. Tapi yang paling penting adalah kamu jujur padaku. Itu yang membuatku merasa lebih tenang."

Ezra tersenyum lega. "Aku janji, Kaira. Tidak ada lagi rahasia. Mulai sekarang, kita hadapi semuanya bersama."

Ezra dan Kaira berbicara hingga larut malam, saling terbuka tentang kekhawatiran dan harapan mereka. Percakapan itu membawa mereka ke pemahaman yang lebih dalam tentang satu sama lain, membuat mereka semakin yakin bahwa hubungan ini pantas diperjuangkan. Ezra merasakan kehangatan di hatinya ketika Kaira berkata, "Aku percaya padamu, Ezra. Apa pun yang terjadi, aku akan ada di sini."

Setelah menutup telepon, Ezra termenung sejenak. Meskipun Livia sudah menjadi bagian dari masa lalunya, hari ini adalah titik balik bagi hubungannya dengan Kaira. Ezra tahu perjalanan mereka tidak akan selalu mulus, tapi dia merasa lebih kuat dan siap menghadapi segala tantangan yang mungkin datang. Masa lalu telah tertutup rapat, dan masa depan dengan Kaira terlihat jauh lebih cerah.

Ezra menarik napas dalam-dalam, merasakan udara malam yang sejuk. Senyum tipis menghiasi wajahnya, seolah semesta memberi tanda bahwa dia telah mengambil langkah yang benar. Di tengah kesunyian malam, hatinya berbisik lembut, meyakinkan dirinya bahwa cinta sejati bukanlah tentang kesempurnaan, tetapi tentang keberanian untuk terus berjalan bersama meski ada badai yang menghadang.

Ezra menatap ke luar jendela kamar, memandang bintang-bintang yang berkilauan di langit malam. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa bab baru dalam hidupnya telah dimulai—sebuah kisah cinta yang kini ia tulis bersama Kaira, dengan keyakinan bahwa apapun yang terjadi, mereka akan menghadapi semuanya bersama.

Malam itu, meski mereka hanya berbicara melalui telepon, Ezra merasa hubungannya dengan Kaira semakin kuat. Mereka telah melewati ujian pertama dalam hubungan mereka—ujian kepercayaan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak di Antara Kita   Akhir yang kacau

    Bab 57: Akhir yang kacauKesibukan di kamp semakin terasa. Di bawah redupnya sinar obor, orang-orang berkumpul dengan senjata sederhana di tangan mereka, ketegangan memuncak di udara malam. Ezra berdiri di tengah lingkaran, suaranya tegas dan penuh keyakinan saat ia memberi arahan terakhir kepada para pejuang."Kita mungkin tidak tahu apa yang akan kita hadapi," katanya sambil menatap mata mereka satu per satu. "Tapi yang pasti, kita tidak akan menyerah. Tetap waspada. Bertahan hidup adalah prioritas kita."Raka berdiri di samping Ezra, pandangannya tajam mengamati persiapan. "Pemanah sudah di posisi tinggi. Kalau musuh mendekat, kita bisa menghentikan mereka sebelum mereka mencapai kamp."Ezra mengangguk. Namun, rasa gelisah tak kunjung surut dari dadanya. Bayangan di hutan terus mengusik pikirannya, terlebih ancaman pengkhianatan yang perlahan menjadi nyata.Tiba-tiba, suara jeritan menggema dari sisi utara kamp. Semua mata langsung tertuju ke arah itu."Musuh datang!" teriak salah

  • Jejak di Antara Kita   Serangan Tak Terduga

    Kesibukan di kamp semakin terasa. Orang-orang berkumpul dengan senjata sederhana di tangan mereka, siap menghadapi ancaman yang mendekat. Ezra berdiri di tengah lingkaran, memberi arahan terakhir dengan suara tegas."Kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi," katanya sambil menatap tajam ke wajah para pejuangnya. "Tapi satu hal yang pasti: kita tidak akan menyerah begitu saja. Tetap waspada dan jangan bertindak gegabah."Raka berdiri di sampingnya, mengamati persiapan dengan cermat. "Aku sudah menempatkan pemanah di posisi tinggi. Kalau mereka mendekat, kita bisa menjatuhkan mereka sebelum mereka mencapai kamp."Ezra mengangguk, tapi rasa gelisah di dadanya tak kunjung reda. Pikirannya terus memikirkan bayangan di hutan dan kemungkinan pengkhianatan dari kelompok Sinta.Belum sempat mereka menyusun strategi lebih jauh, suara jeritan tiba-tiba terdengar dari sisi utara kamp. Semua orang langsung memandang ke arah suara itu dengan waspada."Musuh datang!" teriak salah satu penjaga.Ezr

  • Jejak di Antara Kita   Dalam Jebakan

    Malam semakin larut, namun Ezra dan Raka masih sibuk mematangkan strategi mereka. Di bawah sinar redup lentera minyak, mereka membentangkan peta di atas meja kayu sederhana. Setiap titik dan rute yang digambar di peta diperiksa dengan saksama. Suara binatang malam terdengar dari kejauhan, namun itu tidak cukup untuk meredakan ketegangan di antara mereka."Patroli Ryan biasanya lewat sekitar fajar," Raka berkata sambil menunjuk sebuah jalur di peta. "Jika kita ingin menyerang, kita harus memanfaatkan kegelapan malam untuk mendekati mereka."Ezra mengangguk, matanya masih terpaku pada peta. "Kita harus memblokir rute mundur mereka. Kalau tidak, mereka bisa memanggil bala bantuan, dan kita akan kewalahan."Raka mengusap dagunya, berpikir keras. "Kelompok Sinta memiliki beberapa pemanah yang cukup terlatih. Kita bisa memposisikan mereka di titik-titik strategis untuk menjatuhkan musuh dari kejauhan.""Tapi kita tetap butuh lebih dari itu," Ezra menimpali. "Mereka membawa suplai penting, j

  • Jejak di Antara Kita   Bayang-Bayang Pengkhianatan

    Malam itu, di tengah dinginnya udara dan sinar redup dari api unggun, Ezra duduk termenung. Suara angin yang berdesir di sela-sela pepohonan seakan membawa bisikan-bisikan masa lalu yang tak henti mengganggu pikirannya. Di depannya, Sinta masih sibuk berdiskusi dengan para pemimpin kelompok perlawanan, sementara Raka duduk tak jauh darinya, tampak sibuk dengan catatan mereka.Namun, sesuatu terasa aneh. Ezra bisa merasakan ketegangan yang lebih dari sekadar tekanan akibat perang yang akan mereka hadapi. Beberapa orang dari kelompok itu sering kali meliriknya dengan tatapan tak bersahabat. Bahkan Sinta, meskipun sudah menunjukkan penerimaan terhadap rencana mereka, masih tampak menjaga jarak."Ezra," suara Raka memecah keheningan, membuat Ezra menoleh. "Kamu baik-baik saja?"Ezra mengangguk pelan, meski raut wajahnya menunjukkan sebaliknya. "Aku hanya... merasa ada yang salah di sini. Kamu tidak merasakannya?"Raka menatap sekeliling dengan hati-hati, lalu mencondongkan tubuhnya mendek

  • Jejak di Antara Kita   Cahaya dalam Kegelapan

    Kaira duduk di tepi danau kecil yang tersembunyi di dalam hutan, jauh dari tempat persembunyian utama. Air yang tenang memantulkan bayangan langit malam yang kelam, seolah menjadi cermin bagi kegelisahannya. Tangannya meremas ujung selendang yang melilit bahunya, sementara pikirannya terus-menerus memikirkan Ezra.Dia tahu Ezra selalu mengambil keputusan yang bijaksana, tapi kali ini hatinya dipenuhi rasa takut. Ancaman Ryan bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan, dan meskipun Kaira percaya pada kemampuan Ezra, bayang-bayang kekalahan terus menghantui pikirannya.“Kaira,” suara lembut seorang wanita memanggil dari belakang.Kaira menoleh dan melihat Bu Hana, wanita tua bijaksana yang sering memberinya nasihat. “Bu Hana,” kata Kaira, mencoba tersenyum meski matanya masih dipenuhi kecemasan.Bu Hana duduk di samping Kaira, mengamati air danau yang berkilauan samar di bawah sinar bulan. “Kau memikirkan Ezra, bukan?” tanyanya lembut.Kaira mengangguk pelan. “Aku tahu dia kuat, Bu Hana. Tapi

  • Jejak di Antara Kita   Pertemuan Tanpa Ampun

    Ezra berdiri di depan pintu gudang tua, napasnya perlahan namun berat. Udara malam terasa dingin menusuk, namun ia tidak merasakannya. Yang memenuhi pikirannya hanyalah wajah Kaira dan ancaman yang baru saja diterimanya. Ia tahu ini adalah saat yang tidak bisa dihindari lagi.Pintu gudang itu terbuka perlahan, suara berdecitnya memenuhi kesunyian malam. Di dalam, beberapa pria bersandar di dinding dengan ekspresi dingin. Di tengah ruangan, Ryan duduk di sebuah kursi kayu, kakinya terangkat ke meja, menunjukkan sikap santai namun penuh kesombongan.“Ah, Ezra,” sapa Ryan dengan nada sinis. “Akhirnya kau datang. Aku tahu kau tidak akan mengabaikan undanganku.”Ezra melangkah masuk tanpa gentar, menatap Ryan dengan tajam. “Kita selesaikan ini sekarang. Jangan libatkan Kaira atau siapa pun lagi.”Ryan tertawa kecil, mengguncangkan kepala seolah mendengar lelucon lucu. “Kau ini terlalu serius, Ezra. Kau tahu dunia ini tidak bekerja seperti itu. Jika kau berani menantangku, maka segalanya—or

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status