Jejak di Antara Kita

Jejak di Antara Kita

last updateLast Updated : 2025-01-24
By:  WorldOneCompleted
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
61Chapters
463views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Dulu, ia meninggalkan semuanya dengan ambisi besar. Meninggalkan ibunya yang tinggal sendirian, teman-temannya, dan yang paling sulit, Kaira. Nama itu berputar dalam pikirannya seperti sebuah lagu lama yang tak bisa ia hentikan. Kaira Alyssa. Cinta pertamanya. Seseorang yang ia tinggalkan tanpa memberikan penjelasan, hanya demi mengejar mimpi besar di kota metropolitan.

View More

Chapter 1

Kembalinya ke Rumah

Langit senja di kota kecil itu selalu memberikan kesan tenang, meski kini terasa berbeda bagi Ezra Mahendra. Ia memandang keluar dari jendela kereta yang bergerak perlahan menuju stasiun terakhir. Pepohonan yang melambai di sepanjang jalan dan deretan rumah-rumah kecil di kejauhan membawa kembali kenangan yang selama ini ia coba tinggalkan. Sudah lebih dari sepuluh tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di kota ini—kota kecil yang pernah ia sebut rumah.

Dulu, ia meninggalkan semuanya dengan ambisi besar. Meninggalkan ibunya yang tinggal sendirian, teman-temannya, dan yang paling sulit, Kaira. Nama itu berputar dalam pikirannya seperti sebuah lagu lama yang tak bisa ia hentikan. Kaira Alyssa. Cinta pertamanya. Seseorang yang ia tinggalkan tanpa memberikan penjelasan, hanya demi mengejar mimpi besar di kota metropolitan.

Ezra menghela napas panjang. Kereta akhirnya berhenti. Stasiun tua yang kini terlihat lebih kusam daripada yang ia ingat, dengan beberapa papan kayu yang sudah lapuk dimakan waktu. Ketika ia turun dari kereta, aroma udara kota kecil itu menyambutnya dengan perasaan nostalgia yang menyesakkan. Ada banyak hal yang berubah, tetapi perasaan asing dan akrab ini tetap sama.

Dia menatap sekeliling, mencari wajah yang dikenalnya, tetapi tidak ada satu pun yang tampak. Ibunya seharusnya sudah di rumah, menunggu kepulangannya. Sudah terlalu lama ia mengabaikan panggilan-panggilan telepon dari ibunya. Kini, kondisi kesehatannya yang memburuk menjadi alasan utama Ezra kembali. Bukan hanya untuk menebus kesalahannya sebagai anak, tetapi mungkin juga sebagai manusia.

"Ezra?"

Suara lembut itu menghentikan langkahnya. Suara yang begitu ia kenal, yang selama ini hanya menjadi bayangan di pikirannya. Ia berbalik perlahan, dan di sana, berdiri seseorang yang tidak pernah ia sangka akan dilihatnya secepat ini.

Kaira Alyssa.

Wanita itu berdiri di ambang pintu toko bunga kecil di seberang stasiun. Dia masih sama seperti yang Ezra ingat—lembut, namun kuat dalam caranya sendiri. Rambut hitamnya yang panjang tertiup angin lembut, dan mata hazel yang dulu pernah membuat Ezra merasa bahwa dia bisa menaklukkan dunia hanya dengan dukungan Kaira kini memandangnya dengan perasaan yang campur aduk.

"Kamu... benar-benar kembali," ucap Kaira pelan, suaranya penuh keraguan, seolah-olah ia tidak percaya pria yang berdiri di depannya adalah Ezra yang sama yang meninggalkannya bertahun-tahun lalu.

Ezra tidak tahu harus berkata apa. Di kepalanya, ia sudah mempersiapkan banyak kata-kata jika suatu hari mereka bertemu lagi. Namun, di saat ini, semua kata-kata itu lenyap.

"Ya, aku kembali," jawabnya, suaranya sedikit gemetar.

Kaira menatapnya untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Mata mereka bertemu, dan di sana, Ezra bisa melihat bayangan luka lama. Kaira tak pernah bertanya mengapa ia pergi tanpa kata perpisahan. Tidak ada penjelasan yang cukup untuk menutupi rasa sakit yang ditinggalkannya begitu saja.

"Toko ini masih milik keluargamu?" Ezra berusaha mencari percakapan kecil, meski tahu itu tidak akan menyelesaikan apapun.

Kaira tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Ya. Tidak banyak yang berubah di sini, Ezra. Kota ini tetap sama. Kami tetap menjalani hidup kami, meskipun beberapa dari kami harus belajar menjalani hidup tanpa kehadiran orang yang kami cintai."

Kata-katanya menusuk lebih dalam daripada yang Ezra bayangkan. Kaira tidak perlu mengatakan lebih. Ia tahu, luka yang ditinggalkannya padanya tidak pernah benar-benar sembuh.

"Aku... Aku datang untuk ibuku," Ezra menjelaskan, merasa perlu memberikan alasan meski tahu itu tidak akan mengurangi apa pun.

"Ya, aku dengar tentang ibumu. Aku harap dia baik-baik saja." Kaira berkata dengan nada yang lebih tenang, tapi tetap saja ada jarak yang jelas di antara mereka.

Ezra hanya mengangguk, tidak mampu menambahkan apa pun. Pertemuan ini terlalu cepat, terlalu tiba-tiba, dan emosinya terlalu banyak untuk ditangani sekaligus. Sebelum ia bisa mengatakan lebih banyak, Kaira mengangguk pelan dan kembali ke dalam tokonya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Ezra berdiri di sana, masih memandangi pintu toko bunga yang kini tertutup rapat. Langkah pertamanya di kota ini telah diwarnai dengan kenangan pahit yang dulu coba ia lupakan, tapi kini tak terhindarkan.

Dia kembali. Tapi pertanyaannya adalah, apakah dia benar-benar siap untuk menghadapi semua yang telah ditinggalkannya?

Ezra memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya menuju rumah ibunya, meskipun pertemuan singkat dengan Kaira tadi masih terus mengganggu pikirannya. Jalan menuju rumah itu terasa jauh lebih panjang dari yang dia ingat, meski ia tahu jaraknya tak pernah berubah. Setiap sudut kota kecil itu seakan mengingatkan Ezra pada kenangan lama, pada dirinya yang dulu, pada masa-masa ketika hidup terasa jauh lebih sederhana.

Rumah tua itu akhirnya terlihat dari kejauhan. Dindingnya sudah mulai kusam, cat putihnya mengelupas di beberapa bagian. Di halaman depan, taman yang dulu penuh dengan bunga kini terlihat tidak terawat. Rumput tumbuh liar, dan bunga-bunga mawar yang dulu selalu terawat rapi kini hampir mati. Ezra merasa bersalah. Seharusnya ia ada di sini, membantu ibunya menjaga rumah ini.

Dia melangkah masuk ke halaman, lalu berhenti sejenak di depan pintu kayu yang sudah mulai berderit. Di balik pintu itu, ibunya menunggunya—wanita yang selalu ada untuknya, meski dia seringkali absen dari kehidupannya. Ezra menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar, lalu mengetuk pintu perlahan.

Pintu terbuka, dan di sana berdiri ibunya, Sarah Mahendra. Wajahnya terlihat jauh lebih tua dari yang Ezra ingat, dengan garis-garis halus yang semakin dalam di sekitar matanya. Tapi senyum hangat itu masih ada, senyum yang selalu membuat Ezra merasa pulang.

"Ezra..." Suaranya lembut, penuh kelegaan sekaligus rasa rindu.

"Ibu..." Ezra hanya bisa berbisik saat memeluknya erat. Ia merasakan tubuh ibunya yang lemah di pelukannya, dan ia harus berjuang menahan air mata yang hampir jatuh.

"Sudah lama sekali," ucap ibunya pelan, sambil menepuk bahunya. "Aku tidak percaya kau benar-benar pulang."

Ezra mengangguk, masih memeluk ibunya. "Aku juga rindu, Bu."

Mereka berdua masuk ke dalam rumah, yang meski terlihat tua dari luar, di dalamnya masih sama hangatnya. Ruangan kecil itu dipenuhi perabotan kayu yang usang, namun tetap bersih dan terawat. Di sudut ruangan, ada foto keluarga mereka—foto Ezra bersama ayah dan ibunya, diambil bertahun-tahun lalu ketika semuanya masih terasa utuh.

Setelah beberapa saat dalam keheningan, Sarah mengajak Ezra duduk di meja makan. "Bagaimana pekerjaanmu di kota besar? Kamu tidak pernah banyak bercerita."

Ezra terdiam sejenak. Pekerjaannya di kota besar memang sukses, namun harga yang ia bayar begitu tinggi—ia kehilangan hubungan dengan keluarganya, dan lebih dari itu, kehilangan cinta dalam hidupnya. "Semua berjalan baik, Bu. Tapi aku merasa ada yang hilang di sana."

Ibunya menatapnya dengan pandangan penuh pengertian. "Dan itulah kenapa kau kembali?"

Ezra mengangguk. "Ya, Ibu. Dan... aku ingin menebus banyak hal, termasuk waktu yang sudah hilang."

Sarah tersenyum lembut. "Kau selalu punya tempat di sini, Ezra. Kota ini, rumah ini, selalu akan menjadi rumahmu."

Ezra merasa hangat mendengar kata-kata itu. Namun di sudut hatinya, ia tahu bahwa kepulangannya ini tidak akan sesederhana itu. Terlalu banyak yang telah berubah, terlalu banyak yang harus ia perbaiki—bukan hanya hubungan dengan ibunya, tetapi juga dengan Kaira.

Saat malam tiba, Ezra berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang sudah lama tidak ia tempati. Kenangan masa lalu mulai kembali menghantuinya. Bayangan wajah Kaira, senyumnya, dan momen-momen indah mereka dulu mengalir seperti film di benaknya. Tapi bersamaan dengan itu, muncul pula rasa bersalah yang tak kunjung hilang. Ia tahu, keputusannya meninggalkan Kaira tanpa penjelasan adalah kesalahan besar.

Ezra memejamkan mata, berharap tidur bisa membantunya melupakan sejenak semua perasaan yang berkecamuk. Namun, ia tahu, cepat atau lambat, dia harus menghadapi semua yang ditinggalkannya.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
61 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status