Home / Romansa / Jejak di Antara Kita / Kejutan dari Masa Lalu

Share

Kejutan dari Masa Lalu

Author: WorldOne
last update Last Updated: 2024-09-29 10:00:13

Beberapa minggu telah berlalu sejak malam itu, dan perlahan hubungan Ezra dan Kaira mulai tumbuh kembali. Mereka tidak lagi menghindari satu sama lain, dan bahkan sesekali keluar bersama untuk makan siang atau sekadar berjalan-jalan di taman. Meski demikian, hubungan mereka tetap dilingkupi kehati-hatian—seperti dua orang yang sedang meniti jalan di atas es tipis.

Di sela-sela momen kebersamaan itu, Ezra terus bekerja keras untuk memperbaiki hidupnya. Ia mulai aktif membantu ibunya di rumah, dan bahkan mempertimbangkan untuk membuka usaha kecil-kecilan di kota. Namun, meski semua tampak berjalan baik, ada sesuatu yang terus menghantuinya—masa lalunya.

Suatu siang, ketika Ezra sedang membersihkan halaman belakang rumah ibunya, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Pesan itu datang dari nomor yang sudah lama tidak ia lihat—nomor dari seseorang yang pernah menjadi bagian penting dari hidupnya dulu. Dada Ezra mendadak terasa sesak, tangannya gemetar saat ia membuka pesan itu.

Pesan singkat itu berbunyi: "Kita perlu bicara. Aku kembali ke kota."

Pesan itu berasal dari Livia—mantan kekasih Ezra yang telah meninggalkannya tanpa penjelasan beberapa tahun lalu. Livia adalah wanita yang dulu menjadi alasan mengapa Ezra meninggalkan Kaira dan kota ini. Kehadirannya kembali di kota membawa gelombang kegelisahan dalam diri Ezra.

Ezra mencoba menenangkan diri, menatap ponselnya dengan rasa tidak percaya. Livia kembali? Mengapa sekarang, ketika hubungannya dengan Kaira mulai membaik?

Dia memutuskan untuk tidak menanggapi pesan itu segera. Namun, pikiran tentang Livia terus menghantuinya sepanjang hari. Apakah Kaira tahu Livia kembali? Bagaimana jika Kaira mengetahuinya dari orang lain? Ezra merasa dilematis, di satu sisi ingin jujur pada Kaira, namun di sisi lain takut mengacaukan hubungan yang baru saja mulai terbentuk.

Malamnya, ketika Ezra sedang duduk di ruang tamu, Kaira tiba-tiba menghubunginya. Suara Kaira terdengar ceria di telepon, "Hei, Ezra. Aku ingin tahu, besok ada acara di taman kota. Ada festival kecil, dan aku pikir kita bisa pergi bersama? Kalau kamu punya waktu, tentu saja."

Ezra terdiam sejenak. Festival kecil itu dulunya adalah acara yang sering mereka kunjungi bersama ketika masih remaja. Mendengar Kaira mengajaknya membuat perasaan nostalgia dan kebahagiaan membuncah di dalam dirinya, namun bayangan tentang Livia tetap menggelayut di benaknya.

"Aku bisa datang," jawab Ezra dengan suara yang berusaha terdengar normal. "Itu ide bagus."

"Bagus!" sahut Kaira, terdengar senang. "Aku akan jemput kamu jam lima sore, ya?"

Setelah menutup telepon, Ezra termenung. Dia tahu bahwa pertemuan dengan Livia tidak bisa dihindari. Mungkin bukan hari ini atau besok, tapi cepat atau lambat, dia harus berhadapan dengan masa lalunya. Bagaimanapun juga, Livia adalah bagian dari kisah hidupnya yang belum selesai.

Keesokan harinya, Ezra bersiap untuk festival. Ketika Kaira menjemputnya tepat pukul lima, dia tampak begitu cantik dan ceria, seolah tak ada yang bisa mengganggu kebahagiaan mereka hari itu. Mereka berjalan bersama menuju taman kota, berbincang santai sambil menikmati suasana festival yang ramai dengan musik dan lampu warna-warni.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, langkah Ezra tiba-tiba terhenti ketika matanya menangkap sosok familiar di kerumunan. Livia.

Livia berdiri tidak jauh dari mereka, mengenakan gaun hitam sederhana, namun tetap terlihat mencolok di antara kerumunan. Dia menatap Ezra dengan ekspresi yang sulit ditebak—campuran antara rasa bersalah dan penyesalan. Hatinya seketika berdebar kencang, dan pikirannya menjadi kacau.

“Kamu kenapa, Ezra?” tanya Kaira, menyadari perubahan tiba-tiba di wajahnya.

Ezra berusaha untuk tetap tenang, tetapi pandangannya masih terpaku pada Livia yang kini mulai mendekat. “Aku… aku melihat seseorang,” jawabnya dengan gugup.

Kaira mengikuti pandangan Ezra, dan dalam sekejap matanya juga menemukan sosok Livia. Wajah Kaira berubah, menyadari siapa wanita itu. Keduanya diam, seolah terjebak dalam momen yang tak terhindarkan.

Livia akhirnya tiba di depan mereka. Dengan senyum tipis yang jelas dipaksakan, dia berkata, “Ezra, kita harus bicara.”

Ezra merasa waktu seakan berhenti. Dia berdiri di antara dua wanita yang masing-masing memiliki sejarah dengan dirinya—Kaira, cinta yang baru saja ia coba perbaiki, dan Livia, masa lalu yang belum sepenuhnya berakhir. Situasi ini tidak bisa dihindari lagi.

“Aku tidak ingin mengganggu,” lanjut Livia, melihat Kaira dengan pandangan penuh pengertian. “Tapi kita punya urusan yang belum selesai, Ezra. Aku pikir kita perlu berbicara.”

Kaira tetap diam, tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Ezra tahu ini adalah saat yang kritis. Satu langkah salah, dan semuanya bisa hancur. Bagaimana ia harus menghadapi kenyataan ini tanpa melukai hati Kaira?

Ezra berdiri di tengah situasi yang rumit, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk meredakan ketegangan. Pandangannya bergantian antara Kaira dan Livia, dua wanita yang begitu penting dalam hidupnya, tapi dalam cara yang sangat berbeda.

Kaira tetap diam, namun matanya berbicara banyak—ada keraguan, sedikit luka, dan juga kecemasan. Ia tahu siapa Livia dan peran wanita itu dalam kehidupan Ezra dulu. Tapi Ezra melihat bahwa Kaira berusaha menahan emosinya, menunggu bagaimana Ezra akan menanganinya.

Ezra menarik napas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya. Akhirnya, dengan suara yang tenang namun tegas, dia berbicara, "Livia, aku mengerti bahwa kita punya banyak hal yang belum terselesaikan. Tapi ini bukan waktunya, dan tidak di tempat ini."

Livia tampak terpukul oleh penolakan halus itu, tapi dia mengangguk, mencoba memahami. "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini sekarang, Ezra. Ketika kamu siap, kita bisa bicara."

Ezra mengangguk singkat. “Kita akan bicara, tapi nanti. Sekarang aku ingin menikmati waktu ini bersama Kaira.”

Livia mengerti isyaratnya, dan dengan anggukan kecil, ia berbalik meninggalkan mereka. Ezra memperhatikan saat Livia menjauh, rasa bersalah menghantui pikirannya. Meski ada banyak hal yang ingin ia bicarakan dengan Livia, ia tahu bahwa malam ini bukan waktunya.

Setelah Livia menghilang di tengah kerumunan, Ezra menoleh ke Kaira, yang masih tampak terpaku pada tempatnya. Ada kecanggungan di antara mereka yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ezra tahu ia harus berbicara sebelum situasi ini merusak apa yang sudah mereka bangun.

“Kaira,” kata Ezra lembut, mendekatinya sedikit, “aku tahu ini mungkin mengejutkanmu, tapi aku tidak ingin ada rahasia di antara kita. Livia adalah masa laluku, dan dia kembali tanpa aku duga. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan membiarkan masa lalu itu merusak kita.”

Kaira menatap Ezra dalam-dalam, mencari ketulusan dalam ucapannya. Setelah beberapa saat, ia menghela napas, suaranya tenang namun bergetar sedikit. “Aku tidak ingin menjadi orang yang cemburu atau membicarakan masa lalu. Tapi kamu harus mengerti, Ezra, ini bukan hal kecil. Livia pernah menjadi alasan kita berpisah dulu.”

Ezra mengangguk, merasa beratnya situasi ini. “Aku tahu, dan aku menyesal atas semua yang terjadi di masa lalu. Tapi sekarang, aku ingin memperbaiki kesalahan itu. Kamu adalah orang yang penting bagiku sekarang, Kaira.”

Kaira menunduk sejenak, memikirkan kata-kata Ezra, lalu tersenyum tipis. “Aku ingin percaya itu, Ezra. Tapi aku butuh waktu. Jangan harapkan semuanya langsung baik-baik saja.”

Ezra merasakan sedikit kelegaan, meskipun ia tahu bahwa kepercayaan Kaira belum sepenuhnya pulih. “Aku tidak akan memaksa, Kaira. Aku akan menunggu, selama itu butuh.”

Mereka melanjutkan festival dengan sedikit ketegangan, meski Ezra berusaha membuat suasana menjadi lebih santai dengan mengajak Kaira menikmati berbagai permainan dan makanan yang ditawarkan. Namun, bayangan Livia terus menghantui pikirannya, membuat malam itu terasa tak seutuhnya menyenangkan.

Di tengah festival, ketika mereka duduk di bangku taman, menikmati musik dan suara tawa orang-orang di sekitar mereka, Kaira tiba-tiba berkata, “Ezra, aku ingin tahu satu hal. Kalau Livia kembali untuk meminta maaf, apa yang akan kamu lakukan?”

Pertanyaan itu menohok Ezra. Dia tidak bisa menghindarinya lagi. Menatap mata Kaira, dia menjawab dengan jujur, “Aku akan mendengarkan apa yang dia katakan. Tapi apapun itu, aku tidak akan membiarkan masa lalu kita menghancurkan apa yang sedang kita bangun sekarang.”

Kaira terdiam sejenak, merenung. "Aku hanya ingin tahu, Ezra, apakah aku orang yang benar-benar ingin kamu perjuangkan sekarang?"

Ezra meraih tangan Kaira dengan lembut, memegangnya erat. “Kamu adalah orang yang ingin aku perjuangkan, Kaira. Itu sudah pasti.”

Kaira tersenyum kecil, meski ada sedikit keraguan yang masih tersisa. Malam itu mungkin tidak sepenuhnya sempurna, tapi setidaknya, Kaira tahu bahwa Ezra bersedia berjuang untuk hubungan mereka. Meski begitu, ia juga tahu bahwa masa lalu Ezra dengan Livia masih menjadi ancaman, dan hanya waktu yang bisa menjawab apakah hubungan mereka bisa bertahan menghadapi tantangan ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak di Antara Kita   Akhir yang kacau

    Bab 57: Akhir yang kacauKesibukan di kamp semakin terasa. Di bawah redupnya sinar obor, orang-orang berkumpul dengan senjata sederhana di tangan mereka, ketegangan memuncak di udara malam. Ezra berdiri di tengah lingkaran, suaranya tegas dan penuh keyakinan saat ia memberi arahan terakhir kepada para pejuang."Kita mungkin tidak tahu apa yang akan kita hadapi," katanya sambil menatap mata mereka satu per satu. "Tapi yang pasti, kita tidak akan menyerah. Tetap waspada. Bertahan hidup adalah prioritas kita."Raka berdiri di samping Ezra, pandangannya tajam mengamati persiapan. "Pemanah sudah di posisi tinggi. Kalau musuh mendekat, kita bisa menghentikan mereka sebelum mereka mencapai kamp."Ezra mengangguk. Namun, rasa gelisah tak kunjung surut dari dadanya. Bayangan di hutan terus mengusik pikirannya, terlebih ancaman pengkhianatan yang perlahan menjadi nyata.Tiba-tiba, suara jeritan menggema dari sisi utara kamp. Semua mata langsung tertuju ke arah itu."Musuh datang!" teriak salah

  • Jejak di Antara Kita   Serangan Tak Terduga

    Kesibukan di kamp semakin terasa. Orang-orang berkumpul dengan senjata sederhana di tangan mereka, siap menghadapi ancaman yang mendekat. Ezra berdiri di tengah lingkaran, memberi arahan terakhir dengan suara tegas."Kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi," katanya sambil menatap tajam ke wajah para pejuangnya. "Tapi satu hal yang pasti: kita tidak akan menyerah begitu saja. Tetap waspada dan jangan bertindak gegabah."Raka berdiri di sampingnya, mengamati persiapan dengan cermat. "Aku sudah menempatkan pemanah di posisi tinggi. Kalau mereka mendekat, kita bisa menjatuhkan mereka sebelum mereka mencapai kamp."Ezra mengangguk, tapi rasa gelisah di dadanya tak kunjung reda. Pikirannya terus memikirkan bayangan di hutan dan kemungkinan pengkhianatan dari kelompok Sinta.Belum sempat mereka menyusun strategi lebih jauh, suara jeritan tiba-tiba terdengar dari sisi utara kamp. Semua orang langsung memandang ke arah suara itu dengan waspada."Musuh datang!" teriak salah satu penjaga.Ezr

  • Jejak di Antara Kita   Dalam Jebakan

    Malam semakin larut, namun Ezra dan Raka masih sibuk mematangkan strategi mereka. Di bawah sinar redup lentera minyak, mereka membentangkan peta di atas meja kayu sederhana. Setiap titik dan rute yang digambar di peta diperiksa dengan saksama. Suara binatang malam terdengar dari kejauhan, namun itu tidak cukup untuk meredakan ketegangan di antara mereka."Patroli Ryan biasanya lewat sekitar fajar," Raka berkata sambil menunjuk sebuah jalur di peta. "Jika kita ingin menyerang, kita harus memanfaatkan kegelapan malam untuk mendekati mereka."Ezra mengangguk, matanya masih terpaku pada peta. "Kita harus memblokir rute mundur mereka. Kalau tidak, mereka bisa memanggil bala bantuan, dan kita akan kewalahan."Raka mengusap dagunya, berpikir keras. "Kelompok Sinta memiliki beberapa pemanah yang cukup terlatih. Kita bisa memposisikan mereka di titik-titik strategis untuk menjatuhkan musuh dari kejauhan.""Tapi kita tetap butuh lebih dari itu," Ezra menimpali. "Mereka membawa suplai penting, j

  • Jejak di Antara Kita   Bayang-Bayang Pengkhianatan

    Malam itu, di tengah dinginnya udara dan sinar redup dari api unggun, Ezra duduk termenung. Suara angin yang berdesir di sela-sela pepohonan seakan membawa bisikan-bisikan masa lalu yang tak henti mengganggu pikirannya. Di depannya, Sinta masih sibuk berdiskusi dengan para pemimpin kelompok perlawanan, sementara Raka duduk tak jauh darinya, tampak sibuk dengan catatan mereka.Namun, sesuatu terasa aneh. Ezra bisa merasakan ketegangan yang lebih dari sekadar tekanan akibat perang yang akan mereka hadapi. Beberapa orang dari kelompok itu sering kali meliriknya dengan tatapan tak bersahabat. Bahkan Sinta, meskipun sudah menunjukkan penerimaan terhadap rencana mereka, masih tampak menjaga jarak."Ezra," suara Raka memecah keheningan, membuat Ezra menoleh. "Kamu baik-baik saja?"Ezra mengangguk pelan, meski raut wajahnya menunjukkan sebaliknya. "Aku hanya... merasa ada yang salah di sini. Kamu tidak merasakannya?"Raka menatap sekeliling dengan hati-hati, lalu mencondongkan tubuhnya mendek

  • Jejak di Antara Kita   Cahaya dalam Kegelapan

    Kaira duduk di tepi danau kecil yang tersembunyi di dalam hutan, jauh dari tempat persembunyian utama. Air yang tenang memantulkan bayangan langit malam yang kelam, seolah menjadi cermin bagi kegelisahannya. Tangannya meremas ujung selendang yang melilit bahunya, sementara pikirannya terus-menerus memikirkan Ezra.Dia tahu Ezra selalu mengambil keputusan yang bijaksana, tapi kali ini hatinya dipenuhi rasa takut. Ancaman Ryan bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan, dan meskipun Kaira percaya pada kemampuan Ezra, bayang-bayang kekalahan terus menghantui pikirannya.“Kaira,” suara lembut seorang wanita memanggil dari belakang.Kaira menoleh dan melihat Bu Hana, wanita tua bijaksana yang sering memberinya nasihat. “Bu Hana,” kata Kaira, mencoba tersenyum meski matanya masih dipenuhi kecemasan.Bu Hana duduk di samping Kaira, mengamati air danau yang berkilauan samar di bawah sinar bulan. “Kau memikirkan Ezra, bukan?” tanyanya lembut.Kaira mengangguk pelan. “Aku tahu dia kuat, Bu Hana. Tapi

  • Jejak di Antara Kita   Pertemuan Tanpa Ampun

    Ezra berdiri di depan pintu gudang tua, napasnya perlahan namun berat. Udara malam terasa dingin menusuk, namun ia tidak merasakannya. Yang memenuhi pikirannya hanyalah wajah Kaira dan ancaman yang baru saja diterimanya. Ia tahu ini adalah saat yang tidak bisa dihindari lagi.Pintu gudang itu terbuka perlahan, suara berdecitnya memenuhi kesunyian malam. Di dalam, beberapa pria bersandar di dinding dengan ekspresi dingin. Di tengah ruangan, Ryan duduk di sebuah kursi kayu, kakinya terangkat ke meja, menunjukkan sikap santai namun penuh kesombongan.“Ah, Ezra,” sapa Ryan dengan nada sinis. “Akhirnya kau datang. Aku tahu kau tidak akan mengabaikan undanganku.”Ezra melangkah masuk tanpa gentar, menatap Ryan dengan tajam. “Kita selesaikan ini sekarang. Jangan libatkan Kaira atau siapa pun lagi.”Ryan tertawa kecil, mengguncangkan kepala seolah mendengar lelucon lucu. “Kau ini terlalu serius, Ezra. Kau tahu dunia ini tidak bekerja seperti itu. Jika kau berani menantangku, maka segalanya—or

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status