"Senjata apa itu, Eyang? Kok, bentuknya aneh sekali?" tanya Jejaka saking herannya. "Sekarang bukan waktunya bercakap-cakap! Pokoknya, lihat saja bagaimana senjata ini membuat tubuhmu babak belur! Bahkan tidak mungkin nyawamu akan cepat minggat dari tubuhmu!" hardik Begawan Tapa Pamungkas, menakut-nakuti. ”Jurus satu!" Begawan Tapa Pamungkas dan Siluman Ular Naga serentak menyerang Jejaka. Dan begitu senjata aneh di tangan lelaki tua ini bergerak menyerang, terlebih dahulu Jejaka merasakan angin dingin berkesiur menyerang tubuhnya. Bahkan dari dua buah gerigi di samping kanan-kiri kepala ular senjata aneh itu bertiup angin kencang yang menyerang Jejaka. Dari sudut lain, Raja Merupun menyerang tak kalah hebat. Bukan main hebatnya serangan mereka, membuat Jejaka benar-benar kewalahan. Serangan Raja Meru memang tidak begitu membahayakan keselamatannya. Karena, Jejaka sudah terbiasa berlatih tanding dengannya. Memang, yang sangat dikhawatirkan adalah serangan Begawan Tapa Pamungkas deng
"Ah...!" pekik Jejaka kebingungan. Sementara itu serangan Raja Meru sudah demikian dekatnya. Tak mungkin Jejaka menangkis serangan. Dan akibatnya... Dugh!”Augh...!" Tanpa ampun lagi, terkaman Raja Meru mendarat telak di dada Jejaka. Tubuhnya terlontar beberapa, tombak disertai pekik tertahan. Keadaan benar-benar tidak menguntungkan bagi Jejaka. Sekujur tubuhnya terasa lemas bukan main. Belum lagi akibat terkaman Raja Meru tadi yang menyebabkan isi dadanya seperti mau pecah! Bahkan dari mulutnya telah menyembur darah segar pertanda terluka dalam. Tidak ada pilihan lain, Jejaka harus cepat mengeluarkan jurus pamungkasnya, yakni 'Titisan Siluman Ular Naga' yang baru saja dikuasai. Setelah berpikir demikian kekuatan batinnya segera dikerahkan untuk melawan suara aneh dari senjata eyangnya, sekaligus untuk mengeluarkan ilmu pamungkasnya. Perlahan-lahan suara-suara aneh dari senjata di tangan Begawan Tapa Pamungkas terdengar lirih di telinga Jejaka. Dan bersamaan dengan itu pula, sekujur
"Ha ha ha...! Bagaimana, Eyang? Apa Eyang masih meragukan kehebatanku? Tidak, kan?" oceh Jejaka tertawa-tawa dari balik asap putih yang masih menyelimuti tubuhnya. ”Tapi ngomong-ngomong, senjata apa yang tadi Eyang gunakan? Kok aneh sekali?" Begawan Tapa Pamungkas menimang-nimang senjata anehnya di tangan. Mata tuanya terus mengamati senjata di tangannya penuh kagum. Mesti masih belum mampu menghadapi Jejaka, namun hatinya sangat bangga memiliki senjata itu. "Hei?! Nampaknya Eyang bangga sekali memiliki senjata itu? Apa Eyang lupa, kehebatan senjata itu belum ada apa-apanya dibanding kehebatanku. ” "Jangan cerewet, Cucuku! Kalau kau belum menguasai ilmu 'Titisan Siluman Ular Naga', jangan harap, mampu menghadapi senjata ini. Bertahun-tahun aku membuat senjata ini. Ini namanya senjata Anak Panah Bercakra Kembar.” “Anak Panah Bercakra Kembar?" ulang Jejaka penuh kagum. Bagaimanapun juga tadi, pemuda ini sempat merasakan kehebatan senjata itu. “Jika sudah tiba saatnya, akan eyang war
Hiaaah...! Wungngng! Jejaka mengarahkan gelang-gelang dewa ditangannya kearah sebuah batu besar yang ada tak jauh disebelah kirinya. Ke-10 ‘Gelang Dewa’ ditangannya langsung memanjang, membentuk seperti sebuah rantai yang sambung menyambung dan langsung mengikat batu besar itu. Dengan ‘Gelang Dewa’nya yang sudah saling satu menyatu membentuk rantai itu, Jejaka mengangkat batu besar itu keatas. Begitu batu itu sudah terangkat tinggi. Jejaka cepat menarik kembali gelang-gelang dewanya kembali kekedua tangannya. Begitu kembali. Dengan sangat cepat Jejaka menghimpun tenaganya, dan ; Heaaa! Jejaka memukulkan kedua tangannya yang sudah terkepal kearah batu besar yang terlihat sudah mulai jatuh kembali kebawah. Wuuuttt! Wuuuttt! Energi cahaya keemasan melesat keluar dari gelang-gelang-gelang dewa yang ada ditangan Jejaka, melesat cepat menuju kearah batu besar itu. Blaaarr! Batu besar itu langsung hancur berkeping-keping terkena energi keemasan dari gelang-gelang dewa. Jejaka tersenyu
“Naga Emas! Apa kau tau energi apa ini? Kuat sekali” tanya Begawan Tapa Pamungkas. “Ini adalah energi Kuasa Dewa eyang! Warisan ayah” kata Naga Emas. “Kuasa Dewa... ” ulang Begawan Tapa Pamungkas “Benar eyang, selama ini aku menyegel energi Kuasa Dewa itu ditubuh Jejaka, karena jika tidak. Tubuh Jejaka tidak akan mampu menampungnya, tapi seiring dengan berjalannya waktu. Kuasa Dewa itu semakin berlimpah dan segel yang kubuat tak mampu lagi untuk menguncinya” jelas Naga Emas. Begawan Tapa Pamungkas tampak terus mengangguk-angguk mendengar apa yang dikatakan oleh Naga Emas. -o0o- Begawan Tapa Pamungkas akhirnya membuka kedua matanya, lalu menatap kearah Jejaka yang saat itu juga tengah menatap kearahnya dengan penuh harap penjelasan. “Bagaimana eyang?” Dengan menarik nafas panjang, Begawan Tapa Pamungkas akhirnya menceritakan kepada Jejaka tentang apa yang didengarnya dari Naga Emas. Wajah Jejaka terlihat berubah mendengar cerita itu. Sesekali Jejaka menatap kearah lengan kirinya,
Di tempatnya. Jejaka terlihat berusaha mati-matian untuk mengendalikan kekuatan energi Kuasa Dewa miliknya. Jejaka dapat merasakan begitu besarnya energi Kuasa Dewa itu yang jika tidak dikontrol akan mampu meluluhlantahkan Gunung Semeru, bahkan Jejaka merasa bumi inipun bisa digoncangnya dengan energi Kuasa Dewa miliknya. "Kerahkan seluruh kehendak sucimu, Jejaka!" kembali terdengar teriakan keras Begawan Tapa Pamungkas yang ucapannya sama persis dengan apa yang dikatakan oleh si Naga Emas. Wajah Jejaka yang sejak tadi terlihat sangat tegang dan sedikit pucat, secara perlahan mulai terlihat tenang. Hal ini terjadi karena Jejaka dapat merasakan getaran kekuatan energi Kuasa Dewanya sudah mulai berkurang. Jejaka sudah mulai terbiasa dan bisa mengendalikannya secara perlahan. Kedua mata Jejaka kembali terbuka, terlihat bagaimana kedua mata Jejaka yang berkilat-kilat sinar keemasan. Perlahan tapi pasti, sosok Jejaka mulai bangkit berdiri. Tangannya tidak lagi bergetar seperti tadi. Kini
“Bagaimana kalau Tinju Penggetar Bumi” usul Begawan Tapa Pamungkas. “Tinju Penggetar Bumi eyang?” “Iya, Tinju Penggetar Bumi. Eyang tadi ingat, sebelum kau memukul, kepalan tanganmu sempat terjatuh ketanah dan membuat getaran yang sangat keras ditanah, bahkan getarannya sampai merata diseluruh wilayah Gunung Semeru ini” jelas Begawan Tapa Pamungkas. Jejaka teringat akan hal itu, tapi semua itu terjadi karena awalnya Jejaka tak kuat untuk menampung kekuatan yang ada pada dirinya. “Boleh juga eyang, Tinju Penggetar Bumi. Bila aku harus mengerahkan seluruh tenagaku, akan kuberi nama pukulan itu, Tinju Penggetar Langit. Bagaimana menurut eyang?” “Tinju Penggetar Langit, Hmm... Ya, ya ya. Boleh juga, tapi kalau bisa jangan pernah kau gunakan pukulan Tinju Penggetar Langit itu” “Kalau tidak sangat terpaksa tidak akan aku gunakan eyang” kata Jejaka mantap. Begawan Tapa Pamungkas tampak mengangguk-angguk dan mengelus-elus jenggot putihnya. “Dengan begini, kau sudah siap untuk terjun ke d
Kesunyian menyeling beberapa lamanya. Kesunyian ini dipecahkan oleh suara Eyang Begawan Tapa Pamungkas kembali. ”Hari ini adalah hari yang penghabisan kau berada di sini, Jejaka!” ”Eyang..., ” terkejut Jejaka mendengar kata-kata eyangnya yang tiada disangkanya itu. ”Kau terkejut? Tak perlu terkejut. Di dunia ini selalu ada waktu bertemu selalu ada waktu perpisahan. Waktu datang dan waktu pergi! Aku telah selesai dengan kewajibanku memberikan segala macam ilmu kepada kau dan kau sudah selesai dengan kewajiban kau yaitu menuntut dan mempelajari ilmu itu dari-ku... ” ”Segala apa yang ada di dunia ini selalu terdiri atas dua bagian, Jejaka! Dua bagian yang berlainan satu sama lain tapi yang menjadi pasangan-pasangannya... ” Jejaka kerenyitkan kening tak mengerti. ”Misalnya Eyang?” tanyanya. ”Misalnya..., ada laki-laki ada perempuan. Bukankah itu dua bagian yang berlainan? Tapi merupakan pasangan?!” ”Betul Eyang... ” ”Misal lain... ada langit... ada bumi. Ada lautan ada daratan. Ad