Clara mengerjapkan matanya perlahan-lahan, rasa pedih itu terasa begitu menusuk di dahi sebelah kirinya. Rasanya begitu pedih. Sorot lampu yang begitu terang sedikit menyakiti matanya, membuat matanya sontak kembali terpejam.
“Dok, Dokter bisa dengar saya?”
Suara asing itu tertangkap oleh telinga Clara. Darimana orang itu tahu kalau Clara seorang dokter? Ah dia lupa, bukankah identitasnya tertulis di atasan scrub yang dia pakai dinas hari ini?
Clara mencoba kembali membuka matanya, kini matanya bisa beradaptasi dengan lampu terang yang begit benderang itu. Pandanganya mulai jelas, ia bisa menangkap sosok bersnelli lengan panjang dengan jilbab biru itu.
“Saya di mana? Kok bisa di sini?” Clara benar-benar terkejut, ini IGD rumah sakit! Matanya mulai memandangi satu persatu wajah yang ada di hadapannya. Dokter dengan jilbab biru itu, seorang perawat dan seorang laki-laki yang ...
“Dokter masih ingat kejadian sebe
Arga mencoba menetralkan nafasnya, tubuhnya terasa sangat lengket dan panas. Ia terengah dengan Indira yang terisak sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Permainan mereka sudah usai, Arga sudah mendapatkan apa yang dia cari, apa yang dia inginkan malam ini.Ia ingin Clara, namun dia tidak tahu sekarang dimana kekasihnya itu berada. Apakah benar dia tengah menonton film bersama residen bedah itu? Kalau benar, akan Arga patahkan leher laki-laki itu besok pagi.Suara isak tangis Indira terdengar begitu jelas setelah segala macam desahan, erangan dan irama penyatuan mereka lenyap menguar bersama sisa-sisa nikmat yang kini tengah Arga nikmati. Ia menoleh, tersenyum sinis menatap punggung yang membelakangi dirinya itu."Sudahlah, tidak usah menangis. Bukankah ini yang kamu minta tadi? Sudah aku berikan jadi diamlah!" Ejek Arga seraya mengusap keringat yang membasahi wajahnya.Indira menoleh, membalikkan tubuhnya dan menatap suaminya i
“Tidak diangkat?”Clara menoleh, tampak laki-laki itu tersenyum simpatik ketika melihat dirinya frustasi dengan ponsel dan panggilan-panggilan yang tadi dia layangkan. Clara hanya balas tersenyum sambil menggeleng perlahan. Tampak senyum laki-laki itu makin lebar, membuat Clara merasa aneh melihat senyum itu. Kenapa begitu manis?“Sudah lupakan dulu, istirahatlah. Nanti kalau dia sudah tidak sibuk pasti dia akan menghubungimu balik.”Ah ... betul juga! Tapi Arga sibuk apa? Sedang apa dia sampai-sampai Clara berkali-kali telepon dan dia abaikan? Kalaupun marah, Arga bukan tipe laki-laki yang ketika marah lantas mendiamkan dan mengabaikan pesan dan panggilan yang Clara layangkan.“Kok sedih? Siapa memangnya yang begitu ingin kamu telepon? Pacar?”Clara tergagap, siapa memangnya? Kalau bilang Arga pacarnya, Arga sendiri sudah punya isteri, kalau mau bilang Arga bukan siapa-siapa, mana ada laki-laki yang bukan siapa-
"Kalau kamu ingin pulang, pulang aja nggak apa-apa kok," ujar Clara pada Morgan yang masih betah duduk di sofa kamar inapnya.Beberapa saat mengobrol bersama laki-laki tiga puluh lima tahun itu membuat Clara lantas cepat akrab dengan pria yang terlibat kecelakaan bersamanya itu. Dan tentu saja bukan tanpa alasan Clara menyuruh Morgan pulang, Arga pasti datang kemari dan dia tentu akan salah paham jika melihat Morgan berada di ruangan ini bersamanya."Tidak! Aku tidak akan pulang sebelum dokter kemari dan menyatakan kamu baik-baik saja, Ra. Kamu tanggung jawabku." tolak Morgan tegas, laki-laki berperawakan tinggi-tegap itu lantas bangun, kembali melangkah menghampiri Clara yang masih terbaring di atas ranjang dengan selang infus.Clara tertegun, netra mereka beradu sesaat. Kalimat itu kenapa terdengar begitu indah di telinga Clara? Sebuah kalimat yang hanya diucapkan oleh laki-laki sejati."Ta-.""Takut pacarmu marah aku ada di sin
Arga sudah tiba di depan pintu ruangan itu. Mendadak ia ragu, tangan yang sudah terulur hendak menyentuh knop sontak ia tarik kembali.Ada apa ini?Kenapa hatinya jadi kacau balau seperti ini? Kenapa perasaan takut itu terus mencengkeram hati Arga? Tidak biasanya Arga seperti ini. Bayangan dia dan Indira bergumul tadi kembali terlintas, marahkah Clara jika tahu Arga barus saja menyentuh sang isteri? Tapi Indira isteri sah Arga dan... ah!Arga menghela nafas sejenak, menghirup udara banyak-banyak lalu menghembuskan perlahan-lahan. Tangannya terulur, kembali menyentuh knop pintu dan menekannya.Pintu terbuka, ruangan itu begitu terang dan wanita yang begitu dia cintai ada di sana.Arga membelalakkan mata mendapati Clara dengan perban membalut pelipisnya, ia setengah berlari menghampiri kekasihnya itu."Sayang... ka-kamu...," Arga sampai tidak bisa berkata-kata, matanya memerah melihat kondisi Clara.&nb
Arga seperti ditampar mendengar kalimat yang meluncur dari bibir Clara tadi. Dapat dia lihat bahwa Clara masih menitikkan air mata dan sibuk menyeka bulir-bulir bening yang menitik dari matanya. Arga menghela nafas panjang, meraih tangan Clara dan meremasnya lembut."Aku minta maaf, aku egois." desisnya kemudian. "Tapi percayalah, aku cuma cinta kamu, Ra. Aku sama sekali tidak mencintai Indira."Clara menatap Arga dengan senyuman sinis. Apa dia bilang? Arga bilang kalau dia tidak mencintai isterinya? Arga memang sudah mengatakan hal itu berulang kali pada Clara, tetapi untuk kali ini penilaian Clara sudah berbeda."Tidak mencintai tapi bisa juga kamu meniduri dia, Ga?" tanya Clara dengan senyum setengah mengejek. "Ah aku lupa!" Clara melepaskan tangan Arga yang menggenggam tangannya. "Laki-laki kawin nggak pakai hati, kan? Sebuah fakta yang mencengangkan."Arga menundukkan kepalanya, ia merasa begitu berdosa hari ini. Clara tidak pernah mengkhianati dirin
Arga membanting pintu mobilnya dengan kesal. Ia lantas turun dan melangkah masuk ke dalam rumah. Tangannya mengepal kuat, rasanya ia ingin menghajar Indira saat ini juga, tapi akan ada masalah baru yang muncul jika Arga melakukan itu. Jadi Arga memilih untuk menahan semua keinginannya untuk main tangan dengan sang isteri.Bekas kissmark? Bagaimana bisa Arga tidak sadar tadi Indira melakukan hal itu? Ah ... Arga begitu terbuai nikmat surga dunia yang Indira suguhkan, membuat dia terlena hingga lupa segala-galanya, termasuk dengan Clara, wanita yang begitu dia cintai.Arga membuka pintu kamar, sudah bersiap hendak memaki Indira ketika matanya malah menemukan pemandangan menggoda itu di atas ranjang."DAMN!" Arga mengumpat, kemarahannya mendadak berubah haluan. Samar-sama sensasi nikmat yang tadi dia teguk dari tubuh itu kembali terngiang, membuat Arga merasakan tubuhnya memanas seketika. Seluruh syaraf tubuh Arga merespon, membuat Arga setengah gila berperang deng
"Mas please, kumohon!" rintih Indira pedih, pasalnya Arga benar-benar membuktikan ucapannya. Dia menyiksa Indira dengan begitu luar biasa."Hah! Munafik!" umpat Arga tidak peduli. Ia menarik diri, menghentikan aksinya tepat ketika ia mendapat sinyal bahwa Indira hendak mencapai puncaknya.Sebuah hal yang tentu sangat membuat frustasi, ketika Indira yang hampir mendapatkan apa yang didambakan dari pertarungan ini, namun tiba-tiba Arga menghentikan semua aksinya seolah tidak ingin Indira merasakan nikmat itu. Padahal bukankah sejak awal Arga yang memancingnya? Bukan hanya pedih efek sikap kasar dan arogan Arga, Indira juga terluka dengan apa yang Arga lakukan ini, menerbangkan dia begitu tinggi lantas dihempaskan begitu saja? Perempuan mana yang tidak menderita?Indira terisak, kepalanya mendadak begitu sakit, dengan sisa tenaganya ia bangkit, menggapai lengan Arga dan kembali memohon agar Arga mau membantunya mencapai puncak itu.Arga men
"Apa kemungkinan dia akan datang kemari, Ra?"Morgan masih setia duduk di sofa, sementara Clara yang hampir terlelap itu sontak terjaga. Ia melirik jam di dinding, sudah pukul dua dini hari, rasanya Arga tidak akan datang. Mungkin dia sedang kembali bergumul dengan sang isteri.Mendadak Clara sedikit merasakan pedih dalam hatinya, tapi ia buru-buru menyingkirkan perasaan itu jauh-jauh. Untuk apa cemburu? Untuk apa sakit hati? Toh bukankah itu malah bagus? Semoga saja laki-laki itu lantas kecanduan dengan tubuh sang isteri dan perlahan-lahan meninggalkan dirinya. Sebuah hal yang bagus, bukan?"Aku rasa tidak, apakah kau ingin pulang?" Clara tidak jadi tidur, ia malah menyetel tempat tidurnya agar sedikit lebih tinggi, menatap laki-laki yang beberapa saat yang lalu terlihat begitu sibuk dengan iPad di tangannya.Kenapa rasanya Clara begitu nyaman mengobrol dengan sosok ini? Siapa dia sebenarnya? Clara jadi sangat ingin tahu, siapa laki-laki yang